Kementrian Lembaga: Komisi III DPR RI

  • RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas 2025-2029, Bukti Keseriusan Presiden Prabowo Lawan Korupsi

    RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas 2025-2029, Bukti Keseriusan Presiden Prabowo Lawan Korupsi

    Jakarta: Pengamat Hukum dan pegiat antikorupsi, Hardjuno Wiwoho, meangapresiasi langkah Pemerintahan Prabowo Subianto yang menempatkan RUU Perampasan Aset di urutan ke-5 dari 40 usulan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029. Menurutnya, langkah ini merupakan sinyal kuat bahwa pemerintah serius dalam memberantas korupsi secara sistematis.

    “Menempatkan RUU Perampasan Aset di posisi lima besar menunjukkan bahwa pemerintahan saat ini memahami urgensi instrumen ini dalam memberantas korupsi. Ini bukan hanya simbolis, tetapi langkah strategis untuk memperkuat sistem hukum kita,” ujar Hardjuno di Jakarta,  Selasa, 19 November 2024.

    Kandidat doktor bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) ini menjelaskan RUU Perampasan Aset adalah elemen krusial untuk menyita aset hasil kejahatan tanpa harus melalui proses pidana panjang. Model ini, yang dikenal sebagai Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB), telah terbukti efektif di banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris.

    “Indonesia harus segera mengadopsi mekanisme ini untuk menutup celah hukum yang sering dimanfaatkan para koruptor. Dengan regulasi yang jelas, negara bisa mengambil kembali kekayaan publik yang telah diselewengkan untuk kepentingan masyarakat luas,” tegasnya.
     

    Lebih lanjut, Hardjuno memandang pengusulan ulang RUU ini sebagai bukti bahwa pemerintahan saat ini tidak gentar menghadapi tantangan politik yang sebelumnya menggagalkan pembahasan RUU tersebut di periode lalu. 
     
    “Keberanian ini patut diapresiasi. Ini bukan sekadar janji, tetapi bentuk nyata dari komitmen Presiden Prabowo dalam memberikan efek jera bagi koruptor,” katanya.

    Selain itu, ia menekankan regulasi seperti RUU Perampasan Aset bukan hanya soal pengembalian aset, tetapi juga tentang memperkuat supremasi hukum dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

    “RUU ini adalah alat yang tidak hanya membantu pemulihan aset negara tetapi juga menunjukkan keseriusan negara dalam menegakkan keadilan. Saya yakin, dengan dorongan politik yang kuat, RUU ini akan segera disahkan menjadi undang-undang,” ujar Hardjuno.

    Hardjuno juga mengingatkan pentingnya implementasi yang berhati-hati agar regulasi ini tidak disalahgunakan, seperti halnya penerapan prinsip kehati-hatian di Inggris. 
    “RUU ini harus diterapkan dengan prinsip hak asasi manusia dan keadilan hukum agar tidak menimbulkan ketidakadilan baru,”terangnya.

    Karenanya, Hardjuno berharap DPR dapat menunjukkan komitmen yang sama dengan pemerintah untuk mempercepat pembahasan RUU ini. “DPR harus sejalan dengan visi pemerintah. Jangan biarkan kesempatan ini terbuang lagi seperti periode sebelumnya,” pungkas Hardjuno.

    Sebelumnya, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas dalam keterangan resminya saat mendatangi rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR mengatakan bahwa telah meletakkan usulan RUU Perampasan Aset di urutan ke-5 dari 40 usulan RUU Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029.

    Supratman mengatakan pemerintah sebelumnya juga telah mengusulkan RUU Perampasan Aset pada prolegnas periode sebelumnya, namun pembahasan itu terganjal dinamika politik hingga akhirnya tidak tuntas di Komisi III DPR. Kini, pemerintah kembali mengajukan RUU Perampasan Aset dalam prolegnas agar RUU tersebut dapat dibahas hingga akhirnya bisa disetujui untuk disahkan sebagai undang-undang oleh DPR.

    Jakarta: Pengamat Hukum dan pegiat antikorupsi, Hardjuno Wiwoho, meangapresiasi langkah Pemerintahan Prabowo Subianto yang menempatkan RUU Perampasan Aset di urutan ke-5 dari 40 usulan Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029. Menurutnya, langkah ini merupakan sinyal kuat bahwa pemerintah serius dalam memberantas korupsi secara sistematis.
     
    “Menempatkan RUU Perampasan Aset di posisi lima besar menunjukkan bahwa pemerintahan saat ini memahami urgensi instrumen ini dalam memberantas korupsi. Ini bukan hanya simbolis, tetapi langkah strategis untuk memperkuat sistem hukum kita,” ujar Hardjuno di Jakarta,  Selasa, 19 November 2024.
     
    Kandidat doktor bidang Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga (Unair) ini menjelaskan RUU Perampasan Aset adalah elemen krusial untuk menyita aset hasil kejahatan tanpa harus melalui proses pidana panjang. Model ini, yang dikenal sebagai Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB), telah terbukti efektif di banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris.
    “Indonesia harus segera mengadopsi mekanisme ini untuk menutup celah hukum yang sering dimanfaatkan para koruptor. Dengan regulasi yang jelas, negara bisa mengambil kembali kekayaan publik yang telah diselewengkan untuk kepentingan masyarakat luas,” tegasnya.
     

    Lebih lanjut, Hardjuno memandang pengusulan ulang RUU ini sebagai bukti bahwa pemerintahan saat ini tidak gentar menghadapi tantangan politik yang sebelumnya menggagalkan pembahasan RUU tersebut di periode lalu. 
     
    “Keberanian ini patut diapresiasi. Ini bukan sekadar janji, tetapi bentuk nyata dari komitmen Presiden Prabowo dalam memberikan efek jera bagi koruptor,” katanya.
     
    Selain itu, ia menekankan regulasi seperti RUU Perampasan Aset bukan hanya soal pengembalian aset, tetapi juga tentang memperkuat supremasi hukum dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah. 
     
    “RUU ini adalah alat yang tidak hanya membantu pemulihan aset negara tetapi juga menunjukkan keseriusan negara dalam menegakkan keadilan. Saya yakin, dengan dorongan politik yang kuat, RUU ini akan segera disahkan menjadi undang-undang,” ujar Hardjuno.
     
    Hardjuno juga mengingatkan pentingnya implementasi yang berhati-hati agar regulasi ini tidak disalahgunakan, seperti halnya penerapan prinsip kehati-hatian di Inggris. 
    “RUU ini harus diterapkan dengan prinsip hak asasi manusia dan keadilan hukum agar tidak menimbulkan ketidakadilan baru,”terangnya.
     
    Karenanya, Hardjuno berharap DPR dapat menunjukkan komitmen yang sama dengan pemerintah untuk mempercepat pembahasan RUU ini. “DPR harus sejalan dengan visi pemerintah. Jangan biarkan kesempatan ini terbuang lagi seperti periode sebelumnya,” pungkas Hardjuno.
     
    Sebelumnya, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas dalam keterangan resminya saat mendatangi rapat dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR mengatakan bahwa telah meletakkan usulan RUU Perampasan Aset di urutan ke-5 dari 40 usulan RUU Prolegnas Jangka Menengah 2025–2029.
     
    Supratman mengatakan pemerintah sebelumnya juga telah mengusulkan RUU Perampasan Aset pada prolegnas periode sebelumnya, namun pembahasan itu terganjal dinamika politik hingga akhirnya tidak tuntas di Komisi III DPR. Kini, pemerintah kembali mengajukan RUU Perampasan Aset dalam prolegnas agar RUU tersebut dapat dibahas hingga akhirnya bisa disetujui untuk disahkan sebagai undang-undang oleh DPR.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (WHS)

  • Menguji Kepatutan dan Kelayakan Capim-Dewas KPK, DPR Jangan Salah Pilih Lagi – Page 3

    Menguji Kepatutan dan Kelayakan Capim-Dewas KPK, DPR Jangan Salah Pilih Lagi – Page 3

    Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya mengingatkan agar DPR jangan sampai kecolongan lagi dalam memilih capim dan cadewas KPK. Berkaca pada kondisi KPK 5 tahun terakhir, persoalan utama yang menghambat efektivitas lembaga antirasuah itu dalam menjalankan fungsinya justru berakar pada pimpinan yang bermasalah. 

    “Kita perlu melihat dulu ya soal KPK secara institusional 5 tahun terakhir, yang mana kita tahu bahwa sumber persoalan utama yang dialami oleh KPK itu berasal dari pimpinan KPK yang bermasalah gitu ya, yang dipilih pada tahun 2019 lalu,” ucap Diky kepada Liputan6.com.

    “Sekalipun pada tahun 2019 lalu sudah diserukan oleh masyarakat sipil bahwa ada kandidat yang bermasalah tapi tetap saja itu dipilih oleh pemerintah melalui panitia seleksi, kemudian dipilih oleh DPR,” sambung Diky.

    Berkaca pada kondisi KPK 5 tahun terakhir ini, ia menegaskan faktor utama yang harus dimiliki oleh para capim dan cadewas KPK adlah etika. 

    “Kriteria yang ideal yang dibutuhkan oleh KPK untuk periode 2024-2029 adalah figur yang punya etika,” kata Diky.

    Selain memiliki etika, para calon juga harus memiliki kompetensi tinggi dan rekam jejak yang baik. Hal ini, penting untuk memastikan KPK tetap menjadi lembaga yang kredibel dan mampu menjalankan misi memberantas korupsi secara efektif.

    “Lalu kemudian yang punya kompetensi dan juga punya rekam jejak yang baik,” ucap Diky.

    Melihat dari 10 nama capim dan 10 cadewas yang sedang menjalani fit and proper test di DPR, terdapat beberapa nama yang bermasalah baik secara etika, kompetensi maupun rekam jejak.

    “Sayangnya memang kalau kita lihat dari 10 nama yang saat ini sedang menjalani fit and  proper test di DPR yang sebelumnya sudah diserahkan oleh Presiden Joko Widodo melalui proses seleksi yang dilakukan oleh panitia seleksi, itu masih ditemukan sejumlah nama yang bermasalah, baik secara etika, kompetensi maupun rekam jejak,” kata Diky.

    Untuk itu, ICW mewanti-wanti Komisi III DPR RI untuk mempertimbangkan kompetensi dan juga rekam jejak para calon agar tidak terulang kembali pemilihan komisioner yang bermasalah.

    “Kalau kita melihat kecenderungan beberapa pemilihan, terutama sejak tahun 2019, dimana DPR justru memilih calon yang kontroversial yang banyak ditolak oleh publik,” ujar Diky.

    Diky meminta DPR agar jangan sampai salah pilih pimpinan KPK. “Sebagaimana kita tahu bahwa pada saat tanggal 20 Oktober lalu, sesaat setelah Presiden Prabowo dilantik, beliau menyampaikan beberapa kali kalimat korupsi dan juga anti-korupsi,” jelas Diky.

    Agar dapat mewujudkan negara antikorupsi maka harus memilih pimpinan yang memiliki kompetensi dalam pemberantasan korupsi. “Salah satunya adalah memilih pimpinan KPK yang berintegritas, yang tidak punya rekam jejak yang buruk dan juga punya kompetensi yang baik dalam pemberantasan korupsi,” tutup Diky.

    ICW menyatakan siapapun yang terpilih sebagai pimpinan KPK untuk periode mendatang akan menghadapi tantangan besar dalam mengembalikan marwah lembaga tersebut.

    “ICW memahami bahwa siapapun yang nanti akan terpilih, bukan pekerjaan yang mudah untuk mengembalikan marwah KPK seperti sedia kala,” jelas Diky.

    Agar bisa mengembalikan KPK seperti dulu menurut Diky harus menyeimbangkan startegi antara pencegahan dan penindakan.

    Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zainur Rohman juga mengingatkan DPR agar berhati-hati dalam memilih calon pimpinan KPK. Menurutnya, integritas, independensi, dan profesionalitas harus menjadi kriteria utama dalam seleksi capim dan calon dewas KPK.

    “Jika DPR salah memilih, lima tahun ke depan KPK akan semakin hancur dan bangsa ini akan semakin terjerumus ke dalam jurang korupsi,” kata Zainur kepada Liputan6.com di Jakarta.

    Zainur menekankan pentingnya independensi KPK sebab lembaga antirasuah itu diharapkan tidak bisa disetir oleh kekuasaan tertentu. Ia juga berharap Presiden Prabowo Subianto dapat menggunakan pengaruh politiknya di DPR untuk memastikan terpilihnya calon pimpinan KPK yang tepat.

    “Saya berharap Presiden Prabowo memberi perhatian terhadap fit and proper test ini, jangan pilih calon yang bermasalah,” ujarnya.

    Zainur memperingatkan bahwa publik akan menilai kepemimpinan Prabowo melalui kinerja KPK lima tahun mendatang. Ia berharap Prabowo dapat mengembalikan independensi KPK dan memilih calon pimpinan yang berintegritas, independen, dan profesional.

    “Tahun 2029 kita akan lihat apakah ada perbaikan dalam pemberantasan korupsi. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan komitmen nyata dalam memberantas korupsi,” pungkasnya.

  • Johanis Tanak Sarankan Tak Perlu Ada Ketua dan Wakil Ketua KPK

    Johanis Tanak Sarankan Tak Perlu Ada Ketua dan Wakil Ketua KPK

    Jakarta, Beritasatu.com – Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menyarankan, KPK tidak perlu memiliki struktur ketua dan wakil ketua. Menurut dia, yang seharusnya ada adalah pimpinan karena KPK menganut sistem kepemimpinan kolektif kolegial.

    “Tidak perlu ada wakil, tidak perlu ada ketua, pimpinan saja karena pimpinan dia mempunyai kedudukan yang sama, kalau ketua rasanya ada perbedaan hierarki, pak,” ujar Johanis saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test calon pimpinan KPK di Komisi III DPR, gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).

    Saat ini, kata Johanis, KPK memiliki lima pimpinan yang terdiri dari ketua dan wakil ketua. Dia menilai, dalam sistem ketatanegaraan, ketua dapat mengambil segala keputusan sehingga bertolak belakang dengan semangat kolektif kolegial.

    “Terkait dengan kelembagaan yang namanya ketua dia mengambil keputusan. Kalau demikian, bagaimana bisa mix antara keputusan yang bersifat kolektif dan kolegial, dengan sementara ada satu ketua, idealnya tidak ada ketua,” jelasnya.

    Terkait hal itu, Johanis menyarankan pimpinan KPK mendatang sebaiknya dipimpin oleh koordinator. Menurut dia, koordinator tersebut dijabat bergantian antara lima pimpinan KPK yang ada, dalam satu periode kepemimpinan.

    “Idealnya hanya koordinator saja dan koordinator ini dari lima, setiap tahun ganti-ganti saja. Periode satu tahun ini si A, periode satu tahun ini si B, akhirnya semua mendapat giliran sebagai koordinator, bukan sebagai pimpinan,” pungkas Johanis.

  • Capim KPK Alamsyah Saragih Dukung Usulan KPK Fokus Tangani Kasus Besar dan Strategis
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        19 November 2024

    Capim KPK Alamsyah Saragih Dukung Usulan KPK Fokus Tangani Kasus Besar dan Strategis Nasional 19 November 2024

    Capim KPK Alamsyah Saragih Dukung Usulan KPK Fokus Tangani Kasus Besar dan Strategis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, Kompas.com
    – Calon Pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    )
    Alamsyah Saragih
    mendukung usulan agar lembaga anti-rasuah tersebut memfokuskan penanganan pada
    kasus korupsi
    yang berskala besar dan strategis.
    Pernyataan ini disampaikan dalam uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Komisi III DPR RI, saat menjawab pertanyaan dari anggota Fraksi Demokrat, Benny K. Harman, pada Selasa (19/1/2024).
    Dalam kesempatan itu, Benny mengajukan pertanyaan mengenai apakah
    pemberantasan korupsi
    sebaiknya disentralisasi sepenuhnya ke KPK, terutama untuk kasus dengan nilai di atas Rp 1 miliar, sedangkan kepolisian dan kejaksaan menangani kasus di bawah nilai tersebut.
    “Apakah Saudara Saragih sependapat jika undang-undang KPK diubah, supaya sentralisasi pemberantasan korupsi itu ditangani oleh KPK?” tanya Benny di ruang rapat Komisi III DPR RI.
    Benny juga meminta pandangan Alamsyah mengenai kemungkinan pengembalian kewenangan penuntutan sepenuhnya kepada kejaksaan, tanpa adanya satu atap di KPK.
    “Saya ingin tahu pemikiran Pak Saragih tentang ini. Karena Anda ngomong tentang perbaikan KPK ke depan,” tambahnya.
    Menanggapi pertanyaan tersebut, Alamsyah mengungkapkan bahwa KPK seharusnya memusatkan perhatian pada kasus-kasus besar dan strategis, yang berpotensi mengganggu program nasional dan berdampak signifikan pada kerugian negara.
    “Saya berpikir, Pak Benny Kaharman, KPK memang harus masuk ke wilayah korupsi yang besar, nilainya atau yang strategis, karena bisa mengganggu program strategis nasional,” katanya.
    Alamsyah juga menyoroti keterbatasan kapasitas KPK dalam menangani semua perkara korupsi, mulai dari tingkat terbawah hingga level atas.
    Menurutnya, kolaborasi antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan sangat penting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
    “Kenapa harus terbatas pada itu, Pak? Size-nya kecil, KPK itu, mau disuruh menangani keseluruhan, mana punya sampai ke polsek. Kecamatan sampai bawah, makanya dia harus memilih ke wilayah-wilayah yang lebih strategis dampaknya,” kata Alamsyah.
    Dia juga berpendapat bahwa pembagian tugas penanganan kasus korupsi antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian dapat mencegah rivalitas dalam penanganan korupsi.
    Alamsyah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap potensi rivalitas antar lembaga dalam pemberantasan korupsi.
    Menurut dia, kencenderungan membandingkan nilai kasus yang ditangani KPK, kejaksaan, maupun kepolisian dapat menciptakan dampak psikologis sosial yang kurang sehat.
    “Kalau KPK lebih banyak melakukan praktik OTT dengan cara yang konvensional, lama-lama orang akan melihat bahwa korupsi itu akan terjadi pertandingan antara besar-besar nilai korupsi yang bisa ditangani,” ungkapnya.
    “Rivalitas ini yang saya takutkan. Kalau rivalitas ini dibiarkan terus tanpa ada perbaikan, maka lama-lama orang menganggap kalau korupsi Rp 100 miliar kecil, besok korupsi Rp 1 triliun kecil. Secara psikologi sosial itu disebut terjadi deprivasi relatif,” ujarnya.
    Diketahui, DPR menggelar uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test calon pimpinan KPK dan calon anggota Dewan Pengawas KPK selama empat hari, mulai Senin (18/11/2024) hingga Kamis (21/11/2024).
    Sebanyak 10 orang capim KPK dan 10 orang calon anggota Dewas KPK mengikuti uji kelayakan ini.
    DPR akan memilih lima orang pimpinan KPK dan lima orang anggota Dewas KPK yang akan menjabat selama lima tahun ke depan.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Johanis Tanak Janji Bakal Hapuskan OTT Jika Terpilih jadi Ketua KPK

    Johanis Tanak Janji Bakal Hapuskan OTT Jika Terpilih jadi Ketua KPK

    Bisnis.com, JAKARTA — Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak bakal menghapus operasi tangkap tangan (OTT), jika dirinya terpilih menjadi Ketua KPK periode 2024-2029.

    Hal ini dia sampaikan saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test dengan Komisi III DPR RI, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa (19/11/2024).

    “Seandainya bisa jadi [Ketua KPK], mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup [tindakan OTT], close. Karena itu tidak sesuai pengertian yang dimaksud dalam KUHAP,” tutur Wakil Ketua Ketua KPK tersebut.

    Menurut pemahamannya, OTT yang selama ini dilakukan tidak tepat dan salah kaprah. Jika merujuk KBBI, lanjutnya, operasi dicontohkan seorang dokter yang akan melalukan operasi dan tentunya semua sudah siap serta direncanakan.

    Sementara itu, dia menilai pengertian tertangkap tangan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah suatu peristiwa yang terjadinya seketika itu juga pelakunya ditangkap dan langsung menjadi tersangka.

    “Terus, kalau seketika pelakunya melakukan perbuatan dan ditangkap, tentunya tidak ada perencanaan. Nah kalau ada suatu perencanaan operasi itu, terencana, satu dikatakan suatu peristiwa itu ditangkap, ini suatu tumpang tindih. Itu tidak tepat. Ya menurut hemat saya OTT itu tidak tepat,” jelas Johanis Tanak.

    Meski Johanis Tanak memiliki pandangan pribadi seperti itu, dirinya tidak bisa menantang hal tersebut, karena mayoritas mengatakan itu sudah menjadi tradisi.

    “Saya sudah sampaikan pada teman-teman. Saya pribadi, tapi karena lebih mayoritas mengatakan itu menjadi tradisi, ya apakah ini apakah ini tradisi bisa diterapkan saya juga enggak bisa juga saya menantang,” ujarnya.

    Sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem Rudianto Lallo mempertanyakan soal OTT apakah ke depannya masih relevan untuk dilakukan atau tidak.

    “Pak Johanis Tanak sebagai mantan jaksa, jaksa senior, ada menarik satu statement pejabat tinggi, saya ndak usah sebut namanya. OTT itu kampungan, OTT kampungan. Apakah OTT untuk ke depan ini masih relevan untuk Pak Johanis Tanak atau seperti apa?” tanyanya kepada Tanak.

    Dia bertanya demikian karena menurutnya banyak orang yang terkena OTT, tetapi rasanya tidak ada efek jera bagi mereka.

    “Karena begitu banyak orang yang sudah di OTT, begitu banyak org yg keluar masuk penjara, tapi rasa-rasanya tidak ada efek jera, ini perlu koreksi saja. Apakah ini masih relevan kondisi ini?” tanyanya lagi.

  • Fit and Proper Test Capim, Johanis Tanak: OTT Tidak Pas untuk KPK

    Fit and Proper Test Capim, Johanis Tanak: OTT Tidak Pas untuk KPK

    Jakarta, Beritasatu.com – Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2024-2029 Johanis Tanak menegaskan operasi tangkap tangan (OTT) tidak pas dan tidak tepat dilakukan KPK. Menurut dia, istilah operasi menurut KBBI (kamus besar bahasa Indonesia) adalah penanganan yang dilakukan dokter dengan berbagai persiapan yang sudah matang.

    “OTT menurut hemat saya kurang (pas) mohon izin, walaupun saya pimpinan, saya harus mengikuti tetapi, berdasarkan pemahaman saya, OTT itu sendiri tidak pas, tidak tepat,” ujar Tanak saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test di Komisi III DPR, gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).

    Tanak mengatakan, makna kata “operasi” dalam KBBI tersebut, tidak sesuai dengan istilah ”tangkap tangan” yang lebih impulsif dalam menangkap dan mentersangkakan seseorang.

    “Sementara itu, pengertian tertangkap tangan menurut KUHP adalah suatu peristiwa yang terjadi seketika itu juga pelakunya ditangkap dan langsung menjadi tersangka,” tegas dia.

    Menurut Tanak, OTT merupakan perbuatan tangkap tangan yang seharusnya tanpa melakukan perencanaan. Terkait hal itu, dia menilai operasi senyap tersebut tidak tepat.

    “Menurut hemat saya OTT itu tidak tepat. Dan saya sudah sampaikan kepada teman-teman, tetapi karena mayoritas mengatakan itu menjadi tradisi, apakah ini tradisi bisa diterapkan, ya saya juga enggak bisa menantang,” jelas dia.

    Lebih lanjut, Tanak berjanji bakal menghapus OTT apabila ia menjadi ketua KPK periode 2024-2029. Menurutnya, operasi itu tak sesuai KUHP.

    “Kalau saya bisa jadi, mohon izin, menjadi ketua (KPK), saya akan tutup, close karena itu tidak sesuai pengertian yang dimaksud dalam KUHP,” pungkas dia.

  • 2
                    
                        Johanis Tanak Ingin Tiadakan OTT KPK, Komisi III DPR Tepuk Tangan
                        Nasional

    2 Johanis Tanak Ingin Tiadakan OTT KPK, Komisi III DPR Tepuk Tangan Nasional

    Johanis Tanak Ingin Tiadakan OTT KPK, Komisi III DPR Tepuk Tangan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
    Johanis Tanak
    mengaku ingin meniadakan operasi tangkap tangan (
    OTT
    ) seandainya terpilih sebagai ketua KPK di masa depan.
    Hal itu ia sampaikan dalam sesi tanya jawab pada uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK di Komisi III DPR RI, Selasa (19/11/2024).
    “Seandainya saya bisa jadi, mohon izin, jadi ketua, saya akan tutup,
    close
    , karena itu (OTT) tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP,” kata dia di hadapan anggota Dewan.
    Pernyataan itu langsung disambut dengan riuh tepuk tangan para anggota Komisi III seisi ruangan.
    Ia mengungkapkan, dari segi pengertian, “operasi” dalam kamus bahasa Indonesia diibaratkan seperti operasi bedah di mana para dokter dan tenaga kesehatan harus sudah siap dan mempunyai perencanaan matang sebelum melakukan tindakan.
    “Sementara pengertian ‘tertangkap tangan’ menurut KUHAP adalah suatu peristiwa yang terjadinya seketika itu juga pelakunya ditangkap dan menjadi tersangka,” ujar Tanak.
    “Kalau pelakunya melakukan perbuatan dan ditangkap, tentu tidak ada perencanaan. Kalau ada satu perencanaan, operasi itu terencana, peristiwa yang terjadi suatu seketika itu tertangkap, ini suatu tumpang tindih yang tidak tepat,” ucap Wakil Ketua KPK ini. 
    Ia mengaku, sejak awal menganggap OTT merupakan tindakan yang tidak tepat berdasarkan argumentasi tersebut.
    Namun, ia kalah suara dengan mayoritas pimpinan KPK lain yang setuju OTT sebagai langkah pemberantasan korupsi yang perlu dilakukan.
    “Mayoritas mengatakan itu menjadi tradisi, apakah tradisi itu bisa diterapkan, tidak bisa juga saya menantang,” ujar dia.
    Sebelumnya, Tanak ditanya Sekretaris Jenderal PKS Aboe Bakar Al Habsyi mengenai isu penindakan korupsi via OTT versus pencegahan.
    Aboe mempersoalkan makalah Tanak yang dianggap lebih menitikberatkan pada penindakan sebagai langkah pemberantasan korupsi.
    “Apakah berarti Saudara cukup apatis dengan pola pencegahan yang selama ini dilakukan KPK? Saya terus terang aja pencegahan dan penindakan lebih suka pencegahan dulu, Pak,” kata Aboe.
    “Jadi (dalam pencegahan), orang kalau sudah mau korupsi, eh, eh, eh, Abdullah hati-hati, ini sudah dekat, lho, Anda akan kena kalau kayak begini. Kalau ini (penindakan) enggak, Pak, dicari, dipancing-pancing, diarahkan, dibekuk aparat. Nah, kena, loe, OTT jadinya,” ungkapnya.
    Aboe menganggap, pencegahan akan lebih efektif untuk memberantas korupsi.

    Menurut dia, orang yang hendak melakukan korupsi akan takut terlebih dulu ketika diperingatkan bahwa tindakannya dapat dijerat KPK.
    Ia kemudian memperbandingkan beberapa negara lain yang berbeda pendekatan dalam hal memberantas korupsi.
    Ada negara-negara yang lebih menitikberatkan pada penindakan, seperti Hong Kong atau Korea Utara, tetapi ada pula negara-negara yang lebih mengutamakan upaya pencegahan korupsi.
    Ia menyinggung negara-negara Skandinavia yang dianggapnya memilih pendekatan berbeda dengan Indonesia.
    “Memang lebih gila kalau kaya Hongkong atau Korea Utara atau beberapa negara lain. Tapi ada lagi kayak Norwegia, Swedia, Denmark itu enggak ada tuh begitu-begitu kejadiannya. Di kita agak berat,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bamsoet Ingatkan Ego Sektoral Bisa Akibatkan Industri Manufaktur Mati Suri

    Bamsoet Ingatkan Ego Sektoral Bisa Akibatkan Industri Manufaktur Mati Suri

    Jakarta

    Anggota Komisi III DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bambang Soesatyo mengingatkan ego sektoral yang mengemuka sekarang ini ibarat perangkap yang bisa menyebabkan industri manufaktur dalam negeri mati suri dan tidak mampu menyerap angkatan kerja. Ia meminta masalah ini segera diakhiri oleh para menteri ekonomi di Kabinet Merah Putih. Dibutuhkan kebijakan industrial yang lebih komprehensif untuk memberi ruang bagi sektor industri dalam negeri untuk terus bertumbuh dan berkemampuan menyerap angkatan kerja.

    “Contoh kasus paling mencolok tentang ego sektoral adalah kebijakan tata-niaga atau ekspor-impor yang nyata-nyata berlawanan dengan kehendak memperkuat kontribusi industri dalam negeri bagi pertumbuhan ekonomi. Impor produk manufaktur yang tidak terkendali menyebabkan produktivitas industri manufaktur dalam negeri turun ke titik terendah. PT Sritex, PT Sepatu Bata, dan puluhan perusahaan industri manufaktur lainnya yang sudah berhenti berproduksi adalah contoh kasus atau korban dari perilaku ego sektoral institusi pemerintah,” ujar Bamsoet dalam keterangannya, Selasa (19/11/24).

    Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini memaparkan, rancangan kebijakan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen per Januari 2025 pun layak dilihat sebagai contoh kasus lain tentang perilaku ego sektoral. Sudah pasti niatnya adalah menaikkan penerimaan negara dari pajak, namun eksesnya cukup menakutkan. Harga barang dan jasa otomatis naik di tengah kecenderungan melemahnya daya beli masyarakat. Apabila daya beli masyarakat terus dibuat lemah, target menaikkan penerimaan negara dari PPN rasanya sulit diwujudkan.

    “Selain itu, sektor industri dalam negeri pun akan menerima ekses dari melemahnya konsumsi publik yang sudah terkonfirmasi oleh data tentang deflasi beberapa bulan terakhir ini. Bahkan, dengan naiknya PPN menjadi 12 persen, sumbangan konsumsi masyarakat atau rumah tangga bagi pertumbuhan ekonomi pun akan melemah sebagai konsekuensi logis dari melemahnya daya beli orang kebanyakan,” kata Bamsoet.

    Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 Bidang Hukum & Keamanan ini menguraikan, berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), jumlah angkatan kerja per Februari 2024 sebanyak 149,38 juta. Jumlah tersebut mencerminkan kekuatan konsumsi masyarakat. Sayangnya, sebagian dari jumlah ini sudah tidak bekerja lagi karena pemutusan hubungan kerja (PHK).

    “PHK banyak terjadi di sektor manufaktur. Sebelumnya, dilaporkan bahwa sektor manufaktur Indonesia menyerap 18,82 juta tenaga kerja. Faktanya cukup memprihatinkan karena sudah puluhan ribu pekerja di sektor ini di-PHK, karena pabrik tempat mereka bekerja berhenti berproduksi,” pungkas Bamsoet.

    (prf/ega)

  • Capim Ida Budhiati Ingin Pemeriksaan Etik Pimpinan KPK Digelar Terbuka – Page 3

    Capim Ida Budhiati Ingin Pemeriksaan Etik Pimpinan KPK Digelar Terbuka – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ida Budhiati menyoroti pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan lembaga antirasuah, yang menyebabkan persepsi kepercayaan publik merosot tajam. Dia menilai, pemeriksaan kode etik ke depannya perlu digelar secara terbuka.

    “Menurut saya, KPK akan sangat baik apabila ke depan mau mengadopsi hukum acara pemeriksaan kode etik di lingkungan penyelenggara pemilu, yang dilakukan secara terbuka,” tutur Ida dalam fit and proper test capim KPK di DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).

    Ida menyebut, pimpinan yang terbukti melanggar kode etik pun sebaiknya tidak lagi diperbolehkan memimpin lembaga lainnya dengan kurun waktu selama 10 tahun ke depan. Sebab, sangat penting seorang pemimpin memiliki integirtas tinggi.

    “Dari dimensi tantangan, KPK menghadapi persepsi publik yang negatif saat ini. Pemimpinan belum mampu menunjukkan perilaku yang akuntabel, profesional, dan berintegritas,” jelas dia.

    Selain itu, Dewan Pengawas (Dewas) KPK dinilai harus tetap meneruskan proses pemeriksaan kode etik kepada pimpinan lembaga antirasuah, meski telah mengundurkan diri dari jabatannya.

    “Karena mengundurkan diri kan belum tentu diberhentikan, belum tentu terbit seketika keputusan presiden,” Ida menandaskan.

    Sebelumnya, Jumat (15/11/2024), Komisi III DPR RI umumkan 20 nama Cadewas dan Capim KPK yang akan mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Adapun 20 nama itu terdiri dari 10 nama Capim KPK dan 10 nama Cadewas KPK, yang sebelumnya juga telah diumumkan oleh panitia seleksi.

    Dalam satu hari, Habiburokhman mengatakan ujian tersebut akan diikuti oleh 4-5 peserta hingga hari terakhir.

     

  • Capim Michael Rolandi Setuju Adanya Revisi UU KPK Demi Kembalikan Independensi – Page 3

    Capim Michael Rolandi Setuju Adanya Revisi UU KPK Demi Kembalikan Independensi – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Michael Rolandi Cesnanta Brata mengaku setuju apabila Undang-Undang KPK kembali direvisi. Hal itu menurutnya dapat mengembalikan independensi penyidik lembaga antirasuah ke depannya.

    “Setuju Pak Undang-Undang KPK untuk direvisi kembali. Ini memang Pak kalau di Undang-Undang yang lama, Undang-Undang 30 tahun 2002, KPK tidak di bawah rumpun eksekutif,” tutur Michael dalam fit and proper test capim KPK di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 18 November 2024 malam.

    “KPK bisa menjadi pilar keempat ya Pak dalam hal ketatanegaraan. Namun demikian, kalau saya melihatnya adalah di sisi Independensi yang harus dilaksanakan oleh KPK,” sambungnya.

    Ketika KPK yang sekarang berada dalam rumpun eksekutif, kata Michael, hal itu membuat independensi secara kelembagaan hanya di rumpun eksekutif saja.

    “Tetapi Independensi secara fungsional, dia seharusnya bebas, bebas dalam hal tetap independen untuk melakukan kegiatan-kegiatan pelaksanaan tugas dan fungsinya Pak,” jelas dia.

    “Penyidik-penyidik ini memang harus bersikap independen Pak, dari manapun instansinya sebetulnya dia dalam hal kegiatan penyelidikan, penyidikan, itu harus mempunyai sikap independen,” lanjut Michael.

    Hal itu menanggapi pertanyaan dari Anggota Komisi III DPR RI Benny K Harman yang memintanya menanggapi peluang revisi kembali Undang-Undang KPK.

    “Kerusakan KPK itu bukan karena tata kelolanya ini, tapi karena mengapa faktor Undang-undang KPK. Revisi UU KPK yang menempatkan itu bagian masuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif itu salah satu faktor,” ujar Benny.

    Dia lantas menyinggung kondisi penyidik KPK yang tidak menjadi independen, namun malah dilucuti integritasnya yang salah satunya dilakukan lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

    “Apakah setuju kalau penyidik KPK, penuntut KPK, jadi penyidik independen,” tanyanya.