Kementrian Lembaga: Kemlu

  • Bertemu Utusan Presiden Korsel, Prabowo Terima Undangan Kenegaraan ke Seoul

    Bertemu Utusan Presiden Korsel, Prabowo Terima Undangan Kenegaraan ke Seoul

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto menerima kunjungan kehormatan Utusan Khusus Presiden Korea Selatan (Korsel), Cho Jung-sik. Kunjungan itu dalam rangka memperkuat kemitraan strategis khusus kedua negara.

    Dilihat dari laman Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Jumat (15/8/2025), pertemuan berlangsung Kamis (14/8) kemarin. Cho Jung-sik sendiri merupakan anggota parlemen senior Korsel dari Partai Demokrat Korea.

    “Dalam pertemuan tersebut, Utusan Khusus ROK meneruskan salam hangat dan komitmen Presiden ROK, Lee Jae-myung, untuk bersama-sama Presiden RI menguatkan Kemitraan Strategis khusus kedua negara,” tulis keterangan Kemlu RI.

    Dalam kesempatan itu, Cho Jung-sik juga menyampaikan undangan dari Lee Jae-myung. Undangan yang diberikan untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Ibu Kota Korea Selatan, Seoul.

    “Selain itu, Utusan Khusus ROK juga menyampaikan undangan dari Presiden ROK kepada Presiden RI untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Seoul,” ujarnya.

    Sugiono juga mengapresiasi komitmen pemerintah ROK dan mendorong peningkatan investasi perusahaan-perusahaan Korea di Indonesia yang saat ini tercatat lebih dari 2.300 entitas. Sugiono dan Cho Jung-sik juga bertukar pandangan mengenai isu-isu di Kawasan.

    Seentara, Cho Jung-sik mengapresiasi peran penting Indonesia di Kawasan, termasuk dalam mendorong penguatan kemitraan ASEAN-ROK.

    (dek/idn)

  • Pemerintah Israel Wacanakan Perluasan Pendudukan di Tepi Barat

    Pemerintah Israel Wacanakan Perluasan Pendudukan di Tepi Barat

    Jakarta

    Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich pada hari Kamis (14/8) mengungkap rencana perluasan pemukiman di Tepi Barat yang diduduki Israel. Ekspansi pemukiman akan semakin menggerogoti wilayah Palestina dan dipandang sebagai batu sandungan terbesar bagi kedaulatan Palestina.

    Pendudukan Israel di Tepi Barat telah berlangsung sejak tahun 1967.

    Smotrich mengisyaratkan, ekspansi juga diniatkan untuk mencegah lebih banyak negara mengakui kedaulatan Palestina.

    Juru bicara PBB sebabnya mendesak Israel untuk membatalkan rencana ekspansi pemukiman karena akan mengakhiri prospek Solusi Dua Negara. PBB kembali menegaskan bahwa pemukiman Israel di Tepi Barat bertentangan dengan hukum internasional.

    Bagaimana rencana perluasan pemukiman?

    Menteri keuangan dari blok ekstrem kanan itu mengumumkan rencana perluasan pemukiman Israel, Maale Adumim, dengan membangun 3500 apartemen baru di sebidang tanah seluas 12 km2 di sebelah timur Yerusalem, yang dikenal sebagai wilayah East 1 (E1).

    Rencana perluasan area pemukiman Israel ini menurut para pakar akan “secara efektif” membelah wilayah Tepi barat, Israel menjadi dua bagian. Dalam pernyataan yang dirilis Smotrich, pihaknya akan “mengubur gagasan tentang negara Palestina.”

    Pengumuman Smotrich datang bersamaan dengan rencana Prancis, Inggris, dan Kanada untuk secara formal mengakui kedaulatan Palestina pada Sidang Umum PBB di bulan September mendatang.

    “Siapa pun di dunia yang saat ini mencoba mengakui negara Palestina, akan mendapat jawaban dari kami di lapangan,” tambahnya.

    Smotrich, yang juga pemimpin Partai Religious Zionism, mengancam akan menegaskan kedaulatan penuh Israel di semua wilayah Yudea dan Samaria, jika Prancis, Inggris, dan Kanada melanjutkan rencana pengakuan mereka atas negara Palestina.

    Istilah “Yudea dan Samaria” sering digunakan Israel merujuk wilayah Tepi Barat yang diduduki.

    Apa reaksi AS terhadap rencana Smotrich?

    Rencana perluasan pemukiman Yahudi di wilayah E1 sempat dibekukan sebelumnya pada masa pemerintahan AS di bawah Presiden Obama dan Biden dari partai Demokrat.

    Dalam konferensi pers tersebut, Smotrich menyebut Presiden Trump dan Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, sebagai “sahabat sejati”, yang selalu memperkuat posisi Israel.

    Namun juru bicara Departemen Luar Negeri AS, mengelak memberikan tanggapen terkait ekspansi pemukiman, dan hanya mengatakan bahwa “Tepi Barat yang stabil ikut menjaga keamanan Israel ,dan sejalan dengan hal tersebut perdamaian di kawasan dapat tercapai.”

    Meski demikian, Trump dan Huckabee belum memberikan komentar atas rencana tersebut.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu juga belum memberikan tanggapan resmi kepada publik terkait rencana Smotrich, meski Smotrich mengklaim Netanyahu dan Trump telah mendukung pembangunan unit perumahan baru.

    Posisi Smotrich sebagai menteri keuangan dalam pemerintahan koalisi, memberinya ruang untuk mendulang dukungan dari pemilih konservatif dan pemukim Yahudi garis keras.

    Meski belum mendapat persetujuan resmi dari Netanyahu atau Trump, agenda Smotrich berpotensi memperkuat pengaruh sayap kanan, dan mempengaruhi arah kebijakan pemerintah Israel.

    Rencana E1 masih membutuhkan persetujuan resmi dari pemerintah. Jika disetujui, pembangunan perumahan baru di pemukiman Maale Adumim bisa dimulai dalam waktu sekitar satu tahun.

    Bagaimana reaksi Palestina?

    Manuver untuk pembangunan kawasan E1 mendapat kecaman dari pejabat Palestina, kelompok hak asasi, dan negara-negara Arab.

    Kementerian Luar Negeri Otonomi Palestina di Tepi Barat dan kaum ekspatriat Palestina juga mengecam rencana tersebut, dan menuntut “pemberian sanksi” pada Israel untuk menghentikan pendudukan baru di E1. Mereka menyebut rencana ini sebagai kelanjutan rencana Israel untuk “menghancurkan eksistensi negara Palestina.”

    Organisasi kemanusiaan Israel Peace Now, yang memantau pemukiman Yahudi di Tepi Barat, menyebut rencana pemerintah “membunuh masa depan Israel, dan mematikan setiap peluang tercapainya solusi-dua negara yang damai.”

    Solusi-dua negara mengacu pada visi dua negara merdeka, Israel dan Palestina, yang hidup berdampingan secara damai.

    Kecaman negara-negara Arab

    Kritik juga datang dari kawasan Teluk. Qatar menilai rencana perluasan pemukiman di Tepi Barat sebagai “pelanggaran nyata terhadap legitimasi internasional,” dan menekankan urgensi “tindakan dari komunitas internasional untuk bersatu menghentikan Israel memperluas pemukiman dan, untuk mematuhi resolusi internasional.”

    Kementerian Luar Negeri Mesir mengecam keras rencana perluasan pemukiman Yahudi tersebut, dan mengecam “pernyataan ekstrem menteri Israel yang menyerukan perluasan pemukiman dan kedaulatan Israel di Tepi Barat.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor :Rizki Nugraha/Agus Setiawan

    Lihat juga Video ‘Trump Ingin Jurnalis Dapat Akses Masuk Gaza’:

    (ita/ita)

  • Heboh Jenderal Afsel Dukung Iran, Presiden Ramaphosa Geram!

    Heboh Jenderal Afsel Dukung Iran, Presiden Ramaphosa Geram!

    Pretoria

    Kantor Presiden Afrika Selatan (Afsel), Cyril Ramaphosa, mengkritik jenderal top negaranya atas komentar soal solidaritas dengan Iran yang disampaikan dalam kunjungan ke negara itu. Ramaphosa menilai komentar itu tidak membantu Afsel yang sedang dalam proses pemulihan hubungan dengan Amerika Serikat (AS).

    Kementerian Luar Negeri Afsel, seperti dilansir AFP, Jumat (15/8/2025), juga mengecam Kepala Angkatan Bersenjata Nasional Afsel, Jenderal Rudzani Maphwanya, atas pernyataan yang disampaikannya dalam kunjungan ke Iran baru-baru ini.

    Partai politik terkemuka di Afsel bahkan menyerukan agar Jenderal Maphwanya diadili di pengadilan militer.

    Pretoria berupaya memperbaiki hubungan dengan Washington, dengan tujuan mencapai kesepakatan perdagangan baru yang akan menghindarkan Afsel dari tarif 30 persen atas ekspornya.

    “Kita sedang dalam proses mengelola upaya pemulihan hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat yang sangat rumit,” kata juru bicara kantor Presiden Ramaphosa, Vincent Magwenya, dalam konferensi pers dalam Kamis (14/8).

    Selama negosiasi itu berlangsung, sebut Magwenya, sangat “tidak membantu” jika “pejabat senior pemerintah atau militer membuat pernyataan yang akan memperburuk situasi”.

    Media lokal Iran, Tehran Times, melaporkan pada Selasa (12/8) waktu setempat bahwa sang jenderal top Afsel telah menyerukan kerja sama yang lebih mendalam dengan Iran, terutama dalam sektor pertahanan, selama pertemuan dengan para pejabat tinggi pertahanan Iran.

    Sedangkan laporan televisi pemerintah Iran, Press TV, menyebut Jenderal Maphwanya menegaskan bahwa kedua negara memiliki “tujuan bersama” dan juga mengutuk tindakan Israel di Jalur Gaza.

    “Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik dan konflik di Timur Tengah, kunjungan tersebut dapat dikatakan tidak bijaksana,” sebut Magwenya dalam pernyataan mewakili kantor Presiden Afsel.

    Dia menambahkan bahwa Presiden Ramaphosa tidak mengetahui soal kunjungan Jenderal Maphwanya ke Iran.

    Aliansi Demokratik, kelompok koalisi terbesar kedua dalam pemerintahan Afsel, menuntut agar Jenderal Maphwanya diadili di pengadilan militer karena “melanggar netralitas militer”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Negara-negara Arab Kecam Netanyahu Soal Visi ‘Israel Raya’

    Negara-negara Arab Kecam Netanyahu Soal Visi ‘Israel Raya’

    Amman

    Negara-negara Arab ramai-ramai mengecam pernyataan Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, yang mendukung gagasan “Israel Raya”. Gagasan itu dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara-negara Arab saat ketegangan memuncak di kawasan Timur Tengah.

    Istilah “Israel Raya” merujuk pada interpretasi Alkitab mengenai wilayah negara tersebut pada masa Raja Salomo, atau Raja Sulaiman, yang tidak hanya mencakup wilayah Palestina saat ini, yakni Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diduduki, tetapi juga sebagian wilayah Yordania, Lebanon dan Suriah era modern.

    Kalangan ultra-nasionalis Israel telah menyerukan pendudukan terhadap wilayah-wilayah tersebut.

    Ketika ditanya pada Selasa (12/8) oleh wartawan i24NEWS, Sharon Gal, soal apakah dirinya mendukung “visi Israel Raya” tersebut, Netanyahu menjawab: “Tentu saja.”

    “Jika Anda bertanya kepada saya mengenai apa yang saya pikirkan, kami siap,” katanya.

    Dia kemudian beralih membahas soal pendirian Israel dan “misi besar”untuk memastikan keberlangsungan keberadaannya.

    Yordania, negara tetangga Israel, seperti dilansir AFP, Jumat (15/8/2025), mengecam keras pernyataan Netanyahu tersebut, yang disebut sebagai “eskalasi berbahaya dan provokatif”, serta merupakan “ancaman terhadap kedaulatan negara-negara”.

    Dalam pernyataan pada Rabu (13/8), juru bicara Kementerian Luar Negeri Yordania menegaskan penolakan terhadap apa yang disebutnya sebagai retorika “provokatif| dan “klaim delusi” Netanyahu.

    Mesir juga memberikan reaksi keras, dengan mengatakan pihaknya telah “meminta klarifikasi terkait masalah ini”. Kairo menilai pernyataan Netanyahu itu sama-sama dengan “penolakan terhadap opsi perdamaian di kawasan tersebut”.

    Pernyataan Netanyahu itu disampaikan di tengah perang selama 22 bulan antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, yang berulang kali merembet ke Timur Tengah dan memicu kecaman keras terhadap Tel Aviv dari seluruh dunia Arab.

    Kecaman lainnya datang dari Irak, dengan Kementerian Luar Negeri Baghdad mengatakan pada Kamis (14/8) bahwa pernyataan Netanyahu itu mengungkapkan “ambisi ekspansionis” Israel dan merupakan “provokasi yang jelas terhadap kedaulatan negara-negara”.

    Qatar, yang merupakan mediator gencatan senjata Gaza, juga mengecam pernyataan Netanyahu, yang disebut sebagai pernyataan “absurd” dan “menghasut”.

    Upaya perluasan wilayah Israel juga menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, anggota kabinet Netanyahu, menuntut penaklukan Jalur Gaza dan aneksasi Tepi Barat, setelah pemerintah Tel Aviv baru-baru ini menyetujui pemukiman baru yang dianggap ilegal menurut hukum internasional.

    Arab Saudi, pada Rabu (13/8), menyatakan “penolakan total terhadap gagasan dan rencana kolonisasi dan ekspansi yang diadopsi oleh otoritas pendudukan Israel”, dan menegaskan kembali “hak historis dan hukum rakyat Palestina untuk mendirikan negara mereka yang merdeka”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Jerman Serukan Israel Setop Bangun Permukiman di Tepi Barat!

    Jerman Serukan Israel Setop Bangun Permukiman di Tepi Barat!

    Berlin

    Jerman menolak keras rencana Israel untuk membangun ribuan rumah baru di wilayah Tepi Barat. Berlin menyerukan pemerintah Israel untuk “menghentikan pembangunan permukiman” di wilayah Palestina yang diduduki tersebut.

    “(Jerman) Sangat menolak pengumuman pemerintah Israel tentang ribuan permukiman baru di wilayah Tepi Barat yang diduduki Israel,” tegas Kementerian Luar Negeri Jerman dalam pernyataannya, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Jumat (15/8/2025).

    Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, menyatakan dukungan untuk rencana pembangunan sebanyak 3.400 rumah di area yang sangat kontroversial di Tepi Barat yang diduduki. Smotrich juga menyerukan aneksasi terhadap Tepi Barat untuk menanggapi rencana beberapa negara untuk mengakui negara Palestina.

    Israel telah sejak lama berambisi untuk membangun permukiman di atas lahan sensitif di Yerusalem Timur, yang dikenal sebagai E1. Rencana itu telah dibekukan selama beberapa dekade karena banyak ditentang komunitas internasional.

    Permukiman Israel di Tepi Barat dianggap ilegal menurut hukum internasional. Para pengkritik dan komunitas internasional memperingatkan bahwa pembangunan rumah baru di lahan seluas sekitar 12 kilometer persegi itu akan merusak harapan terbentuknya negara Palestina yang berdampingan di masa depan, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

    Area yang terletak di antara kota kuno dan permukiman Yahudi Maale Adumim, yang dekat dengan rute yang menghubungkan bagian utara dan selatan wilayah Palestina. Terdapat juga rencana terpisah, yang belum terwujud, untuk memperluas tembok pemisah Israel agar mencakup area tersebut.

    Smotrich, dalam pernyataannya pekan ini, mengatakan pekerjaan akan dimulai untuk pembangunan permukiman yang telah lama tertunda yang akan membagi Tepi Barat dan memisahkannya dari Yerusalem Timur. Langkah ini disebut akan “mengubur” gagasan negara Palestina.

    “Mereka yang ingin mengakui negara Palestina hari ini akan menerima respons dari kami di lapangan… Melalui tindakan nyata: rumah-rumah, lingkungan, jalanan, dan keluarga-keluarga Yahudi yang membangun kehidupan mereka,” cetusnya saat berbicara di acara untuk memajukan rencana pembangunan di lahan E1.

    “Pada hari penting ini, saya menyerukan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menerapkan kedaulatan Israel di Yudea dan Samaria, untuk meninggalkan gagasan pembagian negara untuk selamanya, dan untuk memastikan bahwa pada September, para pemimpin Eropa yang munafik tidak akan memiliki apa pun lagi untuk diakui,” ucap Smotrich, menggunakan istilah Alkitab untuk menyebut Tepi Barat.

    Prancis dan Inggris termasuk di antara beberapa negara yang telah mengumumkan rencana untuk mengakui negara Palestina di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September mendatang. Negara-negara itu mengatakan pengakuan itu dimaksudkan untuk menjaga solusi dua negara tetap hidup.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Israel Setujui Permukiman Yahudi di Sekitar Yerusalem, Arab Saudi Geram!

    Israel Setujui Permukiman Yahudi di Sekitar Yerusalem, Arab Saudi Geram!

    Riyadh

    Arab Saudi mengutuk keras persetujuan yang diberikan pemerintah Israel terhadap pembangunan permukiman Yahudi di sekitar Yerusalem. Otoritas Riyadh menyebut langkah semacam itu sebagai “kebijakan ekspansionis ilegal” yang terus dilakukan oleh Tel Aviv.

    Saudi juga mengecam komentar yang dilontarkan Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Saar, yang menolak pembentukan negara Palestina. Riyadh menyebut penolakan tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional.

    Ditegaskan oleh Saudi bahwa pembentukan negara Palestina merupakan hak rakyat Palestina “yang tidak dapat dicabut” untuk menentukan nasib mereka sendiri dan untuk bernegara.

    Kementerian Luar Negeri Saudi dalam pernyataannya, seperti dilansir Al Arabiya, Jumat (15/8/2025), mengutip resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang relevan, khususnya Resolusi 2234 (2016), yang menyerukan Israel untuk menghentikan aktivitas pembangunan permukiman di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dan menegaskan sifat ilegal dari permukiman Israel di wilayah yang diduduki sejak tahun 1967 silam itu.

    Pernyataan Kementerian Luar Negeri Saudi itu juga menyinggung soal saran pendapat (advisory opinion) Mahkamah Internasional (ICJ) yang “menegaskan ilegalitas aneksasi wilayah Palestina yang diduduki dan menekankan perlunya mengakhiri pendudukan Israel”.

    Kementerian Luar Negeri Saudi menyebut keputusan dan pernyataan tersebut menyoroti “kebijakan ekspansionis ilegal” pemerintah Israel yang sedang berlangsung dan “hambatannya terhadap upaya perdamaian, dan ancaman serius yang ditimbulkan terhadap potensi solusi dua negara”.

    Ditekankan juga bahwa situasi semacam ini menuntut komunitas internasional untuk memikul tanggung jawab hukum dan moral, memberikan perlindungan bagi rakyat Palestina, dan menegakkan hak-hak sah mereka, termasuk pengakuan atas negara Palestina.

    Hal itu, menurut Kementerian Luar Negeri Saudi, juga berarti mewajibkan Israel untuk menghentikan serangan terhadap Jalur Gaza, mengakhiri tindakan-tindakan ilegalnya di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, dan “menghentikan kejahatan terhadap rakyat Palestina — khususnya yang merupakan genosida — sembari meminta pertanggungjawaban para pelaku”.

    Riyadh juga menegaskan kembali “penolakan mutlak terhadap kebijakan Israel yang didasarkan pada perluasan permukiman, pemindahan paksa, dan penolakan terhadap hak-hak sah warga Palestina”.

    Terakhir, Kementerian Luar Negeri Saudi menyerukan kepada komunitas internasional, terutama anggota tetap Dewan Keamanan PBB, untuk segera mengambil tindakan guna memaksa otoritas Israel “mengakhiri kejahatan mereka terhadap rakyat Palestina dan wilayah Palestina yang diduduki, serta untuk mematuhi resolusi PBB dan hukum internasional”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • RI Kecam Keras Netanyahu Mau Caplok Palestina untuk Bikin ‘Israel Raya’

    RI Kecam Keras Netanyahu Mau Caplok Palestina untuk Bikin ‘Israel Raya’

    Jakarta

    Pemerintah Indonesia mengecam keras ide Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membuat visi ‘Israel Raya’ dengan mencaplok sejumlah negara Arab yang mayoritas muslim termasuk Palestina. Pemerintah Indonesia menyebut rencana itu semakin mengecilkan perdamaian Palestina dan Timur Tengah.

    “Indonesia menolak dan mengecam keras visi Perdana Menteri Israel tentang ‘Israel Raya’ melalui aneksasi penuh atas wilayah Palestina dan negara-negara lain di kawasan,” tulis Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dalam pernyataannya di akun X (Twitter), Kamis (14/8/2025).

    “Visi tersebut nyata-nyata melanggar hukum internasional dan semakin mengecilkan prospek perdamaian di Palestina dan Timur Tengah,” imbuhnya.

    Kemlu menerangkan ide Netanyahu itu melanggar hukum internasional. Kemlu menegaskan Indonesia memegang prinsip perdamaian yang adil hanya dapat terwujud dengan menegakkan hak yang tidak dapat dicabut rakyat Palestina.

    “Bagi Indonesia, perdamaian yang adil & berkelanjutan hanya dapat terwujud dg menegakkan hak yang tidak dapat dicabut rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri serta hidup berdampingan dengan Israel berdasarkan solusi dua negara, sesuai parameter internasional yang telah disepakati,” tulis Kemlu.

    “Indonesia menyerukan kepada komunitas internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, untuk menolak segala bentuk aneksasi dan pendudukan permanen oleh Israel – di Palestina atau di mana pun di kawasan,” tulis Kemlu.

    “Serta mengambil langkah konkret guna menghentikan kebijakan Israel yang merusak prospek perdamaian,” imbuhnya.

    Dilansir Middle East Eye dan Times of Israel, pernyataan Netanyahu itu dilontarkan saat wawancara dengan i24 News yang disiarkan pada Selasa (12/8) petang. Netanyahu menjawab pertanyaan pembawa acara, Sharon Gal, terkait visi ‘Israel Raya’ dan dia menyebut “sangat” terhubung dengan itu.

    Rencana ‘Israel Raya’ mencakup wilayah Palestina yang tengah diduduki dan sebagian wilayah Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon. Menurut versi lain, ini juga mencakup wilayah Arab Saudi.

    (whn/jbr)

  • Eropa Satukan Sikap Jelang Negosiasi Trump-Putin

    Eropa Satukan Sikap Jelang Negosiasi Trump-Putin

    Jakarta

    Seratus hari menjabat, Kanselir Jerman Friedrich Merz boleh jadi membayangkan masa cuti yang lebih menenangkan. Namun, alih-alih beristirahat, dia harus berkutat dengan isu perang dan politik dalam negeri, serta dipaksa menggeber kerja diplomatik tingkat tinggi.

    Jumat (15/8), di Alaska, Presiden Rusia Vladimir Putin dijadwalkan bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk membicarakan masa depan Ukraina. Celakanya, pertemuan itu digelar tanpa melibatkan Ukraina, apalagi Eropa.

    Sebabnya menjelang pertemuan, Merz bergegas “memancang tiang” lebih dulu, dengan mengundang pemimpin dunia Barat di sebuah konferensi virtual di Berlin.

    Yang diundang hadir dalam undangan adalah sejumlah kepala negara dan pemerintahan Eropa, Komisi Eropa, NATO, dan dua tamu kehormatan: Presiden AS Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, yang datang langsung ke Berlin.

    Terutama Zelensky ingin menegaskan posisi Ukraina dalam perundingan damai dengan Rusia. “Kami ingin perdamaian bagi Eropa dan dunia.” Ukraina, katanya, membutuhkan gencatan senjata segera dan jaminan keamanan dari Moskow.

    “Ada harapan untuk perdamaian”

    Inisiatif Merz bertujuan menggalang kesatuan Barat menghadapi Vladimir Putin. Setelah bertahun-tahun melancarkan perang berdarah terhadap Ukraina, penguasa di Kremlin itu tak kunjung memberi isyarat kesediaan gencatan senjata, apalagi berdamai.

    Jerman berharap, sikap kolektif Barat akan mampu mencegah Trump membuat konsesi sepihak ke Rusia.

    Trump sendiri, sebelum KTT virtual di Berlin, mengatakan punya firasat bahwa Eropa “ingin melihat sebuah kesepakatan.”

    Punggawa Partai Republik AS itu ingin menekan Putin, tapi cuma punya bekal tipis. Dia pun menginginkan perdamaian, tapi kadung memangkas besar-besaran suplai senjata ke Ukraina. Daya tawarnya terbatas karena tidak bisa membicarakan penyerahan wilayah — itu hanya mungkin jika Eropa, terutama Ukraina, memberi lampu hijau.

    Mungkinkah pertukaran wilayah?

    Belakangan, Trump sering melontarkan ide “tukar wilayah” untuk mengakhiri perang di Ukraina. Di Brussels, Komisi Eropa sudah berpengalaman bahwa Rusia tak akan mengembalikan wilayah yang sudah direbut dalam waktu dekat. Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte baru-baru ini berkata, “Saat ini, kita harus mengakui bahwa Rusia menguasai sebagian wilayah Ukraina.”

    Dalam urusan teritorial, Rutte memandang perlunya dibedakan antara pengakuan de facto dan de jure. Naskah kesepakatan itu mungkin mencatat bahwa Rusia secara faktual menguasai wilayah tertentu, tanpa mengakui secara hukum.

    Dari Berlin terdengar kabar, Ukraina hanya mau berunding soal gencatan senjata total di sepanjang garis depan. Adapun “pengakuan hukum atas pendudukan Rusia tak masuk meja perundingan,” tegas Merz.

    Putin bersikeras pada klaim teritorial

    Saat ini, Rusia menguasai sekitar seperlima wilayah Ukraina. Jubir Kementerian Luar Negeri di Moskow Rabu (13/8) lalu menyatakan, pihaknya tak akan mundur dari wilayah yang sudah diduduki, termasuk kota Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson. Krimea tak disebut, meski wilayah itu sudah dianeksasi Rusia sejak 2014 secara ilegal. Soal KTT di Berlin, komentar Moskow sangat singkat: “Tak penting.”

    Menurut Rafael Loss, pakar keamanan di European Council on Foreign Relations, pertemuan EU-NATO-AS di Berlin tergolong sukses. “Merz dan koleganya berhasil menyuarakan persatuan,” ujarnya kepada DW. Tapi soal definisi “penyerahan atau pertukaran wilayah”, katanya, Eropa dan AS masih berbeda pandangan.

    Secara hukum internasional, wilayah yang diklaim Rusia, termasuk Krimea, merupakan wilayah teritorial Ukraina. Fakta bahwa Rusia menguasai atau menganeksasi wilayah itu secara ilegal tak mengubah status hukumnya. “Penyerahan wilayah hanya mungkin jika konstitusi Ukraina diubah,” tegas Zelensky lagi di konferensi pers Berlin. “Kalau bicara wilayah, kita harus memikirkan rakyat, kita harus memikirkan konstitusi,” ujarnya.

    Pertemuan Alaska: Tiga skenario

    Bagaimana pertemuan pertama Putin-Trump di periode kedua Trump nanti akan berakhir? Rafael Loss membayangkan tiga skenario:

    Pertama, Trump sadar sedang dipermainkan Putin, lalu merapat ke Ukraina dan Eropa.

    Kedua, status quo dipertahankan.

    Ketiga — yang terburuk — Alaska menjadi titik awal normalisasi hubungan AS-Rusia, sementara Ukraina dan tatanan keamanan Eropa jadi korban.

    Solidaritas Eropa dan ancaman sanksi

    “Jika Rusia tak bersedia memberi konsesi, sanksi baru mengintai. Paket sanksi ke-19 Uni Eropa sudah disiapkan,” kata Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri UE, Kaja Kallas. Rinciannya masih disimpan rapat.

    Sebanyak 26 dari 27 negara anggota UE sepakat berdiri di belakang Ukraina, menegaskan bahwa “perbatasan internasional tak boleh diubah lewat perang.” Hanya Hungaria di bawah Perdana Menteri Viktor Orban yang menolak, menyebut sanksi tambahan tak ada gunanya.

    Moskow gandakan tekanan di medan perang

    Menjelang pertemuan Alaska, Rusia justru menggeber operasi militer di Ukraina. AFP melaporkan, dalam sehari Rusia mencatat kemajuan teritorial terbesar sejak beberapa bulan terakhir. Di Kherson, pertempuran di berbagai front tetap berlangsung sengit.

    Kepada Trump, Merz menitipkan pesan sebelum keberangkatan ke Alaska: “Kami ingin Presiden Trump mencatat sukses di Anchorage pada Jumat.” Dan satu catatan penting: “Ukraina juga harus duduk di meja perundingan jika ada pertemuan lanjutan.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
    Editor: Agus Setiawan

    Tonton juga video “RI Kena Tarif Trump 19%, Mendag Targetkan Pasar Eropa” di sini:

    (ita/ita)

  • Mandek, Rencana Sanksi Uni Eropa terhadap Israel di Tengah Krisis Gaza

    Mandek, Rencana Sanksi Uni Eropa terhadap Israel di Tengah Krisis Gaza

    Jakarta

    Usulan Komisi Eropa memberlakukan sanksi terhadap Israel untuk yang pertama kalinya, masih terhenti hingga dua minggu pasca usulan tersebut dilayangkan, akibat ketidaksepakatan di antara negara-negara anggota blok tersebut.

    “Jerman adalah satu di antara negara-negara yang menunda dan meminta waktu lebih lama untuk meninjau,” kata sejumlah diplomat Uni Eropa (UE) kepada DW. Tanpa dukungan pemerintah di Berlin, rencana tersebut kemungkinan besar tidak akan maju.

    “Penderitaan kemanusiaan di Gaza telah mencapai tingkat yang tak terbayangkan, dengan kelaparan yang terjadi di depan mata kita,” eksekutif UE memberi peringatan pada Sabtu, (12/7/2025).

    Dalam upaya menekan Israel untuk mengubah kebijakan, UE mengusulkan untuk melarang startup Israel mengakses sebagian dana penelitian UE yang dikenal sebagai “Horizon Europe” pada akhir Juli.

    Usulan itu menandai pergeseran dalam pendekatan Uni Eropa , di mana untuk kali pertama blok tersebut mengambil tindakan konkret setelah setahun setengah melontarkan kritik tajam.

    Uni Eropa: Israel melanggar hak asasi manusia

    “Dengan intervensinya di Jalur Gaza dan bencana kemanusiaan yang terjadi, termasuk ribuan kematian warga sipil dan peningkatan drastis angka malnutrisi ekstrem, terutama pada anak-anak, Israel melanggar hak asasi manusia dan hukum kemanusiaan, sehingga melanggar prinsip dasar kerja sama UE-Israel,” tulis Komisi Eropa dalam proposalnya pada Senin (28/7/2025).

    Menteri Luar Negeri Belgia Maxime Prevot mengusulkan tanggal 13 Agustus sebagai tanggal kemungkinan untuk pengesahan jika konsensus tercapai. Namun, sumber-sumber UE mengatakan kepada DW, hingga saat ini tidak ada pergeseran posisi yang signifikan dalam pertemuan virtual menteri-menteri UE pada Senin (11/8). Artinya, untuk saat ini, tidak ada lampu hijau.

    Kementerian Luar Negeri Israel menyesalkan proposal Brussels untuk membatasi dana tersebut, dan mengklaim bahwa langkah-langkah hukuman semacam itu hanya akan memperkuat Hamas, hal yang dibantah oleh Uni Eropa.

    ‘Langkah terkecil’ terbukti menjadi masalah

    Penundaan tindakan UE telah memicu kemarahan dari aktivis dan organisasi pemantau hak asasi manusia, yang telah lama menuduh blok tersebut gagal memanfaatkan potensi pengaruhnya.

    “Fakta bahwa UE bahkan tidak bisa sepakat pada langkah terkecil, adalah sebuah aib. Batasannya sudah sangat rendah, namun UE dan beberapa negara anggotanya masih saja tersandung di sana,” kata Bushra Khalidi dari Oxfam kepada DW.

    Perbedaan internal yang menghambat tindakan bukanlah hal baru.Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, blok tersebut bersatu untuk mengecam kelompok militan Hamas yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh UE dan menyerukan pembebasan sandera Israel. Namun, setiap pernyataan tentang hubungan Eropa dengan Israel menjadi perdebatan sengit pasca kecaman tersebut.

    Tidak ada kesepakatan

    Perpecahan di antara negara-negara anggota UE kini berpusat pada apakah dan bagaimana menanggapi tinjauan UE yang menemukan bahwa tindakan Israel di Gaza, mulai dari pembatasan masuknya bantuan hingga menargetkan jurnalis, kemungkinan melanggar kesepakatan yang mengatur perdagangan dan hubungan UE-Israel.

    Dalam surat yang bocor yang dilihat oleh DW, Israel mengecam penyelidikan UE sebagai kegagalan moral dan metodologis berdasarkan bukti yang bias, tetapi blok UE tetap bersikukuh pada temuan mereka.

    Kini, Spanyol, yang sering dianggap sebagai kritikus keras pemerintah Israel, menyerukan agar perjanjian UE-Israel secara keseluruhan ditangguhkan.

    Negara anggota UE lainnya, termasuk Belanda dan Swedia, yang secara tradisional dianggap kurang kritis terhadap Israel, ingin membekukan aspek perdagangan perjanjian tersebut. Langkah ini akan membuat ekspor perusahaan Israel ke UE, mitra dagang utama Israel, menjadi lebih sulit dan mahal.

    Jerman, di sisi lain, melihat dirinya memiliki tanggung jawab historis terhadap keamanan Israel, karena masa lalunya sebagai Nazi dan pembunuhan sistematis enam juta orang Yahudi selama Holocaust.

    Meskipun Berlin menahan diri dari langkah-langkah UE tingkat pertama, Kanselir Merz mengumumkan pekan lalu bahwa Jerman akan menghentikan sebagian ekspor senjata yang dapat digunakan di Jalur Gaza oleh pasukan Israel. Pernyataan Merz ini menandakan perubahan nada Jerman atas Israel.

    Perjanjian bantuan tidak memuaskan

    Uni Eropa menyatakan prioritasnya adalah memastikan bantuan mengalir ke di tengah krisis kemanusiaan yang semakin parah. Setelah mengancam dengan sanksi, blok tersebut mengumumkan apa yang tampaknya menjadi terobosan pada bulan lalu.

    “Langkah-langkah signifikan telah disepakati oleh Israel untuk meningkatkan situasi kemanusiaan di Jalur Gaza,” kata diplomat terkemuka UE Kaja Kallas dalam pernyataan “kesepakatan bersama” pada Kamis (10/07), yang juga dibantu difasilitasi oleh Jerman.

    Namun, beberapa minggu kemudian, banyak negara anggota Uni Eropa mengatakan hal ini jauh dari memadai. Dengan proposal untuk aksi nyata mandeg dalam kebuntuan institusional, pejabat UE terus mengeluarkan pernyataan kecaman.

    Pada Minggu (3/8), Manajer Krisis Uni Eropa, Hadja Lahbib, menyampaikan “Saya mendesak Hamas dan Jihad Islam untuk segera membebaskan semua sandera Israel.” Ia juga mendesak “Israel untuk menghentikan blokade bantuan pangan di Gaza dan memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan secara efektif dan besar-besaran.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    diadaptasi oleh Algadri Muhammad

    Editor: Rahka Susanto dan Agus Setiawan

    Tonton juga video “RI-Uni Eropa Akhirnya Sepakati Perjanjian Dagang IEU-CEPA” di sini:

    (ita/ita)

  • Sudan Selatan Bantah Perundingan dengan Israel Soal Relokasi Warga Gaza

    Sudan Selatan Bantah Perundingan dengan Israel Soal Relokasi Warga Gaza

    Jakarta

    Pemerintah Sudan Selatan membantah adanya perundingan dengan Israel mengenai potensi relokasi warga Palestina dari Gaza ke negara Afrika Timur tersebut.

    Kantor berita Associated Press sebelumnya melaporkan bahwa kedua negara terlibat dalam perundingan mengenai usulan Israel untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza ke Sudan Selatan. Media tersebut mengutip enam orang yang mengetahui masalah tersebut.

    “Dengan tegas membantah laporan media baru-baru ini yang mengklaim bahwa Pemerintah Republik Sudan Selatan terlibat dalam pembicaraan dengan negara Israel mengenai penempatan warga negara Palestina dari Gaza di Sudan Selatan,” kata Kementerian Luar Negeri Sudan Selatan dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (13/8) waktu setempat.

    Dilansir media Al Jazeera, Kamis (14/8/2025), Kementerian Luar Negeri Sudan menyatakan bahwa klaim tersebut “tidak berdasar dan tidak mencerminkan posisi atau kebijakan resmi” pemerintah Sudan Selatan.

    Beberapa pejabat Israel sebelumnya telah mengusulkan relokasi warga Palestina dari Gaza. Hal ini menurut kelompok-kelompok hak asasi manusia akan dianggap sebagai pengusiran paksa, pembersihan etnis, dan melanggar hukum internasional.

    Para kritikus rencana pemindahan tersebut khawatir warga Palestina tidak akan pernah diizinkan kembali ke Gaza. Mereka juga khawatir pemindahan massal tersebut dapat membuka jalan bagi Israel untuk mencaplok wilayah kantong tersebut dan membangun kembali permukiman Israel di sana, sebagaimana diserukan oleh para menteri sayap kanan di pemerintahan Israel.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya mengatakan ia ingin mewujudkan apa yang disebutnya “migrasi sukarela” bagi sebagian besar penduduk Gaza, sebuah kebijakan yang ia kaitkan dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump sebelumnya.

    Menurut media Channel 12, selain Sudan Selatan, Israel juga dilaporkan tengah berunding membahas penempatan warga Gaza tersebut dengan empat negara lainnya, yakni Indonesia, Somaliland, Uganda dan Libya.

    Tonton juga video “Israel Dikabarkan Berunding dengan 5 Negara untuk Terima Warga Gaza” di sini:

    “Beberapa negara menunjukkan keterbukaan yang lebih besar daripada sebelumnya untuk menerima imigrasi sukarela dari Jalur Gaza,” ujar seorang sumber diplomatik Israel kepada media Channel 12, seperti dilansir media Israel, The Times of Israel, Kamis (14/8/2025). Sumber itu menyebut Indonesia dan Somaliland sangat terbuka akan gagasan itu. Namun, belum ada keputusan konkret yang dibuat soal ini.

    Somaliland adalah wilayah yang memisahkan diri dari Somalia yang dilaporkan berharap mendapatkan pengakuan internasional melalui kesepakatan tersebut.

    Dalam wawancara dengan saluran berita i24News, Netanyahu menyuarakan dukungannya terhadap emigrasi massal warga Gaza. Netanyahu mengatakan bahwa Israel sedang berkomunikasi dengan “beberapa negara” untuk menampung warga sipil yang mengungsi dari wilayah yang dilanda perang tersebut.

    “Saya pikir ini adalah hal yang paling wajar,” kata Netanyahu. “Semua orang yang peduli terhadap Palestina dan mengatakan ingin membantu Palestina harus membuka pintu bagi mereka. Apa yang Anda khotbahkan kepada kami? Kami tidak mengusir mereka – kami memungkinkan mereka untuk pergi… pertama-tama, [meninggalkan] zona pertempuran, dan juga Jalur Gaza itu sendiri, jika mereka mau.”

    Ketika ditanya mengapa proses tersebut belum mengalami kemajuan, Netanyahu menjawab: “Anda membutuhkan negara-negara penerima. Kami sedang berbicara dengan beberapa negara – saya tidak akan merincinya di sini.”

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)