Kementrian Lembaga: Komisi II DPR

  • MK Perintahkan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, DPR Sebut Inkonsistensi dan Berpotensi Menabrak Konstitusi

    MK Perintahkan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, DPR Sebut Inkonsistensi dan Berpotensi Menabrak Konstitusi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan pemilu nasional dan daerah dipisah menimbulkan pro kontra. Ada kekhawatiran akan terjadi ketidakpastian hukum dan berpotensi menabrak konstitusi.

    Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB Muhammad Khozin menyoroti ketidakjelasan dan potensi inkonsistensi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2023. Putusan MK ini memerintahkan agar pemilu nasional dan daerah dipisahkan.

    Dari putusan MK itu, Komisi II DPR RI menilai tidak memberikan kepastian hukum dan berpotensi menabrak konstitusi jika dipaksakan untuk segera diterapkan.

    “Amar putusan, di pertimbangan putusan, dan itu menjadi satu-satuan dalam amar putusan nomor 55 bahwa ada enam opsi tawaran yang diberikan oleh MK untuk kemudian dilakukan tindak lanjut oleh lembaga pembentuk undang-undang,” kata Khozin dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (4/7).

    Salah satu dari enam opsi tersebut, awalnya memberikan ruang bagi Pemerintah dan DPR untuk merumuskan mekanisme pemisahan pemilu sesuai kewenangan legislatif.

    Namun, DPR kemudian membandingkan dengan Putusan Nomor 135 yang keluar beberapa hari kemudian. Keenam opsi tersebut menjadi terkunci hanya dalam satu alternatif.

    “Itu inkonsistensi yang pertama. Kita nggak bicara background-nya dulu, tapi apa yang sudah tersurat secara kasat mata,” tegasnya.

    Khozin juga menyoroti pertimbangan MK dalam putusan Nomor 55 yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk menentukan desain model keserentakan pemilu.

  • Ini Sindiran Komisi II DPR kepada MK Soal Pemisahan Pemilu

    Ini Sindiran Komisi II DPR kepada MK Soal Pemisahan Pemilu

    Jakarta, Beritasatu.com – Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin menyindir keras Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutuskan pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah atau lokal. 

    Menurut Khozin, MK telah bertransformasi tidak hanya sekadar menjadi penguji dan penafsir konstitusi (the guardian of constitution), tetapi juga menjadi lembaga ketiga pembentuk undang-undang setelah pemerintah dan DPR. 

    “Perlu kita pahami bersama jika MK mempunyai peran sebagai negative legislator, bukan positive legislator. Pertanyaannya kemudian ketika MK dengan dalih menjaga agar konstitusi tetap adaptif dengan dinamika zaman (living constitution) lalu bisa bertransformasi sebagai lembaga ketiga setelah presiden dan DPR menjadi perumus undang-undang?” ujar Muhammad Khozin saat menjadi narasumber dalam diskusi publik Fraksi PKB bertajuk “Proyeksi Desain Sistem Pemilu Paska Putusan MK” di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (3/7/2025). 

    Menurut Khozin, harus ada penegasan bersama terkait fungsi dan peran MK saat ini. Dia khawatir MK ini dengan berbagai putusan kontroversialnya menjadi ruang para pihak untuk menjadi jalan pintas menolak setiap produk perundangan.

    “Pembentukan produk perundangan ini kan high cost secara biaya, high cost secara tenaga, high cost secara waktu dan sebagainya. Nah jangan sampai hal ini tidak ada kepastian hukum. Kalau memang MK bertransformasi menjadi lembaga ketiga perumus UU ya sudah kita lakukan constitusional engineering terkait tugas pokok dan tusi dari MK,” jelas dia.

    Dia mengatakan, dalam putusan 135/2025 tentang keserentakan pemilu, MK telah melakukan berbagai langkah paradoks. Menurutnya, putusan 135/2025 jika disandingkan dengan putusan sebelumnya  nomor 55/2019 tentang hal yang sama, ada beberapa kontradiksi. 

    Dia mencontohkan terkait pemilihan satu opsi dari enam opsi model keserentakan pemilu yang diputuskan sebelumnya. 

    “Selain itu dalam keputusan 55/2019 MK dengan tegas menolak memberikan putusan mengenai model keserentakan karena menjadi tugas dari pembuat UU, tetapi di keputusan 135/2025 malah memerintahkan adanya pemilu nasional dan pemilu lokal,” tandas dia.

    Lebih jauh Khozin menilai pemerintah tidak bisa langsung melaksanakan putusan MK mengenai pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Menurutnya jika hal terjadi maka putusan MK dalam menjaga konstitusi justru memicu inkonsitusionalitas. 

    “Secara implementasi, putusan ini tidak secara otomatis bisa dilaksanakan dalam hal ini oleh pemerintah karena berimplikasi terhadap beberapa norma. Terutama yang sering kita pahami di dalam Pasal 22 E ayat (1) maupun ayat (2) dan Pasal 18 ayat (3), dan itu sudah jelas di sana tertulis bahwa pelaksanaan pemilu itu dilaksanakan lima tahun sekali,” ujar Khozin. 

    “Terus kita mau tafsir seperti apa lagi? Kalau ini kemudian dilaksanakan, jangan sampai kemudian perintah konstitusional dilaksanakan dengan cara menabrak konstitusi. Ini kan enggak akan berujung nanti. Tidak ada ruang kepastian hukum di sini,” pungkas dia.

  • Anggota DPR usul amendemen terbatas UU kepemiluan respons putusan MK

    Anggota DPR usul amendemen terbatas UU kepemiluan respons putusan MK

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin mengusulkan dilakukannya amendemen (perubahan) terbatas undang-undang kepemiluan dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan daerah.

    “Ya sudah kita lakukan amendemen terbatas saja terkait dengan undang-undang kepemiluan karena hampir pasti dengan putusan ini, revisi undang-undang pemilu tidak berdiri sendiri, tapi harus melakukan kodifikasi atau omnibus law,” kata Khozin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Hal itu disampaikannya dalam diskusi Fraksi PKB DPR RI terkait putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK”.

    Sebab di samping Undang-Undang Pemilu, dia menyebut putusan MK tersebut membawa implikasi pula terhadap sejumlah undang-undang lain, seperti Undang-Undang Pilkada hingga Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

    “Banyak undang-undang lain yang berkaitan dengan amar putusan ini,” ucapnya.

    Ditemui usai diskusi, Khozin menjelaskan bahwa amendemen terhadap undang-undang kepemiluan perlu dilakukan bila putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut ditindaklanjuti secara langsung.

    “Itu perspektif. Jika kita konsisten, ingin secara direct putusan MK dilaksanakan, ya way out-nya satu-satunya ya itu harus melakukan amendemen,” katanya.

    Dia lantas berkata, “Karena kalau tidak melakukan amandemen, ya kita merumuskan satu produk hukum yang bertentangan dengan konstitusi.”

    Meski demikian, dia menyebut bahwa DPR RI masih melakukan pembahasan dan kajian dalam menyikapi putusan MK tersebut, baik itu di tingkat fraksi maupun komisi dan pimpinan DPR.

    Dia menuturkan pada Senin (30/6), Komisi II DPR RI telah lebih dulu menggelar rapat bersama pimpinan DPR RI, Komisi III DPR RI, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, hingga Menteri Hukum (Menkum) RI Supratman Andi Agtas, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) RI Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Tito Karnavian, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI membahas ihwal putusan MK tersebut.

    “Nanti kalau tidak salah minggu depan akan ada diskusi juga nanti dari pimpinan MPR dengan partai-partai,” kata dia.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

    Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6).

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pemilu Dipisah, Begini Respons Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia

    Pemilu Dipisah, Begini Respons Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia

    Langkah selanjutnya, ADKASI akan mengusulkan agar revisi undang-undang tentang pemilu, khususnya pemilihan legislatif, segera dibahas.

    “ADKASI mengusulkan kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto dan juga kepada pimpinan DPR RI selaku pembuat undang-undang, agar masa bakti DPRD untuk periode 2024 sampai 2029 ini diperpanjang hingga adanya DPRD baru hasil pemilu daerah tahun 2031,” terangnya.

    Lebih lanjut, Siswanto dalam kesempatan ini juga mengungkapkan, bahwa pihaknya saat ini telah mengirimkan surat kepada pimpinan Komisi II DPR RI dan Badan Legislasi DPR RI untuk melakukan audiensi sebagai tindak lanjut dari putusan MK.

    “Harapan kami segera audiensi di DPR,” katanya.

    Sebagai informasi, MK telah memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional dan daerah mulai tahun 2029. Hal ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

    MK tidak dapat menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah, namun mengusulkan agar pilkada dan pemilihan legislatif DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.

  • F-PKB usul kepala daerah dipilih melalui DPRD

    F-PKB usul kepala daerah dipilih melalui DPRD

    Yang dilakukan tiap lima tahun sekali di Pasal 22 (UUD), itu memilih Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota). Di dalam undang-undang, khusus Presiden dipilih secara langsung, untuk Kepala Daerah itu dipilih secara d

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI mengusulkan agar kepala daerah dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dari yang sebelumnya dipilih langsung melalui pemilihan kepala daerah (pilkada).

    “Oleh sebab itu, PKB sempat mengusulkan dan kami juga akan usulkan nanti kalau ada pembicaraan revisi Undang-Undang Pemilu, semestinya diputuskan MK enggak apa-apa, bahwa untuk pilkada dilakukan secara serentak dipilih oleh anggota DPRD. Itu lebih bagus,” kata Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid.

    Hal itu disampaikannya dalam diskusi oleh Fraksi PKB DPR RI terkait putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu lokal bertajuk “Proyeksi Desain Pemilu Pascaputusan MK” di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat.

    Sebab, kata dia, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah secara demokratis dapat diartikan pilkada langsung oleh rakyat atau tidak langsung melalui DPRD.

    “Yang dilakukan tiap lima tahun sekali di Pasal 22 (UUD), itu memilih Presiden, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Tingkat II (Kabupaten/Kota). Di dalam undang-undang, khusus Presiden dipilih secara langsung, untuk Kepala Daerah itu dipilih secara demokratis,” ujarnya.

    Menurut dia, usulan pihaknya yang menghendaki kepala daerah dipilih melalui DPRD tersebut sebagaimana yang paradigma Mahkamah Konstitusi (MK) gunakan dalam mengeluarkan putusan pemisahan pilkada nasional dan daerah lantaran faktor kelelahan.

    “Kalau MK mendalilkan bahwa kenapa dibuat desain pemilu pusat dan daerah itu karena capek katanya, enggak fokus. (Kalau begitu) lebih hemat lagi kalau pilkadanya dipilih oleh anggota DPRD Tingkat II sebagai representasi, sebagai orang yang diberi mandat oleh rakyatnya di Tingkat II sehingga dia bisa menentukan siapa bupatinya, dan itu lebih mudah,” tuturnya.

    Terpisah, anggota Komisi II DPR RI Muhammad Khozin menyebut alasan pihaknya mengusulkan agar kepala daerah dipilih melalui DPRD berangkat atas dasar filosofi otonomi daerah.

    “Karena kalau kita melihat dalam filosofi otonomi daerah, yaitu tadi yang saya sampaikan di forum, ada desentralisasi, ada dekonsentrasi, dan tugas pengampuan, istilahnya penugasan. Nah, desentralisasi itu lebih pasnya di kabupaten,” kata Khozin ditemui usai diskusi.

    Dia kemudian berkata, “Sementara dekonsentrasi itu lebih pasnya di gubernur karena gubernur itu menjalankan tugas dan kewenangan itu delegatif dari pusat.”

    Senada dengan Jazilul, dia pun memandang usulan PKB agar kepala daerah dipilih melalui DPRD itu sebagaimana perspektif yang MK gunakan dalam mengeluarkan putusan pemisahan pilkada nasional dan daerah dalam rangka menyederhanakannya.

    “Pertimbangan MK dalam Putusan 135 (Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024) itu kan berbicara kerumitan, mencari kesederhanaan terkait dengan pelaksanaan pemilu; dan kalau bicara kerumitan kan lebih rumit mana dibeli DPRD sama kemarin (dipilih langsung lewat pilkada)?” ucap dia.

    Dalam diskusi tersebut turut hadir pula sejumlah narasumber, di antaranya Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin, Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI Rahmat Bagja, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, hingga Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro.

    Pewarta: Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR RI serap aspirasi pembangunan di Papua Barat Daya

    DPR RI serap aspirasi pembangunan di Papua Barat Daya

    Sorong (ANTARA) – DPR RI melakukan kunjungan kerja strategis ke Provinsi Papua Barat Daya dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat terkait perkembangan pembangunan di Daerah Otonomi Baru (DOB) yang nantinya menjadi dasar implementasi kebijakan pemerintah pusat ke depan.

    Ketua Komisi II DPR RI Dr Muhammad Rifqinizami Karsayuda, di Sorong, Jumat, mengatakan bahwa pihaknya siap mengawal seluruh persoalan krusial yang dihadapi masyarakat Papua Barat Daya sebagai bagian dari upaya menghadirkan negara untuk memenuhi kepentingan masyarakat.

    “Kami datang untuk mendengarkan secara langsung agar solusi yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya dalam pertemuan bersama gubernur, bupati, dan wali kota se-Papua Barat Daya.

    Dalam kesempatan tersebut, ia menjelaskan bahwa DPR RI telah menyiapkan langkah-langkah legislasi yang akan mengakomodasi berbagai persoalan daerah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentang Otonomi Khusus Baru dan Perubahan Tata Kelola Wilayah.

    “Kami ingin pembangunan di Papua tumbuh dari bawah, dengan masyarakat sebagai subjek, bukan objek pembangunan. Kami akan kawal ini sampai ke Senayan,” tegasnya.

    Dalam pertemuan tersebut, perwakilan pemerintah daerah dari berbagai wilayah, mulai dari Kabupaten Tambrauw, Maybrat hingga Raja Ampat menyampaikan beragam persoalan yang dihadapi, di antaranya isu batas wilayah, konflik konservasi, status kepemilikan pulau, keterbatasan infrastruktur dasar, hingga pengelolaan potensi kelautan.

    Salah satu isu yang paling disoroti datang dari masyarakat Raja Ampat yang menyampaikan keluhan bahwa mereka belum sepenuhnya merasakan manfaat ekonomi dari sektor pariwisata dan kekayaan alam laut yang begitu melimpah.

    Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Tambrauw mengangkat persoalan konflik batas wilayah dengan Kabupaten Manokwari yang hingga kini belum tuntas meski Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan.

    Selain itu, mereka juga meminta perhatian terhadap akses energi listrik, pembangunan jalan lintas, serta perlindungan wilayah konservasi yang tumpang tindih dengan permukiman warga.

    “Seluruh persoalan ini akan kami bawa ke tingkat pusat untuk disampaikan langsung kepada Presiden dan kementerian terkait. Kita harapkan pada tahun 2027 akan terjadi perubahan besar, termasuk pembangunan infrastruktur, peningkatan fiskal daerah, serta penguatan peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam,” beber Rifqinizami.

    Ia menegaskan bahwa Papua bukan sekadar wilayah administratif, melainkan wajah timur Indonesia yang harus disejahterakan bersama.

    Pewarta: Yuvensius Lasa Banafanu
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Legislator Nilai Perlu Terobosan Percepatan Pembangunan di 4 DOB Papua

    Legislator Nilai Perlu Terobosan Percepatan Pembangunan di 4 DOB Papua

    Jakarta

    Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Romy Soekarno, meminta pembangunan di 4 Daerah Otonom Baru (DOB) Provinsi Papua untuk ditingkatkan. Menurutnya, negara harus memastikan setiap kebijakan yang diambil menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat Papua.

    Hal itu disampaikan Romy dalam rapat evaluasi 4 DOB antara Mendagri dengan Komisi II DPR RI, Rabu (2/7/2025). Romy mengatakan pembangunan papua berbicara rasa keadilan, kemanusiaan, dan komitmen kebangsaan.

    “Ini bukan sekadar soal data atau angka. Ini soal panggilan jiwa sebagai bangsa. Kita harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil, setiap rupiah yang dianggarkan untuk Papua, mencerminkan rasa keadilan dan empati yang tulus,” kata Romy.

    Romy mendorong Kementerian Keuangan dan Bappenas, untuk memperluas cara pandang. Penyusunan kebijakan anggaran dan perencanaan pembangunan untuk Papua disebut tak cukup hanya berdasar pada efisiensi fiskal.

    “Diperlukan terobosan konkret dan kebijakan afirmatif yang lebih berani. Tanpa itu, percepatan pembangunan di DOB Papua tidak akan maksimal, dan manfaatnya tidak akan dirasakan langsung oleh masyarakat,” tambahnya.

    Evaluasi 4 DOB

    Mendagri, Tito Karnavian, menjabarkan evaluasi daerah otonom baru (DOB) 4 provinsi di Papua. Ia menyebut ada perbedaan secara pendapatan dan belanja antara provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya.

    “Papua Tengah itu tidak buruk sangat bagus sekali pendapatannya 48%, 48,7% nomor 2 se-Indonesia, baru diikuti yang lain DKI dan seterusnya. Idealnya Di 27 Juni itu semua daerah sudah di atas 40% yang warna-warna hijau,” kata Tito dalam rapat.

    Tito mengatakan target pendapatan Papua Pegunungan baru di angka 14%, sedangkan Papua Barat 17%. Tito mengungkap Papua Selatan untuk pendapatan berada di angka 23%.

    Kendati demikian, Tito juga menyoroti belanja dari masing-masing DOB. Ia mengatakan meski anggaran pendapatan Papua Tengah tinggi sebesar 48%, tetapi belanjanya masih di angka 15%.

    “Papua Tengah ini 48% Pak anggaran mereka, pendapatannya, tapi belanjanya baru 15%. Kami sudah menyampaikan kepada gubernur mengecek masalahnya di mana,” ujar Tito.

    “Bagus dalam menyerap anggaran dari pusat, tapi pembelanjaannya kurang. Ini masalahnya adalah rencana pergantian dari kepala-kepala dinas sehingga uangnya mohon maaf dengan segala hormat ditahan di tingkat provinsi Pak Gubernur,” kata Tito.

    Ia menyebut telah berkomunikasi dengan Gubenur Papua Tengah. Adapun untuk Papua Pengunungan pendapatan ada di angka 14%, sementara belanjanya mencapai 20%.

    “Nah kemudian Papua Pegunungan Ini yang memprihatinkan kita karena pendapatannya yang mengandalkan pusat baru terserap 14% di bulan Juni, belanjaannya sudah 20%. Artinya terjadinya defisit di Papua Pegunungan,” imbuhnya.

    (dwr/whn)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Pemprov NTB tanggapi soal penguasaan pulau oleh WNA

    Pemprov NTB tanggapi soal penguasaan pulau oleh WNA

    BPN yang lebih paham, karena mereka yang keluarkan sertifikat.

    Mataram (ANTARA) – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) menanggapi soal sejumlah pulau-pulau kecil di wilayah setempat yang dikuasai oleh warga negara asing (WNA), seperti yang disampaikan oleh Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI, di Jakarta, Selasa (1/7).

    Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB Muslim menegaskan tidak tahu-menahu soal adanya dugaan penguasaan pulau-pulau oleh WNA. Sebab, persoalan status pulau-pulau kecil bukan kewenangan pemerintah provinsi (pemprov), melainkan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai instansi yang mengeluarkan sertifikat.

    “BPN yang lebih paham, karena mereka yang keluarkan sertifikat,” ujar Muslim, di Mataram, Rabu.

    Namun demikian, Muslim mengatakan bahwa kepemilikan pribadi atas tanah di pulau-pulau kecil secara aturan memang diizinkan, namun harus tetap tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam sistem pertanahan nasional.

    “Dalam konteks provinsi, kepemilikan personal atas tanah di pulau diperbolehkan. Tapi ketika mulai diperjualbelikan untuk kegiatan usaha, maka statusnya berubah menjadi Hak Guna Usaha (HGU),” kata Muslim.

    Oleh karena itu, menurut Muslim lagi, pengaturan ruang atas pulau-pulau kecil di Indonesia berada dalam kewenangan kabupaten/kota, bukan provinsi atau pusat. Hal ini sesuai dengan mekanisme Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tingkat daerah, yakni kabupaten/kota.

    “Pengelolaan pulau kecil masuk dalam RTRW kabupaten, bukan provinsi atau pusat. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA), izinnya di pusat atas rekomendasi bupati, sedangkan untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), izinnya melalui OSS kabupaten,” ujar Muslim pula.

    “Jadi provinsi nggak ada kewenangan, karena berdasarkan Permendagri 76 Tahun 2012 yang diperbaharui Permendagri 141 Tahun 2017 tentang Batas Wilayah, menjadi kewenangan kabupaten,” katanya lagi.

    Lebih jauh, Muslim merinci skema pemanfaatan lahan pulau berdasarkan aturan yang berlaku, termasuk batasan pengelolaan bagi pemilik atau investor.

    “Dalam pemanfaatan pulau kecil, misalnya si A punya lahan di pulau tersebut, maka 30 persen tetap dikuasai negara. Sisanya 70 persen bisa dikelola oleh korporasi, dengan pembagian 40 persen untuk kegiatan usaha, dan 30 persen lagi untuk ruang terbuka hijau (RTH),” ujarnya.

    Saat ditanya mengenai keabsahan praktik jual beli atau penguasaan lahan pulau, Muslim mengingatkan bahwa sertifikasi tanah tidak otomatis berarti bisa diperjualbelikan secara bebas.

    “Wallahu a’lam, saya tidak tahu, silakan konfirmasi langsung ke BPN. Contohnya Gili Nanggu, semua izin AMDAL sudah lengkap. Kalau memang pengawasan lemah, maka representasi pusat di daerah sebaiknya diperkuat atau diambil alih,” ujar Muslim.

    Muslim juga menggarisbawahi pentingnya peran pengawasan dari BPN dan instansi pusat, terutama untuk menjaga aspek legalitas pemanfaatan ruang.

    “Per kabupaten datanya saya punya, misalnya di Lombok Barat ada beberapa sertifikat. Tapi lebih baik langsung ke BPN kabupaten untuk detail-nya,” katanya pula.

    Sebelumnya, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid mengungkap ada pulau-pulau di wilayah NTB dan Bali diduga dikuasai WNA.

    Ia mengaku akan mengecek kedudukan hukum atau legal standing kepemilikan pulau-pulau tersebut.

    “Penjualan pulau-pulau kecil kepada oknum-oknum pihak asing atau WNA. Ini ada beberapa kejadian, enggak tahu dulu prosesnya bagaimana, tiba-tiba intinya apakah legal standingnya kayak apa akan kita cek, tiba-tiba tanah itu atau pulau tersebut dikuasai oleh beberapa orang asing. Ada di Bali dan di NTB,” kata Nusron dalam rapat dengan Komisi II DPR RI, Jakarta, Selasa (1/7).

    Nusron mengatakan di pulau tersebut dibangun rumah dan resort atas nama warga negara asing. Namun, ia tidak menjelaskan secara detail pulau-pulau dimaksud.

    “Apakah legalnya itu masih punya WNI, tetapi mereka teken kontrak dengan yang bersangkutan atau bagaimana, kita belum tahu. Tetapi secara kasat mata, pulau tersebut itu dibangun rumah, dibangun resort atas nama asing,” katanya pula.

    Pewarta: Nur Imansyah
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemendagri bentuk tim pencepat serapan anggaran untuk tiga DOB Papua

    Kemendagri bentuk tim pencepat serapan anggaran untuk tiga DOB Papua

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menggandeng Kementerian Keuangan untuk membentuk tim khusus guna mengakselerasi penyerapan anggaran di daerah otonomi baru (DOB), yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

    Mendagri mengatakan Provinsi Papua Tengah berhasil menyerap anggaran hingga 48 persen, sedangkan tiga provinsi lainnya baru bisa menyerap anggaran di bawah 18 persen.

    “Kami sudah diskusikan dengan Wakil Menteri Keuangan, kami akan bentuk tim dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk datangi daerah-daerah ini. Tiga ini yang rendah penyerapannya sampai 27 Juni ini ya, harusnya 40 persen ke atas,” kata Tito di Gedung DPR/MPR/DPD RI, Jakarta, Rabu.

    Tito mengatakan pihaknya menggandeng Kementerian Keuangan karena kendala yang dihadapi tiga provinsi baru di Papua tersebut berkaitan dengan persyaratan untuk penyaluran anggaran yang merupakan bidang yang ditangani Kemenkeu.

    “Padahal, mereka dananya dari pusat. Nah kenapa? Karena syarat salurnya yang disyaratkan Kementerian Keuangan belum dipenuhi. Nah ini menyangkut masalah teknis, oleh karena itu, ya mungkin masalah kompetensi yang menanganinya ya,” ujarnya.

    Tim khusus tersebut juga akan memberikan bimbingan teknis kepada tiga jajaran pemerintahan provinsi tersebut sehingga realisasi anggaran yang ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat tersebut bisa segera diwujudkan.

    “Kami akan berikan bimbingan tenis kepada mereka supaya penyalurannya lebih mudah dan gampang,” tuturnya.

    Kemendagri bersama Kementerian Keuangan pada Rabu ini menggelar rapat evaluasi dengan Komisi II DPR RI soal Panitia Kerja Evaluasi Daerah Otonomi Baru (DOB) Empat Provinsi di Tanah Papua. Empat provinsi tersebut yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

    Rapat Panitia Kerja Evaluasi DOB Empat Provinsi di Papua ini membahas transfer dana otonomi khusus hingga anggaran infrastruktur, sarana dan prasarana di Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

    Rapat evaluasi tersebut dilakukan setelah tahun ketiga atau tahun terakhir bagi pemerintah pusat melakukan pembinaan dan fasilitasi guna mengefektifkan penyelenggaraan pemerintahan daerah empat provinsi tersebut sejak diresmikan, sebagaimana ketentuan dalam undang-undang pembentukan keempat provinsi tersebut.

    Rapat tersebut turut dihadiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti, dan perwakilan Kementerian PPN/Bappenas.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi II DPR: Besaran dana transfer tak sebanding harga integrasi Papua

    Komisi II DPR: Besaran dana transfer tak sebanding harga integrasi Papua

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bahwa besaran biaya yang dikeluarkan pemerintah pusat melalui dana transfer untuk membangun infrastruktur pemerintahan di empat daerah otonomi baru di Papua tidak sebanding dengan harga integrasi Papua.

    “Ini semua harus kita lakukan dalam rangka mempertahankan integrasi Papua. Satu pilihan kita berbangsa, di mana tidak boleh ada satu pun anak bangsa yang merasa dianaktirikan di Republik Indonesia tercinta. Cost (biaya) rupiah yang harus kita keluarkan itu tidak sebanding apa pun dengan harga integrasi Papua,” kata Rifqi di komplek parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Rifqi menyampaikan hal itu saat memimpin rapat Panitia Kerja Evaluasi Daerah Otonomi Baru (DOB) Empat Provinsi di Tanah Papua, yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.

    “Membangun infrastruktur perkantoran, membangun pemerintahan di empat daerah otonomi baru di Papua, yang angkanya sebetulnya sangat kecil kalau kita lihat dalam konteks kebutuhan infrastruktur bangsa yang lebih besar ini, itu harganya harus kita nilai bukan sekadar membangun infrastruktur, tetapi juga membangun integrasi bangsa,” ujarnya.

    Ia menuturkan bahwa dana transfer pusat ke daerah, khususnya dana otonomi khusus (otsus) ke Papua, memang dibutuhkan untuk menghapus kesenjangan Papua dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia.

    “Kita menyadari bahwa saudara-saudara kita di Papua memang membutuhkan perhatian khusus agar kesenjangan antara Papua dengan luar Papua, terutama Jawa, misalnya, Sumatera, atau kampung saya, Kalimantan, itu memang harus kemudian segera kita carikan solusi dan percepatan. Kita juga memberikan otonomi khusus karena kita menghargai kekhasan dengan lokalitas Papua,” tuturnya.

    Untuk itu, Rifqi menekankan upaya untuk memperbesar transfer keuangan pusat ke Papua hanya persoalan teknis dalam rangka mempertahankan prinsip dasar untuk merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    “Jauh dari itu, kita sekarang sedang mempersiapkan peradaban bangsa yang lebih baik ke depan,” ucapnya.

    Ia juga berharap penyelesaian pembangunan kantor gubernur, DPR Papua, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) di empat DOB di Tanah Papua dapat rampung sebelum tahun 2028.

    “Kalau bisa lebih cepat, mungkin jauh lebih baik daripada saudara-saudara kita harus menunggu,” tambahnya.

    Rapat tersebut menghasilkan sejumlah kesimpulan, di antaranya Komisi II DPR RI meminta Kementerian Keuangan untuk mempercepat dana transfer ke daerah (TKD), baik dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana tambahan infrastruktur (DTI), maupun dana otonomi khusus (otsus) dengan formulasi yang lebih adil dan proporsional sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua kepada empat DOB di Tanah Papua.

    Kemudian, Komisi II DPR RI meminta Kementerian Pekerjaan Umum merealisasikan pembangunan infrastruktur di empat DOB di Tanah Papua melalui alokasi DIPA Kementerian Pekerjaan Umum hingga serapannya minimal 80 persen untuk APBN tahun 2025.

    Selanjutnya, Komisi II DPR RI meminta Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Pekerjaan Umum mempercepat penyelesaian pembangunan kantor gubernur, DPR Papua, dan MRP di empat DOB di Tanah Papua paling lambat tahun 2028, sebagai prasyarat mutlak untuk menjamin efektivitas birokrasi, kesinambungan pelayanan publik, dan legitimasi pemerintahan di daerah otonomi baru.

    Berikutnya, Komisi II DPR RI meminta kepada Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pembinaan, pendampingan dan fasilitasi hingga selesai dan tuntas untuk pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di empat provinsi baru di Tanah Papua.

    Rapat tersebut turut dihadiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Diana Kusumastuti, dan perwakilan Kementerian PPN/Bappenas.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.