Kementrian Lembaga: Komisi II DPR

  • Mahasiswa Gelar Aksi Minta Presiden Prabowo dan KPK Tuntaskan Kasus Korupsi e-KTP – Halaman all

    Mahasiswa Gelar Aksi Minta Presiden Prabowo dan KPK Tuntaskan Kasus Korupsi e-KTP – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPD) kembali menggelar demonstrasi di depan Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (26/2/2025).

    Aksi ini merupakan bentuk protes atas belum tuntasnya skandal megakorupsi e-KTP, yang telah merugikan negara sebesar Rp2,3 triliun. 

    AMPD menegaskan bahwa penegakan hukum tidak boleh tebang pilih dan harus menyasar semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini. 

    Berdasarkan putusan pengadilan dan kesaksian para terpidana kasus e-KTP, disebutkan bahwa Ganjar Pranowo yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI, serta Agun Gunandjar, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR RI, terlibat proyek e-KTP.

    Namun, hingga kini, belum ada langkah konkret dari KPK untuk memproses keterlibatan mereka.

    Menanggapi hal tersebut, koordinator aksi, Arnold, menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus menunjukkan komitmen nyata dalam pemberantasan korupsi dengan memastikan bahwa kasus e-KTP benar-benar dituntaskan hingga ke akar-akarnya.  

    “Kami tidak ingin hukum hanya menjadi alat politik yang tajam ke lawan, tetapi tumpul ke kawan. Jika memang pemerintahan Prabowo serius dalam memberantas korupsi, maka tidak boleh ada perlindungan terhadap tokoh politik mana pun. Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar harus diperiksa, sebagaimana fakta hukum yang telah terungkap di pengadilan,” kata Arnold dalam orasinya. 

    AMPD menegaskan bahwa korupsi e-KTP adalah kejahatan besar yang merugikan seluruh rakyat Indonesia.

    Jika kasus ini tidak dituntaskan, maka kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo akan terguncang dan reformasi pemberantasan korupsi yang dijanjikan akan kehilangan legitimasi.

    Sebagai penutup aksi, AMPD menyampaikan bahwa mereka tidak akan tinggal diam jika hukum masih digunakan secara tebang pilih. Mereka berjanji akan terus melakukan aksi dan mengawal kasus ini hingga semua pihak yang terlibat diadili dan pertanggungjawaban hukum ditegakkan.  

    “Kami tidak akan berhenti! Jika pemerintahan Prabowo ingin membangun Indonesia yang bersih dari korupsi, maka skandal e-KTP harus diselesaikan tanpa pandang bulu. Jika hukum masih dipermainkan untuk kepentingan politik, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan ini,” kata Arnold.

    Dalam aksi ini, AMPD menyampaikan tiga tuntutan, yakni Presiden Prabowo harus memastikan pengusutan skandal e-KTP hingga tuntas, tanpa adanya intervensi politik yang dapat menghambat proses hukum.

    Kedua, KPK wajib bekerja secara transparan dan independen, dengan melanjutkan penyelidikan terhadap nama-nama yang telah disebut dalam putusan pengadilan dan kesaksian para terpidana kasus e-KTP.

    Dan ketiga, menuntut pengusutan dugaan keterlibatan pihak lain berdasarkan fakta hukum yang telah terungkap di pengadilan.

  • KPK Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar di Kasus e-KTP

    KPK Didesak Periksa Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar di Kasus e-KTP

    GELORA.CO – Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPD) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan skandal mega korupsi e-KTP yang telah merugikan keuangan negara Rp2,3 triliun.

    Desakan itu disampaikan AMPD saat menggelar unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Rabu, 26 Februari 2025.

    Koordinator aksi, Bung Arnold mengatakan, penegakan hukum tidak boleh tebang pilih dan harus menyasar semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus e-KTP.

    “Berdasarkan putusan pengadilan dan kesaksian para terpidana kasus e-KTP, disebutkan bahwa Ganjar Pranowo yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI, serta Agun Gunandjar, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR RI, menerima aliran dana dari proyek e-KTP. Namun hingga kini, belum ada langkah konkret dari KPK untuk memproses keterlibatan mereka,” kata Bung Arnold dalam orasinya.

    Menurut Arnold, sebagai pejabat yang bertanggung jawab dalam pengawasan proyek e-KTP di Komisi II DPR saat itu, Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar memiliki kewajiban moral dan hukum untuk mempertanggungjawabkan dugaan keterlibatan mereka dalam kasus ini.

    Apalagi, fakta-fakta hukum yang telah terungkap di pengadilan tidak boleh diabaikan, dan KPK harus segera membuka kembali penyelidikan terhadap mereka.

    “Kami tidak ingin hukum hanya menjadi alat politik yang tajam ke lawan, tetapi tumpul ke kawan. Jika memang pemerintahan Prabowo serius dalam memberantas korupsi, maka tidak boleh ada perlindungan terhadap tokoh politik mana pun. Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar harus diperiksa, sebagaimana fakta hukum yang telah terungkap di pengadilan!” tegas Bung Arnold.

    Arnold menerangkan, kasus korupsi e-KTP merupakan kejahatan besar yang merugikan seluruh rakyat Indonesia. Jika kasus itu tidak dituntaskan kata Arnold, maka kepercayaan publik terhadap pemerintahan Prabowo akan terguncang dan reformasi pemberantasan korupsi yang dijanjikan akan kehilangan legitimasi.

    “Kami tidak akan berhenti. Jika pemerintahan Prabowo ingin membangun Indonesia yang bersih dari korupsi, maka skandal e-KTP harus diselesaikan tanpa pandang bulu. Jika hukum masih dipermainkan untuk kepentingan politik, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan ini,” pungkas Bung Arnold.

    Dalam aksi ini, AMPD menyampaikan 3 tuntutan, yakni Presiden Prabowo harus memastikan pengusutan skandal e-KTP hingga tuntas, tanpa adanya intervensi politik yang dapat menghambat proses hukum.

    Kedua, KPK wajib bekerja secara transparan dan independen, dengan melanjutkan penyelidikan terhadap nama-nama yang telah disebut dalam putusan pengadilan dan kesaksian para terpidana kasus e-KTP.

    Dan ketiga, menuntut pengusutan dugaan keterlibatan Ganjar Pranowo dan Agun Gunandjar, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua dan Ketua Komisi II DPR RI, karena telah disebut menerima uang dalam proyek e-KTP berdasarkan fakta hukum yang telah terungkap di pengadilan.

  • Soal Hubungan Megawati dan SBY, Aria Bima: PDIP-Demokrat Selalu Baik

    Soal Hubungan Megawati dan SBY, Aria Bima: PDIP-Demokrat Selalu Baik

    Bisnis.com, JAKARTA – Politikus PDI Perjuangan (PDIP) Aria Bima menegaskan hubungan antara partai berlambang moncong putih itu dengan Partai Demokrat selalu baik.

    Menilik dari lamanya hubungan kedua partai, Aria berujar bahwa dari Pilkada-Pilkada ataupun kegiatan di DPR, PDIP dan Demokrat selalu saling menghargai.

    “Hubungannya baik dalam pengertian secara fungsional kita banyak kerja sama ya. Dari dulu ya kalau kita lihat dari Pilkada-Pilkada maupun kegiatan di DPR, antara PDI dan Partai Demokrat itu selalu menjaga posisi masing-masing dan tetap saling menghargai,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2025).

    Akan tetapi, dia enggan menjelaskan bagaimana hubungan antara Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dengan Ketua MTP, Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

    “Kalau mengenai Ibu [Megawati] dan Pak SBY, saya kira yang tahu Pak SBY dan Ibu sendiri. Tapi PDI dan Demokrat selalu baik-baik saja,” ujar Aria.

    Lebih jauh, Wakil Ketua Komisi II DPR ini mengapresiasi kehadiran Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR RI, Puan Maharani di acara penutusan Kongres ke-VI Demokrat.

    “Memang itu undangan kepada PDI Perjuangan untuk menghadiri Kongres Demokrat. Saya mengapresiasi Mbak Puan cukup luwes dalam berkomunikasi dengan lintas partai politik,” pungkasnya.

  • Pakar beri masukan agar Indonesia terapkan sistem pemilu campuran

    Pakar beri masukan agar Indonesia terapkan sistem pemilu campuran

    Jakarta (ANTARA) – Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini memberikan masukan agar penyelenggaraan pemilihan umum di tanah air menganut sistem pemilu campuran (mixed system).

    “Sistem pemilu yang bisa jadi opsi adalah sejatinya sistem pemilu campuran supaya kita tidak lagi berdebat soal proporsional terbuka (atau) proporsional tertutup, padahal variasi sistem pemilu dunia itu ada 400 lebih,” kata Titi.

    Hal itu disampaikan Titi saat rapat dengar pendapat umum Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar dengan agenda mendengarkan masukan terkait evaluasi Pilkada Serentak 2024 hingga penataan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Ia menjelaskan sistem pemilu campuran memberikan porsi pada kedaulatan rakyat untuk memilih langsung calonnya, sekaligus menjaga peran partai politik sebagai peserta pemilu untuk mempromosikan kader-kadernya.

    Sistem pemilu campuran mengombinasikan antara sistem distrik berwakil tunggal (first past the post/FPTP) atau “satu daerah pemilihan (dapil), satu calon legislatif (caleg)” dengan sistem proporsional daftar tertutup (closed-list proportional representation/CLPR).

    “Bagi masyarakat mereka bisa memilih langsung calegnya lewat sistem pemilu yang berwakil tunggal (first past the post) atau mayoritarian, tetapi juga partai bisa menempatkan kader-kadernya melalui sistem proporsional tertutup untuk mempromosikan kader struktural dan elite yang memang berkontribusi untuk penguatan partai,” tuturnya.

    Dia mengatakan bahwa sistem pemilu campuran dianut sejumlah negara yang memiliki indeks demokrasi sangat baik, seperti Jerman, Korea Selatan, dan Jepang.

    “Termasuk negara tetangga kita Thailand pun menerapkan sistem pemilu campuran,” ucapnya.

    Selain agar diterapkannya sistem pemilu campuran, Titi lantas menyampaikan sejumlah masukan lainnya guna perbaikan sistem pemilu di tanah air ke depannya, di antaranya pengaturan pilkada dan pemilu terkodifikasi dalam satu naskah undang-undang guna menjamin koherensi, konsistensi, dan sinkronisasi.

    “Yang materi muatannya mengatur pemilu legislatif, pemilu presiden, pilkada, dan penyelenggara pemilu dalam satu naskah undang-undang, yaitu Undang-Undang tentang Pemilihan Umum,” ujarnya.

    Titi juga memberikan masukan agar pemerintah membuat dua tipe keserentakan pemilu, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

    Dia menilai dengan membuat dua tipe keserentakan pemilu maka dapat mengurai beban dari penyelenggara pemilu, membuat fokus kontestan, serta konsentrasi pemilih menjadi lebih terfokus.

    “Pemilu serentak nasional memilih DPR, DPD, dan presiden, dan ini diusulkan dimulai pada 2029. Lalu, kemudian pemilu serentak lokal untuk memilih DPR, DPD, dan kepala daerah secara bersamaan dimulai pada 2031. Baru kemudian pada 2032, serentak seleksi penyelenggara pemilu dilakukan,” katanya.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Komisi II rapat terkait evaluasi pilkada dan penataan sistem pemilu

    Komisi II rapat terkait evaluasi pilkada dan penataan sistem pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Komisi II DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah pakar dalam rangka meminta masukan terkait evaluasi Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 hingga penataan sistem pemilu pada masa mendatang.

    “Yang pertama, (agenda) kita masukan terkait evaluasi serentak nasional 2024,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Aria Bima saat membuka jalannya rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Dia mengatakan Komisi II DPR merasa perlu mendengarkan masukan dari pakar kepemiluan maupun hukum guna memperoleh perspektif akademis terkait pelaksanaan pemilu di Indonesia.

    “Kami percaya dari kalangan akademisi akan lebih adil dan lebih jujur karena sandarannya adalah kebenaran-kebenaran akademis dalam melihat realitas, dalam memotret, berbagai hal yang terkait dengan pemilu,” ujarnya.

    Aria Bima menjelaskan agenda rapat juga untuk mendapatkan masukan terhadap penataan sistem pemilu di Indonesia ke depan.

    Menurut dia, hampir setiap lima tahun Undang-Undang Pemilu dilakukan perubahan demi perbaikan pelaksanaan pemilu di tanah air.

    “Karena kami ingin selalu memperbaiki bangunan hukum, sandaran hukum di dalam kita berdemokrasi. Setelah juga melihat praktik-praktik per lima tahunan (pemilu) yang plus minusnya itu selalu ada,” tuturnya.

    Ia menambahkan, “Dari ruangan inilah kita berharap pemilu yang semakin demokratis, pemilu yang semakin menunjukkan kualitas kita di dalam melakukan fungsi pengawasan, pembuatan undang-undang, juga merumuskan berbagai hal, termasuk anggaran pemilu, dengan keinginan bahwa pilihan kita berdemokrasi adalah cara kita bisa membawa bangsa ini lebih maju, lebih bermartabat.”

    Sejumlah pakar pemilu yang hadir dalam RDPU Komisi II DPR pada hari ini, di antaranya Peneliti Bidang Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Moch. Nurhasim dan Dosen Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini.

    Kemudian, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustiyanti, serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Khairul Fahmi yang hadir secara daring.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Rapat Bersama Komisi II DPR, Perludem Beri 10 Catatan soal Pilkada 2024

    Rapat Bersama Komisi II DPR, Perludem Beri 10 Catatan soal Pilkada 2024

    Rapat Bersama Komisi II DPR, Perludem Beri 10 Catatan soal Pilkada 2024
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (
    Perludem
    ) menyampaikan 10 catatan kritis terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (
    Pilkada
    ) Serentak 2024, dalam rapat dengar pendapat bersama
    Komisi II DPR
    RI, Rabu (26/2/2025).
    Anggota Dewan Pembina Perludem sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg) dan
    pilkada
    pada tahun yang sama sangat membebani penyelenggaraan pemilu.
    Kondisi tersebut pada akhirnya berdampak kepada keprofesionalan penyelenggaraan Pemilu dalam melaksanakan tahapan demi tahapan.
    “Kalau bicara Pilkada serentak nasional 2024, maka ini adalah Pilkada yang diselenggarakan di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres. Hampir semua mengakui adanya beban berat akibat himpitan tahapan pemilu dan pilkada, yang kemudian mengganggu profesionalitas penyelenggara,” kata Titi di Gedung DPR RI, Rabu (26/2/2025).
    Di samping itu, Titi juga menyoroti dampaknya terhadap peserta pemilu dan masyarakat.
    Sebab, masyarakat pada akhirnya lebih banyak menaruh perhatian pada pilpres, sehingga kurang fokus dalam mengawal pileg dan pilkada.
    “Fokus peserta serta konsentrasi dan orientasi masyarakat atas proses pemilu dan pilkada,” ujar Titi.
    Dalam paparannya, Titi pun mengungkapkan 10 catatan yang menjadi perhatian Perludem terkait pelaksanaan
    Pilkada Serentak 2024
    :
    1. Beban Berat Penyelenggara dan Peserta Pemilu
    Perludem menilai pelaksanaan pilkada di tahun yang sama dengan pileg dan pilpres menimbulkan beban berat bagi penyelenggara dan peserta pemilu. Hal ini mengganggu profesionalitas penyelenggara serta fokus masyarakat dalam mengawal proses pemilu dan pilkada.
    2. Kampanye Tidak Optimal Mengangkat Isu atau Permasalahan Lokal
    Kampanye pilkada juga dinilai cenderung tidak optimal dalam mengangkat isu lokal karena terpengaruh residu pilpres.
    Banyak calon lebih menonjolkan branding koalisi politik nasional dibanding politik gagasan dan program daerah.
    3. Perbedaan Pengaturan UU Pemilu dan Pilkada Membuat Kerancuan
    Perludem berpandangan, adanya perbedaan aturan dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada menyebabkan kebingungan serta inkonsistensi dalam pelaksanaannya.
    Beberapa penyelenggara bahkan menyamakan aturan Pilkada dengan Pemilu hanya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.85/PUU-XX/2022.
    4. UU Pilkada Kerap Diuji di Pengadilan
    Sejak 2016, Undang-Undang Pilkada belum mengalami perubahan signifikan, sehingga banyak aturan yang dianggap tidak relevan.
    Akibatnya, aturan tersebut sering diuji di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun Mahkamah Agung (MA), memicu ketidakpastian hukum dan polemik di masyarakat.
    5. Penyelenggara Tidak Utuh memahami Putusan MK dan Masih Ada Ketidakpatuhan
    Perludem melihat masih adanya beberapa penyelenggara yang belum sepenuhnya memahami dan mematuhi putusan MK, terutama dalam penyusunan aturan teknis Pilkada. Contohnya, masih terdapat ketidaksesuaian dalam pengaturan periodisasi masa jabatan dan syarat pencalonan mantan terpidana.
    6. Adanya Ketidaksepahaman atau Perbedaan Tafsir antara KPU dan Bawaslu
    Ketidaksepahaman antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam menafsirkan aturan Pilkada mengakibatkan kekacauan dalam tahapan penyelenggaraan. Contoh kasus terjadi dalam pencalonan terpidana di Pilkada Gorontalo Utara.
    7. Masih Terjadi Rekrutmen Calon Anggota KPU di Tengah Tahapan Krusial Pilkada
    Perekrutan anggota KPU di tengah tahapan Pilkada dinilai Perludem mengganggu jalannya proses pemilu.
    Contohnya, seleksi calon anggota KPU Provinsi Lampung dan beberapa kabupaten/kota di Lampung dilakukan pada Oktober-November 2024, yang bertepatan dengan tahapan krusial Pilkada.
    8. Penegakan Hukum Pilkada Tidak Optimal
    Menurut Perludem, kerangka waktu penanganan pelanggaran dalam Pilkada masih terlalu sempit, sehingga tidak efektif dalam memberikan keadilan pemilu maupun efek jera bagi pelanggar.
    9. Gangguan Cuaca karena Pemungutan Suara Jelang Akhir Tahun
    Pemungutan suara yang dijadwalkan pada bulan November berpotensi terganggu oleh faktor cuaca. Gangguan distribusi logistik dan kendala saat hari pemilihan dapat terjadi di berbagai daerah, seperti Sumatera Utara dan Pekalongan.
    10. Tingginya Suara Tidak Sah
    Di sejumlah daerah, angka suara tidak sah cukup tinggi, yang mengindikasikan adanya “protest voting” dari pemilih.
    Fenomena ini menunjukkan keterputusan hubungan antara aspirasi pemilih dengan pasangan calon yang bertarung dalam pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pakar paparkan sejumlah masalah pada Pilkada 2024 yang sering berulang

    Pakar paparkan sejumlah masalah pada Pilkada 2024 yang sering berulang

    Jakarta (ANTARA) – ​​​Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini memaparkan tujuh masalah pada Pemilihan Kepala Daerah 2024 yang masih sering berulang pada setiap pelaksanaan pemilu.

    “Dari Pilkada 2024 masih ditemukan tujuh masalah klasik dan berulang,” kata Titi saat rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Dia menjelaskan permasalahan pertama ialah keluhan tentang politik biaya tinggi. Hal itu terjadi di ruang-ruang “gelap” yang tidak kompatibel dengan akuntabilitas laporan dana kampanye pasangan calon.

    “Kalau dilihat laporan dana kampanye pasangan calon semua masuk akal, semua realistis, tetapi pilkada biaya tinggi selalu menjadi keluhan,” ujarnya.

    Masalah kedua, kata dia, politik uang atau jual beli suara (vote buying). Dia menyebut bahkan hal itu mulai dilakukan dengan kemasan kontrak politik.

    “Bahkan mulai dikemas dengan kontrak politik berbasis privat yang transaksional, menyertakan angka-angka per pemilih dengan kemasan kontrak politik,” ucapnya.

    Kemudian, dia mengungkapkan adanya politisasi dan ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN) dan kepala desa yang kemudian berdampak pada pemungutan suara ulang serta diskualifikasi calon.

    Selain itu, Titi mengatakan masih terjadi pula keberpihakan dan penyalahgunaan wewenang oleh petahana serta penyelenggara negara dan daerah, khususnya ketika berkelindan dengan hubungan keluarga dan kekerabatan.

    Permasalahan kelima, lanjut dia, sentralisasi rekomendasi pencalonan yang mewajibkan rekomendasi dewan pengurus pusat partai politik sehingga mengakibatkan problematika ikutan, yakni soal praktik politik mahar, mahar politik, dan juga politik biaya tinggi.

    “Yang keenam, masih ada manipulasi suara,” tuturnya.

    Terakhir, ujarnya lagi, problem profesionalitas dan netralitas penyelenggara pemilu, yakni terjadi disparitas antara aturan main dan implementasi teknis di lapangan, khususnya oleh para petugas ad hoc.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pakar Pemilu Catat 7 Masalah Klasik Masih Terjadi di Pilkada 2024

    Pakar Pemilu Catat 7 Masalah Klasik Masih Terjadi di Pilkada 2024

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaksanaan Pilkada 2024 masih menyisakan tujuh persoalan klasik yang masih berulang dari setiap pemilu sebelumnya.

    Dosen Hukum Pemilu FH UI atau Pakar Kepemiluan UI sekaligus Pembina Perludem, Titi Anggraini mengatakan hal yang disoroti berkaitan dengan keluhan tentang politik biaya tinggi. Keluhan ini acap kali terjadi di ruang-ruang gelap yang tak kompatibel dengan akuntabilitas laporan dana kampanye paslon.

    “Kalau dilihat laporan dana kampanye paslon, semua masuk akal, semua realistis, tapi pilkada biaya tinggi selalu menjadi keluhan,” tuturnya dalam rapat dengan Komisi II DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (26/2/2025).

    Selanjutnya, Titi menilai masalah politik uang atau jual beli suara yang bahkan mulai dikemas dengan kontrak politik berbasis privat yang transaksional dan menyertakan angka-angka per pemilih dengan kemasan kontrak politik.

    Dia melanjutkan, masalah ketiga adalah adanya politisasi dan ketidaknetralan ASN serta Kepala Desa yang akhirnya berdampak pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) hingga diskualifikasi calon.

    “Yang keempat, keberpihakan dan penyalahgunaan wewenang oleh petahana masih terjadi dan juga penyelenggara negara dan daerah, khususnya ketika berkelindan dengan hubungan keluarga dan kekerabatan,” jelasnya.

    Sementara itu, Titi juga menyoroti soal sentralisasi rekomendasi pencalonan yang mewajibkan untuk adanya rekomendasi DPP Parpol, sehingga mengakibatkan problematika lainnya yakni soal keluhan praktik politik mahar atau mahar politik.

    “Yang keenam, masih ada manipulasi suara dan yang terkahir problem profesionalitas dan netralitas penyelenggara Pemilu, di mana terjadi disparitas antara aturan main dan implementasi teknis di lapangan, khususnya oleh para petugas ad hoc,” pungkasnya.

  • Komisi II: Putusan MK PSU di 24 daerah bahan evaluasi rapat pekan ini

    Komisi II: Putusan MK PSU di 24 daerah bahan evaluasi rapat pekan ini

    Komisi II berharap agar proses penegakan hukum berjalan sesuai dengan aturan yang ada demi menjaga integritas pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah akan menjadi bahan evaluasi dalam rapat Komisi II DPR RI bersama lembaga penyelenggara pemilu dan pemerintah pada pekan ini.

    “Komisi II DPR berencana memanggil seluruh penyelenggara pemilu, serta perwakilan pemerintah, untuk merespons dan mempersiapkan implementasi putusan tersebut dalam minggu ini,” kata Rifqi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Dia menilai bahwa banyak putusan MK yang mengindikasikan adanya ketidakprofesionalan dan kesalahan dalam penerapan hukum oleh penyelenggara pemilu.

    Untuk itu, kata dia, Komisi II DPR RI akan melakukan evaluasi secara serius terhadap hal itu, termasuk bagaimana sistem politik dan pemilu di Indonesia dapat ditata lebih baik ke depannya.

    “Ini menjadi pintu masuk bagi kita dalam rangka menata sistem politik dan pemilu kita ke depan, termasuk bagaimana rekrutmen dan posisi penyelenggara pemilu kita, baik KPU maupun Bawaslu, di masa yang akan datang,” ujarnya.

    Terkait dengan adanya indikasi kecurangan atau tindak pidana lainnya dalam pelaksanaan pemilu, dia menyerahkan sepenuhnya penanganannya kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan aparat penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    “Komisi II berharap agar proses penegakan hukum berjalan sesuai dengan aturan yang ada demi menjaga integritas pemilu,” ucapnya.

    Sebelumnya, MK resmi memerintahkan PSU di 24 daerah setelah memutuskan sengketa hasil Pilkada 2024. Putusan tersebut diumumkan dalam sidang pleno yang berlangsung pada Senin (24/2), dengan seluruh Sembilan Hakim Konstitusi telah menuntaskan pembacaan keputusan atas 40 perkara yang diperiksa secara lanjut.

    Berdasarkan laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, dari seluruh perkara tersebut, MK mengabulkan 26 permohonan, menolak 9 perkara, dan tidak menerima 5 perkara lainnya. Dengan berakhirnya sidang ini, MK dinyatakan telah menyelesaikan seluruh 310 permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) 2024.

    Dari 26 permohonan yang dikabulkan, sebanyak 24 perkara menghasilkan keputusan untuk menggelar pemungutan suara ulang. KPU di daerah terkait wajib menjalankan putusan ini sesuai instruksi MK.

    Selain itu, MK juga mengeluarkan dua putusan tambahan. Pertama, pada Perkara Nomor 305/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang berkaitan dengan Kabupaten Puncak Jaya, MK memerintahkan KPU untuk melakukan rekapitulasi ulang hasil suara.

    Kedua, pada Perkara Nomor 274/PHPU.BUP-XXIII/2025 terkait Kabupaten Jayapura, MK menginstruksikan adanya perbaikan penulisan pada keputusan KPU mengenai penetapan hasil Pilkada Bupati dan Wakil Bupati 2024.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Chandra Hamdani Noor
    Copyright © ANTARA 2025

  • DPR Akui Efisiensi Anggaran Akan Buat Pemda Kesusahan Selenggarakan PSU – Page 3

    DPR Akui Efisiensi Anggaran Akan Buat Pemda Kesusahan Selenggarakan PSU – Page 3

    Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah. Penyelenggaran PSU tersebut akan dibebankan ke APBD masing-masing, sebab APBN tengah melakukan efisiensi.

    “Terkait efisiensi anggaran, saya kira bagaimana pun 24 putusan MK ini akan menjadi kewajiban bagi APBD masing-masing, kami tentu akan melakukan exercisement dengan kementerian terkait, kementerian dalam negeri terutama,” kata Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda pada wartawan, Selasa (25/2/2025).

    Meski demikian, Rifqi menyebut APBN bisa membantu daerah untuk pelaksaan PSU.

    “Jika Memang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan UU 10 Tahun 2016, APBN bisa melakukan perbantuan. Dan karena itu pemerintah, melalui Menkeu saya kira juga akan segera kita segera koordinasikan,” pungkasnya.