Kementrian Lembaga: Komisi II DPR

  • 18 Daerah Tak Sanggup Gelar PSU, Istri Mendes Yandri Tak Jadi Didiskualifikasi?

    18 Daerah Tak Sanggup Gelar PSU, Istri Mendes Yandri Tak Jadi Didiskualifikasi?

    PIKIRAN RAKYAT – Sebanyak 18 daerah belum sanggup menggelar pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 karena tak punya cukup anggaran. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membenarkan keadaan itu.

    Dengan demikian, belasan wilayah RI itu kesulitan untuk melaksanakan perintah putusan MK terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) 2024.

    Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk menjelaskan, 18 daerah itu terdiri dari 16 daerah yang gugatannya dikabulkan oleh MK, dan dua daerah yang perlu PSU karena kemenangan kotak kosong.

    “Kami mohon dukungan dari DPR RI, kami mendorong supaya ada penambahan pos APBD untuk daerah yang minim untuk pemungutan suara ulang,” kata Ribka saat rapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 27 Februari 2025.

    Dari 40 kasus PHPU Kada Tahun 2024 yang diperiksa lebih lanjut, MK memutuskan untuk mengabulkan 26 perkara, menolak 9 perkara, dan tidak menerima 5 perkara.

    Dari 26 perkara yang dikabulkan, terdapat 16 daerah yang anggarannya belum mencukupi, sementara 8 daerah lainnya dapat memenuhi kebutuhan anggaran.

    Ribka Haluk menyatakan bahwa Kemendagri akan mendorong pemerintah daerah untuk menyesuaikan anggaran melalui perubahan peraturan kepala daerah mengenai penjabaran APBD Tahun Anggaran 2025, dan menyarankan agar hal ini disampaikan kepada pimpinan DPRD, untuk dimasukkan dalam perda.

    Kemendagri juga akan mengusulkan agar pemerintah daerah memenuhi anggaran PSU dalam APBD 2025, dengan menyesuaikan pendapatan dan efisiensi belanja sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025.

    Namun, dia mengakui adanya tantangan di daerah-daerah tertentu, terutama yang baru saja memilih kepala daerahnya. Dia juga menjelaskan bahwa Mendagri, Tito Karnavian, sedang mencari mekanisme yang tepat agar pemerintah daerah dapat segera menyiapkan dana tambahan untuk keperluan tersebut.

    “Kemendagri akan mendorong pemerintah daerah memaksimalkan, mengefisiensi, kemudian memprioritaskan dana-dana yang tidak digunakan untuk kepentingan lain, kiranya disiapkan di biaya tak terduga (BTT) daerah,” katanya.

    Menjadi sorotan pula, salah satu wilayah yang tak sanggup gelar PSU adalah Kabupaten Serang, lokasi Pilkada istri Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto yang didiskualifikasi MK, Ratu Rahchmatuzakiyah.

    Daerah yang Sanggup Gelar PSU

    Berikut daerah yang sanggup menggelar PSU:

    Kabupaten Bungo Kabupaten Bangka Barat Kabupaten Barito Utara Kabupaten Magetan Kabupaten Mahakam Ulu Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Siak Kabupaten Banggai Daerah yang Tak Sanggup Gelar PSU

    Daerah yang kurang anggaran untuk PSU:

    Provinsi Papua Kabupaten Kepulauan Talaud Kabupaten Buru Kabupaten Pulau Taliabu Kabupaten Pasaman Kabupaten Empat Lawang Kabupaten Pesawaran Kabupaten Bengkulu Selatan Kabupaten Serang Kabupaten Tasikmalaya Kabupaten Boven Digoel Kabupaten Gorontalo Utara Kabupaten Parigi Moutong Kota Banjarbaru Kota Palopo Kota Sabang Kota Pangkalpinang (kotak kosong menang) Kabupaten Bangka (kotak kosong menang). ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Komisi II DPR Enggan Tanggapi Terlalu Jauh Soal Wacana Omnibus Law RUU Politik

    Komisi II DPR Enggan Tanggapi Terlalu Jauh Soal Wacana Omnibus Law RUU Politik

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi II DPR enggan menanggapi terlalu jauh terkait dengan wacana pembahasan revisi Undang-Undang terkait politik yang menggunakan metode Omnibus Law.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf mengatakan proses Pilkada pun saat ini masih terjadi dan pemerintahan baru berjalan sekitar empat bulan, sehingga masih melakukan penataan-penataan yang diperlukan.

    Hal tersebut Dede sampaikan seusai menggelar rapat kerja dengan Kemendagri, KPU, dan Bawaslu dengan agenda mengenai pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).

    “Kalau mau berbicara tentang revisi Undang-Undang Pemilu, saat ini terlalu terburu-buru, sementara proses Pilkada masih terjadi, kita sebutlah pemerintah yang baru berjalan empat bulan ini sedang melakukan pentaan demi penataan, rasanya kurang pas,” tuturnya.

    Legislator Demokrat ini turut berujar pihaknya akan memberi ruang bagi stakeholder terkait seperti pengamat, peninjau, dan akademisi untuk mendengarkan masukannya untuk revisi UU Politik.

    “Dalam 6 bulan sampai 1 tahun ke depan ini, kita akan terus membuat panja [panitia kerja] untuk mendengarkan masukan-masukan. Kita belum akan mungkin melakukan keputusan,” jelasnya.

    Keputusan itu, imbuh Dede, baru bisa dilakukan pada 2026 mendatang. Hal ini karena tahapan Pemilu sudah mulai dilangsungkan pada 2027, sehingga sudah dengan proses yang baru.

    Eks Wakil Gubernur Jawa Barat ini mengaku pihaknya sudah mulai melakukan pendalaman tentang revisi UU Politik, tetapi tidak sampai membuat naskah akademik.

    “Karena kalau kita buat naskah akademik saat ini di mana pemerintah baru berjalan, kelihatannya belum pas. Kita sekarang masih harus berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, bagaimana mengembalikan investasi anggaran, dan sebagainya,” ucapnya.

    Akan tetapi, dia kembali menegaskan pihaknya mendengar masukan-masukan dari eksternal dengan sebanyak-banyaknya, karena teori tentang Pemilu banyak sekali.

  • DPR Beri Pemerintah Waktu 10 Hari untuk Kasih Solusi Pembiayaan PSU Pilkada 2024

    DPR Beri Pemerintah Waktu 10 Hari untuk Kasih Solusi Pembiayaan PSU Pilkada 2024

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi II DPR memberi tenggat waktu selama 10 hari kepada pemerintah untuk memastikan solusi pembiayaan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024, di sejumlah daerah yang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tidak mencukupi.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyebut tenggat waktu itu diberikan mulai hari ini hingga Jumat, 7 Maret mendatang alias pekan depan.

    “10 hari dari sekarang [jadi] 7 maret [kepastiannya],” katanya seusai memimpin rapat dengan Kemendagri, KPU, dan Bawaslu dengan agenda mengenai pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).

    Dia menjelaskan, tenggat waktu itu diberikan lantaran ada PSU yang tahapannya direncanakan akan mulai pada 22 Maret mendatang. Pihaknya khawatir bilamana pemerintah belum memiliki solusi, maka daerah tersebut terancam tak jadi menggelar PSU.

    “Kenapa? Karena ada Pilkada yang akan start di tanggal 22 Maret. Jadi artinya kalau tanggal 10 Maret Pemerintah belum punya solusi, ini berarti yang tanggal 22 Maret akan terancam tidak jadi Pilkada, maknya kami tadi meminta segera dalam satu minggu ke depan,” jelas Dede.

    Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan terdapat peluang penggunaan APBN untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 jika pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang cukup.

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk kemungkinan itu pun sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2014. Dalam Pasal 166 disebut pendanaan kegiatan pemilihan dibebankan pada APBD dan dapat didukung oleh APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    “Jadi nanti kita cek dulu selama 10 hari ini mekanismenya [menggunakan APBD] seperti apa, kalau memang tidak bisa ya barulah kita akan menempuh mekanisme sumber pembiayaan dari APBN,” ujarnya seusai rapat dengan Komisi II DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).

  • Komisi II DPR Taksir Biaya Gelar PSU Pilkada 2024 Telan Biaya Hampir Rp1 Triliun

    Komisi II DPR Taksir Biaya Gelar PSU Pilkada 2024 Telan Biaya Hampir Rp1 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi II DPR memperkirakan besaran anggaran untuk penyelenggaraan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 bisa mencapai Rp900 miliar hingga Rp1 triliun.

    Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf menyatakan besaran ini didapatkan setelah menghitung jumlah perkiraan anggaran yang sebelumnya disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kurang lebih sebesar Rp486 miliar dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sekitar Rp215 miliar.

    “Tambah kalau ada pilih kata ulangnya kurang lebih Rp250 [miliar]. Belum TNI dan Polri jika harus melakukan fungsi pengamanan. Tadi saya hitung kasar saja itu bisa mencapai Rp900 [miliar] sampai Rp1 triliun,” jelasnya seusai rapat dengan Komisi II DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).

    Dia menyebut anggaran PSU dibebankan kepada pemerintah daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Akan tetapi, jika masih belum mencukupi, dapat pula dibantu oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Sisanya ya mungkin pemerintah pusat lah, sesuai dengan amanat Undang-Undang bahwa jika pemerintah daerah tidak sanggup, maka pemerintah pusat dapat [membantu],” ucapnya.

    Amanat Undang-Undang tersebut, ujar eks Wakil Gubernur Jawa Barat ini, perlu dibahas lebih lanjut untuk menentukan mekanisme bantuan dana dari APBN.

    “Konotasi ini yang kita mesti dudukkan bersama-sama. Dapat itu semuanya kah? Atau nanti ambil dari provinsi kah? Atau yang lainnya?” pungkasnya.

    Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin menyebut butuh anggaran Rp486,3 miliar untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah dan merekapitulasi ulang hasil perolehan suara di satu daerah.

    Afifuddin menjelaskan dari 26 satuan kerja atau satker KPU yang melaksanakan PSU ada 6 satker KPU yang tak memerlukan tambahan anggaran karena masih punya sisa Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) Pilkada 2024. 

    Sementara itu, masih ada 19 Satker KPU yang dia sebutkan mengalami kekurangan anggaran untuk menggelar PSU. Kekurangannya ini mencapai Rp373,7 miliar.

    “Kemudian terdapat satu Satker KPU yaitu kabupaten Jayapura yang tidak memerlukan biaya karena bersifat administrasi perbaikan SK saja,“ katanya dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).

  • Kemendagri Sebut Ada Peluang Pemungutan Suaran Ulang Pilkada 2024 Dibiayai APBN

    Kemendagri Sebut Ada Peluang Pemungutan Suaran Ulang Pilkada 2024 Dibiayai APBN

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan terdapat peluang penggunaan APBN untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 jika pemerintah daerah tidak memiliki anggaran yang cukup.

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk kemungkinan itu pun sebenarnya sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2014. Dalam Pasal 166 disebut pendanaan kegiatan pemilihan dibebankan pada APBD dan dapat didukung oleh APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    “Jadi nanti kita cek dulu selama 10 hari ini mekanismenya [menggunakan APBD] seperti apa, kalau memang tidak bisa ya barulah kita akan menempuh mekanisme sumber pembiayaan dari APBN,” ujarnya seusai rapat dengan Komisi II DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).

    Dia pun menegaskan pihaknya akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, bila memang nantinya PSU akan menggunakan dana tambahan dari APBN.

    Mantan Pj Gubernur Jawa Tengah ini menegaskan penggunaan APBN ini memang sangat dimungkinkan meski di tengah efisiensi yang ada di pemerintahan saat ini.

    “Itu bisa, bisa, ini prioritas dan amanat konstitusi dan wajib yang harus dilakukan, itu bisa dipastikan harus terlaksana,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membeberkan ada 18 daerah yang anggarannya belum sanggup menggelar PSU Pilkada 2024. 

    Ribka menjelaskan dari 18 daerah itu, 16 di antaranya gugatannya dikabulkan oleh MK, sedangan dua daerah lainnya perlu PSU karena kotak kosong yang menang.

    “Kami mohon dukungan dari DPR RI, kami mendorong supaya ada penambahan pos APBD untuk daerah yang minim untuk pemungutan suara ulang,” tuturnya dalam rapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).

    Sementara itu, ujarnya, daerah yang sanggup dan memiliki dana untuk menggelar PSU ada sekitar delapan daerah yaitu Kabupaten Bungo, Bangka Barat, Barito Utara, Magetan, Mahakam Ulu, Kutai Kertanegara, Siak, dan Banggai. 

  • Komisi II DPR taksir biaya menggelar PSU pilkada hingga Rp1 triliun

    Komisi II DPR taksir biaya menggelar PSU pilkada hingga Rp1 triliun

    Pemerintah harus siap, mau tidak mau harus siap melaksanakan PSU

    Jakarta (ANTARA) – Komisi II DPR RI menaksir perkiraan biaya yang digelontorkan untuk menggelar pemungutan suara ulang di sejumlah daerah dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi atas Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah 2024 dapat mencapai hampir Rp1 triliun.

    “Tadi saya hitung kasar saja itu bisa mencapai Rp900 (miliar) sampai Rp1 triliun,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf usai memimpin rapat kerja dengan lembaga penyelenggara pemilu dan pemerintah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

    Jumlah biaya tersebut berasal dari kebutuhan anggaran yang disampaikan lembaga penyelenggara pemilu untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) hingga anggaran aparat keamanan untuk menjalankan fungsi pengamanan.

    “KPU menyampaikan (butuh anggaran) kurang lebih Rp486 miliar sekian, Bawaslu kurang lebih sekitar Rp215 (miliar), tambah kalau ada pilkada ulangnya kurang lebih Rp250 (miliar) lah. Belum TNI dan Polri jika harus melakukan fungsi pengamanan,” ujarnya.

    Dede mengatakan besaran kebutuhan anggaran untuk menggelar PSU itu dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dan dapat pula didukung oleh anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dari pemerintah pusat.

    “Sisanya ya mungkin pemerintah pusatlah sesuai dengan amanat undang-undang bahwa jika pemerintah daerah tidak sanggup maka pemerintah pusat dapat (mendukung pembiayaan PSU). Nah, konotasi ‘dapat’ ini yang kita mesti dudukkan bersama-sama,” ucapnya.

    Dede menimpali, “Pemerintah harus siap, mau tidak mau harus siap melaksanakan PSU.”

    Ia menambahkan Komisi II DPR memberikan waktu kepada pemerintah untuk menyimulasikan kepastian mekanisme pembiayaan PSU menggunakan APBD dan APBN dalam kurun waktu 10 hari kerja terhitung sejak rapat Komisi II DPR pada Kamis hari ini.

    “Kami memberikan tenggat waktu 10 hari kepada pemerintah untuk segera menyampaikan nanti kepada DPR, apa yang bisa disiapkan oleh daerah dan apa yang bisa disiapkan oleh pemerintah pusat,” katanya.

    Sebelumnya pada rapat kerja itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengungkapkan bahwa pemungutan suara ulang (PSU) dampak dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah 2024 membutuhkan anggaran Rp486.383.829.417.

    Ia menjelaskan ada sebanyak 26 daerah yang gugatannya dikabulkan MK dan 24 daerah di antaranya harus menggelar PSU. Namun, dari seluruh daerah tersebut, ada sebagian yang tidak membutuhkan anggaran tambahan karena ketersediaan anggaran masih cukup.

    “Sebanyak enam satuan kerja KPU tidak memerlukan tambahan anggaran karena masih terdapat sisa NPHD (Naskah Perjanjian Hibah Daerah) Pilkada 2024,” kata Afifuddin.

    Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja mengatakan bahwa PSU Pilkada 2024 di sejumlah daerah imbas putusan MK memerlukan dukungan anggaran dari pemerintah pusat guna mengantisipasi APBD yang terbatas.

    “Keterbatasan APBD pada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengakibatkan tidak dapat terpenuhinya anggaran untuk kegiatan pengawasan PSU sehingga perlu dukungan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan,” kata Bagja.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Wamendagri: PSU dimungkinkan gunakan APBN bila APBD terbatas 

    Wamendagri: PSU dimungkinkan gunakan APBN bila APBD terbatas 

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk mengatakan bahwa apabila Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terbatas untuk menggelar pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 maka dimungkinkan untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Iya, itu dimungkinkan oleh amanat undang-undang,” kata Ribka usai menghadiri rapat bersama Komisi II DPR RI dan lembaga penyelenggara pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

    Dia menyebut bahwa hal itu dimungkinkan sebagaimana amanat Pasal 166 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).

    Adapun Pasal 166 ayat (1) UU Pilkada berbunyi, “Pendanaan kegiatan pemilihan dibebankan pada APBD, dan dapat didukung oleh APBN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

    Dengan amanat UU itu, lanjut dia, pelaksanaan PSU Pilkada 2024 tidak akan terpengaruh dengan kebijakan efisiensi anggaran yang tengah dilakukan pemerintah.

    “Itu bisa, bisa, ini prioritas dan amanat konstitusi dan wajib yang harus dilakukan, itu bisa dipastikan harus terlaksana,” ujarnya.

    Dia menyebut kepastian mekanisme pembiayaan PSU menggunakan dana APBN apabila dana APBD terbatas akan disimulasikan terlebih dahulu oleh pihaknya dalam kurun waktu 10 hari kerja terhitung sejak rapat dengan Komisi II DPR RI pada Kamis hari ini.

    “Jadi nanti kami cek dulu selama 10 hari ini mekanismenya seperti apa, kalau memang enggak bisa (APBD) ya baru lah kami akan menempuh mekanisme sumber pembiayaannya dari APBN. Tentu kami akan lakukan koordinasi dengan Kementerian Keuangan karena ini sudah konstitusi,” katanya.

    Adapun di dalam rapat, Ribka mengungkapkan ada sebanyak 18 daerah yang anggarannya belum sanggup menggelar PSU Pilkada 2024, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada) 2024.

    Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk menjelaskan bahwa ke-18 daerah itu terdiri dari 16 daerah yang gugatannya dikabulkan oleh MK, dan dua daerah yang perlu PSU karena kemenangan kotak kosong.

    “Kami mohon dukungan dari DPR RI, kami mendorong supaya ada penambahan pos APBD untuk daerah yang minim untuk pemungutan suara ulang,” kata Ribka saat rapat dengan Komisi II DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.

    Sementara itu, dia menyebut ada delapan daerah yang sanggup atau memiliki dana untuk menggelar PSU yaitu Kabupaten Bungo, Bangka Barat, Barito Utara, Magetan, Mahakam Ulu, Kutai Kartanegara, Siak, dan Banggai.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Sebut Pilkada Paling Kacau Sepanjang Sejarah, Deddy Sitorus PDIP Ajak Mundur Massal

    Sebut Pilkada Paling Kacau Sepanjang Sejarah, Deddy Sitorus PDIP Ajak Mundur Massal

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pilkada serentak yang berlangsung pada 2024 dinilai paling kacau sepanjang sejarah perpolitikan tanah air. Penilaian itu disampaikan politikus PDIP, Deddy Yevri Sitorus.

    Deddy Sitorus yang merupakan anggota Komisi II DPR RI menilai pelaksanaan pemilu oleh pemerintah era Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kontestasi politik yang paling kacau sepanjang sejarah.

    Dia mengatakan hal tersebut saat hadir dalam Rapat Kerja (Raker) dan Rapat Dengan Pendapat (RDP) bersama KPU, Bawaslu, dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/2).

    “Pemilu kita ini di bawah pemerintahan sebelumnya, adalah pemilu paling berengsek dalam sejarah. Sah,” kata Deddy Sitorus dalam rapat, Kamis.

    Deddy beralasan hampir 60 persen atau sekitar 310 dari total 545 hasil Pilkada 2024 yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga dia menilai kontestasi politik era Jokowi begitu kacau.

    “Hampir 60 persen, gila itu,” cetus legislator Fraksi PDI Perjuangan itu.

    Deddy pun menyerukan mundur berjemaah atau massal sebagai bentuk tanggung jawab atas kacaunya pelaksanaan pemilu 2024.

    Pimpinan KPU, Bawaslu, Mendagri, sampai Kapolri bisa meletakkan jabatan alias mengundurkan diri.

    “Saya kira wajar kita mundur semua. KPU, Bawaslu, Mendagri, Kapolri gagal kita ini,” katanya.

    Deddy bahkan mengaku sebagai legislator DPR merasa gagal atas banyaknya gugatan hasil Pilkada 2024 yang menandakan kacaunya pelaksanaan kontestasi politik.

    “DPR juga, supaya adil. Enggak apa-apa, kalau perlu mundur berjamaah, saya siap, supaya sebagai tanggung jawab kita kepada bangsa ini, lo,” kata dia.

  • DPR minta Mendagri jadwalkan pelantikan kepala daerah pascaputusan MK

    DPR minta Mendagri jadwalkan pelantikan kepala daerah pascaputusan MK

    Jakarta (ANTARA) – Komisi II DPR RI meminta Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian segera menjadwalkan pelantikan kepala daerah, bagi daerah yang gugatannya ditolak dan tidak dapat diterima berdasarkan hasil putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi.

    Pelantikan itu, perlu dilaksanakan sesuai Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 dan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

    “Komisi II DPR RI meminta untuk segera ditetapkan oleh KPU provinsi/kabupaten/kota dan hasilnya disampaikan kepada DPRD provinsi/kabupaten/kota untuk melaksanakan paripurna penetapan pasangan calon kepala daerah terpilih,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.

    Untuk itu, dia mengatakan penetapan pasangan calon kepala daerah terpilih juga perlu segera disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dibuat surat Keputusan Presiden untuk Gubernur dan Wakil Gubernur serta Keputusan Menteri Dalam Negeri untut Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Selain itu, dia meminta agar pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri untuk dapat mengusulkan pendanaan anggaran untuk PSU Pilkada daerah kepada Menteri Keuangan sesuai dengan Pasal 166 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan bahwa “Pendanaan kegiatan pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

    “Dan melaporkan kepada Komisi II DPR RI paling lambat 10 hari dari rapat kerja dan rapat dengar pendapat saat ini,” kata dia.

    Menurut dia, Komisi II DPR RI meminta agar penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah berdasarkan asas dan prinsip pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dengan mempersiapkan semua teknis tahapan dan regulasinya.

    “Serta menjaga kredibilitas, integritas, profesionalnya sebagai penyelenggara pemilu,” katanya.

    Adapun dari 40 perkara PHPU Kepala Daerah Tahun 2024 yang diperiksa secara lanjut, MK mengabulkan sebanyak 26 perkara, menolak 9 perkara, dan tidak menerima sebanyak 5 perkara.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

  • Soroti Potensi Konflik, Rahmat Saleh Ingatkan Anggaran Pengamanan PSU Pilkada

    Soroti Potensi Konflik, Rahmat Saleh Ingatkan Anggaran Pengamanan PSU Pilkada

    loading…

    Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Rahmat Saleh mengingatkan Kemendagri tak melupakan anggaran pengamanan melibatkan TNI-Polri untuk pelaksanaan PSU pilkada. Foto/Dok. SINDOnews

    JAKARTA – Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Rahmat Saleh menyoroti potensi dampak sosial dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada. Ia mengingatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tak melupakan anggaran pengamanan melibatkan TNI-Polri.

    Rahmat Saleh menuturkan, stabilitas di daerah pelaksana PSU hingga keamanan para kandidat kepala daerah harus menjadi salah satu prioritas utama. Menurutnya, persoalan anggaran memang menjadi kendala utama pelaksanaan PSU sesuai putusan MK yang dibacakan beberapa hari lalu.

    Terlebih di tengah adanya kebijakan efisiensi anggaran. Hal ini diperkuat dengan paparan Wamendagri Ribka Haluk yang menyampaikan hanya delapan daerah yang menyatakan sanggup melaksanaan PSU Pilkada 2024 .

    Rahmat Saleh menegaskan persoalan anggaran PSU harus segera diselesaikan. Tujuannya agar kepastian pelaksanaan dapat ditentukan dan penyelenggara pemilu di wilayah tersebut dapat segera melakukan tugasnya dengan baik.

    “Daerah-daerah yang tadi tidak cukup (anggaran) untuk melaksanakan PSU, harus diclearkan siapa yang membiayai, kemudian mekanismenya harus disepakati batas waktunya, supaya teman-teman di bawah (KPUD, Bawaslu dan DKPP) bisa bekerja. Kalau mereka dibayang-bayangi ketidak adaan anggaran, maka konsentrasi kerja mereka nanti bisa terhambat,” katanya saat rapat dengar pendapat (RDP) Komisi 2 DPR RI dengan Kemendagri, KPU, Bawaslu, dan DKPP, Kamis (27/2/2025).

    Tak hanya anggaran operasional penyelenggara Pamilu, Rahmat Saleh mewanti-wanti pentingnya stabilitas sosial di daerah yang melaksanakan PSU. Termasuk keamanan pada kandidat kepala daerah. Menurutnya pemerintah perlu mengantisipasi potensi munculnya konflik akibat ketidakpuasan masyarakat atau kelompok tertentu dalam pelaksanaan PSU.

    “Tadi disampaikan dari Bawaslu dan KPU, tadi kita hitung-hitung kasar hampir Rp750 miliar ini kita butuhkan (PSU). Kalau seandainya ini tidak kita antisipasi dari awal, kemudian kita biarkan mereka (calon kepala daerah) berlaga di lapangan tanpa pengamanan atau ketidak adaan anggaran di TNI Polri, dikhawatirkan ini akan menimbulkan masalah baru,” tandas legilator asal Dapil Sumbar 1 ini.

    “Oleh karena itu kita merekomendasikan beberapa hal terkait ini. Tentu segera rapat koordinasi, siapa yang akan memimpin ini apakah mendagri kemudian mengkoordinasikan dengan kawan-kawan TNI/Polri, sehingga dalam waktu dekat ini sudah ada kejelasan terkait dengan penganggaran kemudian pelaksanaannya,” tukasnya.

    Lebih jauh Rahmat Saleh menekankan KPU harus benar-benar melakukan evaluasi atas penyelenggaran Pilkada serentak tahun 2024. KPU ujarnya, harus benar-benar bersikap hati-hati dalam melaksanakan tugasnya menyeleksi para calon kepala daerah yang akan mengikuti Pilkada.

    “Sehingga tidak terjadi permasalahan yang kemudian memunculkan putusan di MK (PSU) yang seperti ini. Sistem kedepan mudah-mudahan semakin rapih, termasuk seleksi penyelenggara pamilu yang berkualitas,” imbuhnya.

    (poe)