Menpan RB Umumkan Pengangkatan CASN 2024 Ditunda
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB)
Rini Widyantini
mengungkapkan, pemerintah memutuskan untuk melakukan penundaan jadwal pengangkatan calon aparatur sipil negara (ASN).
“Pemerintah mengusulkan dilakukan penyesuaian jadwal pengangkatan CASN sebagai pegawai ASN dengan perkiraan pengangkatan pada akhir 2025 atau di awal 2026,” kata Rini dalam rapat bersama
Komisi II DPR
, di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/3/2025).
Menpan RB juga akan memastikan semua pelamar yang lulus CASN akan tetap diangkat, baik itu calon pegawai negeri sipil (PNS) maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Menurut rencana, calon PNS akan diangkat pada Oktober 2025, sedangkan calon PPPK diangkat pada Maret 2026.
“Memastikan bagi pelamar yang telah mengikuti dan dinyatakan lulus seleksi CASN tetap diangkat sebagai pegawai ASN,” ujar Rini
Saat dikonfirmasi selepas rapat, Rini mengeklaim pihaknya bukan menunda pengangkatan CASN.
“Bukan ditunda sebenarnya, tapi mau menyelesaikan supaya semuanya bisa terangkat,” kata Rini singkat.
Menurut dia, keputusan ini sudah disepakati bersama Komisi II DPR.
Dia pun membantah alasan penundaan pengangkatan ini dikarenakan efisiensi anggaran.
“Bukan. Bukan karena efisiensi, kan masih banyak. Nanti kita masih menyelesaikan yang belum mengumumkan dan sebagainya,” ungkap Rini.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Komisi II DPR
-
/data/photo/2025/02/04/67a1e47447ed1.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menpan RB Umumkan Pengangkatan CASN 2024 Ditunda
-

Pakar: Perlu evaluasi bila sistem proporsional terbuka dipertahankan
Jakarta (ANTARA) – Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Delia Wildianti memaparkan sejumlah evaluasi yang perlu dilakukan apabila sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan sebagai sistem pemilu di tanah air.
“Kalau misalnya kita tetap di sistem proporsional daftar terbuka, ini perlu ada beberapa yang dievaluasi,” kata Delia saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).
Dia menyebut perlu dilakukan evaluasi terhadap proses rekrutmen calon legislatif (caleg) dalam penerapan sistem proporsional terbuka di tanah air. Dia merekomendasikan seorang caleg harus melewati dengan seksama tahapan-tahapan rekrutmen dan kaderisasi oleh partai politik.
Menurut dia, sistem proporsional terbuka dalam praktiknya membawa kelemahan institusionalisasi partai politik dan kerap membuat partai politik hanya dijadikan sebagai penyedia tiket bagi seorang caleg untuk berkompetisi pada pemilu.
“Sehingga tidak ada istilahnya caleg kutu loncat gitu ya, tiba-tiba caleg masuk di dalam partai politik, padahal tidak punya gagasan, tidak punya Ideologi partai, tidak tau mau mengembangkan seperti apa,” katanya.
Selain itu, dia menyebut data caleg yang berkompetisi pada pemilu perlu dibuka lebih transparan kepada masyarakat. Menurut dia, data caleg harus selalu ditampilkan dan dapat diakses oleh publik, sepanjang tidak melanggar data pribadi.
“Data yang sifatnya publik, yang harus diketahui oleh masyarakat, itu harus disampaikan karena tujuan dari sistem proporsional terbuka adalah memilih caleg yang akan mewakili pemilihnya,” ucapnya.
Kemudian, dia menuturkan perlunya penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen, di samping menggunakan kuota minimum sebesar 30 persen.
“Mau tidak mau, untuk mendorong percepatan akselerasi kesetaraan itu juga perlu dibantu dengan penguatan afirmasi,” tuturnya.
Padahal, lanjut dia, DPR sebagai representasi wakil rakyat seharusnya mampu menghadirkan representasi perempuan itu sendiri yang jumlahnya lebih dari separuh penduduk di Indonesia.
Hal tersebut, ujarnya lagi, dapat dilakukan dengan mengusulkan pasal baru terkait penguatan kebijakan afirmasi perempuan.
“Selain kuota “zipper system” murni, jadi di antara dua (caleg) ada satu perempuan, tapi juga kita bisa mendorong sebetulnya berkaitan dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan untuk perempuan,” paparnya.
Meski demikian saat di awal paparan, Delia mengingatkan bahwa kekurangan dari penerapan sistem proporsional terbuka ialah berimplikasi pada maraknya praktik politik uang dan kurang mendukung kesetaraan gender.
“Terjadinya kompetisi intrapartai dan antarpartai yang tidak sehat. Misalnya, pertukaran suara, pemberian suara di internal partai, serta banyaknya terjadi pencurian atau jual beli suara kandidat dan/atau partai politik,” ucap dia.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025 -

Komisi II soroti politik uang dalam perbaikan sistem pemilu Indonesia
tidak ada sistem pemilu apa pun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada
Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyoroti rumusan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perlu memberikan perhatian kepada masalah politik uang, selain persoalan teknis dalam perbaikan sistem kepemiluan di tanah air.
“Kami harus melakukan revisi Undang-Undang Pemilu bukan hanya pada sistem metode penghitungannya, bukan hanya masalah per dapil (daerah pemilihan), bukan hanya masalah threshold atau lain-lainnya, tetapi juga masalah-masalah lain, seperti money politics-nya,” kata Dede saat memimpin jalannya rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Hal itu disampaikan Dede Yusuf saat memimpin jalannya rapat dengar pendapat umum bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu untuk revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Dede mengatakan bahwa di sejumlah wilayah terjadi hal-hal transaksional demi memenangkan pesta demokrasi.
“Cost of money-nya kami menganggap itu semakin lama semakin membesar,” ucapnya.
Bahkan, pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024 yang baru saja dilaksanakan menjadi preseden terburuk dari jalannya pemilihan umum secara langsung di tanah air.
“Karena hampir semua mengatakan pemilu kemarin adalah pemilu yang paling brutal dan paling transaksional,” ujarnya.
Senada dengan Dede, anggota Komisi II DPR RI Edi Oloan Pasaribu mengatakan ada dua isu besar yang perlu mendapatkan perhatian dalam merevisi undang-undang kepemiluan, yakni politik uang dan netralitas.
“Untuk money politics dan netralitas, bagaimanapun sistemnya kita bangun, kita bentuk, itu tidak akan terjadi perubahan yang radikal kalau tidak (ada perubahan) perilakunya,” katanya.
Dia memandang desain sistem pemilu sebaik apa pun pada akhirnya akan menjadi percuma sebab bergantung pada perilaku penyelenggara pemilu hingga peserta pemilu itu sendiri.
“Karena saya percaya betul peribahasa yang bilang the right system will produce the right result, sistem yang baik (akan) menghasilkan hasil yang baik, tetapi kalau yang menjalankan sistemnya juga enggak baik, susah ini,” tuturnya.
Edi menambahkan, “Jadi, kita lahir dari rahim demokrasi yang brutal (Pemilu) 2024, kita sepakat, karena diskusi juga gini kalau kita tidak setop money politics akan ada namanya istilah saya sebut inflasi demokrasi, 2029 semakin besar nanti.”
Anggota Komisi II DPR RI Deddy Sitorus menyoroti pula aspek moralitas lembaga penyelenggara pemilu.
Dia menekankan pentingnya perbaikan perilaku penyelenggara dan pengawas pemilu yang disebutnya sebagai faktor internal, di atas pembenahan sistem kepemiluan di tanah.
“Ketika penyelenggara dan pengawas yang menjadi bagian dari kerusakan itu, gimana sih ngatasin itu, kalau kita mau bicara memperbaiki pemilu? Karena tidak ada sistem pemilu apa pun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada,” kata Deddy.
Selain faktor internal, dia mencatat pula pentingnya memberi perhatian terhadap faktor eksternal dalam memperbaiki sistem kepemiluan di tanah air, yakni “cawe-cawe” kekuasaan demi memenangkan kontestasi.
“Jadi, akan menjadi sangat sia-sia kita berbicara berbagai macam skenario pemilu, skenario perbaikan partai politik, penyelenggara pemilu, kalau pemilu itu sendiri sangat rentan terhadap kekuasaan, terhadap institusi-institusi yang memiliki kekuatan untuk menekan, mempengaruhi hasil, memanipulasi dan sebagainya,” ujarnya.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025 -

Puskapol UI Usul Caleg Perempuan Tempati Nomor Urut 1 pada 30 Persen Daerah Pemilihan – Halaman all
Delia menjelaskan bahwa hasil studi Puskapol UI menunjukkan bahwa hampir 70 persen yang terpilih dalam Pileg adalah nomor urut 1.
Tayang: Rabu, 5 Maret 2025 13:14 WIB
Tribunnews.com/Fersianus Waku
CALEG PEREMPUAN – Rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama pemerhati Pemilu di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025). Mengemuka dalam rapat soal nasib caleg perempuan di Pemilu.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, mengusulkan adanya ketentuan yang mewajibkan perempuan menempati posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan (dapil) pada setiap pemilihan legislatif.
Hal ini disampaikan Delia dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).
“Kita bisa mendorong sebetulnya berkaitan dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan untuk perempuan,” kata Delia dalam rapat.
Delia menjelaskan bahwa hasil studi Puskapol UI menunjukkan bahwa hampir 70 persen yang terpilih dalam Pileg adalah nomor urut 1.
“Jadi mau tidak mau untuk mendorong percepatan akselerasi kesetaraan itu juga perlu dibantu dengan penguatan afirmasi,” ujarnya.
Selain itu, dia mengungkapkan bahwa saat ini memang sudah ada sistem afirmasi keterwakilan perempuan yang mengacu pada kuota minimal 30 persen dalam daftar calon.
Namun penerapan sistem zipper atau penyusunan daftar caleg secara selang-seling antara laki-laki dan perempuan belum berjalan maksimal.
“Sekarang kan zipper sistemnya tidak murni yah. Diantara 3 ada 1 perempuan. Kalau zipper sistem murni itu di antara 2 calon ada 1 perempuan,” ucap Delia.
“);
$(“#latestul”).append(“”);
$(“.loading”).show();
var newlast = getLast;
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’1′,img:’thumb2′}, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast + 1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;
if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
else cat=””;$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}
else{
$(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
$(“#test3”).val(“Done”);
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
else if (getLast > 150) {
if ($(“#ltldmr”).length == 0){
$(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
}
}
}
});
});function loadmore(){
if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
$(“#latestul”).append(“”);
$(“.loading”).show();
var newlast = getLast ;
if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
newlast=0;
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast + 1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;
if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
else cat=””;
$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}else{
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
else{
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast+1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}else{
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
}Berita Terkini
-

Baleg DPR setujui hasil harmonisasi terhadap 10 RUU kabupaten/kota
Jakarta (ANTARA) – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui rumusan hasil harmonisasi terhadap 10 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kabupaten/kota yang diusulkan oleh Komisi II DPR RI untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan.
Adapun 10 RUU kabupaten/kota yang rencananya akan diajukan sebagai RUU usul inisiatif DPR itu mencakup tiga provinsi, yakni Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.
“Apakah hasil harmonisasi, pembulatan, pemantapan konsepsi terhadap 10 RUU tentang kabupaten/kota dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan yang memimpin jalannya rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/3).
Persetujuan itu diambil setelah delapan fraksi menyampaikan pendapat mini fraksinya dan masing-masing menyatakan persetujuan terhadap laporan panja pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi terhadap 10 RUU tentang kabupaten/kota.
“Akhirnya selesai pendapat mini fraksi, delapan fraksi, pada umumnya semuanya menyetujui,” ujar Bob.
Setelah disetujui, acara dilanjutkan dengan penandatangan 10 RUU tentang kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara bersama pengusul RUU, yakni pimpinan Komisi II DPR RI.
Adapun di awal, Ketua Panitia Kerja (Panja) Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi terhadap 10 RUU tentang Kabupaten/Kota Junimart Girsang menyampaikan laporan terhadap jalannya pembahasan atas RUU tersebut.
Dia menyampaikan bahwa 10 RUU tentang Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara telah dibahas secara intensif dan mendalam dalam rapat panja yang digelar sejak Senin hingga Selasa (3-4 Maret 2025).
“Panja berpendapat bahwa 10 RUU tentang Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara dapat diajukan sebagai RUU usul inisiatif DPR RI, namun demikian panja menyerahkan pada pleno apakah rumusan RUU hasil harmonisasi yang telah dihasilkan oleh panja dapat diterima,” katanya.
Junimart lantas menyampaikan secara garis besar beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat panja bersama pengusul atas 10 RUU tentang kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara yang digelar pada Selasa (4/3).
Pertama, kata dia, adanya perbaikan dalam penyempurnaan teknis sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Kemudian, lanjut dia, adanya perbaikan aspek substansi yang hanya terdapat pada RUU tentang Kota Manado di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu menghapus Pasal 4 yang mengatur tentang ketentuan mengenai ibu kota dari Kota Manado pada RUU tentang Kota Manado di Provinsi Sulawesi Utara.
Dia menyebut bahwa pengaturan mengenai penentuan ibu kota hanya terdapat pada Undang-Undang Kabupaten.
“Pengaturan mengenai penentuan ibu kota dan kota tidak diatur dalam undang-undang sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Kota lainnya yang sudah diundangkan. Antara lain, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2024 tentang Banda Aceh di Aceh,” paparnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menyampaikan kesiapan pihaknya selaku pengusul RUU tersebut untuk melanjutkan ke mekanisme selanjutnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dia pun menyampaikan pihaknya siap menggulirkan pembahasan ratusan RUU tentang Kabupaten/Kota lainnya dengan telah disetujuinya 10 RUU tentang Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara pada hari ini.
“Mudah-mudahan apa yang sudah dihasilkan oleh panja termasuk disetujui oleh Baleg memberi energi bagi kami untuk segera mengusulkan kembali ke Baleg untuk segera mengusulkan kembali ke Baleg untuk harmonisasi 112 RUU yang tersisa secara bertahap,” kata dia.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025 -
/data/photo/2025/01/28/679871c431a02.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Lebih Luas dari Singapura, PIK 2 Dikhawatirkan Jadi Negara dalam Negara Nasional
Lebih Luas dari Singapura, PIK 2 Dikhawatirkan Jadi Negara dalam Negara
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Jenderal
Forum Tanah Air
(FTA) Ida N Kusdianti mengkhawatirkan
Proyek Strategis Nasional
(PSN) di area
Pantai Indah Kapuk
(PIK) 2 ke depannya bisa menjadi daerah otonomi atau negara sendiri.
Menurut Ida, saat ini sudah muncul istilah bahwa
PIK 2
adalah negara dalam negara karena luas proyek tersebut yang sudah lebih luas dari negara Singapura.
“Luas PIK 2 yang lebih luas dari Singapura yang hanya sekitar 71.800 ha atau 780 km persegi mau munculkan pemeo bahwa PIK 2 adalah negara dalam negara Republik Indonesia,” kata Ida dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/3/2025).
Ida pun menyinggung pembangunan markas sejumlah lembaga keamanan di PIK 2 yang ia khawatirkan dapat membuat PIK 2 seolah-olah punya otoritas sendiri.
“Darat, laut, udara, serta Markas Brimob sudah dibangun di sana, sudah kita tahu sendiri, bahkan mungkin ke depannya akan menjadi wilayah atau otoritas khusus yang punya administrasi sendiri dan pemerintah sendiri. Ini yang kami khawatirkan,” ujar dia.
Ida mengatakan, sejak ditetapkan menjadi PSN, pihak pengembang PIK 2 menjadi lebih leluasa untuk membangun proyek dengan cara yang merugikan masyarakat.
“Dengan menyatakan bahwa lahan-lahan yang dibebaskan dengan menggusur rakyat, yang mematok harga sangat murah, berlindung di balik PSN, seakan lahan tersebut termasuk PSN,” kata dia.
Ida menyebutkan, sebelum ada PSN, wilayah yang masuk dalam PIK 2 hanya di Kecamatan Kosambi.
Sementara wilayah lain diberi nama PIK A sampai PIK 14.
“Pemberian nama PIK 2 di semua wilayah pembebasan tersebut patut diduga dimaksudkan untuk menakut-nakuti rakyat agar mengikuti keinginan pengembang menggusur rakyat dengan berlindung di bawah PSN,” ujar Ida.
Ida khawatir pengadaan tanah untuk PSN yang melibatkan swasta dapat menimbulkan persoalan
konflik agraria
karena sudah ada 115 konflik agraria sepanjang 2020 sampai 2023.
“KPA Konsorsium Pembangunan Agraria mencatat, sepanjang tahun 2020 hingga 2023 ada 115 letusan konflik agraria akibat PSN. Luas lahan dan jumlah korban terdampak masing-masing 516.409.000 ha dan 85.555 keluarga,” kata dia.
Diketahui, pengembangan Green Area dan Eco-City di lokasi PIK 2 masuk dalam daftar 14 PSN baru pada tahun 2023 lalu.
Hal itu termuat dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional serta surat komite percepatan penyediaan infrastruktur.
Proyek yang merupakan pengembangan wilayah berbasis hijau dengan luas lebih kurang 1.756 hektar bernama “Tropical Coastland” itu bertujuan sebagai destinasi pariwisata baru berbasis hijau guna meningkatkan daya tarik bagi wisatawan.
Namun, belakangan pemerintah menyebut bahwa proyek-proyek yang masuk daftar PSN bakal dievaluasi, termasuk proyek “Tropical Coastland” di PIK 2.
“Untuk PSN Ecowisata Tropical Coastland usulan atau rekomendasi teknis dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada saat itu, karena itu sekarang kita sedang mintakan evaluasi teknis dari Kementerian Pariwisata,” kata Sekretaris Kementerian Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, 23 Januari 2025.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid pernah mengungkapkan bahwa terdapat permasalahan tata ruang dalam PSN Tropical Coastland di PIK 2.
“Yang masuk di dalam PSN Pariwisata PIK 2 hanya 1.705 hektar. Dari 1.705 hektar itu, 1.500 hektar-nya masuk ke dalam kawasan hutan dan hutannya itu hutan lindung,” kata Nusron, 28 November 2024 lalu.
Ia juga menegaskan, dalam perjalanan pengembangan kawasan PIK 2, masih terdapat berbagai kendala.
Beberapa di antaranya terdapat ketidaksesuaian Rencana Tata Ruang (RTR), baik itu RTR KSN Jabodetabekpunjur, Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten, dan Perda RTRW Kabupaten Tangerang.
Selain itu, berdasarkan SK Menteri LHK, kawasan PIK 2 juga masih berada di dalam kawasan hutan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.



