Ditanya Situasi Peradilan Saat Ini, Calon Anggota KY: Sedih, Kecewa, Marah, Stres Juga
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Calon anggota Komisi Yudisial (KY) unsur mantan hakim, Setyawan Hartono, mengaku merasakan kesedihan, kekecewaan, kemarahan, hingga stres ketika melihat kondisi dunia peradilan dalam beberapa waktu terakhir.
Hal itu disampaikan Setyawan saat menjawab pertanyaan Ketua Komisi III
DPR RI
Habiburokhman dalam menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test), di Komisi III DPR RI, Senin (17/11/2025).
Habiburokhman meminta Setyawan menilai kondisi
peradilan
saat ini dengan tiga pilihan: baik-baik saja, ada masalah, atau ada masalah serius.
“Sedikit saya ingin mengajukan pertanyaan, Pak. Yang pertama, menurut Pak Setyawan, situasi dunia peradilan saat ini seperti apa, Pak? Tiga alternatif saja, baik-baik saja, ada masalah, atau ada masalah serius. Tiga pilihan itu, Pak. Jelaskan argumentasinya, Pak,” tanya Habiburokhman, di Gedung DPR RI.
Menjawab pertanyaan ini, Setyawan menggambarkan kegelisahan yang dia rasakan sejak menjelang akhir masa tugasnya sebagai hakim pada awal 2025.
“Jadi, dalam beberapa waktu terakhir rasanya, waktu-waktu akhir saya menjabat, saya sempat merasa sedih, kecewa, marah, dan stres juga. Jadi, di bulan-bulan itu pembahasan di semua media sosial itu selalu saja berbicara mengenai hal tidak baik tentang hakim, tentang lembaga peradilan,” ujar Setyawan.
Ia menilai, berbagai peristiwa yang mencoreng integritas lembaga peradilan belakangan ini menunjukkan bahwa kondisi peradilan tidak berada dalam keadaan baik.
“Jadi, rasanya kondisi lembaga peradilan saat ini jelas dalam situasi yang tidak baik-baik saja. Dan saya tidak tahu, setelah kasus PN Surabaya masih dalam proses, muncul lagi kasus di Tipikor Jakpus, yang sepertinya saya tidak tahu apa yang ada di benak mereka,” ujar dia.
Menurut Setyawan, persoalannya bukan terletak pada keberanian atau ketakutan para hakim, tetapi pada komitmen mereka terhadap kehormatan profesi.
“Bukan masalah takut atau tidak takut, tapi betul-betul tidak ada komitmen untuk bisa menjaga marwah peradilan, marwah hakim. Jadi, kondisinya jelas tidak baik-baik saja, Bapak,” ucap dia.
Sebagai informasi, Komisi III DPR RI mulai menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap tujuh
calon anggota KY
, pada Senin (17/11/2025).
Proses berlangsung hingga Rabu (19/11/2025) dan akan ditutup melalui rapat pleno keputusan pada Kamis, 20 November 2025.
Berikut daftar lengkap calon anggota KY yang mengikuti uji kelayakan:
1.
Setyawan Hartono
– unsur mantan hakim
2. Abdul Chair Ramadhan – unsur akademisi hukum
3. Andi Muhammad Asrun – unsur akademisi hukum
4. Anita Kadir – unsur praktisi hukum
5. Abhan – unsur tokoh masyarakat
6. Williem Saija – unsur mantan hakim
7. Desmihardi – unsur praktisi hukum
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
melalui donasi.
Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
akun kamu.
Kementrian Lembaga: Komisi III DPR RI
-
/data/photo/2025/11/17/691aa9956c610.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ditanya Situasi Peradilan Saat Ini, Calon Anggota KY: Sedih, Kecewa, Marah, Stres Juga
-

Terima 7 Nama Calon Anggota Komisi Yudisial, DPR Soroti Keaslian Ijazah
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi III DPR RI menerima tujuh nama calon anggota Komisi Yudisial (KY) dari Panitia Seleksi (Pansel) yang dibentuk oleh Presiden Prabowo. Penyerahan dilakukan saat rapat dengar pendapat (RDP) di DPR, Senin (17/11/2025).
Hasil pemilihan panitia seleksi melalui surat nomor B-61/PANSEL-KY/10/2025 tanggal 2 Oktober 2025. Setelah penjelasan Pansel, Ketua Komisi III Habiburokhman menyoroti mekanisme Pansel dalam memverifikasi keaslian ijazah dari para calon anggota KY.
“In ikan syarat sarjana ini minimal ya, apakah ada mekanisme pengecekan ijazah calon-calon ini, dalam konteks keaslian ijazahnya juga termasuk kampusnya, kampusnya ada enggak gitu loh. Mungkin aja ada dokumennya bener ternyata kampusnya tidak ada. Gitu. Ada mekanisme seperti itu nggak, Pak?” kata politikus Gerindra itu.
Dia menjelaskan urgensi pertanyaan tersebut dilatarbelakangi pelaporan ijazah hakim Mahkamah Konstitusi, Arsul Sani yang diduga palsu. Akibatnya, Komisi III yang kala itu menguji Arsul Sani terseret dalam polemik ini.
“Karena kami baca ini, baca dokumen satu memang kita tidak ada kemampuan secara forensik menilai asli atau nggak, tapi pasti asli kalau dokumennya,” ujarnya.
Terlebih, calon anggota Komisi Yudisial yang diajukan berlatar belakang pendidikan S1 hingga S3 sehingga perlu ketelitian memverifikasi keaslian ijazah.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Yudisial Dhahana Putra menegaskan pihaknya telah memeriksa keaslian ijazah sesuai prosedur dengan bukti foto copy ijazah yang mendapatkan legalisir terbaru.
“Perlu kami sampaikan sebagai syarat formil, dari masing-masing calon itu menyampaikan dokumen ijazah yang sudah dilegalisir terbaru. Itu jadi suatu dokumen yang kita gunakan untuk proses lebih lanjut,” kata Dhahana.
Setelah penyerahan, Komisi III akan mengambil nomor urut dan uji makalah pada hari yang sama. Pengujian direncanakan berlangsung dalam beberapa hari ke depan.
Berikut daftar nama calon anggota Komisi Yudisial (KY)
1. F. Williem Saija – unsur mantan hakim
2. Setyawan Hartono – unsur mantan hakim
3. Anita kadir – unsur praktiksi hukum
4. Desmihardi – unsur praktiksi hukum
5. Andi Muhammad Asrun – unsur akademisi hukum
6. Abdul Chair Ramadhan – unsur akademisi hukum
7. Abhan – unsur tokoh masyarakat
-

Komisi III DPR Terima 7 Calon Anggota Komisi Yudisial, Berikut Daftarnya!
Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Yudisial (KY) Dhahana Putra melimpahkan 7 nama calon anggota Komisi Yudisial ke Komisi III DPR RI.
Penyerahan nama dilakukan dalam rapat dengar pendapat (RDP) antara panitia seleksi dengan Komisi III DPR, Senin (17/11/2025), berdasarkan Hasil pemilihan panitia seleksi melalui surat nomor B-61/PANSEL-KY/10/2025 tanggal 2 Oktober 2025.
Dhahana mengatakan nama-nama yang diajukan telah diseleksi secara objektif dan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.
“Telah menyampaikan kepada presiden hasil surat tahapan seleksi yang dilaksanakan secara objektif, transparan dan akuntabel, berdasarkan hasil tersebut, panitia seleksi menetapkan 7 calon anggota KY yang dinyatakan lulus dan memenuhi kualifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan,” kata Dhahana, Senin (17/11/2025).
Menurutnya, para calon anggota telah memenuhi syarat seleksi mulai dari tahapan, pengumuman dan pendaftaran, seleksi administrasi, seleksi kualitas, profile asesment, rekam jejak, tanggapan masyarakat, tes wawancara, dan terakhir tes kesehatan.
Dhahana menyampaikan 7 calon anggota KY terpilih untuk mengikuti fit and proper test bersama Komisi III DPR, setelah Pansel menguji 236 peserta.
Ketua Komisi III Habiburokhman menjelaskan fit and proper test calon anggota KY akan dilaksanakan pada hari ini, Senin (17/11/2025), sekaligus pengundian nomor urut dan pembuatan makalah.
Berikut daftar calon anggota KY yang menjalani fit and proper test
1. F. Williem Saija – unsur mantan hakim
2. Setyawan Hartono – unsur mantan hakim
3. Anita kadir – unsur praktiksi hukum
4. Desmihardi – unsur praktiksi hukum
5. Andi Muhammad Asrun – unsur akademisi hukum
6. Abdul Chair Ramadhan – unsur akademisi hukum
7. Abhan – unsur tokoh masyarakat -
/data/photo/2025/09/29/68da19bf7843a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?
Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pembahsaan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membuahkan sebuah ketentuan baru, yakni pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana.
Komisi III DPR dan pemerintah telah sepakat bahwa pelaku dengan
disabilitas mental
tidak dipidana, melainkan akan dilakukan
rehabilitasi
atau perawatan.
“Poin ini merupakan usulan dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Mereka mengusulkan adanya pengaturan tambahan untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan,” oleh perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi
RUU KUHAP
, David, dalam rapat panitia kerja Komisi III dan pemerintah di Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).
Dalam draf RUU KUHAP yang dibacakan David, usulan itu dituangkan dalam Pasal 137A.
Ayat (1) berbunyi, “Terhadap pelaku tindak
pidana
yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.” Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
Ayat (3) menegaskan bahwa penetapan tindakan bukan merupakan putusan pemidanaan.
Adapun tata cara pelaksanaannya akan diatur melalui peraturan pemerintah (ayat 4).
Tim perumus menekankan bahwa ketentuan tidak adanya pertanggungjawaban pidana bagi penyandang disabilitas mental telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang bakal berlaku efektif pada 2 Januari 2026.
“Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental mendapat rehabilitasi, bukan pemidanaan. Termasuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam KUHP,” kata David.
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyatakan, pemerintah sependapat dengan usulan tersebut karena sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru.
“Mohon maaf, Pak Ketua. Jadi, dalam KUHP itu Pasal 38 dan 39 tentang pertanggungjawaban pidana memang menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas mental, mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab,” ujar Edward.
“Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini,” ucap dia.
Sependapat dengan Eddy, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan aspek
mens rea
atau niat jahat sebagai faktor kunci.
Oleh sebab itu, Komisi III menilai, penyandang disabilitas mental tidak memiliki niat jahat ketika melakukan tindak pidana.
Namun, tidak semua pihak sependapat dengan kesepakatan DPR dan pemerintah tersebut.
Misalnya, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), organisasi advokasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas mental (PDM) di Indonesia.
Kepada
Kompas.com
, Koordinator Advokasi PJS Nena Hutahaean menilai rumusan
revisi KUHAP
yang menyebut penyandang disabilitas mental atau intelektual berat “tidak dapat dipidana” adalah keliru dan justru memperkuat stigma.
“Saya menolak rumusan RKUHAP yang menyatakan penyandang disabilitas mental ‘tidak bisa dipidana’ karena formulasi tersebut menyuburkan stigma bahwa kami tidak mampu bertanggung jawab, tidak memahami salah dan benar, dan pada akhirnya dianggap layak dicabut kapasitas hukumnya,” kata Nena.
Nena menegaskan bahwa prinsip tersebut bertentangan dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), konvensi internasional tentang hak-hak penyandang disabilitas yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 2006.
Indonesia sudah meratifikasi CRPD melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
“Ini bertentangan dengan Pasal 12 CRPD yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum yang sama dengan non-disabilitas dan tidak boleh dicabut dalam kondisi apa pun, termasuk dalam bahaya dan konteks pemidanaan,” ujar dia.
Menurut Nena, pemerintah juga keliru merujuk Pasal 38 dan 39 KUHP baru.
Dia menekankan bahwa dua pasal yang dijadikan acuan dalam rumusan Pasal 137A RUU KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bahwa penyandang disabilitas mental tidak bisa dipidana.
“Bahkan Pasal 38 dan 39 KUHP baru, yang dijadikan dasar usulan Pasal 137A, tidak pernah menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental tidak dapat dipidana. Kedua pasal tersebut hanya mengatur bahwa dalam kondisi kekambuhan akut dengan gambaran psikotik, pidana dapat dikurangi dan/atau diganti dengan tindakan, yang berarti kemampuan pertanggungjawaban pidananya tetap diakui,” kata Nena.
Dalam kesempatan ini, Nena pun menegaskan bahwa kondisi disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen.
“Kekambuhan pada disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen, sehingga tidak dapat dijadikan dasar seseorang tidak dapat dipidana,” kata dia.
Yang penting, kata dia, adalah menilai hubungan antara kondisi mental dan tindak pidananya.
“Yang harus dipastikan adalah apakah tindakan dilakukan karena gambaran psikotik (adanya halusinasi atau waham) atau dalam kondisi stabil dan sadar penuh. Hal ini krusial karena menentukan ada tidaknya
mens rea
. Tanpa penilaian ini, pemidanaan berisiko salah sasaran dan melanggar prinsip keadilan,” ujar Nena.
Di sisi lain, pakar hukum pidana Albert Aries menjelaskan bahwa konsep putusan berupa tindakan (
measure
) harus dipahami dalam konteks
double track system
yang diperkenalkan KUHP baru.
Hal ini dapat berlaku kepada penyandang disabilitas mental yang terjerat tindak pidana.
“Putusan berupa tindakan (
measure
) adalah konsekuensi dari sistem dua jalur (
double track system
) yang diperkenalkan dalam KUHP Baru. Jadi selain sanksi pidana (
punishment
) ada pula tindakan (
measure
),” ujar Albert.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menegaskan bahwa KUHP baru membedakan kondisi “tidak mampu” dan “kurang mampu” bertanggung jawab.
“KUHP Baru sudah membedakan antara tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 KUHP Baru,” katanya.
Dalam kondisi akut dengan gejala psikotik tertentu, kata Albert, pidana tidak dapat dijatuhkan kepada penyandang disabilitas.
“Maka terhadap yang bersangkutan tidak dijatuhi sanksi pidana apa pun, tapi dapat dikenai tindakan misalnya berupa perawatan di lembaga tertentu atau menjalani pemulihan secara terpadu agar bisa melaksanakan fungsi sosial bermasyarakat sebagai perwujudan dari keadilan rehabilitatif,” kata dia.
Albert menekankan bahwa untuk kondisi “kurang mampu bertanggung jawab”, pemidanaan tetap dimungkinkan dilakukan terhadap penyandang disabilitas.
“Sedangkan bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual yang pada saat melakukan tindak pidana kondisinya kurang mampu bertanggung jawab, maka terhadap yang bersangkutan sanksi pidananya bisa dikurangi namun dikenai tindakan pula,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Koalisi Sipil Bakal Laporkan Seluruh Anggota Komisi III DPR ke MKD
Koalisi Masyarakat Sipil bakal melaporkan seluruh anggota Komisi III DPR RI ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Langkah itu diambil karena mereka menilai proses penyusunan Revisi Undang-Undang (RUU) KUHAP dinilai melanggar hukum, terutama terkait transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik yang bermakna.
-
/data/photo/2025/11/13/691571d2466dd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Koalisi Sipil Kritik Revisi KUHAP Tak Alami Perubahan Signifikan, Khususnya Mekanisme Penangkapan
Koalisi Sipil Kritik Revisi KUHAP Tak Alami Perubahan Signifikan, Khususnya Mekanisme Penangkapan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang akan segera disahkan DPR RI tidak mengalami perubahan signifikan.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
Iftitahsari
menjelaskan, hasil revisi tersebut masih menyisakan banyak persoalan mendasar, terutama terkait mekanisme
penangkapan dan penahanan
.
Bahkan, selama dua hari pembahasan terakhir antara pemerintah dan DPR, hampir tidak ada perbaikan berarti dibandingkan draf
RUU KUHAP
resmi yang dipublikasikan sejak beberapa bulan lalu.
“Ya, sebetulnya dari 2 hari proses pembahasan kemarin memang tidak ada perubahan signifikan, dari yang kita suarakan dari bulan Juli yang lalu,” ujar Iftitahsari dalam konferensi pers, Minggu (16/11/2025).
Dia mengingatkan, substansi revisi KUHAP seharusnya menjawab masalah-masalah utama dalam praktik penegakan hukum.
Misalnya, terkait penangkapan dan penahanan yang selama ini rawan penyalahgunaan.
“Jadi dari draft Juli dan kemudian kita melihat apa yang berubah di 2 hari itu, sebetulnya itu tidak menjawab masalah-masalah kami utamanya yang paling utama sebetulnya soal penangkapan dan penahanan,” ujarnya.
Iftitahsari pun menyinggung aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025 lalu, yang masih menunjukkan persoalan dalam praktik penangkapan dan penahanan yang dinilai serampangan.
“Kemarin di demo Agustus kan itu sangat
clear
bagaimana proses penangkapan dan penahanan itu sangat serampangan dan itu polisi, penyidik tidak punya kontrol dan itu kita harap bisa diselesaikan melalui draft RUU KUHAP ini,” ucapnya.
“Tapi sayangnya dalam beberapa bulan dari Juli sampai kemarin November itu juga sama sekali tidak dibahas, dalam 2 hari pembahasan memang super singkat,” sambungnya.
Iftitahsari menilai, DPR dan pemerintah justru hanya membahas isu-isu teknis dan superfisial tanpa dasar yang jelas dalam memilih poin-poin revisi yang dibahas.
“Kita tidak tahu juga
filtering
dari poin-poin yang dibahas di 2 hari itu dasarnya apa dan kenapa itu dipilih, nah itu kita tidak tahu,” jelas Iftitahsari.
Akibat hasil pembahasan tersebut, lanjut Iftitahsari, mekanisme
check and balances
dalam penangkapan dan penahanan tidak berubah sejak KUHAP diberlakukan sekitar 40 tahun lalu.
“Padahal yang paling krusial sebetulnya di masalah penangkapan-penahanan itulah yang seharusnya kita berubah dari 40 tahun, soal penangkapan dan penahanan yang harus dibawa ke hakim,” ucapnya.
“Jadi itu yang kita harap paling penting yang harus berubah, harusnya, tapi sayangnya itu tidak berubah,” lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana kembali menegaskan tuntutan koalisi agar pemerintah dan DPR menarik draf revisi KUHAP dari agenda paripurna.
“Pertama, kami mendesak kepada Presiden untuk menarik draft RUU KUHAP agar tidak dilanjutkan dalam pembahasan tingkat dua sidang paripurna DPR RI,” ujar Arif.
Dia juga meminta DPR membuka seluruh draf dan hasil pembahasan resmi, termasuk hasil Panja per 13 November 2025.
Selain itu, koalisi mendesak pemerintah dan DPR merombak substansi revisi KUHAP dan membahas ulang arah konsep perubahan untuk memperkuat
judicial scrutiny
serta mekanisme
check and balances
.
“Kami mendesak pemerintah dan DPR RI merombak substansi draft RUU KUHAP per 13 November 2025, dan membahas ulang arah konsep perubahan RUU KUHAP,” kata Arif.
Koalisi juga meminta pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan menyesatkan publik untuk memburu-buru pengesahan revisi KUHAP.
Sebelumnya diberitakan, pembahasan revisi KUHAP di DPR telah memasuki tahap akhir.
Komisi III DPR RI dan pemerintah sepakat membawa RUU KUHAP ke pembicaraan tingkat II atau rapat paripurna.
Kesepakatan itu diambil dalam rapat pleno Komisi III dan pemerintah pada Kamis (13/11/2025) di Kompleks Parlemen, Jakarta.
“Hadirin yang kami hormati. Kami meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintah. Apakah naskah rancangan UU KUHAP dapat dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat 2…? Setuju?” kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
Seluruh peserta rapat menyatakan setuju sebelum Habiburokhman mengetuk palu.
Ia memastikan paripurna akan digelar pekan depan.
“Ya, minggu depan, (paripurna) yang terdekat ya,” ujarnya.
Rapat tersebut dihadiri Mensesneg Prasetyo Hadi, Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto, dan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej.
Habiburokhman mengatakan revisi KUHAP mendesak dilakukan untuk menjawab tantangan sistem peradilan pidana modern, termasuk tuntutan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan kelompok rentan, mulai dari tersangka, korban, perempuan, hingga penyandang disabilitas.
“RUU KUHAP harus memastikan setiap individu yang terlibat, baik sebagai tersangka maupun korban, tetap mendapatkan perlakuan yang adil dan setara,” ujarnya.
Dia juga menyampaikan permohonan maaf karena tidak seluruh masukan masyarakat dapat diakomodasi.
“Tentu kami mohon maaf bahwa tidak bisa semua masukan dari semua orang kami akomodasi di sini… Inilah realitas parlemen, kita harus saling berkompromi,” kata Habiburokhman.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

PEDPHI sebut RUU KUHAP dapat optimalkan sistem peradilan pidana
Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI) Abdul Chair Ramadhan menilai Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengandung kepastian hukum yang dapat mengoptimalkan sistem peradilan pidana Indonesia.
“Dalam RUU KUHAP telah mengandung kepastian hukum, keadilan prosedural dan substansial. Demikian itu akan mampu mengoptimalkan bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu,” kata Abdul Chair dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, seluruh substansi yang ada di dalam RUU KUHAP sudah melalui proses diskusi dan dialog dengan publik yang dinilai kompeten.
Setiap pasalnya, lanjut Abdul, dimuat dengan harapan dapat mewakilkan sistem peradilan pidana yang adil dan berpihak kepada masyarakat.
“Kesemua itu (tahap diskusi) dilakukan guna penyelesaian problematika yuridis dan mengacu pada landasan filosofis, yuridis dan sosiologis,” jelas dia.
Selain itu, dia juga menilai penundaan pengambilan keputusan mengesahkan RUU dengan alasan RUU KUHAP belum maksimal dan optimal tidak tepat.
Menurutnya, penundaan tersebut justru akan melahirkan situasi yang tidak menguntungkan masyarakat dari segi keadilan.
Karenanya, dia berharap legislatif bisa bergegas memproses RUU ini di parlemen agar segera disahkan menjadi UU definitif.
“Bahwa sesuai dengan hasil Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan pemerintah tentang pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU KUHAP, maka harus segera dilakukan pembicaraan tingkat II guna pengambilan keputusan lebih lanjut pada Paripurna DPR RI,” tegas dia.
Pewarta: Walda Marison
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

DPR: Panja Reformasi Polri-Kejaksaan-Pengadilan dibentuk demi keadilan
Jadi, panja ini tujuannya adalah menegakkan supremasi hukum dan memastikan keadilan bagi semua pihak. Harapannya tidak ada lagi praktik penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah dan keadilan bisa diperjualbelikan
Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah (Abduh), mengatakan kehadiran Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan dan Pengadilan seperti disampaikan oleh Ketua Komisi III, Habiburokhman bertujuan untuk memastikan hukum dapat ditegakkan demi terciptanya keadilan untuk rakyat.
“Jadi, panja ini tujuannya adalah menegakkan supremasi hukum dan memastikan keadilan bagi semua pihak. Harapannya tidak ada lagi praktik penegakan hukum yang hanya tajam ke bawah dan keadilan bisa diperjualbelikan,” ujar Abduh, sapaan akrabnya, dalam keterangan yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Menurut Abduh, panja tersebut akan menjadi medium untuk rakyat menyampaikan aspirasinya terkait kinerja polisi, jaksa dan hakim.
Selain menjadi wadah berkumpulnya aspirasi, dia mengatakan panja juga bisa mendorong penyelesaian masalah baik teknis maupun substansi kepada pemangku kepentingan terkait
Melalui panja ini, lanjut Abduh, DPR akan mengevaluasi kinerja Polri, Kejaksaan dan pengadilan agar kinerjanya di bidang penegakan hukum berjalan beriringan. Hal tersebut harus dilakukan lantaran belakangan terlihat kinerja tiga lembaga terkesan berjalan masing-masing dan tidak beriringan.
“Pandangan atau peristiwa ini tidak boleh ada lagi kedepannya, karena dampak dari tidak terintegrasi nya kinerja lembaga hukum tersebut akan merugikan rakyat yang mencari keadilan terkait hak-hak nya sebagai warga negara,” jelas Abduh.
Dengan adanya panja ini, Abduh berharap supremasi hukum dapat ditegakkan dan terciptanya keadilan untuk semua pihak.
“Panja nantinya akan mengatur detail kerjanya baik secara teknis maupun substansi untuk dapat seefektif mungkin menyerap aspirasi masyarakat luas demi reformasi hukum yang menjadi misi Presiden Prabowo,” pungkas Abduh.
Pewarta: Walda Marison
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

