Kementrian Lembaga: Komisi II DPR

  • Menpan RB Umumkan Pengangkatan CASN 2024 Ditunda

    Menpan RB Umumkan Pengangkatan CASN 2024 Ditunda

    Menpan RB Umumkan Pengangkatan CASN 2024 Ditunda
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB)
    Rini Widyantini
    mengungkapkan, pemerintah memutuskan untuk melakukan penundaan jadwal pengangkatan calon aparatur sipil negara (ASN).
    “Pemerintah mengusulkan dilakukan penyesuaian jadwal pengangkatan CASN sebagai pegawai ASN dengan perkiraan pengangkatan pada akhir 2025 atau di awal 2026,” kata Rini dalam rapat bersama
    Komisi II DPR
    , di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (5/3/2025).
    Menpan RB juga akan memastikan semua pelamar yang lulus CASN akan tetap diangkat, baik itu calon pegawai negeri sipil (PNS) maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
    Menurut rencana, calon PNS akan diangkat pada Oktober 2025, sedangkan calon PPPK diangkat pada Maret 2026.
    “Memastikan bagi pelamar yang telah mengikuti dan dinyatakan lulus seleksi CASN tetap diangkat sebagai pegawai ASN,” ujar Rini
    Saat dikonfirmasi selepas rapat, Rini mengeklaim pihaknya bukan menunda pengangkatan CASN.
    “Bukan ditunda sebenarnya, tapi mau menyelesaikan supaya semuanya bisa terangkat,” kata Rini singkat.
    Menurut dia, keputusan ini sudah disepakati bersama Komisi II DPR.
    Dia pun membantah alasan penundaan pengangkatan ini dikarenakan efisiensi anggaran.
    “Bukan. Bukan karena efisiensi, kan masih banyak. Nanti kita masih menyelesaikan yang belum mengumumkan dan sebagainya,” ungkap Rini.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pakar: Perlu evaluasi bila sistem proporsional terbuka dipertahankan

    Pakar: Perlu evaluasi bila sistem proporsional terbuka dipertahankan

    Jakarta (ANTARA) – Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Delia Wildianti memaparkan sejumlah evaluasi yang perlu dilakukan apabila sistem proporsional terbuka tetap dipertahankan sebagai sistem pemilu di tanah air.

    “Kalau misalnya kita tetap di sistem proporsional daftar terbuka, ini perlu ada beberapa yang dievaluasi,” kata Delia saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).

    Dia menyebut perlu dilakukan evaluasi terhadap proses rekrutmen calon legislatif (caleg) dalam penerapan sistem proporsional terbuka di tanah air. Dia merekomendasikan seorang caleg harus melewati dengan seksama tahapan-tahapan rekrutmen dan kaderisasi oleh partai politik.

    Menurut dia, sistem proporsional terbuka dalam praktiknya membawa kelemahan institusionalisasi partai politik dan kerap membuat partai politik hanya dijadikan sebagai penyedia tiket bagi seorang caleg untuk berkompetisi pada pemilu.

    “Sehingga tidak ada istilahnya caleg kutu loncat gitu ya, tiba-tiba caleg masuk di dalam partai politik, padahal tidak punya gagasan, tidak punya Ideologi partai, tidak tau mau mengembangkan seperti apa,” katanya.

    Selain itu, dia menyebut data caleg yang berkompetisi pada pemilu perlu dibuka lebih transparan kepada masyarakat. Menurut dia, data caleg harus selalu ditampilkan dan dapat diakses oleh publik, sepanjang tidak melanggar data pribadi.

    “Data yang sifatnya publik, yang harus diketahui oleh masyarakat, itu harus disampaikan karena tujuan dari sistem proporsional terbuka adalah memilih caleg yang akan mewakili pemilihnya,” ucapnya.

    Kemudian, dia menuturkan perlunya penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan di parlemen, di samping menggunakan kuota minimum sebesar 30 persen.

    “Mau tidak mau, untuk mendorong percepatan akselerasi kesetaraan itu juga perlu dibantu dengan penguatan afirmasi,” tuturnya.

    Padahal, lanjut dia, DPR sebagai representasi wakil rakyat seharusnya mampu menghadirkan representasi perempuan itu sendiri yang jumlahnya lebih dari separuh penduduk di Indonesia.

    Hal tersebut, ujarnya lagi, dapat dilakukan dengan mengusulkan pasal baru terkait penguatan kebijakan afirmasi perempuan.

    “Selain kuota “zipper system” murni, jadi di antara dua (caleg) ada satu perempuan, tapi juga kita bisa mendorong sebetulnya berkaitan dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan untuk perempuan,” paparnya.

    Meski demikian saat di awal paparan, Delia mengingatkan bahwa kekurangan dari penerapan sistem proporsional terbuka ialah berimplikasi pada maraknya praktik politik uang dan kurang mendukung kesetaraan gender.

    “Terjadinya kompetisi intrapartai dan antarpartai yang tidak sehat. Misalnya, pertukaran suara, pemberian suara di internal partai, serta banyaknya terjadi pencurian atau jual beli suara kandidat dan/atau partai politik,” ucap dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Komisi II soroti politik uang dalam perbaikan sistem pemilu Indonesia

    Komisi II soroti politik uang dalam perbaikan sistem pemilu Indonesia

    tidak ada sistem pemilu apa pun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyoroti rumusan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perlu memberikan perhatian kepada masalah politik uang, selain persoalan teknis dalam perbaikan sistem kepemiluan di tanah air.

    “Kami harus melakukan revisi Undang-Undang Pemilu bukan hanya pada sistem metode penghitungannya, bukan hanya masalah per dapil (daerah pemilihan), bukan hanya masalah threshold atau lain-lainnya, tetapi juga masalah-masalah lain, seperti money politics-nya,” kata Dede saat memimpin jalannya rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

    Hal itu disampaikan Dede Yusuf saat memimpin jalannya rapat dengar pendapat umum bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu untuk revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.

    Dede mengatakan bahwa di sejumlah wilayah terjadi hal-hal transaksional demi memenangkan pesta demokrasi.

    “Cost of money-nya kami menganggap itu semakin lama semakin membesar,” ucapnya.

    Bahkan, pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024 yang baru saja dilaksanakan menjadi preseden terburuk dari jalannya pemilihan umum secara langsung di tanah air.

    “Karena hampir semua mengatakan pemilu kemarin adalah pemilu yang paling brutal dan paling transaksional,” ujarnya.

    Senada dengan Dede, anggota Komisi II DPR RI Edi Oloan Pasaribu mengatakan ada dua isu besar yang perlu mendapatkan perhatian dalam merevisi undang-undang kepemiluan, yakni politik uang dan netralitas.

    “Untuk money politics dan netralitas, bagaimanapun sistemnya kita bangun, kita bentuk, itu tidak akan terjadi perubahan yang radikal kalau tidak (ada perubahan) perilakunya,” katanya.

    Dia memandang desain sistem pemilu sebaik apa pun pada akhirnya akan menjadi percuma sebab bergantung pada perilaku penyelenggara pemilu hingga peserta pemilu itu sendiri.

    “Karena saya percaya betul peribahasa yang bilang the right system will produce the right result, sistem yang baik (akan) menghasilkan hasil yang baik, tetapi kalau yang menjalankan sistemnya juga enggak baik, susah ini,” tuturnya.

    Edi menambahkan, “Jadi, kita lahir dari rahim demokrasi yang brutal (Pemilu) 2024, kita sepakat, karena diskusi juga gini kalau kita tidak setop money politics akan ada namanya istilah saya sebut inflasi demokrasi, 2029 semakin besar nanti.”

    Anggota Komisi II DPR RI Deddy Sitorus menyoroti pula aspek moralitas lembaga penyelenggara pemilu.

    Dia menekankan pentingnya perbaikan perilaku penyelenggara dan pengawas pemilu yang disebutnya sebagai faktor internal, di atas pembenahan sistem kepemiluan di tanah.

    “Ketika penyelenggara dan pengawas yang menjadi bagian dari kerusakan itu, gimana sih ngatasin itu, kalau kita mau bicara memperbaiki pemilu? Karena tidak ada sistem pemilu apa pun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada,” kata Deddy.

    Selain faktor internal, dia mencatat pula pentingnya memberi perhatian terhadap faktor eksternal dalam memperbaiki sistem kepemiluan di tanah air, yakni “cawe-cawe” kekuasaan demi memenangkan kontestasi.

    “Jadi, akan menjadi sangat sia-sia kita berbicara berbagai macam skenario pemilu, skenario perbaikan partai politik, penyelenggara pemilu, kalau pemilu itu sendiri sangat rentan terhadap kekuasaan, terhadap institusi-institusi yang memiliki kekuatan untuk menekan, mempengaruhi hasil, memanipulasi dan sebagainya,” ujarnya.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Keterwakilan Perempuan Minim, Puskapol UI Sodorkan Sistem Pemilihan Campuran

    Keterwakilan Perempuan Minim, Puskapol UI Sodorkan Sistem Pemilihan Campuran

    Jakarta

    Komisi II DPR menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait revisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Dalam rapat, peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) mengusulkan sistem pemilu yang semula proporsional terbuka menjadi sistem pemilihan campuran.

    “Sebetulnya Puskapol sejak 2014 mendorong sistem proposional terbuka karena semangatnya pemilu itu bisa diberikan pilihan untuk memilih caleg secara langsung jadi dia bisa mengenal siapa sih yang mereka pilih itu,” kata peneliti Puskapol UI Delia Wildianti dalam RDPU dengan Komisi II DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (5/3/2025).

    Kendati demikian, Delia melihat sistem proporsional terbuka membatasi keterwakilan perempuan di dalam kontestasi politik. Delia menyinggung studi di beberapa negara di mana keterwakilan perempuan justru dapat didorong melalui sistem proporsional tertutup.

    “Beberapa studi yang kami pelajari di beberapa negara, memang sistem proporsional terbuka tidak kompatibel mendorong keterwakilan perempuan. Justru yang kompatibel mendorong keterwakilan perempuan itu adalah sistem proporsional tertutup karena di dalamnya bisa ada kebijakan kuota dan juga ada kebijakan zipper system yang bisa memperkuat keterwakilan perempuan,” tambahnya.

    Delia menilai pertimbangan dari sistem pemilu Indonesia ke depan bukan hanya berdasarkan terbuka atau tertutup. Mereka menyatakan Indonesia bisa menganut sistem pemilihan campuran untuk mengakomodasi dua pilihan yang ada.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    adSlot.innerHTML = “;

    console.log(“🔍 Checking googletag:”, typeof googletag !== “undefined” ? “✅ Defined” : “❌ Undefined”);

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    console.log(“✅ Googletag ready. Displaying ad…”);
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    console.log(“⚠️ Googletag not loaded. Loading GPT script…”);
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    console.log(“✅ GPT script loaded!”);
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’).addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;

    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”; // Clear previous ad content
    ads[currentAdIndex](); // Load the appropriate ad

    console.log(“🔄 Ad refreshed:”, currentAdIndex === 0 ? “Creative B” : “Creative A”);
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function(entries) {
    entries.forEach(function(entry) {
    if (entry.isIntersecting) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    console.log(“👀 Iklan mulai terlihat, menunggu 30 detik…”);

    setTimeout(function () {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    console.log(“✅ Iklan terlihat 30 detik! Memulai refresh…”);
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    }
    }, viewTimeThreshold);
    }
    } else {
    console.log(“❌ Iklan keluar dari layar, reset timer.”);
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.5 });

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (adSlot) {
    ads[currentAdIndex](); // Load the first ad
    observer.observe(adSlot);
    }
    });

    Adapun sistem campuran menggabungkan sistem mayorotarian yakni wakil rakyat dipilih berdasarkan suara terbanyak di suatu daerah pemiihan dapil. Sedangkan sistem proporsional, yakni kursi dibagi berdasarkan jumlah suara yang didapat partai.

    “Terkadang kita terjebak antara pilihan terbuka atau tertutup hanya itu dua opsinya padahal di dalam literatur politik itu ada banyak varia-varian lain yang bisa kita exercise jadi pilihannya tidak hanya terbuka atau tertutup,” ujar Delia.

    “Terbuka kita sudah menjalankan dan implikasinya tadi ada praktik politik uang, kompetisi yang tidak sehat internal partai dan sebagainya. Proporsional tertutup kita sudah menyelenggarakan di era Orde Baru bagaimana misalnya ada ketidaktransparanan dan lain sebagainya. Itu terjadi, jadi kalau Puskapol dari studi yang kami lakukan kita bisa coba exercise untuk opsi alternatif perubahan sistem proporsional terbuka menjadi sistem pemilih campuran,” imbuhnya.

  • Puskapol UI Usul Caleg Perempuan Tempati Nomor Urut 1 pada 30 Persen Daerah Pemilihan – Halaman all

    Puskapol UI Usul Caleg Perempuan Tempati Nomor Urut 1 pada 30 Persen Daerah Pemilihan – Halaman all

    Delia menjelaskan bahwa hasil studi Puskapol UI menunjukkan bahwa hampir 70 persen yang terpilih dalam Pileg adalah nomor urut 1.

    Tayang: Rabu, 5 Maret 2025 13:14 WIB

    Tribunnews.com/Fersianus Waku

    CALEG PEREMPUAN – Rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama pemerhati Pemilu di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025). Mengemuka dalam rapat soal nasib caleg perempuan di Pemilu. 

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Delia Wildianti, mengusulkan adanya ketentuan yang mewajibkan perempuan menempati posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan (dapil) pada setiap pemilihan legislatif.

    Hal ini disampaikan Delia dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3/2025).

    “Kita bisa mendorong sebetulnya berkaitan dengan ketentuan posisi nomor urut 1 di 30 persen daerah pemilihan untuk perempuan,” kata Delia dalam rapat.

    Delia menjelaskan bahwa hasil studi Puskapol UI menunjukkan bahwa hampir 70 persen yang terpilih dalam Pileg adalah nomor urut 1.

    “Jadi mau tidak mau untuk mendorong percepatan akselerasi kesetaraan itu juga perlu dibantu dengan penguatan afirmasi,” ujarnya.

    Selain itu, dia mengungkapkan bahwa saat ini memang sudah ada sistem afirmasi keterwakilan perempuan yang mengacu pada kuota minimal 30 persen dalam daftar calon. 

    Namun penerapan sistem zipper atau penyusunan daftar caleg secara selang-seling antara laki-laki dan perempuan belum berjalan maksimal.

    “Sekarang kan zipper sistemnya tidak murni yah. Diantara 3 ada 1 perempuan. Kalau zipper sistem murni itu di antara 2 calon ada 1 perempuan,” ucap Delia.

     

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’1′,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Baleg DPR setujui hasil harmonisasi terhadap 10 RUU kabupaten/kota

    Baleg DPR setujui hasil harmonisasi terhadap 10 RUU kabupaten/kota

    Jakarta (ANTARA) – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyetujui rumusan hasil harmonisasi terhadap 10 Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang kabupaten/kota yang diusulkan oleh Komisi II DPR RI untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan mekanisme peraturan perundangan.

    Adapun 10 RUU kabupaten/kota yang rencananya akan diajukan sebagai RUU usul inisiatif DPR itu mencakup tiga provinsi, yakni Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.

    “Apakah hasil harmonisasi, pembulatan, pemantapan konsepsi terhadap 10 RUU tentang kabupaten/kota dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan yang memimpin jalannya rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/3).

    Persetujuan itu diambil setelah delapan fraksi menyampaikan pendapat mini fraksinya dan masing-masing menyatakan persetujuan terhadap laporan panja pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi terhadap 10 RUU tentang kabupaten/kota.

    “Akhirnya selesai pendapat mini fraksi, delapan fraksi, pada umumnya semuanya menyetujui,” ujar Bob.

    Setelah disetujui, acara dilanjutkan dengan penandatangan 10 RUU tentang kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara bersama pengusul RUU, yakni pimpinan Komisi II DPR RI.

    Adapun di awal, Ketua Panitia Kerja (Panja) Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi terhadap 10 RUU tentang Kabupaten/Kota Junimart Girsang menyampaikan laporan terhadap jalannya pembahasan atas RUU tersebut.

    Dia menyampaikan bahwa 10 RUU tentang Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara telah dibahas secara intensif dan mendalam dalam rapat panja yang digelar sejak Senin hingga Selasa (3-4 Maret 2025).

    “Panja berpendapat bahwa 10 RUU tentang Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara dapat diajukan sebagai RUU usul inisiatif DPR RI, namun demikian panja menyerahkan pada pleno apakah rumusan RUU hasil harmonisasi yang telah dihasilkan oleh panja dapat diterima,” katanya.

    Junimart lantas menyampaikan secara garis besar beberapa kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat panja bersama pengusul atas 10 RUU tentang kabupaten/kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara yang digelar pada Selasa (4/3).

    Pertama, kata dia, adanya perbaikan dalam penyempurnaan teknis sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

    Kemudian, lanjut dia, adanya perbaikan aspek substansi yang hanya terdapat pada RUU tentang Kota Manado di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu menghapus Pasal 4 yang mengatur tentang ketentuan mengenai ibu kota dari Kota Manado pada RUU tentang Kota Manado di Provinsi Sulawesi Utara.

    Dia menyebut bahwa pengaturan mengenai penentuan ibu kota hanya terdapat pada Undang-Undang Kabupaten.

    “Pengaturan mengenai penentuan ibu kota dan kota tidak diatur dalam undang-undang sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Kota lainnya yang sudah diundangkan. Antara lain, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2024 tentang Banda Aceh di Aceh,” paparnya.

    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin menyampaikan kesiapan pihaknya selaku pengusul RUU tersebut untuk melanjutkan ke mekanisme selanjutnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

    Dia pun menyampaikan pihaknya siap menggulirkan pembahasan ratusan RUU tentang Kabupaten/Kota lainnya dengan telah disetujuinya 10 RUU tentang Kabupaten/Kota di Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara pada hari ini.

    “Mudah-mudahan apa yang sudah dihasilkan oleh panja termasuk disetujui oleh Baleg memberi energi bagi kami untuk segera mengusulkan kembali ke Baleg untuk segera mengusulkan kembali ke Baleg untuk harmonisasi 112 RUU yang tersisa secara bertahap,” kata dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

  • Utak-Atik Anggaran Demi Pemilihan Suara Ulang di 24 Wilayah

    Utak-Atik Anggaran Demi Pemilihan Suara Ulang di 24 Wilayah

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah pusat harus berupaya menyesuaikan anggaran untuk pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di sejumlah daerah. Hal itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.

    Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat terdapat 24 kota dan kabupaten yang diwajibkan menggelar PSU. Beberapa di antaranya telah menyatakan kesiapan menganggarkan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sayangnya, masih banyak yang belum memberikan kejelasan terkait kemampuan pendanaan mereka.

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya mengungkapkan bahwa pemerintah tengah melakukan koordinasi terkait pendanaan untuk Pemilihan SuaraUlang (PSU) di 24 kota dan kabupaten.

    Menurutnya, sebagian daerah telah menyatakan kesiapan untuk menganggarkan danadari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi masih ada yang belum memberikan kepastian terkait kemampuan pendanaan.   

    “Iya, jadi saat ini Kemendagri berkoordinasi dengan 24 kota/kabupaten itu, ada yang menyatakan siap untuk menganggarkan dengan APBD-nya, tetapi masih cukup banyak yang belum memberikan kejelasan tentang kemampuan pendanaan,” ujar Bima Arya dalam keterangannya, Selasa (4/3/2025). 

    Untuk memastikan kesiapan daerah, Kemendagri melakukan pertemuan daring dengan seluruh daerah yang terdampak serta merencanakan kunjungan langsung ke masing-masing wilayah.

    Selain memastikan kesiapan APBD, Kemendagri akan memeriksa komposisi penganggaran agar lebih efisien. 

    “Jangan sampai ada anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan yang sebetulnya tidak perlu, seperti sosialisasi dan lain-lain,” tambahnya.  

    Menurutnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatia. Pertama, memastikan APBD mampu membiayai PSU. Kedua, memastikan penganggaran dilakukan dalam versi minimal. 

    Bima menekankan bahwa jika APBD daerah tidak cukup, maka pembiayaan dapat ditarik ke tingkat yang lebih tinggi. 

    “Kalau provinsi juga tidak mampu, baru nanti kita akan komunikasikan dengan Kementerian Keuangan,” katanya.  

    Bima Arya mengakui bahwa pemerintah berpacu dengan waktu karena ada bataswaktu yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meski begitu, dia memastikan bahwa pemerintah pusat akan berkoordinasi dilakukan semaksimalmungkin agar PSU, baik yang seluruhnya maupun sebagian, bisa terselenggara dengan baik.   

    Terkait kemungkinan penggunaan dana dari Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara (APBN), Bima Arya menyatakan bahwa skema pendanaannya akan bersifat berbagi beban (cost-sharing).

     “Bisa. Kita lihat sharing-nya berapa persen, tapi saya kira tidak 100 persen. Pasti adakomponen yang dari APBD maupun dari provinsi, baru kemudian sisanya ditutup oleh APBN,” ungkapnya.  

    Ketika ditanya apakah anggaran dari APBN akan berasal dari pos kementeriantertentu, Bima Arya menyatakan bahwa hal tersebut masih akan dikoordinasikan lebihlanjut dengan Kementerian Keuangan. 

    “Kami akan komunikasikan dan Kementerian Keuangan post-nya dari mana nanti ya,” pungkas Bima.  

    Daftar 24 Wilayah yang Wajib Menggelar Pemungutan Suara Ulang

    No.

    Nama Wilayah

    Nomor Perkara

    1

    Kabupaten Pasaman

    Perkara No. 02/PHPU.BUP-XXIII/2025

    2

    Kabupaten Mahakam Ulu

    Perkara No. 224/PHPU.BUP-XXIII/2025

    3

    Kabupaten Boven Digoel

    Perkara No. 260/PHPU.BUP-XXIII/2025

    4

    Kabupaten Barito Utara

    Perkara No. 28/PHPU.BUP-XXIII/2025

    5

    Kabupaten Tasikmalaya

    Perkara No. 132/PHPU.BUP-XXIII/2025

    6

    Kabupaten Magetan

    Perkara No. 30/PHPU.BUP-XXIII/2025

    7

    Kabupaten Buru

    Perkara No. 174/PHPU.BUP-XXIII/2025

    8

    Provinsi Papua

    Perkara No. 304/PHPU.GUB-XXIII/2025

    9

    Kota Banjarbaru

    Perkara No. 05/PHPU.WAKO-XXIII/2025

    10

    Kabupaten Empat Lawang

    Perkara No. 24/PHPU.BUP-XXIII/2025

    11

    Kabupaten Bangka Barat

    Perkara No. 99/PHPU.BUP-XXIII/2025

    12

    Kabupaten Serang

    Perkara No. 70/PHPU.BUP-XXIII/2025

    13

    Kabupaten Pesawaran

    Perkara No. 20/PHPU.BUP-XXIII/2025

    14

    Kabupaten Kutai Kartanegara

    Perkara No. 195/PHPU.BUP-XXIII/2025

    15

    Kota Sabang

    Perkara No. 47/PHPU.WAKO-XXIII/2025

    16

    Kabupaten Kepulauan Talaud

    Perkara No. 51/PHPU.BUP-XXIII/2025

    17

    Kabupaten Banggai

    Perkara No. 171/PHPU.BUP-XXIII/2025

    18

    Kabupaten Gorontalo Utara

    Perkara No. 55/PHPU.BUP-XXIII/2025

    19

    Kabupaten Bungo

    Perkara No. 173/PHPU.BUP-XXIII/2025

    20

    Kabupaten Bengkulu Selatan

    Perkara No. 68/PHPU.BUP-XXIII/2025

    21

    Kota Palopo

    Perkara No. 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025

    22

    Kabupaten Parigi Moutong

    Perkara No. 75/PHPU.BUP-XXIII/2025

    23

    Kabupaten Siak

    Perkara No. 73/PHPU.BUP-XXIII/2025

    24

    Kabupaten Pulau Taliabu

    Perkara No. 267/PHPU.BUP-XXIII/2025

    Sumber: Putusan Mahkamah Konstitusi (diolah)

    Beban Berat Pemilihan Suara Ulang

    Komisi II DPR RI pun sempat memperkirakan biaya yang digelontorkan untukmenggelar pemungutan suara ulang di sejumlah daerah bakal membebani APBN dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi atas Perselisihan Hasil Pemilihan UmumKepala Daerah 2024 lantaran bisa mencapai hampir Rp1 triliun.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menjabarkan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk mengulang pemungutan suara di 24 titik bisa mencapai Rp900 miliar sampai Rp1 triliun. 

    Bagaimana tidak, jumlah biaya tersebut berasal dari kebutuhan anggaran yang disampaikan lembaga penyelenggara pemilu untuk menggelar pemungutan suaraulang (PSU) hingga anggaran aparat keamanan untuk menjalankan fungsipengamanan.

    “KPU menyampaikan [butuh anggaran] kurang lebih Rp486 miliar sekian, Bawaslukurang lebih sekitar Rp215 miliar, tambah kalau ada pilkada ulangnya kurang lebihRp250 miliar. Belum TNI dan Polri jika harus melakukan fungsi pengamanan,” tandasnya.

    Menurut penelusuran Bisnis, beban sejumlah wilayah jika harus mengulang pemungutan suara memang cukup besar.

    Misalnya, untuk Provinsi Papua, KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengajukan anggaran sebesar Rp367 miliar untuk pelaksanaan PSU PemilihanGubernur dan Wakil Gubernur. Lalu, Pilkada Serentak 2024 di Serang, Jawa Barat yang menelananggaran Rp28 miliar lebih.

    Anggaran Pilkada dari Masa ke Masa 

    Tahun

     Jumlah Daerah 

     Anggaran 

    Rincian Penggunaan Anggaran

    2015

    269

    Rp 7,1 Triliun

    Pembiayaan pemungutan suara, logistik, honorarium petugas, dan pengamanan.

    2017

    101

    Rp 7,9 Triliun

    Peningkatan pengawasan, distribusi logistik, dan pengamanan Pilkada.

    2018

    171

    Rp 9,1 Triliun

    Pembiayaan logistik, honorarium petugas, serta pengawasan yang lebih ketat.

    2020

    270

    Rp 15,4 Triliun

    Pembiayaan Pilkada serentak (Juli–Desember), penanganan pandemi Covid-19, dan vaksinasi.

    2024

    514

    Rp 37,43 Triliun

    Penggunaan anggaran termasuk logistik, honorarium, dan fasilitas untuk pilkada lebih besar.

    Sumber: KPU, Kemendagri, dan berbagai sumber diolah

     

  • Anggota DPR: Putusan MK pilkada ulang di 24 daerah tepat

    Anggota DPR: Putusan MK pilkada ulang di 24 daerah tepat

    Respons bijak atas putusan MK seharusnya tidak dilihat kepada siapa sanksi itu dijatuhkan, tetapi ….

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Toha menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah 2024 untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah merupakan putusan yang berani dan tepat.

    “Saya percaya dengan model persidangan yang terbuka untuk publik, putusan akhir MK terkait dengan PHPU tidak sembarangan, terlebih sorotan publik akhir-akhir ini sangat kuat,” kata Toha dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Toha menyebutkan total 15 daerah yang wajib melaksanakan PSU, 9 daerah PSU di sejumlah TPS, dan 2 daerah pilkada ulang karena kemenangan kotak kosong.

    Menurut dia, biaya untuk menggelar kembali PSU di 24 daerah mencapai Rp1 triliun.

    Berdasarkan RDPU di DPR RI pada hari Kamis (27/2), KPU mengajukan anggaran sebesar Rp486 miliar dan Bawaslu Rp206 miliar untuk kembali melaksanakan PSU di 24 daerah imbas dari putusan akhir MK pada hari Senin (24/2).

    “Dana tersebut belum termasuk dua pilkada ulang akibat kemenangan kotak kosong di Kota Padang Sidempuan dan Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditaksir semua menjadi kurang lebih Rp1 triliun,” ujarnya.

    Meski begitu, Toha yang membidangi urusan dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur mengakui MK telah menjadi lembaga tinggi negara yang berwenang mengadili perkara-perkara tertentu, termasuk PHPU dengan mempraktikkan prinsip audi et alteram partem.

    Dalam pergelaran sidang PHPU, mulai saat pendaftaran sampai sidang akhir putusan, semua pihak bebas mengadu (fair), persidangan dibuka dan terbuka untuk umum, live TV, dan dapat diakses berbagai kanal (transparan), serta terbukti putusannya tidak pandang bulu (equality before the law).

    “Respons bijak atas putusan MK seharusnya tidak dilihat kepada siapa sanksi itu dijatuhkan, tetapi perkara aduan, bukti-bukti persidangan, dan kesaksian saksi atau saksi ahli,” jelas Toha

    Wakil rakyat yang berada di komisi yang membidangi pemerintah dalam negeri, pertanahan, dan pemberdayaan aparatur ini juga mengingatkan bahwa putusan MK itu final dan mengikat (final and binding).

    Toha menghargai segelintir pendapat yang menyoal dasar putusan MK, misalnya pada perkara keabsahan persyaratan pencalonan yang pasti putusan itu sudah dijatuhkan dan semua pihak harus menghargai.

    “Putusan ini harus menjadi pelajaran terbaik untuk kinerja penyelenggara pemilu agar lebih profesional,” ucapnya.

    Di sisi lain, Toha menyayangkan putusan MK terkait dengan PHPU bukan hanya karena kesalahan penghitungan suara, pencurian suara, penghilangan suara, dan perubahan status suara sah menjadi tidak sah atau yang tidak sah menjadi sah.

    Ia merasa terjadi kesalahan administrasi di awal tahapan, bahkan ada yang terjadi karena pelanggaran netralitas pejabat negara.

    “Kesalahan administrasi kategori malaadministrasi dan dapat dipidana. Pun dengan pelanggaran netralitas oleh pejabat negara, pejabat daerah, dan TNI/Polri dalam pilkada juga dapat diberi sanksi pidana,” pungkas dia.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Komisi II DPR Setujui Efisiensi PSU Tanpa Kurangi Aspek Substansial

    Komisi II DPR Setujui Efisiensi PSU Tanpa Kurangi Aspek Substansial

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi II DPR sepakat dengan pernyataan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya yang meminta pemerintah daerah untuk tidak boros dalam melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024 di 24 kota dan kabupaten. 

    Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda sependapat dengan hal tersebut. Dia memandang agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang digunakan untuk PSU dapat dihemat seefisien mungkin.

    “Tentu dengan catatan bahwa hal-hal substansial terkait penyelenggaraan PSU tidak boleh mengurangi bobot kualitas dari PSU itu sendiri,” tuturnya dalam keterangan resmi yang dikutip Rabu (5/3/2025).

    Menurut Legislator dari fraksi Nasdem tersebut, ada beberapa unit beban yang bisa dikurangi. Misalnya biaya hibah keamanan TNI dan Polri. Kemudian, mengimbau kepada KPU dan Bawaslu untuk merasionalisasikan honorarium petugas ad hoc, baik yang berada di bawah KPU, PPK, Bawaslu, pengawas desa, pengawas TPS.

    Sementara itu, lanjut dia, hal-hal substansial seperti pencetakan suara, pengadaan tempat pemungutan suara (TPS) dan rekapitulasi suara harus diberikan support anggaran.

    “Hal itu semata agar penyelenggaraan PSU tidak cacat prosedur, sehingga ada kemungkinan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) kembali,” tegasnya.

    Sebelumnya, Wamendagri Bima Arya menegaskan bahwa selain memastikan kesiapan APBD untuk PSU, Kemendagri akan memeriksa komposisi penganggaran agar lebih efisien. 

    “Jangan sampai ada anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan yang sebetulnya tidak perlu, seperti sosialisasi dan lain-lain,” tambahnya.   

    Menurutnya, ada dua hal utama yang menjadi perhatian. Pertama, memastikan apakah APBD mampu membiayai PSU. Kedua, memastikan penganggaran dilakukan dalam versi minimal.

  • 7
                    
                        Lebih Luas dari Singapura, PIK 2 Dikhawatirkan Jadi Negara dalam Negara
                        Nasional

    7 Lebih Luas dari Singapura, PIK 2 Dikhawatirkan Jadi Negara dalam Negara Nasional

    Lebih Luas dari Singapura, PIK 2 Dikhawatirkan Jadi Negara dalam Negara
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sekretaris Jenderal
    Forum Tanah Air
    (FTA) Ida N Kusdianti mengkhawatirkan
    Proyek Strategis Nasional
    (PSN) di area
    Pantai Indah Kapuk
    (PIK) 2 ke depannya bisa menjadi daerah otonomi atau negara sendiri.
    Menurut Ida, saat ini sudah muncul istilah bahwa
    PIK 2
    adalah negara dalam negara karena luas proyek tersebut yang sudah lebih luas dari negara Singapura.
    “Luas PIK 2 yang lebih luas dari Singapura yang hanya sekitar 71.800 ha atau 780 km persegi mau munculkan pemeo bahwa PIK 2 adalah negara dalam negara Republik Indonesia,” kata Ida dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/3/2025).
    Ida pun menyinggung pembangunan markas sejumlah lembaga keamanan di PIK 2 yang ia khawatirkan dapat membuat PIK 2 seolah-olah punya otoritas sendiri.
    “Darat, laut, udara, serta Markas Brimob sudah dibangun di sana, sudah kita tahu sendiri, bahkan mungkin ke depannya akan menjadi wilayah atau otoritas khusus yang punya administrasi sendiri dan pemerintah sendiri. Ini yang kami khawatirkan,” ujar dia.
    Ida mengatakan, sejak ditetapkan menjadi PSN, pihak pengembang PIK 2 menjadi lebih leluasa untuk membangun proyek dengan cara yang merugikan masyarakat.
    “Dengan menyatakan bahwa lahan-lahan yang dibebaskan dengan menggusur rakyat, yang mematok harga sangat murah, berlindung di balik PSN, seakan lahan tersebut termasuk PSN,” kata dia.
    Ida menyebutkan, sebelum ada PSN, wilayah yang masuk dalam PIK 2 hanya di Kecamatan Kosambi.
    Sementara wilayah lain diberi nama PIK A sampai PIK 14.
    “Pemberian nama PIK 2 di semua wilayah pembebasan tersebut patut diduga dimaksudkan untuk menakut-nakuti rakyat agar mengikuti keinginan pengembang menggusur rakyat dengan berlindung di bawah PSN,” ujar Ida.
    Ida khawatir pengadaan tanah untuk PSN yang melibatkan swasta dapat menimbulkan persoalan
    konflik agraria
    karena sudah ada 115 konflik agraria sepanjang 2020 sampai 2023.
    “KPA Konsorsium Pembangunan Agraria mencatat, sepanjang tahun 2020 hingga 2023 ada 115 letusan konflik agraria akibat PSN. Luas lahan dan jumlah korban terdampak masing-masing 516.409.000 ha dan 85.555 keluarga,” kata dia.
    Diketahui, pengembangan Green Area dan Eco-City di lokasi PIK 2 masuk dalam daftar 14 PSN baru pada tahun 2023 lalu.
    Hal itu termuat dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional serta surat komite percepatan penyediaan infrastruktur.
    Proyek yang merupakan pengembangan wilayah berbasis hijau dengan luas lebih kurang 1.756 hektar bernama “Tropical Coastland” itu bertujuan sebagai destinasi pariwisata baru berbasis hijau guna meningkatkan daya tarik bagi wisatawan.
    Namun, belakangan pemerintah menyebut bahwa proyek-proyek yang masuk daftar PSN bakal dievaluasi, termasuk proyek “Tropical Coastland” di PIK 2.
    “Untuk PSN Ecowisata Tropical Coastland usulan atau rekomendasi teknis dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada saat itu, karena itu sekarang kita sedang mintakan evaluasi teknis dari Kementerian Pariwisata,” kata Sekretaris Kementerian Koordinator (Sesmenko) Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, 23 Januari 2025.
    Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid pernah mengungkapkan bahwa terdapat permasalahan tata ruang dalam PSN Tropical Coastland di PIK 2.
    “Yang masuk di dalam PSN Pariwisata PIK 2 hanya 1.705 hektar. Dari 1.705 hektar itu, 1.500 hektar-nya masuk ke dalam kawasan hutan dan hutannya itu hutan lindung,” kata Nusron, 28 November 2024 lalu.
    Ia juga menegaskan, dalam perjalanan pengembangan kawasan PIK 2, masih terdapat berbagai kendala.
    Beberapa di antaranya terdapat ketidaksesuaian Rencana Tata Ruang (RTR), baik itu RTR KSN Jabodetabekpunjur, Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Banten, dan Perda RTRW Kabupaten Tangerang.
    Selain itu, berdasarkan SK Menteri LHK, kawasan PIK 2 juga masih berada di dalam kawasan hutan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.