Warga 10 Desa di Pasuruan Akan Gelar Istighosah Akbar Tolak Pembangunan Batalyon 15 Marinir
Tim Redaksi
PASURUAN, KOMPAS.com
– Warga 10 Desa yang berasal dari Kecamatan Lekok dan Nguling, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, bakal menggelar Istighosah Akbar di Lapangan Semongkrong, Desa Pasinan, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan pada Jumat (19/12/2025).
Kegiatan tersebut sebagai upaya aksi penolakan terhadap pembangunan Batalyon 15 Marinir dan Sekolah Tamtama yang dinilai dapat mengganggu kehidupan dan keamanan warga setempat.
“Iya besok (19 Desember 2025), setelah shalat Jumat, kami warga dari 10 desa menggelar
Istighosah
dan doa bersama menolak proyek tersebut,” ujar Syafiudin, Kepala Desa Sumberanyar, Kamis (18/12/2025).
Dia pun mengungkapkan 10 Desa yang akan mengikuti kegiatan tersebut, yakni 9 desa di Kecamatan Lekok dan satu desa di Kecamatan Nguling.
Dengan rincian, Desa Alastlogo, Pasinan, Semedusari, Wates, Jatirejo, Branang, Tampung, Balonganyar, dan Gejugjati di Kecamatan Lekok. Sisanya, Desa Sumberanyar di Kecamatan Nguling.
“10 desa tersebut berada di kawasan Puslatpur 3 Grati
Pasuruan
. Ini ikhtiar kami setelah berkali-kali unjuk rasa atau dialog namun belum ada solusi. Pembangunan Batalyon 15 masih berlanjut. Kami hanya ingin desa kami aman, tidak was-was,” kata Syafiudin.
Terpisah, Ketua DPRD Kabupaten Pasuruan, Samsul Hidayat mengakui bahwa belum ada titik temu terkait adanya penolakan Batalyon 15 dan Sekolah Tamtama di Kawasan Puslatpur 3 Grati Pasuruan.
Pihaknya pun mendorong agar persoalan tersebut diputuskan di Komisi II DPR RI dan Kementerian Pertahanan.
“Kami berharap bisa menyampaikan langsung ke Presiden dan Komisi II DPR RI agar permasalahan yang sudah lama ini bisa segera terselesaikan dan masyarakat tidak dikorbankan,” kata Samsul, Kamis.
Samsul menyebut, persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan di tingkat lokal. Sebab, pemangku di Puslatpur 3 Marinir hanya menjalankan tugas dari Kementerian Pertahanan.
Sementara itu, warga masih tetap menolak dengan alasan tanah masih bersengketa dan demi keamanan.
“DPRD akan terus mengawal dan mengawasi proses ini demi menjaga kepastian hukum, keadilan bagi masyarakat, serta kondusivitas Kabupaten Pasuruan” ujarnya.
Untuk diketahui aksi penolakan terhadap pembangunan Batalyon 15 dan Sekolah Tamtama Marinir sudah dilakukan berkali-kali oleh warga.
Terakhir, aksi dilakukan warga Sumberanyar di Dusun Gunung Bukor, tempat lokasi proyek pembangunan Batalyon 15 Marinir pada Senin, 15 Desember 2025.
Hasilnya, tidak ada kesepakatan, masing-masing pihak tetap mempertahankannya. Pihak TNI Angkatan Laut (AL) tetap melanjutkan, sedangkan warga tetap akan melakukan perlawanan penolakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Komisi II DPR
-
/data/photo/2025/12/18/6943ffa8b129c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Warga 10 Desa di Pasuruan Akan Gelar Istighosah Akbar Tolak Pembangunan Batalyon 15 Marinir Surabaya 18 Desember 2025
-
/data/photo/2024/09/29/66f922c13927e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Single Salary ASN, Agar PNS Tak Lagi Kejar Honor dan Proyek Nasional
Single Salary ASN, Agar PNS Tak Lagi Kejar Honor dan Proyek
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pemerintah sedang merancang sistem penggajian tunggal (
single salary
) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kebijakan ini telah dituliskan dalam Buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2026 pada bagian kebijakan prakiraan maju belanja negara tahun 2026-2029.
Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, mengatakan bahwa
single salary
yang dicanangkan pemerintah adalah bentuk transformasi manajemen ASN dan telah dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN).
Meski sudah dibuatkan payung hukum, aturan turunan terkait
single salary
ini belum termuat dalam UU ASN, termasuk aturan teknisnya secara perinci.
“Jika memang tahun 2026 akan diterapkan penggajian tunggal, kita tunggu bagaimana aturan teknisnya agar sesuai dengan spirit tata kelola manajemen ASN dan reformasi birokrasi,” kata pria yang akrab disapa Gus Khozin ini kepada Kompas.com, Selasa (16/12/2025).
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menilai bahwa model penggajian tunggal ini cukup baik karena menghadirkan transparansi dan keadilan.
Dengan sistem tersebut, tidak ada disparitas antar ASN karena terdapat tunjangan yang tersembunyi, misalnya.
Ada juga spirit efisiensi anggaran karena lebih sederhana dan mengurangi duplikasi pembayaran.
“Mendorong integritas ASN karena tidak tergoda mencari tambahan dari honorarium proyek, dan model ini akan menjadikan standar nasional yang akan memudahkan penghitungan gaji secara adil dan kompetitif,” katanya.
Namun, hingga saat ini, sistem terkait penggajian tunggal belum digaungkan oleh pemerintah.
Sebab itu, pemerintah harus membuat aturan teknisnya jika hal ini akan diterapkan pada tahun 2026 mendatang.
“Spirit dan teori
single salary
ini bagus. Tinggal aturan teknisnya kita tunggu, termasuk laporan atas uji coba di 15 instansi yang telah menerapkan single salary,” ucapnya.
“Sehingga aturan yang akan dibuat kelak komprehensif dan mendorong tata kelola manajemen ASN yang baik serta mendorong reformasi birokrasi,” kata Gus Khozin.
Pakar kebijakan publik Universitas Padjajaran, Yogi Suprayogi, mengatakan bahwa yang harus dilakukan pemerintah saat ini adalah merevisi UU ASN agar memuat sistem
single salary.
Namun, dia menyangsikan prosesnya akan berjalan cepat, karena pembentukan UU yang baru tentu harus menjalani mekanisme yang panjang.
Langkah kedua baru pada aturan teknis, dan itu pun harus melalui kajian, karena setiap instansi memiliki keunikan tersendiri dalam sistem pemberian tunjangan untuk saat ini.
“Aturan teknisnya nanti peraturan pemerintah kah (atau) peraturan kelembagaannya, dan itu (rasanya) masih
long way to go
ya kalau menurut saya,” imbuhnya.
Istilah
single salary
untuk ASN atau skema gaji tunggal ini akan memberikan hak penghasilan satu kali untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Saat ini, PNS tidak langsung menerima penghasilan secara utuh, tetapi bertahap melalui beragam komponen.
Secara umum, komponen penghasilan yang diterima oleh PNS terbagi menjadi tiga, yaitu gaji pokok, tunjangan lauk-pauk dan keluarga, serta tunjangan kinerja.
Namun, tunjangan ini juga memiliki ragam tersendiri, seperti tunjangan khusus jabatan dan tunjangan kemahalan berdasarkan daerah tempat PNS mengabdi.
Salah satu alasan rencana kebijakan ini diterapkan adalah untuk menjaga daya beli ASN setelah mereka memasuki usia pensiun.
Gaji tunggal akan memberikan lebih banyak pemberian asuransi kesehatan, kematian, dan hari tua.
Pakar Kebijakan Publik Universitas Indonesia, Lina Miftahul Jannah, mengatakan bahwa
single salary
sebenarnya sudah diterapkan di kampus tempatnya mengabdi.
Dia memberikan contoh, pendapatan di luar gaji mengajar akan dimasukkan juga dalam komponen gaji, seperti misalnya menjadi anggota kepanitian satu kegiatan kampus tertentu.
Sistem ini akan memberikan pengawasan secara tidak langsung, mana ASN yang bekerja terlalu banyak dan mana ASN yang hanya diam saja tanpa bekerja.
“Kalau dengan
single salary system
ini, pimpinan bisa memantau oh ini sudah terlalu banyak penghasilannya, pendapatannya dibandingkan yang lain. Jangan-jangan kerjaannya terlalu banyak,” tutur Lina kepada Kompas.com, Selasa (16/12/2025).
Dengan mekanisme kontrol tersebut, pimpinan akan memberikan beban kerja yang lebih ringan sehingga ASN yang memiliki banyak penghasilan dengan pekerjaan yang menumpuk bisa dikurangi beban kerjanya.
Tentu hal ini bukan berarti mengurangi pendapatan ASN, tetapi lebih kepada kontrol kinerja yang sesuai dengan beban kerja.
Kesejahteraan yang terbagi rata dengan pembagian tugas yang juga terbagi rata akan memberikan dampak positif pada dua hal.
Pertama, terkait dengan kesejahteraan yang lebih baik untuk semua ASN.
Kedua, pada beban kerja yang tidak menumpuk pada satu orang tertentu saja.
Single salary yang berorientasi pada proses dan hasil ini akan memberikan penilaian yang adil bagi seluruh ASN di masa depan.
Sistem ini, kata Lina, akan memberikan gambaran secara utuh gaji ASN yang selama ini dianggap kecil akan terlihat menjadi sangat mencukupi.
“Misalnya di setiap tanggal 1, lah 1 Januari atau 1 Februari gitu kan (gaji) dibayarkan di sana semua, jadi kelihatan tuh bulatannya (semua penghasilan per bulan). Nah, itu yang disebut misalnya akhirnya disebut meningkatkan kesejahteraan karena kelihatan. Nah, kalau yang sekarang kan enggak kelihatan, seakan-akan PNS itu gajinya kecil,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Anggota DPR RI Muhammad Khozin Sebut Iklim Demokrasi Belum Sehat
Jember (beritajatim.com) – Muhammad Khozin, anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Kabupaten Jember dan Lumajang, menyebut iklim demokrasi di Indonesia masih belum sehat.
“Pemilu 2024 adalah pemilu terbrutal dalam sejarah Republik Indonesia. Selama medan tempur bergelombang, medan tempur itu tidak rata, maka iklim demokrasi kita belum sehat,” kata Khozin, dalam sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan, di kampus Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa (16/12/2025).
“Medan tempur ini harus rata. Semua profesi, semua anak bangsa punya hak yang sama untuk berkiprah di jalur politik. Tidak boleh hanya mereka yang punya isi tas. Mereka yang punya kualitas meskipun tidak punya isi tas punya aksesibilitas yang sama,” kata Khozin.
Revisi undang-undang pemilu, menurut Khozin, merupakan bagian dari upaya untuk menciptakan demokrasi yang lebih sehat dan adil bagi siapapun. “Low cost high impact. Ongkosnya ditekan seminimal mungkin tapi dengan impact sebesar mungkin. Itu prinsipnya,” katanya.
Komisi II DPR RI akan mulai mengundang beberapa pihak termasuk akademisi dan organisasin non pemerintah untuk mulai mempersiapkan kajian-kajian kebutuhan rancangan undang-undang pemilu pada Januari 2026.
Khozin memperkirakan akan ada titik temu antara sistem pemilu tertutup dengan terbuka. “Mungkin nanti titik temunya kombinasi antara terbuka atau tertutup. Variabelnya seperti apa, konkretnya seperti apa, kita tunggu masukan-masukan dari berbagai pihak,” katanya.
Revisi UU Pemilu ini, menurut Khozin, akan satu paket dengan revisi UU Partai Politik dan UU Pilkada. “Kalau dalam format kodifikasi kan pasti berkaitan dengan beberapa undang-undang. Tidak mungkin hanya berdiri sendiri Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi tetap diakomodasi tanpa menabrak norma aturan yang lebih tinggi yaitu konstitusi UUD 1945,” katanya.
Sementara itu, Ketua Badan Pengawas Pemilu RI Rahmat Bagja membantah anggapan bahwa Pemilu 2024 brutal. “Enggak lah. Yang jelas persaingan di internal partai ada, persaingan antarpartai ada. Wajar saja. Kompetisi itu sangat terbuka dan sangat kompetitif. Mungkin itu yang diartikan brutal,” katanya, usai acara di UIN KHAS Jember.
Bagja memahami pernyataan itu sebagai pengalaman personal Khozin. “Tapi menurut kami alhamdulillah pemilu bisa terselenggara dengan baik, dan kalaupun ada ketidakberesan, ada kanalisasi dalam menyelenggarakan pengaduan dan lain-lain,” katanya. [wir]
-

Mahasiswa UIN KHAS Jember Pertanyakan Independensi KPU RI
Jember (beritajatim.com) – Sejumlah mahasiswa memberondong Ketua Komisi Pemilihan Umum RI Mochammad Afifuddin soal penyelenggaraan pemilu, dalam acara osialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan, di kampus Universitas Islam Negeri KH Achmad Siddiq, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa (16/12/2025).
Mereka mempertanyakan independensi KPU. Muhammad Azan Firminabili, mahasiswa Fakultas Syariah Program Studi Hukum Keluarga, mengaku pernah mendaftarkan diri menjadi anggota panitia pemungutan suara (PPS) dan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan). “Saya lolos di tahap tes kemudian di tahap wawancara saya gugur,” katanya.
Belakangan, Firman mendengar rumor di masyarakat, bahwa personali penyelenggara pemilu memiliki keterkaitan dengan partai politik tertentu. “Padahal cukup jelas bahwasanya KPU merupakan lembaga independen, tanpa adanya campur tangan partai politik dalam menyelenggarakan pemilu,” katanya.
Kritik serupa meluncur dari Ahmad Farhan, mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara. “Di era sekarang realitanya KPU tidak independen. Justru dikuasai oleh partai politik atau pemerintah,” kata Farhan.
Sementara itu Riayatul Nafisah dari Pengurus Cabang Fatayat NU Jember meminta agar perekrutan penyelanggara pemilu memperhatikan pendidikan minimal S1. “Pendidikan itu sangatlah penting,” katanya.
Menjawab keragu-raguan mahasiswa, Afifuddin menegaskan, tugas KPU adalah menjaga kedekatan yang sama dengan semua peserta pemilu. “Apakah lantas itu berarti menjadi bagian dari orang partai, kan tidak. Selagi kita tidak punya kartu tanda anggota partai maka kita bukan anggota partai,” katanya.
“Urusan kemudian punya hubungan komunikasi dan lain-lain, asal bisa dipertanggungjawabkan enggak masalah. Kalau saya terbukti membela satu partai, pasti dilaporkan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), saya sudah dipecat,” kata Afifuddin.
Afifuddin mengingatkan bahwa dirinya menjadi Ketua KPU RI 2024-2027 sebagai bagian dari konsekuensi keputusan DKPP. Sebelumnya dia menjabat Pelaksana Tugas Ketua KPU RI menggantikan Hasyim Asy’ari.
Afifuddin meminta kepada seluruh mahasiswa agar terlibat sebagai penyelenggara pemilu. “Teman-teman terbuka untuk menjadi pihak yang terlibat. Jangan pernah berpikir pantas enggak pantas,” katanya.
Muhammad Khozin, anggota Komisi II DPR RI, mengatakan, anggota partai tidak boleh menjadi penyelenggara. “Tidak mungkin penyelenggara berlaku adil kalau partisan, memihak salah satu partai,” katanya.
“Tugas KPU adalah pelaksana undang-undang. Sementara partai yang melahirkan legislatif dan eksekutif adalah pembuat undang-undang. Masalahnya di undang-undangnya, atau di pelaksanaan undang-undang, atau di pelaksana undang-undang? Ini perlu dicek,” kata Khozin. [wir]
-
/data/photo/2015/05/26/1745583001-fot011780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pilkada via DPRD, Solusi Politik Berbiaya Mahal atau Hidupkan Masalah Lama?
Pilkada via DPRD, Solusi Politik Berbiaya Mahal atau Hidupkan Masalah Lama?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD kembali mencuat, digaungkan oleh elite partai politik dan pemerintah.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai pemilihan kepala daerah dengan cara tak langsung tidak bertentangan dengan hukum.
“Undang-undang tidak melarang kalau seandainya dilaksanakan sepanjang dilakukan secara demokratis,” ujar Tito di Kantor Kemendagri, Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Tito beralasan, demokratis itu bisa berarti dua hal, dipilih secara langsung atau melalui perwakilan di DPRD.
Dalil pemerintah juga menyebutkan konstitusi negara, Undang-Undang Dasar 1945 tidak melarang adanya pemilihan secara tidak langsung tersebut.
Selain itu, partai yang santer menyuarakan wacana ini adalah Golkar.
Pada HUT Ke-61 partai berlambang beringin itu, Ketua Umumnya Bahlil Lahadalia secara terbuka menyebut wacana tersebut.
“Khusus menyangkut
pilkada
, setahun lalu kami menyampaikan kalau bisa pilkada dipilih lewat DPRD saja. Banyak pro-kontra, tapi setelah kita mengkaji, alangkah lebih baiknya memang kita lakukan sesuai dengan pemilihan lewat DPR kabupaten/kota biar tidak lagi pusing-pusing. Saya yakin ini perlu kajian mendalam,” kata Bahlil.
Anggota Komisi II DPR-RI, Ahmad Doli Kurnia mengatakan, sepanjang pemilihan kepala daerah yang digelar secara langsung, ada ekses yang semakin besar dan tak terkendali.
Tak lain adalah biaya politik yang terllalu besar yang menyentuh pada penyelenggaraan dan “biaya lain” yang disebut bisa mengancam moral bangsa.
“Biaya-biaya itu ternyata belum tentu menghasilkan kepala daerah yang ideal, bukan hanya dari aspek kualitas penyelenggaraan pemerintahan, namun ternyata fakta menunjukkan bahwa banyak sekali Kepala Daerah yang terjerat masalah hukum, terutama kasus korupsi,” kata Doli kepada
Kompas.com
, Senin (15/12/2025).
Sebab itu, Doli menilai wacana pemilihan kembali ke DPRD adalah opsi yang patut dipertimbangkan untuk menjaga prinsip
demokrasi
dai menjawab masalah politik berbiaya mahal tersebut.
Selain berbicara sebagai anggota Komisi II, politikus Golkar ini juga menyebut partainya sudah mengkaji fenomena pilkada dengan biaya mahal ini.
“Dari hasil kajian sementara itu, tentu kami sudah punya beberapa opsi. Terkait Pilkada, kami memang sudah punya kecenderungan untuk melaksanakan Pilkada kembali ke DPRD, terutama untuk pemilihan Gubernur,” ucapnya.
Doli menjelaskan, meski berangkat dari fenomena politik berbiaya mahal, sikap partai Golkar diambil berdasarkan alasan otonomi daerah.
Karena menurut kajian partai dengan warna dominan kuning ini, pemilihan gubernur melalui DPRD juga bisa bersifat demokratis dan tidak dilarang konstitusi, persis seperti yang dikatakan Mendagri Tito Karnavian.
Sikap Golkar ini masih belum final untuk pemilihan di tingkat kabupaten/kota. Doli mengatakan, kepala daerah tingkat dua perlu tetap dipilih secara langsung agar pemimpinnya mendapat legitimasi dari rakyat.
“Namun, dengan mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang, yang mengharuskan adanya penghematan biaya negara serta untuk menjaga moral bangsa, tentu kita bisa memilih kembali ke DPRD.
Jadi untuk Pilkada Kabupaten/Kota kami cenderung juga kembali ke DPRD, walaupun kami punya opsi lain, yaitu dilaksanakan secara asimetris/hybrid, ada Kabupaten/Kota yang tetap dilaksanakan secara langsung dan ada dilaksanakan melalui DPRD,” ucapnya.
Merujuk dua artikel
Kompas
berjudul ”Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Anggota Dewan, Kiri-Kanan Oke” (14 Maret 2000) dan ”Politik Uang Pemilihan Kepala Daerah: Kejarlah Calon Gubernur, Uang Kutangkap” (15 Maret 2000), yang diulas kembali dalam liputan bertajuk “Jejak Politik Uang Saat Kepala Daerah Masih Dipilih oleh DPRD” politik uang terjadi saat pilkada melalui DPRD.
Praktik “biaya lain-lain yang merusak moral bangsa” itu digambarkan secara gamblang dalam pemilihan bupati Sukoharjo pada Januari 2000.
Saat itu, hampir semua bakal calon dilaporkan mengeluarkan dana besar untuk mengamankan dukungan fraksi.
Sejumlah kandidat disebut menghabiskan hingga Rp 500 juta hanya untuk tahap pencalonan.
Fenomena serupa muncul di Boyolali pada Februari 2000 ketika suara fraksi mayoritas DPRD justru berpindah dalam pemungutan suara.
Rumor yang beredar saat itu menyebutkan harga satu suara anggota DPRD berkisar Rp 50 juta hingga Rp 75 juta, disertai praktik ”karantina” anggota dewan di rumah calon menjelang pemilihan.
Praktik transaksi politik lebih vulgar di Lampung Selatan, dalam proses pemilihan bupati periode 2000–2005, tim sukses calon bupati mendatangi rumah anggota DPRD, menginapkan mereka di hotel, dan memberikan uang tunai dengan nilai bervariasi.
Sejumlah anggota DPRD mengaku menerima uang antara Rp 10 juta hingga Rp 25 juta, bergantung pada posisi mereka sebagai anggota atau pimpinan fraksi.
Praktik politik uang tersebut merebak di berbagai daerah dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Hal ini yang disebut peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Beni Kurnia sebagai bentuk tidak adanya jaminan biaya pilkada menjadi lebih murah.
Pasalnya, praktik transaksi di lorong gelap justru akan semakin kuat, seperti yang pernah terjadi pada 25 tahun silam.
“Yang lebih mungkin terjadi adalah pergeseran
locus
politik uang, dari pemilih rakyat ke elit politik di DPRD. Dalam konteks praktik pemerintahan daerah, transaksi politik semacam ini justru lebih sulit diawasi karena berlangsung dalam ruang tertutup dan dibungkus dalam proses politik internal lembaga perwakilan,” katanya.
Dia juga menegaskan, problem mahalnya biaya pilkada tak bisa dikatakan sejalan dengan bentuk pemilihan secara langsung.
Pilkada yang mahal, kata Beni, adalah masalah tata kelola pengawasan politik uang dan transaksi tiket pencalonan oleh partai politik yang selama ini sulit untuk dijatuhi sanksi.
Beni mengatakan, konstitusi memang tidak secara eksplisit memberikan kewajiban pilkada langsung.
Walakin, perkembangan konstitusi pasca reformasi telah menempatkan rezim pilkada langsung sebagai instrumen demokrasi lokal dan wujud dari kedaulatan rakyat.
“Problem mahalnya biaya pilkada dan praktik korupsi kepala daerah lebih tepat dibaca sebagai kegagalan tata kelola dan pengawasan, bukan kegagalan sistem pemilihan langsung itu sendiri,” katanya.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Nurcahyadi Suparman atau Armand mengatakan, wacana ini sebagai bentuk kemunduran terhadap kedaulatan rakyat, khususnya di tingkat lokal.
“Dengan kita memindahkan Pilkada langsung ke ruang-ruang DPR/DPRD, itu sebetulnya sudah atau menjadi langkah mundur dari upaya penguatan demokratisasi lokal itu,” ucapnya.
Dia juga menyebut ada upaya melempar tanggungjawab dari masalah politik berbiaya mahal.
Karena menurut Armand, yang menyebabkan politik berbiaya mahal adalah mekanisme transaksi di lorong gelap yang terjadi antara kandidat dan partai politik.
“Karena itu menurut kami, biaya politik ini sangat mahal karena memang partai politik itu sendiri yang membuat biaya itu mahal,” katanya.
Sebab itu, Armand menilai jalan keluarnya bukan kembali pada masa kedaulatan rakyat dirampas kembali, tapi pada perbaikan tata kelola dan regenerasi partai politik yang baik.
“Padahal kalau partai itu punya sistem kaderisasi dan rekrutmen yang bagus, mestinya hal-hal seperti itu (politik berbiaya mahal) bisa disimplifikasi,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/15/68c7bc8b57bd5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Dukung Aceh Minta Bantuan PBB, Dede Yusuf: Tak Usah Debat, yang Penting Satu Nyawa Tertolong Nasional
Dukung Aceh Minta Bantuan PBB, Dede Yusuf: Tak Usah Debat, yang Penting Satu Nyawa Tertolong
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Wakil Ketua Komisi II DPR Fraksi Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi menegaskan Pemprov Aceh boleh menerima bantuan dari siapa saja, termasuk pihak asing, dalam hal ini dua lembaga PBB (UNDP dan UNICEF).
Menurut dia, hal itu tidak perlu menjadi perdebatan karena tujuannya sama-sama untuk menyelamatkan rakyat.
Dede Yusuf
mengingatkan, pemerintah daerah pasti membutuhkan bantuan dari mana pun, mengingat akses jalan ke tempat mereka sulit dicapai.
“Dalam kondisi bencana, siapa pun boleh meminta bantuan dari siapa saja. Namun, kondisi medan yang sulit membuat bantuan susah tembus. Artinya, pemda pasti berusaha semaksimal mungkin mendapat bantuan dari mana saja,” ujar Dede kepada Kompas.com, Rabu (16/12/2025).
“Tidak usah dijadikan perdebatan, yang penting satu nyawa lagi bisa tertolong adalah keharusan,” tambah Dede.
Dede menjelaskan,
bantuan asing
yang diterima Aceh harus dilihat sebagai upaya pertolongan demi mencegah korban lebih banyak.
Selain itu, Dede meyakini pemerintah pusat dan Presiden Prabowo Subianto telah melakukan berbagai upaya maksimal dalam menangani bencana banjir dan longsor di Sumatera.
“Kita yakinkan juga bahwa pemerintah dan Presiden sudah melakukan upaya maksimal menangani kondisi. Negara lain pun juga sudah menawarkan bantuan,” ucapnya.
Dede pun meminta, jika ada pemerintah daerah yang meminta bantuan asing, hal tersebut tidak perlu diperdebatkan.
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh menyurati dua lembaga resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu United Nations Development Programme (UNDP) dan UNICEF agar membantu penanganan bencana banjir dan longsor di Aceh.
“Secara khusus Pemerintah Aceh resmi juga telah menyampaikan permintaan keterlibatan beberapa lembaga internasional atas pertimbangan pengalaman bencana tsunami 2004, seperti UNDP dan UNICEF,” kata Muhammad MTA dalam keterangan tertulisnya, Minggu (14/12/2025).
Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) dalam beberapa kesempatan memang selalu berharap agar bantuan internasional harus dibuka, supaya penanganan bencana lebih masif.
UNDP dan UNICEF telah menerima surat resmi terkait permintaan bantuan tersebut.
Saat ini, kedua lembaga tengah melakukan peninjauan untuk menentukan bentuk dukungan yang paling tepat, sejalan dengan mandat masing-masing.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Koalisi Permanen, Begini Ketakutan Ahmad Doli Kurnia
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Usul pembentukan koalisi permanen pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang disuarakan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia masih terus menjadi perdebatan.
Ide itu bahkan belakangan menuai dukungan dari Waketum PAN, Viva Yoga Mauladi. Malah, dia menyarankan agar koalisi permanen masuk pembahasan di RUU Pemilu.
“Jika koalisi permanen menjadi keputusan politik seluruh partai, harus masuk di pasal di UU Pemilu,” ujar Viva Yoga.
Merespons wacana yang berkembang itu, Wakil Ketua Umum (Waketum) Golkar, Ahmad Doli Kurnia menyebutkan perlu pengkajian secara matang ketika berencana memasukkan ketentuan koalisi permanen dalam Undang-Undang Pemilu.
“Menurut saya, harus hati-hati kemudian memasukkan itu secara formal,” kata Doli menjawab awak media seperti dikutip Jumat (12/12).
Legislator Komisi II DPR RI itu mengatakan komunikasi antarpartai menjadi tak fleksibel ketika koalisi permanen terbentuk.
Sebab, kata Doli, koalisi biasanya terbentuk sebelum pelaksanaan pemilu. Setelah kontestasi, partai masih perlu berkomunikasi dengan kubu seberang.
Itu nanti bisa mengarah kepada terjadi kekakuan politik, tidak adanya kelenturan di dalam menyusun visi dan program bersama itu,” ujarnya.
Toh, kata anggota Baleg DPR RI itu, Indonesia selama ini tidak pernah menerapkan koalisi permanen, karena kerja sama politik biasanya temporer.
Doli mengatakan dinamisnya perpolitikan di Indonesia yang membuat koalisi tidak pernah permanan, melainkan temporer.
“Partai politik itu juga tentu akan mengikuti perkembangan tentang cara memulai visi, misi, cara program yang harus dia sampaikan kepada publik dalam perode tertentu,” kata dia.


