Kementrian Lembaga: Komisi II DPR

  • MenpanRB Sebut Sistem Kerja Baru ASN Flexible Working Arrangement Bukan WFA

    MenpanRB Sebut Sistem Kerja Baru ASN Flexible Working Arrangement Bukan WFA

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenpanRB), Rini Widyantini meluruskan sistem kerja fleksibel bagi aparatur sipil negara (ASN) disebut flexible working arrangement (FWA).

    Hal tersebut dia sampaikan langsung dalam rapat kerja (raker) dengan Komisi II DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin (30/6/2025).

    “Kebijakan mengenai fleksibilitas kerja ASN. Jadi WFA ini bukan work from anywhere tapi flexible working arrangement (FWA), jadi working arrangement-nya yang fleksibel,” katanya.

    Rini melanjutkan, kebijakan ini diperlukan untuk menjawab tantangan organisasi yang lebih modern, efektif, dan terukur. Diharapkan dengan fleksibilitas kerja ini bisa meningkatkan kepuasan kerja.

    Rini mencontohkan, Belanda, Australia, Singapura, dan Uni Emirat Arab (UEA) saja sudah lebih dulu menerapkan fleksibilitas kerja sebagai strategi nasionalnya.

    “Misalnya Singapura telah berhasil meningkatkan responsivitas ranah publik hingga 15%, melalui model kerja Hybrid atau flextime. Sedangkan Belanda itu telah mendorong partisipasi tenaga perempuan dengan pengaturan jam kerja yang lebih pendek,” bebernya.

    Sebab itu, dia memandang fleksibilitas kerja bukan hanya skadar tren biasa, tetapi menjadi kebutuhan untuk menjawab tantangan ke depan terhadap birokrasi.

    Selain itu, lanjutnya, aturan mengenai fleksibilitas kerja untuk para ASN sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 Tentang Dispilin PNS dan juga ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Hari dan Kerja ASN.

    “Oleh karena itu kita keluarkan PermenPAN Nomor 4 Tahun 2025 tentang pelaksanaan kedinasan ASN secara fleksibel di instansi pemerintah. Aturan ini adalah peraturan teknis daripada kedua peraturan yang lebih tinggi. Jadi memang ini Pedoman tata cara hasil pemerintah untuk melakukan Flexible Working Arrangement,” ucapnya.

  • Komisi II rapat dengan pimpinan DPR bahas putusan MK terkait pemilu

    Komisi II rapat dengan pimpinan DPR bahas putusan MK terkait pemilu

    Jakarta (ANTARA) – Komisi II DPR RI menggelar rapat bersama pimpinan DPR RI yang membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    “Komisi II ini adalah komisi yang memang mengurusi permasalahan-permasalahan KPU ya, termasuk juga pemilu. Tetapi karena keputusan MK ini bersifat final and binding, tadi kami sudah diundang rapat konsultasi dengan pimpinan DPR,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

    Dede menuturkan rapat tersebut turut dihadiri pula oleh pimpinan Komisi III DPR RI, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, hingga Menteri Hukum (Menkum) RI Supratman Andi Agtas, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Tito Karnavian, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI.

    Dia menyebut rapat tersebut bahkan turut dihadiri oleh perwakilan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), yang mengajukan gugatan uji materi terkait pemisahan pemilu nasional dan daerah ke MK.

    Legislator itu menjelaskan bahwa rapat itu membahas putusan MK tersebut dari berbagai peninjauan, termasuk sumber-sumber gugatan yang diajukan oleh Perludem selaku koalisi masyarakat sipil.

    Dia mengaku rapat tersebut di dalamnya berlangsung perdebatan yang cukup panjang, misalnya terkait konsekuensi pemilu daerah untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah yang dipisah dengan pemilu nasional.

    Hal tersebut, lanjut dia, akan berdampak pada harus dilakukannya perpanjangan masa jabatan hingga perombakan sejumlah undang-undang terkait, seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Otonomi Khusus, hingga Undang-Undang Partai Politik.

    “Kalau DPRD-nya dipisah berarti ada masa perpanjangan, baik kepala daerah maupun juga DPRD dalam jangka waktu dua tahun atau bahkan lebih 2,5 tahun. Nah, ini nanti korelasinya harus merubah berbagai undang-undang lainnya,” tuturnya.

    Dia lantas berkata, “Tidak semudah itu. Artinya mungkin ada empat atau lima undang-undang lain yang akan terevisi dengan hal seperti ini. Ini pasti akan jadi satu concern yang amat besar terutama juga bagi para partai politik, bagi DPR, lembaga-lembaga lain, termasuk juga kementerian lainnya.”

    Untuk itu, dia mengatakan rapat itu menghasilkan kesepakatan bahwa masing-masing komisi terkait di DPR RI akan melakukan kajian akademik terlebih dahulu guna menindaklanjuti putusan MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah untuk diteruskan pada rapat selanjutnya dengan berbagai lembaga dan komisi di DPR RI.

    “Kami pada prinsipnya siap-siap saja ya (menindaklanjuti putusan MK), tetapi kita juga harus melihat dari berbagai undang-undang lain yang harus terevisi karena konteks keputusan yang terkait ini,” kata dia.

    Terpisah, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengkonfirmasi bahwa rapat tersebut dilangsungkan secara mendadak pada Senin pagi, sesaat sebelum Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan sejumlah mitra kerja.

    Rapat tersebut dilangsungkan antara Komisi II DPR RI dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Rini Widyantini; Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Zudan Arif Fakrulloh; Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik; hingga para kepala daerah yang mengikuti rapat secara daring.

    “Kami tadi mendadak harus menghadiri rapat pimpinan DPR terkait dengan beberapa isu strategis yang menjadi tugas konstitusional Komisi II DPR RI,” kata Rifqi saat membuka jalannya rapat.

    Sebelumnya, Kamis (26/6), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Bukan Perkara Mudah

    Perpanjangan Masa Jabatan DPRD Bukan Perkara Mudah

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD sebagai konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai tahun 2031 dengan jeda 2 hingga 2,5 tahun.

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Aria Bima menilai putusan MK atas uji materi yang diajukan sejumlah pihak, termasuk Perludem, akan membawa implikasi ketatanegaraan yang tidak sederhana.

    Oleh karena itu, perlu dicermati secara mendalam agar tidak menimbulkan persoalan baru dalam sistem demokrasi dan tatanan penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

    “Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Kita perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” ujar Aria Bima di Jakarta, Senin (30/6/2025).

    Ia menilai bahwa kondisi tersebut membuka urgensi untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang baru secara lebih menyeluruh.

    Menurutnya, pembahasan RUU tersebut idealnya tidak cukup hanya melalui panitia kerja (panja), tetapi bisa dipertimbangkan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi mengingat kompleksitas persoalan yang akan timbul ke depan.

    “Apakah nantinya kita akan menambahkan pasal peralihan atau menyisipkan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini soal desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” tegas legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah V tersebut.

  • Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?

    Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?

    Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dewan Perwakilan Rakyat (
    DPR
    ) RI maupun pemerintah masih terus mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029.
    Sejumlah langkah pun mulai dikaji oleh pihak legislatif, mulai dari usul pembentukan panitia khusus (pansus) hingga revisi undang-undang terkait pemilu secara menyeluruh dengan metode
    omnibus law
    .
    Lalu, apa langkah yang akan diambil DPR?
    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa pimpinan DPR belum dapat memberikan sikap resmi karena kajian terhadap substansi putusan masih berlangsung.
    “Kita akan mengkaji dahulu putusan itu,” ujar Dasco saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (27/6/2025).
    Menurut Dasco, pimpinan DPR baru akan memberikan tanggapan perinci terkait kepastian langkah yang akan diambil setelah kajian dilakukan secara komprehensif.
    “Saya belum bisa jawab karena kita kan belum mengkaji. Kalau sudah kajiannya komprehensif, ya mungkin semua pertanyaan kita bisa jawab. Ini keputusannya baru kemarin, jadi ya kita belum bisa jawab,” kata Dasco.
    Dari pihak pemerintah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga menyatakan tengah mempelajari implikasi
    putusan MK
    Nomor 135/PUU-XXII/2024 terhadap sejumlah aspek teknis dan regulasi.
    “Kami di Kemendagri terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” ujar Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, Sabtu (28/6/2025).
    Dia menjelaskan, Kemendagri akan menelaah dampak putusan tersebut terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk skema pembiayaan dan penyesuaian jadwal penyelenggaraan.
    “Komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” ujar Bahtiar.
    Wacana revisi UU Pemilu pun kembali menguak seiring dengan putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
    Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-P Aria Bima mengusulkan agar pembahasan revisi UU Pemilu dilakukan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi di parlemen.
    Sebab, pembahasan melalui panitia kerja (panja) di satu komisi atau alat kelengkapan dewan (AKD) saja tidak cukup mengingat kompleksitas dampak putusan MK ke depan.
    “Pembahasan RUU tersebut idealnya tidak cukup hanya melalui panitia kerja (panja), tetapi bisa dipertimbangkan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi mengingat kompleksitas persoalan yang akan timbul ke depan,” ujar Aria Bima dalam siaran pers, Minggu (29/6/2025).
    Bima mengingatkan, salah satu konsekuensi penting dari pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah adalah potensi kekosongan jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD.
    Hal ini disebabkan oleh pemilu di tingkat daerah yang baru bisa digelar paling cepat dua tahun atau lebih setelah pemilu nasional.
    “Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Kita perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” kata Aria.
    Oleh karena itu, revisi UU Pemilu untuk meningkatkan putusan MK terbaru harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak menimbulkan persoalan lanjutan.
    “Apakah nantinya kita akan menambahkan pasal peralihan atau menyisipkan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini soal desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” kata dia.
    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menilai bahwa putusan MK ini berpotensi mendorong dilakukannya revisi UU Pemilu dengan skema omnibus law.
    Menurut dia, cakupan revisi sangat luas dan menyentuh sejumlah undang-undang sekaligus. “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah merevisi UU ini secara omnibus law,” ujar Doli dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
    Doli menjelaskan, putusan MK tersebut menambah panjang daftar putusan terkait desain keserentakan pemilu.
    Karena itu, penyusunan ulang sistem pemilu perlu menyentuh lebih dari satu regulasi.
    Politikus Golkar itu berpandangan, setidaknya ada empat undang-undang yang perlu direvisi, yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah.
    “Setidaknya paling enggak nanti akan berkosekuensi dengan tentu pasti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yang kedua, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Yang ketiga, UU tentang MD3. Yang keempat UU tentang Pemerintahan Daerah,” kata Doli.
    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden.
    Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
     
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Di samping itu, Saldi menjelaskan bahwa MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Juni 2025

    Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu? Nasional 29 Juni 2025

    Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029 dinilai sebagai momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pemilu.
    Putusan ini dinilai bisa meringankan beban penyelenggara pemilu, dan berpotensi meningkatkan kualitas
    partisipasi rakyat
    dalam pesta demokrasi.
    Lebih jauh, putusan MK tersebut juga dianggap membuka jalan dilaksanakannya revisi besar-besaran terhadap undang-undang kepemiluan melalui pendekatan
    omnibus law
    .
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan daerah tidak lagi dilakukan secara serentak.
    Pemilu nasional akan difokuskan pada pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.
    Sementara itu, pemilu daerah yang mencakup pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan pada waktu berbeda.
    Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (
    UU Pemilu
    ) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Meski begitu, MK tidak menentukan secara pasti tenggat waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah. Namun, MK mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” kata Saldi Isra. 
     
    Putusan MK tersebut disambut baik oleh penyelenggara pemilu dan kelompok masyarakat pegiat demokrasi.
    Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengatakan, pemisahan waktu pemilu akan mengurangi beban kerja teknis lembaganya.
    “Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” kata Afifuddin, Jumat (27/6/2025).
    Afif menambahkan, KPU akan mempelajari secara detail isi putusan tersebut dan menyesuaikan tahapan ke depan.
    Dari sisi masyarakat sipil, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (
    Perludem
    ) menilai putusan MK ini menjawab persoalan mendasar dalam keserentakan pemilu yang selama ini hanya formalitas.
    “Keserentakan pemilu itu mesti betul-betul menjaga kualitas kedaulatan rakyat, tidak hanya formalitas datang ke TPS, dapat surat suara, nyoblos, selesai,” ujar Program Manajer Perludem, Fadli Ramadhanil.
    Fadli menilai desain keserentakan sangat menentukan kualitas pilihan rakyat dalam bilik suara. Ia menyebut bahwa sejak awal, Perludem telah lama mengusulkan pemisahan tersebut.
    Dari sisi legislatif, putusan ini direspons positif oleh Komisi II
    DPR RI
    yang membidangi urusan pemerintahan dan kepemiluan.
    Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menilai putusan MK telah menegaskan bahwa struktur politik Indonesia terdiri dari dua entitas: nasional dan daerah.
    Oleh karena itu, penyesuaian regulasi diperlukan agar selaras dengan konstitusi.
    “Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” kata Zulfikar.
    Dia juga menilai pemisahan jadwal pemilu akan memperkuat kelembagaan penyelenggara pemilu, memudahkan pemilih menggunakan haknya, serta berpotensi melahirkan budaya politik baru yang lebih efektif di daerah.
    Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak selama ini justru memperkuat praktik pragmatisme, termasuk politik uang, dan mengaburkan isu-isu lokal dalam hiruk-pikuk pemilu nasional.
    “(Isu-isu) menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat, jadi nggak penting. Nah, bahayanya, dampaknya adalah itu adalah bagian yang memperkuat praktik pragmatisme Pemilu,” kata Doli dalam diskusi di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
    Doli juga menyinggung soal kejenuhan masyarakat terhadap pemilu yang terlalu berdekatan, serta waktu yang terlalu sempit bagi partai politik menyiapkan kader-kadernya.
     
    “Jadi masyarakat (beranggapan), ‘ah, ngapain lagi kita? Kita sudah datang kemarin waktu pemilihan presiden, sudah lah cukup itu aja, kita serahkan aja. Presiden kan bisa ngatur semuanya’, itu ada juga terjadi di masyarakat kita di bawah ini,” tutur Doli.
    “Termasuk partai politik, partai politik kemudian tidak punya waktu yang leluasa, lebih maksimal mengatakan siapa yang menjadi kader atau orang yang kuat dalam waktu yang sesingkat itu. Nah, Jadi saya dalam posisi secara pribadi, mendukung putusan Mahkamah Konstitusi itu,” jelas Doli.
    Kendati demikian, ada konsekuensi lebih jauh dengan adanya putusan tersebut, yakni perlunya penyusunan ulang seluruh arsitektur hukum kepemiluan.
    Doli berpandangan bahwa putusan tersebut seolah memerintahkan revisi UU Pemilu menggunakan omnibus law.
    Sebab, membuat DPR dan pemerintah selaku pembuat UU harus mengubah total aturan pelaksanaan kepemiluan.
    “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah, merevisi UU ini secara omnibus law,” kata Doli dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
    Doli merinci, ada sejumlah undang-undang yang perlu diubah.
    Mulai dari UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), hingga UU tentang Pemerintahan Daerah.
    Oleh karena itu, omnibus law dianggap bisa menjadi solusi cepat dan menyeluruh agar semua UU terkait dapat direvisi sekaligus secara sistematis, walaupun masih harus dikaji secara mendalam oleh DPR bersama pemerintah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sepekan, HUT ke-100 Meri Hoegeng hingga razia pesantren ilegal

    Sepekan, HUT ke-100 Meri Hoegeng hingga razia pesantren ilegal

    “Banyak pesantren palsu, dan terbanyak di Jawa Barat. Saya akan razia itu sebentar lagi,”

    Jakarta (ANTARA) – Beragam berita politik telah diwartakan Kantor Berita Antara, berikut kami rangkum berita terpopuler dalam sepekan yang masih layak dibaca kembali sebagai sumber informasi serta referensi untuk mengisi akhir pekan Anda.

    Momen Megawati suapi kue ke Meri Hoegeng yang rayakan HUT Ke-100

    Presiden Ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menjadi tamu spesial pada perayaan ulang tahun ke-100 istri mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso, Meriyati Roeslani, dalam acara yang digelar di kediaman keluarga Jenderal Hoegeng di kawasan Depok, Jawa Barat, Senin

    Dalam acara tersebut, Megawati mendapat potongan kue ulang tahun pertama langsung dari Meriyati Hoegeng.

    Selengkapnya klik di sini.

    Megawati dan Puan Maharani hadiri HUT Ke-100 Meri Hoegeng

    Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPR RI Puan Maharani menghadiri syukuran Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-100 Meriyati Roeslani, istri mantan Kapolri Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso, di Depok, Jawa Barat, Senin.
    Megawati tampak didampingi jajaran DPP PDI Perjuangan, di antaranya Tri Rismaharini, Sadarestuwati, Wiryanti Sukamdani, Ribka Tjiptaning, Sri Rahayu, hingga Bintang Puspayoga.

    Selengkapnya klik di sini.

    Komisi II: Putusan MK pisahkan Pemilu lokal-nasional jadi bahan RUU

    Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Pemilu lokal dan nasional harus dipisahkan dengan jeda waktu 2,5 tahun akan menjadi bahan bagi revisi Undang-Undang Pemilu yang akan bergulir.

    Menurut dia, pihaknya pun harus mencari cara dan formula yang paling tepat untuk menghadirkan pemilu nasional dan lokal, karena politik hukum nasional menjadi kewenangan konstitusional Komisi II DPR.

    Selengkapnya klik di sini.

    Lemhannas siapkan skenario jika perang Iran-Israel berlarut-larut

    Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Ace Hasan Syadzily mengatakan bahwa lembaganya telah menyiapkan skenario langkah Indonesia jika perang antara Iran dan Israel terjadi berlarut-larut.

    Ace saat jumpa pers di Jakarta, Senin, menjelaskan salah satu kajian yang dilakukan Lemhannas adalah kajian krisis, termasuk penyusunan peta jalan (roadmap) atau skenario yang berhubungan dengan ketahanan negara dalam merespons kondisi geopolitik dunia.

    Selengkapnya klik di sini.

    Menko PM bentuk timsus untuk razia pesantren ilegal, terutama di Jabar

    Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Kemenko PM) telah membentuk sebuah tim khusus (timsus) untuk merazia pesantren-pesantren ilegal, terutama di Jawa Barat.

    “Banyak pesantren palsu, dan terbanyak di Jawa Barat. Saya akan razia itu sebentar lagi,” ujar Menko PM Muhaimin Iskandar alias Cak Imin usai menghadiri acara International Conference on The Transformation of Pesantren, di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Selasa (24/6) malam.

    Ia menjelaskan razia akan dilakukan terutama terhadap pesantren ilegal yang membuat sejumlah berita negatif, sehingga berdampak merusak citra atau nama baik sekitar 39 ribu pesantren di Indonesia saat ini.

    Selengkapnya klik di sini.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Anggota DPR hormati putusan MK soal pemisahan pemilu

    Anggota DPR hormati putusan MK soal pemisahan pemilu

    “Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, kami menghormati putusan MK ini. Putusan ini bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, harus dijadikan pedoman oleh para pembuat kebijakan, termasuk DPR,”

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Jazuli Juwaini menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun.

    “Sebagai lembaga negara yang diberi mandat untuk menguji undang-undang terhadap konstitusi, kami menghormati putusan MK ini. Putusan ini bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, harus dijadikan pedoman oleh para pembuat kebijakan, termasuk DPR,” kata Jazuli dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Jazuli menegaskan bahwa DPR akan menindaklanjuti putusan MK dalam bentuk revisi Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada.

    Menurutnya, proses revisi tersebut harus dilakukan secara hati-hati, cermat, dan partisipatif karena menyangkut desain besar demokrasi elektoral bangsa, termasuk aspek teknis penyelenggaraan dan pengisian masa jabatan kepala daerah serta anggota DPRD pada masa transisi.

    “Putusan ini membawa implikasi yang perlu ditindaklanjuti dengan perubahan regulasi. Tidak hanya soal waktu pelaksanaan, tetapi juga menyangkut kesiapan regulasi, kelembagaan penyelenggara, hingga kepastian hukum bagi jabatan-jabatan publik di daerah selama masa jeda 2029–2031,” tuturnya.

    Anggota DPR Dapil Banten itu pun mengingatkan agar revisi UU nantinya tidak hanya menjadi penyesuaian teknis, tetapi juga momentum untuk memperkuat kualitas demokrasi, partisipasi rakyat, dan efektivitas tata kelola pemilu agar lebih efisien, transparan, dan akuntabel.

    “DPR bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu akan bekerja sama untuk memastikan transisi ini berjalan mulus, konstitusional dan tetap menjamin hak pilih rakyat serta stabilitas pemerintahan di pusat dan daerah,” pungkas Jazuli.

    Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.

    Dalam putusan tersebut, pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun dan 6 bulan (2,5 tahun).

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Heboh 4 Pulau Cantik di Indonesia Dijual di Situs Asing, Pemerintah Turun Tangan: Tidak Bisa Dijual!

    Heboh 4 Pulau Cantik di Indonesia Dijual di Situs Asing, Pemerintah Turun Tangan: Tidak Bisa Dijual!

    PIKIRAN RAKYAT – Isu penjualan pulau-pulau cantik di Indonesia kembali menggemparkan publik. Kali ini, sorotan tertuju ke empat pulau di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepulauan Riau: Pulau Ritan, Pulau Tokongsendok, Pulau Nakok, dan Pulau Mala, yang muncul di situs jual-beli properti internasional Private Islands Online.

    Informasi di situs tersebut memicu keresahan, seolah-olah pulau-pulau kecil di Indonesia bisa bebas dibeli oleh siapa saja, termasuk pihak asing.

    KKP Tegas: Tidak Ada Jual Beli Pulau

    Menanggapi kabar tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) langsung angkat suara. Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP, Koswara, menegaskan bahwa praktik jual beli pulau tidak memiliki dasar hukum di Indonesia.

    “Terminologi penjualan pulau itu sebenarnya nggak ada. Kalau peralihan hak atas tanah itu ada. Jadi sebenarnya nggak ada, pulau yang dijual itu nggak ada. Nggak ada aturannya sama sekali. Yang ada itu peralihan tanah. Bisa melalui sewa, bisa melalui jual-beli,” ujar Koswara, Senin 23 Juni 2025.

    Ia menegaskan bahwa pulau dan laut di sekitarnya adalah satu kesatuan wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Karena itu, mustahil pulau dapat diperjualbelikan secara utuh.

    “Pulau itu adalah wilayah kedaulatan, bareng dengan lautnya. Tidak bisa dipisahkan. Jadi, kalau dijual pulaunya saja, ya nggak mungkin kita berikan akses ke pulau itu. Itu sesuatu yang nggak bisa, karena pasti disatukan,” kata Koswara.

    Hak Milik Tanah Bukan Hak Milik Pulau

    Koswara juga menjelaskan, beberapa lahan di pulau tersebut memang sudah memiliki status Hak Milik (SHM) atau Hak Guna Bangunan (HGB). Namun, hal ini tidak otomatis berarti kepemilikan atas pulau secara keseluruhan.

    “Yang ada di Indonesia ini adalah dalam bentuk hak kepemilikan tanah, bukan hak kepemilikan pulau,” ucapnya.

    Pulau-pulau tersebut bahkan berada di kawasan konservasi dan kawasan pariwisata, sehingga pemanfaatannya diatur ketat oleh pemerintah daerah dan KKP. Segala aktivitas pemanfaatan harus mengantongi KKPRL (Persetujuan Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut).

    Langkah Tegas: Blokir Situs, Perketat Pengawasan

    Sebagai langkah nyata, KKP telah bersurat ke Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk memperingatkan situs yang menampilkan iklan penjualan pulau. Jika diabaikan, pemerintah siap meminta agar situs tersebut diblokir permanen.

    “Kita juga sudah berkirim surat ke Komdigi untuk memberikan peringatan kepada yang punya situsnya itu, bahwa ini salah. Dan kemungkinan kalau misalnya tidak bisa diperingati, supaya tidak hanya di-take down, itu kita mintakan di-banned,” tutur Koswara.

    Selain itu, KKP membentuk Tim Gabungan Pengawasan, Penertiban, dan Pengendalian Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia (TGP5KI). Tim ini akan mengawasi legalitas pemanfaatan pulau dan menertibkan pelanggaran yang terjadi.

    ATR/BPN: Tidak Bisa Dimiliki Penuh

    Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid pun memperkuat pernyataan KKP. Ia menegaskan tidak ada satu pun pulau kecil yang boleh dimiliki penuh oleh individu atau badan hukum, apalagi pihak asing.

    “Dalam satu pulau tidak bisa dimiliki satu orang atau satu badan hukum. Maksimal hanya boleh menguasai 70 persen dari luas pulau,” ucap Nusron di Sumedang, Jawa Barat.

    Nusron juga merujuk Permen ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2005 dan Permen KKP Nomor 10 Tahun 2024 yang membatasi penguasaan pulau kecil. Minimal 30% atau 45% dari luas pulau wajib menjadi ruang terbuka, jalur evakuasi, atau akses publik.

    Komisi II DPR: Warga Asing Tidak Bisa Punya Pulau

    Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf menekankan bahwa warga negara asing dilarang memiliki pulau di Indonesia. Jika pun terlibat, statusnya hanya boleh melalui HGB atau HGU dengan jangka waktu tertentu.

    “Pulau-pulau di Indonesia dilarang diperjualbelikan oleh warga asing, kecuali hak guna bangunan (HGB) atau hak guna usaha (HGU). Artinya, pihak asing tidak boleh memiliki tanah di Indonesia, kecuali sewa dalam jangka waktu tertentu,” kata Dede Yusuf.

    Ia pun mendesak pemerintah segera memanggil pihak pengelola situs Private Islands Online untuk dimintai klarifikasi.

    “Kalau orang punya perusahaan, dia bisa saja mencari investasi. Tapi kalimat menjual itu yang tidak boleh. Bentuk promosinya menjual, itu kesalahan,” ujar Dede Yusuf.

    Wamendagri Turun Tangan

    Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto juga menyoroti isu ini. Ia memastikan pemerintah sedang mendalami informasi penjualan empat pulau di Anambas tersebut.

    “Ya, itu sudah ada informasi mengenai hal itu. Tapi masih kami dalami,” ucap Bima Arya.

    Dalam praktiknya, Indonesia memiliki regulasi kuat untuk menjaga kedaulatan pulau-pulau kecil. UU Nomor 1 Tahun 2014 mengatur bahwa minimal 30% daratan pulau kecil wajib dikuasai negara. Selain itu, program pensertifikatan pulau-pulau kecil terluar terus dikebut sebagai bentuk perlindungan.***

  • Komisi II Nilai Putusan MK Jadi Momen Penyesuaian Pemilu dan Pilkada
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 Juni 2025

    Komisi II Nilai Putusan MK Jadi Momen Penyesuaian Pemilu dan Pilkada Nasional 28 Juni 2025

    Komisi II Nilai Putusan MK Jadi Momen Penyesuaian Pemilu dan Pilkada
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi pembentuk undang-undang untuk menyesuaikan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (
    pilkada
    ).
    Penyesuaian tersebut dilakukan agar pelaksanaan pemilu dan pilkada sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
    “Putusan MK ini secara substansi menegaskan struktur politik kita terdiri atas dua entitas, yaitu politik nasional dan politik daerah yang pengelolaannya perlu penyesuaian,” kata Zulfikar lewat keterangannya, dilansir dari ANTARA.
    Komisi II, kata Zulfikar, tentu menghormati putusan MK yang memisahkan jadwal pelaksanaan
    pemilu nasional
    dengan daerah.
    Putusan MK tersebut pun final dan mengikat, sehingga DPR disebutnya siap melakukan penyelarasan.
    “Kami menghormati putusan MK tersebut. MK adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menafsirkan apakah sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” ujar Zulfikar.
    Menurutnya, putusan MK itu membuat pemilih lebih mudah menggunakan hak pilihnya. Sedangkan untuk penyelenggara pemilu, pelaksanaan setiap tahapannya dinilai akan lebih efektif.
    Di samping itu, Zulfikar menilai putusan MK itu juga mengokohkan kedudukan penyelenggara pemilu sebagai institusi yang tetap, bukan sebagai penyelenggara pemilu lembaga ad hoc.
    “Terakhir, putusan MK ini memperkuat prinsip bahwa kita merupakan negara kesatuan yang didesentralisasikan. Harapannya, bisa memunculkan budaya politik baru yang memperkuat dan meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah,” ujar politikus Partai Golkar itu.
    Diketahui, MK memutuskan memisahkan antara pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan
    Pileg DPRD
    provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
    Pilkada
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soal putusan MK Pemilu, Khozin menilai Pemilu Lokal dan Nasional Paradoks

    Soal putusan MK Pemilu, Khozin menilai Pemilu Lokal dan Nasional Paradoks

    laporan kontributor Efendi Murdiono

    Soal putusan MK Pemilu, Khozin menilai Pemilu Lokal dan Nasional Paradoks
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 27 Juni 2025 – 19:10 WIB

    Elshinta.com – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2024 tentang pelaksanaan  pemilu nasional dan pemilu lokal dinilai paradoks. Dalam putusan sebelumnya, MK telah memberi enam opsi model keserantakan pemilu.  Putusan yang terbaru justru membatasi pada satu model keserentakan.

    Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Muhammad Khozin menilai putusan MK No 135/PUU-XXII/2024 menunjukkan sisi paradoksal putusan MK. Menurut dia, putusan yang terbaru membatasi model keserentakan yang sebelumnya MK telah memberikan 6 alternatif pilihan. “Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan pada 26 Februari 2020, MK telah memberi enam opsi keserentakan pemilu. Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks,” kata Khozin di Jakarta, Jumat (27/06/2025).

    Menurut anggota DPR dari dapil Jatim IV (Jember & Lumajang) ini, semestinya MK konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang (UU) dalam merumuskan model keserentakan dalam UU Pemilu. “Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk “lompat pagar” atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” tegas Khozin.

    Apalagi, kata Khozin, dalam pertimbangan hukum di angka 3.17 putusan MK No 55/PUU-XVII/2019  secara tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan. “Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” sesal Khozin. 

    Pengasuh Pondok Pesantren Al-Khozini, Jember ini menyayangkan putusan MK yang bertolak belakang dengan putusan sebelumnya. Menurut dia, dampak putusan ini akan berdampak secara konstitusional terhadap kelembagaan pembentuk UU (DPR dan Presiden), konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu, hingga persoalan teknis pelaksanaan pemilu. 

    “Implikasi putusan MK ini cukup komplikatif. Sayangnya, MK hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Di sinilah makna penting dari hakim yang negarawan, karena dibutuhkan kedalaman pandangan dan proyeksi atas setiap putusan yang diputuskan,” tambah Khozin. 

    Menurut dia, DPR tentu akan menjadikan putusan terbaru MK menjadi bahan penting dalam perumusan perubahan UU Pemilu yang memang diagendakan segera dibahas di DPR. Dia menuturkan, DPR akan melakukan rekayasa konstitusional dalam desain kepemiluan di Indonesia. “Dalam putusan MK sebelumnya meminta badan pembentuk UU untuk melakukan rekayasa konstitusional melalui  perubahan UU pemilu ini,” tandas Khozin.

    Sumber : Elshinta.Com