Kementrian Lembaga: Kemlu

  • Anggota Parlemen Inggris Kecam Seruan Biadab Netanyahu yang Sarankan Negara Palestina di Tanah Saudi – Halaman all

    Anggota Parlemen Inggris Kecam Seruan Biadab Netanyahu yang Sarankan Negara Palestina di Tanah Saudi – Halaman all

    Anggota Parlemen Inggris Kecam Seruan Netanyahu yang Sarankan Negara Palestina di Tanah Arab Saudi

    TRIBUNNEWS.COM- Anggota parlemen dari Partai Buruh Inggris mengecam Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu karena menyarankan agar warga Palestina mendirikan negara di Arab Saudi dan bukan di tanah air mereka.

    Riyadh telah menegaskan selama setahun terakhir bahwa jalur yang jelas menuju negara Palestina merupakan prasyarat untuk menjalin hubungan resmi dengan Israel, sebuah gagasan yang dicemooh Netanyahu dalam wawancaranya dengan Channel 14 Israel pada hari Kamis.

    “Saudi dapat mendirikan negara Palestina di Arab Saudi; mereka punya banyak tanah di sana,” kata Netanyahu, menepis desakan kerajaan itu untuk mendirikan negara Palestina.

    Dalam komentar yang disampaikan kepada Middle East Eye, Anggota Parlemen Partai Buruh Afzal Khan, wakil ketua Kelompok Parlemen Semua Partai Inggris untuk Muslim Inggris, menyebut usulan Netanyahu sebagai “biadab”.

    “Warga Palestina tidak membutuhkan lebih banyak pengungsian. Mereka membutuhkan tanah air yang bebas,” ungkapnya, seraya menambahkan, “Usulan biadab Netanyahu adalah pemindahan paksa penduduk dan rencana pembersihan etnis di Gaza.”

    Partai Buruh saat ini berkuasa, dan Khan mengumumkan bahwa pemerintah “telah menyatakan penolakan tegas terhadap rencana apa pun untuk menggusur warga Palestina. Kami berdiri teguh menentang pelanggaran hukum internasional yang mencolok tersebut”.

    Ia mendesak Netanyahu untuk “terlibat dengan rencana yang diusulkan Arab Saudi untuk memastikan warga Palestina dapat kembali ke negara Palestina yang merdeka dan memungkinkan terciptanya Israel yang aman”.

    Anggota parlemen Partai Buruh lainnya, Kim Johnson, mengatakan kepada MEE bahwa komentar Netanyahu “tidak masuk akal dan menghina”.

    “Masa depan Palestina harus ditentukan oleh rakyat Palestina, bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal,” imbuhnya, seraya mendesak pemerintah untuk segera mengakui negara Palestina.

    “Menteri luar negeri harus menolak usulan Netanyahu dengan tegas.”

    Kantor luar negeri Inggris menolak mengomentari pernyataan Netanyahu, tetapi mengarahkan MEE pada pernyataan Perdana Menteri Keir Starmer pada hari Rabu bahwa Palestina “harus diizinkan untuk membangun kembali, dan kita harus bersama mereka dalam perjalanan menuju solusi dua negara”.

    Anggota parlemen independen Adnan Hussain juga menyerang komentar Netanyahu.

    “Saya tidak menganggap perkataan seorang penjahat perang yang surat perintah penangkapannya ditulis atas namanya harus diberi kredibilitas atau kepentingan yang tinggi,” katanya kepada MEE.

    “Mimpinya tentang pemindahan massal rakyat Palestina merupakan pengakuannya atas keinginannya untuk melakukan kejahatan perang yang lebih mengerikan,” lanjutnya, seraya menambahkan, “Inggris harus memainkan perannya dalam mengakui dan menegakkan hak dan prinsip yang ditetapkan dengan jelas dalam hukum internasional.”

    Perkembangan terkini ini terjadi saat Arab Saudi dan Israel tampaknya semakin menjauh dari normalisasi hubungan – lebih dari setahun setelah pejabat AS mengklaim kesepakatan sudah dekat.

    Chris Doyle, ketua Council for Arab-British Understanding, mengatakan kepada MEE bahwa perdana menteri Israel tampaknya “menentang Saudi untuk menyampaikan maksudnya”.

    “Ia mencoba menunjukkan sikap negosiasi bahwa ia tidak putus asa untuk mencapai kesepakatan dengan Arab Saudi,” kata Doyle, seraya menambahkan, “Namun ia menginginkan kesepakatan. Ia menginginkan perjanjian bersejarah yang akan memisahkan Arab Saudi dari perjuangan Palestina.”

    Netanyahu menyampaikan pernyataan tersebut saat melakukan kunjungan resmi kenegaraan ke AS, beberapa hari setelah Presiden Donald Trump mengumumkan rencananya pada hari Selasa untuk mengusir warga Palestina dari Gaza dan menjadikan daerah kantong itu sebagai “Riviera Mediterania”, dengan AS mengambil alih wilayah tersebut.

    Trump mengklaim bahwa Arab Saudi tidak memaksakan negara Palestina sebagai syarat normalisasi, sehingga mendorong Kementerian Luar Negeri Saudi mengeluarkan pernyataan pada pukul 4 pagi yang menegaskan bahwa sikap kerajaan terhadap negara Palestina adalah “tegas dan tidak tergoyahkan”.

    Doyle mengatakan Riyadh menyadari “mereka tidak mampu meninggalkan Palestina saat ini, di dalam negeri jika tidak ada alasan lain. Kemarahannya akan sangat ekstrem.”

    Andreas Krieg, seorang profesor madya di Departemen Studi Pertahanan King’s College London, setuju.

    “Saya kira Saudi tidak memandang normalisasi sebagai sesuatu yang realistis dengan adanya pemerintahan Israel saat ini,” katanya kepada MEE.

    “Ini adalah komentar politik yang dibuat oleh Netanyahu untuk menenangkan basisnya, yang khawatir bahwa Netanyahu harus membuat konsesi kepada Palestina untuk mendapatkan normalisasi dengan Arab Saudi,” tambahnya.

    “Seperti halnya Trump, ini adalah narasi politik populis yang dapat berubah jika Israel serius terlibat dengan Arab Saudi.”

    Krieg mencatat bahwa pernyataan Netanyahu “sama sekali tidak sejalan dengan kebijakan sekitar 193 negara anggota PBB di luar AS dan Israel”, yang semuanya setuju bahwa Palestina memiliki “hak untuk menentukan nasib sendiri dalam batas-batas historis Palestina”.

    SUMBER: IFPNEWS

  • Ukraina Doakan Agar ICC Bisa Lanjutkan Pekerjaannya dan Adili Penjahat Perang Rusia – Halaman all

    Ukraina Doakan Agar ICC Bisa Lanjutkan Pekerjaannya dan Adili Penjahat Perang Rusia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk memberikan sanksi kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memicu beragam reaksi.

    Sanksi ini dianggap dapat meningkatkan risiko impunitas untuk kejahatan serius dan melemahkan hukum internasional.

    Ukraina juga berkomentar terkait keputusan Trump.

    Kyiv berharap Pengadilan Pidana Internasional dapat melanjutkan pekerjaannya untuk mengadili penjahat perang Rusia.

    Dikutip dari The Guardian, ICC sedang menyelidiki tuduhan kejahatan perang Rusia yang dilakukan selama invasinya ke Ukraina.

    Pada tahun 2023 mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Putin.

    “Kami berharap bahwa [sanksi] tersebut tidak akan memengaruhi kemampuan pengadilan untuk mencapai keadilan bagi para korban agresi Rusia,” kata Juru bicara kementerian luar negeri Ukraina, Georgiy Tykhy, Jumat (7/2/2025).

    “Ukraina terus bekerja sama dengan ICC untuk memajukan kasus-kasus tersebut,” tambahnya.

    Reaksi Pemimpin Dunia 

    Para pemimpin dunia juga mengirim reaksi keras terhadap sanksi Trump ke ICC.

    Pernyataan Bersama dari 79 Negara

    Pada Jumat (7/2/2025), 79 negara yang merupakan sekitar dua pertiga dari keanggotaan ICC, mengeluarkan pernyataan mendukung pengadilan tersebut.

    Mereka menegaskan, sanksi yang dijatuhkan Trump akan mengikis aturan hukum internasional yang penting untuk ketertiban dan keamanan global.

    Pernyataan tersebut dipimpin oleh Slovenia, Luksemburg, Meksiko, Sierra Leone, dan Vanuatu, serta didukung oleh negara-negara besar seperti Inggris, Prancis, Jerman, Kanada, Brasil, dan Bangladesh.

    Dampak Sanksi

    Sanksi ini, yang termasuk pembekuan aset dan larangan perjalanan terhadap pejabat ICC dan keluarga mereka, dapat membahayakan kerahasiaan informasi sensitif dan keselamatan para korban serta saksi.

    “Sebagai pendukung kuat ICC, kami menyesalkan segala upaya untuk merusak independensi, integritas, dan imparsialitas pengadilan,” kata pernyataan tersebut.

    Langkah Trump diambil setelah ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang di Gaza.

    ICC juga mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk para pemimpin Hamas terkait dugaan kejahatan perang.

    Omar Shakir, direktur Israel-Palestina di Human Rights Watch, mengkritik sanksi tersebut.

    Ia menyatakan, Trump menempatkan AS di pihak penjahat perang.

    “Negara-negara harus membela ICC karena telah melakukan tugasnya memastikan tidak seorang pun kebal hukum,” tegasnya.

    Dukungan dari Belanda

    Perdana Menteri Belanda Dick Schoof menyatakan, negaranya akan berupaya memastikan ICC dapat terus beroperasi meskipun ada sanksi AS.

    “Sebagai negara tuan rumah, kami memiliki tanggung jawab untuk menjamin kelancaran fungsi pengadilan pidana setiap saat,” ungkap Schoof.

    Belanda berkomitmen untuk mendukung ICC dan menegaskan pentingnya pengadilan tersebut dalam menjaga perdamaian dan keadilan global.

    Keputusan Trump untuk menjatuhkan sanksi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara pendukung ICC, yang khawatir akan dampak jangka panjang terhadap hukum internasional dan upaya penegakan keadilan global.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Rencana Donald Trump Relokasi Warga Gaza Ditolak Mentah-Mentah

    Rencana Donald Trump Relokasi Warga Gaza Ditolak Mentah-Mentah

    PIKIRAN RAKYAT – Mesir, Aljazair, Irak, Libya, dan Hamas menolak usulan Donald Trump untuk mengambil alih Gaza dan merelokasi warganya. Sikap yang disampaikan pada tanggal 6 Februari 2025 ini menambah pihak yang menolak usulan tersebut.

    Sebelumnya, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, dan Oman, serta beberapa organisasi internasional, termasuk Liga Arab dan Dewan Kerja Sama Teluk GCC menyatakan sikap yang sama.

    Sebelumnya, pada Hari Selasa 4 Februari 2025, Donald Trump bersama Benjamin Netanyahu menyebut bahwa Amerika Serikat akan mengambil alih Gaza dan merelokasi warganya.

    Dua hari setelahnya, yaitu pada Hari Kamis 6 Februari 2025, Donald Trump menjelaskan bahwa warga Gaza akan nyaman dan bahagia di tempat yang baru. Presiden Amerika Serikat ini pun menjanjikan akan membangun rumah yang indah, aman, nyaman, dan modern.

    Perumahan bagi warga Gaza yang disebut Riviera Timur Tengah ini jelas Trump, akan menjadi salah satu yang terhebat di dunia. Sebabnya, Amerika Serikat akan bekerja sama beberapa developer terbaik di dunia. Sebelumnya, muncul kabar bahwa Warga Gaza akan direlokasi ke negara-negara tetangga Palestina.

    Mesir, sebagai salah satu negara yang menolaknya, menegaskan menolak setiap usulan yang bertujuan melenyapkan perjuangan Palestina. Baik dengan mencabut hak warga Palestina maupun merelokasi secara sementara maupun permanen.

    Aljazair pun mengutarakan hal yang sama. Negara yang berada di tanduk Afrika ini mengecam rencana apa pun untuk mengusir warga Gaza. Irak dan Libya pun, selain mengutarakan hal yang sama, meminta komunitas internasional agar mengambil tindakan tegas.

    Sedangkan Hamas menyerukan pertemuan darurat negara-negara Arab untuk menolak rencana Trump tersebut. Organisasi garis keras Palestina ini pu mengecam pernyataan Donald Trump.

    Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyebut rencana tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional. Ia menegaskan bahwa Gaza menjadi bagian dari wilayah Palestina.

    Ia pun menegaskan menolak campur tangan pihak asing dalam menentukan nasib dan masa depan Palestina. Warga Gaza pun menolaknya. Mereka menyebut tak tunduk dengan rencana tersebut.

    Sikap Pemerintah Indonesia

    Di media sosial, Kementerian Luar Negeri RI merilis kecamatan terhadap rencana ambisius Trump tersebut. Tindakan ini dinilai melenceng dari cita-cita Solusi Dua Negara. Dalam solusi ini, Israel dan Palestina hidup berdampingan dengan damai dan tanpa perang.

    Sementara itu, Hidayat Nur Wahid selaku Wakil Ketua MPR RI menyebut rencana tersebut tak masuk akal. Bahkan, termasuk ke dal tindakan pembersihan etnis. Ia pun menyayangkan pernyataan kontroversial tersebut disebutkan oleh Donald Trump yang merupakan seorang pemimpin besar dunia.

    Agar keinginan tersebut tak terwujud, Nur Wahid mendukung komunitas Internasional bekerja sama menggagalkan pencaplokan wilayah Gaza dan relokasi warganya. “…mereka (komunitas internasional) perlu berkolaborasi agar dapat lebih efektif menggagalkan manuver Trump yang didukung Israel itu,” ujarnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Presiden Turki Recep Erdogan Akan Kunjungi Indonesia Pekan Depan

    Presiden Turki Recep Erdogan Akan Kunjungi Indonesia Pekan Depan

    Jakarta, Beritasatu.com – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dijadwalkan akan berada di Indonesia pada 11-12 Februari 2025. Bersama Presiden Prabowo Subianto, Erdogan akan mengikuti pertemuan dewan kerja sama strategis tingkat tinggi (SCC) pertama antara kedua negara. 

    “SCC tingkat tinggi merupakan forum bilateral reguler tertinggi antara kedua negara yang dipimpin langsung oleh kepala negara. Semua isu yang terkait dengan kepentingan bersama kedua negara akan dibahas dalam pertemuan tersebut,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rolliansyah Soemirat dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (7/2/2025) dilansir dari Antara.

    Dikatakan Rolliansyah, pertemuan tersebut diharapkan dapat menjadi platform untuk interaksi reguler antara Indonesia dan Turki di tingkat tertinggi.

    Saat ini, para diplomat dan pejabat dari kedua negara tengah mempersiapkan topik dan isu prioritas terkait kerja sama strategis, yang akan dibahas dalam pertemuan tingkat tinggi tersebut. 

    Dewan kerja sama strategis tingkat tinggi antara Indonesia dan Turki pertama kali diumumkan pada KTT G-20 di Bali pada tahun 2022. Sejauh ini, Turki telah menjalin kerja sama forum tingkat tinggi dengan 21 negara, termasuk Indonesia. 

  • Ukraina Harap Sanksi ke ICC Tak Halangi Penyelidikan Kejahatan Perang Rusia

    Ukraina Harap Sanksi ke ICC Tak Halangi Penyelidikan Kejahatan Perang Rusia

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menjatuhkan sanksi pada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) lantaran menyelidiki dugaan kejahatan perang negaranya di Afganistan dan Israel di Jalur Gaza. Menyikapi hal tersebut, Ukraina berharap sanksi yang dijatuhkan Trump kepada ICC tak menghalangi penyelidikan kejahatan perang Rusia atas negaranya.

    Dilansir AFP, Jumat (7/2/2025), Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina Georgiy Tykhy berharap ICC tetap melanjutkan proses peradilan terhadap Rusia. Seperti diketahui, ICC tengah menyelidiki tuduhan kejahatan perang Rusia yang dilakukan selama invasinya ke Ukraina.

    “Kami berharap bahwa tuduhan tersebut tidak akan memengaruhi kemampuan pengadilan untuk mencapai keadilan bagi para korban agresi Rusia,” kata Georgiy Tykhy.

    Pada tahun 2023, pengadilan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Presiden Rusia Vladimir Putin atas dugaan deportasi anak-anak secara paksa dari wilayah Ukraina yang direbut oleh tentara Rusia.

    Kemudian, tahun lalu, Rusia mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk komandan tertinggi angkatan darat Rusia, Valery Gerasimov, dan Eks menteri pertahanan Sergei Shoigu. Mereka dituduh mengarahkan serangan udara terhadap warga sipil, dan menyebabkan kerugian “berlebihan” bagi warga sipil Ukraina selama perang.

    Atas hal tersebut, Tykhy menyatakan bahwa Kyiv “yakin bahwa ICC akan terus menjalankan fungsi penting dalam kasus Ukraina, yaitu, membawa penjahat Rusia ke pengadilan.

    “Ukraina terus bekerja sama dengan ICC untuk memajukan kasus-kasus ini,” tambahnya.

    Baik Rusia maupun Amerika Serikat bukanlah anggota ICC. Sementara, Moskow telah menolak surat perintah terhadap Putin dan menganggapnya sebagai hal yang tidak berarti.

    Ketika ditanya tentang sanksi AS terhadap pengadilan tersebut, juru bicara Putin pada hari Jumat mengingatkan wartawan bahwa Rusia tidak mengakui yurisdiksinya.

    “Amerika memiliki hubungan mereka sendiri dengan ICC,” tambah juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.

    Seperti diketahui, Trump menandatangani perintah eksekutif pada hari Kamis yang mengatakan pengadilan telah “menyalahgunakan kekuasaannya” dengan mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    ICC mengatakan tindakan tersebut bertujuan untuk “merusak pekerjaan peradilannya yang independen dan tidak memihak”.

    (taa/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Mesir: Gencatan Senjata Gaza Bisa Hancur dan Perang Israel-Hamas Pecah Lagi Gegara Donald Trump – Halaman all

    Mesir: Gencatan Senjata Gaza Bisa Hancur dan Perang Israel-Hamas Pecah Lagi Gegara Donald Trump – Halaman all

    Mesir: Gencatan Senjata Gaza Bisa Hancur dan Perang Israel-Hamas Pecah Lagi Gegara Donald Trump

    TRIBUNNEWS.COM – Mesir memperingatkan, pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump soal relokasi warga Palestina di Gaza bisa membahayakan gencatan senjata Hamas-Israel yang sedang berlangsung.

    Terlebih, Israel juga memberi dukungan terhadap rencana Donald Trump untuk mengusir warga Gaza.

    “Hal ini bisa melemahkan dan menghancurkan negosiasi perjanjian gencatan senjata dan memicu kembalinya pertempuran,” kata pernyataan mediator gencatan senjata Kementerian Luar Negeri Mesir, Kamis (6/2/2025).

    Pernyataan Mesir tersebut merujuk pada “pernyataan yang dikeluarkan  oleh sejumlah anggota pemerintah Israel”, tanpa menyebutkan nama mereka.

    Menteri Pertahanan Israel Israel Katz sebelumnya pada Kamis menginstruksikan militer untuk merumuskan rencana agar warga Palestina meninggalkan Gaza, sehari setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebut usulan Trump tersebut sebagai hal “luar biasa”.

    MELINTAS – Warga Palestina terlihat melintas di perbatasan Mesir-Gaza. Penyeberangan dilakukan dalam kondisi yang keras di Rafah, Gaza, pada 18 Januari 2024 (Abed Zagout/Anadolu via Getty Images)

    Mesir Tak Mau Jadi Bagian Pengusiran Warga Palestina

    Kementerian Luar Negeri Mesir juga mengatakan kalau negara tersebut menolak setiap usulan yang mengarah pada pemindahan warga Palestina dari Gaza.

    Mereka menegaskan kalau Mesir tidak akan menjadi pihak dalam usulan tersebut.

    Kementerian Luar Negeri Mesir menambahkan bahwa pernyataan anggota pemerintah Israel mengenai rencana pengusiran rakyat Palestina memerlukan akuntabilitas.

    Ia menegaskan, pernyataan sejumlah pejabat pemerintah Israel terkait rencana pengusiran warga Palestina memicu kembalinya pertempuran.

    Pernyataan Mesir juga menekankan perlunya penerapan gencatan senjata di Gaza dalam tiga tahap dan berlangsung secara permanen.

    KEMBALI PULANG – Ratusan ribu warga Gaza yang terusir dan mengungsi karena agresi militer Israel, Mereka kembali ke rumah-rumah mereka ke wilayah Gaza Utara, Senin (27/1/2025). (RNTV/TangkapLayar)

    Respons Qatar Soal Pengusiran Warga Palestina

    Qatar, yang juga menjadi mediator utama dalam perundingan gencatan senjata Gaza, juga memberi respons atas usulan Trump.

    Qatar saat ini sedang sibuk dengan tahap kedua kesepakatan tersebut.

    Qatar mengatakan masih terlalu dini untuk membicarakan masalah warga Palestina dan pengungsian.

    Pernyataan Qatar tersebut setelah usulan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, agar AS mengambil alih kendali Jalur Gaza, menjadi sorotan.

    Qatar mengatakan, warga Palestina saat ini masih mengalami trauma soal pengungsian.

    “Kami tahu bahwa ada banyak trauma di pihak Palestina terkait pengungsian.”

    “Namun, sekali lagi, masih terlalu dini untuk membicarakan hal ini, karena kami tidak tahu bagaimana perang ini akan berakhir,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed Al-Ansari, kepada Fox News, Rabu (5/2/2025).

    Penolakan Keras dari Presiden Palestina

    Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak keras usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk “mengambil alih” dan “memiliki” Jalur Gaza.

    Penolakan keras Presiden Palestina itu sebagaimana disampaikan oleh kantor Mahmoud Abbas dalam sebuah pernyataan, Rabu (5/2/2025).

    “Presiden Mahmoud Abbas dan para pemimpin Palestina menyatakan penolakan keras mereka terhadap seruan untuk merebut Jalur Gaza dan mengusir warga Palestina dari tanah air mereka,” kata kantor Abbas, seraya menambahkan bahwa “hak-hak Palestina yang sah tidak dapat dinegosiasikan.”

    Saat membacakan pernyataan di televisi publik Palestina, juru bicara Abbas, Nabil Abu Rudeina, menekankan bahwa Jalur Gaza “merupakan bagian integral dari Negara Palestina.”

    Organisasi Pembebasan Palestina, aliansi faksi yang dipimpin oleh Abbas, juga mengecam usulan Trump untuk merelokasi warga Gaza ke Mesir atau Yordania.

    “Menolak semua seruan untuk memindahkan warga Palestina dari Tanah Air mereka,” kata sekretaris jenderalnya, Hussein al-Sheikh.

    Sementara itu, Utusan Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, juga menanggapi rencana Donald Trump tersebut.

    “Para pemimpin dunia dan rakyat harus menghormati keinginan Palestina untuk tetap tinggal di Gaza,” katanya, Selasa (4/2/2025), dilansir Arab News.

    “Tanah Air kami adalah Tanah Air kami, jika sebagian darinya hancur, Jalur Gaza, rakyat Palestina memilih untuk kembali ke sana,” tegas Riyad Mansour.

    “Dan saya pikir para pemimpin dan rakyat harus menghormati keinginan rakyat Palestina,” lanjutnya.

    Di PBB, Mansour tidak menyebut nama Trump tetapi tampaknya menolak usulan Presiden AS tersebut.

    “Negara dan rumah kami adalah Jalur Gaza, itu bagian dari Palestina,” katanya.

    “Kami tidak punya rumah. Bagi mereka yang ingin mengirim mereka ke tempat yang bahagia dan menyenangkan, biarkan mereka kembali ke rumah asal mereka di dalam Israel, ada tempat-tempat bagus di sana, dan mereka akan senang untuk kembali ke tempat-tempat ini,” paparnya.

    Sebagai informasi, Donald Trump bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Selasa.

    Pemimpin AS tersebut mengatakan bahwa ia yakin warga Palestina harus meninggalkan Gaza setelah serangan Israel yang telah menghancurkan wilayah tersebut dan membuat sebagian besarnya hancur menjadi puing-puing.

    Berbicara menjelang pertemuan tersebut, Trump mengatakan bahwa ia menginginkan solusi yang melihat “daerah yang indah untuk memukimkan kembali orang-orang secara permanen di rumah-rumah yang bagus di mana mereka dapat merasa bahagia.”

    NETANYAHU DAN TRUMP – Foto ini diambil pada Rabu (5/2/2025) dari akun resmi The White House di media sosial X, menampilkan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) dan Presiden AS Donald Trump (kanan) berbicara dalam konferensi pers setelah pertemuan mereka di Gedung Putih pada Selasa (4/2/2025). Donald Trump mengatakan AS akan mengambil alih Jalur Gaza setelah mengusir warga Palestina dari wilayah tersebut. (Akun The White House di X (@WhiteHouse))

    Adapun perang di Gaza meletus setelah serangan kelompok bersenjata Palestina Hamas pada 7 Oktober 2023, yang mengakibatkan kematian 1.210 orang di pihak Israel, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka resmi Israel.

    Respons pembalasan Israel telah menewaskan sebanyak 47.518 orang di Gaza, mayoritas warga sipil, menurut kementerian kesehatan wilayah yang dikuasai Hamas itu.

    PBB menganggap angka-angka ini dapat diandalkan.

    PBB mengatakan lebih dari 1,9 juta orang — atau 90 persen dari populasi Gaza — telah mengungsi akibat serangan Israel, dengan kampanye pengeboman telah meratakan sebagian besar bangunan di wilayah itu, termasuk sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur sipil dasar.

    Dimulainya kesepakatan gencatan senjata, yang mencakup pembebasan sandera yang ditahan Hamas dan tahanan yang ditahan Israel pada 19 Januari 2025, membuat warga Palestina bersuka cita, dengan banyak yang kembali ke rumah yang tidak lagi layak huni.

    Perkembangan Terkini Konflik Palestina Vs Israel

    Dikutip dari Al Jazeera, Presiden AS Donald Trump mengatakan dia ingin AS mengambil alih Jalur Gaza yang hancur akibat perang setelah warga Palestina mengungsi ke negara-negara tetangga, dan mengembangkan wilayah tersebut sehingga “masyarakat dunia” akan tinggal di sana.

    Trump juga mengatakan kepada wartawan, AS telah menarik diri “dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang anti-Semit dan mengakhiri semua dukungan untuk Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA)”.

    Sepanjang hari, Trump memicu kontroversi dengan menyarankan warga Palestina akan “senang meninggalkan” Gaza, yang memicu ketakutan, ia akan mendukung kampanye pembersihan etnis.

    Hamas merilis pernyataan sebagai tanggapan terhadap Trump, dengan mengatakan bahwa rencananya adalah “resep untuk menciptakan kekacauan dan ketegangan di wilayah tersebut. Rakyat kami di Jalur Gaza tidak akan membiarkan rencana ini terlaksana”.

    Para pengunjuk rasa berkumpul di Washington, DC, untuk mengecam kunjungan Netanyahu, menuduh Trump mengundang “penjahat perang” ke Gedung Putih.

    Netanyahu menggambarkan Trump sebagai “sahabat terbaik Israel di Gedung Putih” dan memujinya atas “keinginannya untuk berpikir di luar kotak”.

    Arab Saudi mengatakan dukungannya terhadap pembentukan negara Palestina tidak tergoyahkan dan menolak segala upaya untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka.

    Komentar Trump juga menuai kecaman dari kelompok hak asasi manusia dan anggota parlemen AS, termasuk Anggota Kongres Rashida Tlaib, yang menuduhnya “secara terbuka menyerukan pembersihan etnis”.

    Tim penyelamat telah menemukan mayat 19 warga Palestina di kuburan massal yang ditemukan di Jalan al-Thawra, di Kota Gaza di utara Jalur Gaza.

    (oln/anews/khbrn/Tribunnews.com/Nuryanti)

     

     
     

  • Respons Kelompok Yahudi hingga Muslim Tanggapi Rencana Trump Ingin Ambil Alih Gaza – Halaman all

    Respons Kelompok Yahudi hingga Muslim Tanggapi Rencana Trump Ingin Ambil Alih Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Dalam konferensi pers bersama di Gedung Putih dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Selasa (4/2/2025)malam, Presiden Donald Trump mengusulkan agar warga Palestina di Gaza dipindahkan ke luar wilayah.

    Sementara Amerika Serikat mengambil alih dan mengubah Jalur Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah.”

    Seperti yang diharapkan, usulan Trump tersebut dikritik keras oleh organisasi-organisasi Muslim di Amerika Serikat dan di tempat lain, sementara reaksi di antara organisasi-organisasi Yahudi Amerika beragam.  

    Forum Kebijakan Israel menyatakan rencana Presiden Trump untuk memindahkan warga Palestina keluar dari Gaza tanpa persetujuannya dan agar AS mengambil alih kendali langsung atas wilayah tersebut tidak dapat dilaksanakan dan akan merusak kepentingan AS dan stabilitas regional. 

    Mereka menambahkan usulan agar Amerika mengambil alih Gaza meremehkan hak-hak warga Palestina yang tidak ingin dipindahkan.

    “Membahayakan sandera Israel yang tersisa dengan kemungkinan membatalkan kesepakatan penyanderaan dan gencatan senjata.”

    Mereka juga  menyulut pendapat Hamas sebagai satu-satunya aktor yang bersedia melawan dugaan rencana untuk menghancurkan nasionalisme Palestina.

    Komite Yahudi Amerika mengatakan rencana Trump untuk mengambil alih Gaza oleh Amerika menimbulkan pertanyaan.

    “Yang pertama adalah dampak pengumuman tersebut terhadap gencatan senjata dan perjanjian pembebasan sandera.”

     “Pembebasan semua sandera yang tersisa, dan pemenuhan tujuan akhir perjanjian untuk membebaskan Gaza dari kekuasaan Hamas harus tetap menjadi prioritas AS dan Israel,” bunyi pernyataan AJC.

    Liga Anti-Pencemaran Nama Baik (Anti-Defamation League) menyatakan percaya bahwa semua rencana harus memperhitungkan kebutuhan keamanan Israel dan kesejahteraan warga Palestina di Gaza.

    Amy Spitaltnik, CEO Dewan Yahudi untuk Urusan Publik menulis di media sosial bahwa usulan Trump sangat mengerikan dan kejam bagi warga Palestina. 

    “Sangat bodoh dalam hal kepentingan AS. Dan sangat bertentangan dengan masa depan Israel sendiri—karena tidak ada Israel yang demokratis dan Yahudi tanpa penentuan nasib sendiri Palestina.”

    Kelompok Zionis Liberal J Street menyatakan, J Street tidak dapat menyatakan penolakan yang cukup kuat terhadap gagasan yang diajukan oleh Presiden Trump mengenai Gaza. 

    “Tidak ada kata-kata yang cukup untuk mengungkapkan rasa jijik kami terhadap gagasan pemindahan paksa warga Palestina dengan bantuan Amerika Serikat.”

    Halie Soifer, CEO Dewan Demokratik Yahudi Amerika, menyatakan bahwa , gagasan Trump mengambil alih Gaza, termasuk dengan pengerahan pasukan AS, tidak hanya ekstrem.

    “Itu sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Di dunia mana ini terjadi? Bukan dunia yang kita tinggali. Netanyahu memuji pemikirannya yang ‘di luar kebiasaan’, tetapi jujur ​​saja—itu gila.”

    Mort Klein, kepala Organisasi Zionis Amerika, melihat usulan Trump sebagai “deklarasi luar biasa yang dapat memastikan berakhirnya kelompok teroris Islam-Arab Hamas, dan mengamankan Israel selatan setelah puluhan tahun serangan teroris dan peluncuran rudal dari Hamas di Gaza.”

    “Ini juga akan menjadi langkah besar menuju perdamaian sejati di kawasan itu,” seraya menambahkan bahwa “langkah Trump dapat memungkinkan Israel dan AS untuk mengembangkan oasis tepi laut ini sebagai surga di Timur Tengah.

    Sekaligus memberi Israel tanah yang dibutuhkannya untuk berkembang sebagai raksasa teknologi, ilmiah, budaya, dan agama.”

    Tanggapan AIPAC terhadap pernyataan Trump tidak menyebutkan Gaza.

    Sebaliknya, unggahan mereka di X mengatakan: “Kami memuji @POTUS@realDonaldTrump karena mengarahkan kampanye tekanan maksimum di seluruh pemerintah terhadap Iran. Karena rezim Iran mempercepat program senjata nuklirnya, sekaranglah saatnya untuk bertindak. Siapa pun yang membeli, mengirim, membiayai, atau bertransaksi dengan minyak bumi Iran harus dikenai sanksi. Kami mendesak pemerintah untuk menerapkan dan menegakkan UU SHIP, sebuah RUU bipartisan yang menargetkan pelabuhan dan kilang minyak Tiongkok yang memproses minyak Iran.”

    Reaksi dari kelompok Muslim

    Omar Shakir, direktur Human Rights Watch untuk Israel dan Palestina menyebut rencana Trump tak bermoral.

    “Mengusir warga Palestina akan menjadi ‘kekejian moral.’ Hukum humaniter internasional melarang pemindahan paksa penduduk di wilayah yang diduduki. Jika pemindahan paksa tersebut meluas, hal itu dapat dianggap sebagai kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya kepada Reuters.

    Dr. Sara Husseini, direktur Komite Palestina Inggris, menyatakan bahwa rencana Trump merupakan perpanjangan dari perampasan dan dehumanisasi tanpa henti terhadap warga Palestina yang telah kita alami selama beberapa dekade.

    “Israel semakin berani melanggar hukum humaniter internasional, berkat impunitas yang diberikan oleh AS, Inggris, dan sekutu lainnya, bersama dengan penyediaan dukungan militer dari pemerintah AS dan Inggris berturut-turut.”

    Liga Arab mengatakan dalam sebuah pernyataan mengkritik Trump.

    “Merupakan resep untuk ketidakstabilan” dan tidak memajukan negara Palestina.

    Kelompok yang beranggotakan 22 orang itu juga menyatakan bahwa mereka menolak pemindahan warga Palestina dan bahwa Gaza merupakan bagian integral dari negara Palestina di masa depan.

    Dewan Hubungan Amerika-Islam menyatakan  Gaza adalah milik rakyat Palestina, bukan Amerika Serikat.

    “Seruan Presiden Trump untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka sama sekali tidak mungkin. Jika rakyat Palestina diusir secara paksa dari Gaza, kejahatan terhadap kemanusiaan ini akan memicu konflik yang meluas, mengakhiri hukum internasional, dan menghancurkan citra dan kedudukan internasional bangsa kita yang tersisa.”

    Organisasi Kerja Sama Islam menilai bahwa rencana Trump berkontribusi terhadap konsolidasi pendudukan, pemukiman kolonial, dan perampasan tanah Palestina dengan paksa.

    “Ini yang merupakan pelanggaran mencolok terhadap prinsip-prinsip hukum internasional dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang relevan.”

    Netanyahu Lirik Arab Saudi

    Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan, Arab Saudi memiliki cukup tanah untuk memberikan Palestina sebuah negara.

    “Saudi dapat mendirikan negara Palestina di Arab Saudi ; mereka punya banyak tanah di sana,” katanya, dikutip dari The Jerusalem Post.

    Dalam wawancara dengan Channel 14 pada hari Kamis (6/2/2025), Netanyahu ditanya tentang syarat normalisasi Palestina.

    Netanyahu mengatakan tidak akan membuat perjanjian yang akan membahayakan Israel.

    “Terutama bukan negara Palestina. Setelah 7 Oktober? Tahukah Anda apa itu? Ada negara Palestina, yang disebut Gaza. Gaza, yang dipimpin oleh Hamas, adalah negara Palestina, dan lihat apa yang kita dapatkan – pembantaian terbesar sejak Holocaust,” kata perdana menteri.

    Wawancara tersebut dilakukan selama kunjungan Netanyahu ke Washington, yang diawali dengan konferensi pers bersama dengan Presiden AS Donald Trump di mana presiden mengumumkan rencananya agar AS mengendalikan Jalur Gaza.

    Selain itu, keduanya membahas potensi normalisasi hubungan dengan Arab Saudi.

    “Saya pikir perdamaian antara Israel dan Arab Saudi tidak hanya mungkin, saya pikir itu akan terjadi,” katanya.

    Namun, segera setelah konferensi pers, Kementerian Luar Negeri Saudi menyatakan tidak akan membahas hubungan dengan Israel tanpa berdirinya negara Palestina.

    Awal minggu ini, sejumlah pejabat Israelmengatakan kepada The Jerusalem Post bahwa mereka khawatir Netanyahu akan bersedia mengakhiri perang di Gaza dan menunda aneksasi Tepi Barat demi memajukan kesepakatan normalisasi dengan Arab Saudi.

    Para pejabat khawatir bahwa perdana menteri akan menggunakan penundaan aneksasi sebagai kompromi.

    Yakni dalam upaya untuk mempengaruhi Riyadh agar tidak menuntut jalan menuju negara Palestina.

    Rencana AS

    Sementara diberitakan eurointegration, Presiden AS Donald Trump telah menegaskan kembali rencananya bagi Amerika Serikat untuk “mengambil alih” Jalur Gaza tanpa melibatkan pasukan Amerika.

    Trump mengatakan di  Truth Social  bahwa Israel dapat menyerahkan Gaza kepada Amerika Serikat setelah permusuhan berakhir, yang memungkinkan AS untuk meluncurkan apa yang ia yakini sebagai salah satu proyek paling mengesankan di Bumi.

    Jalur Gaza akan diserahkan kepada Amerika Serikat oleh Israel setelah pertempuran berakhir. Warga Palestina, seperti Chuck Schumer, sudah akan dimukimkan kembali di komunitas yang jauh lebih aman dan lebih indah, dengan rumah-rumah baru dan modern di wilayah tersebut.

    AS, yang bekerja sama dengan tim-tim pengembang hebat dari seluruh dunia, akan perlahan-lahan dan hati-hati memulai pembangunan yang kelak akan menjadi salah satu pembangunan terbesar dan paling spektakuler di dunia.

    “Tidak diperlukan tentara AS! Stabilitas untuk kawasan itu akan terwujud!!!”

    Chuck Schumer, Pemimpin Minoritas Senat dan seorang Demokrat, mengkritik Trump dalam pidatonya minggu lalu karena “ceroboh dan melanggar hukum”.

    Pada tanggal 4 Februari, Trump menyatakan bahwa AS dapat ” mengambil alih ” Gaza dan “melakukan pekerjaan di sana” dengan mengubah wilayah Palestina menjadi “Riviera” baru di Timur Tengah.

    Ia juga menganjurkan pemindahan warga Palestina dari Gaza ke negara lain.

    Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio  mendukung  rencana Trump, dengan menyatakan bahwa “Gaza HARUS BEBAS dari Hamas”.

    Steve Witkoff, utusan khusus AS untuk Timur Tengah,  mengatakan  usulan Trump untuk pemukiman kembali Palestina akan memberi mereka “lebih banyak harapan” untuk masa depan yang lebih baik.

    Irlandia Disorot

    Belum rampung wacana dan rencana pemindahan warga Gaza keluar dari Palestina, Menteri Pertahanan (Menhan) Israel Katz baru-baru ini membuat pernyataan kontroversial.

    Belakangan, ia mengusulkan sebuah negara menjadi lokasi selanjutnya pemindahan warga Gaza.

    Negara tersebut adalah Irlandia.

    Bukan tanpa sebab, Katz memiliki alasan tersendiri agar Irlandia bersedia menerima relokasi tersebut. 

    Diberitakan Irish Independent pada Kamis (6/2/2025), Israel Katz, hari ini memerintahkan tentara untuk menyiapkan rencana guna mengizinkan “keberangkatan sukarela” penduduk dari Jalur Gaza.

    Ia mengusulkan Irlandia sebagai salah satu negara yang diwajibkan secara hukum untuk mengizinkan penduduk Gaza memasuki wilayah mereka.

    Menurutnya, Irlandia adalah salah satu negara yang “menyampaikan tuduhan dan klaim palsu terhadap Israel atas tindakannya di Gaza”.

    Tegas PBB

    Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mengatakan kepada Presiden Donald Trump pada hari Rabu untuk menghindari pembersihan etnis di Gaza.

    Setelah pemimpin AS tersebut mengusulkan agar warga Palestina diusir dan Amerika Serikat mengambil alih daerah kantong yang dilanda perang tersebut.

    “Dalam mencari solusi, kita tidak boleh memperburuk masalah. Sangat penting untuk tetap setia pada dasar hukum internasional. Sangat penting untuk menghindari segala bentuk pembersihan etnis,” kata Guterres dalam pertemuan komite PBB yang telah direncanakan sebelumnya.

    “Kita harus menegaskan kembali solusi dua negara,” katanya.

    Sekretaris Jenderal PBB mengatakan solusi tidak boleh “memperburuk masalah” saat ia menanggapi usulan Presiden AS Donald Trump untuk menduduki Gaza, diberitakan The New Arab.

    Meskipun Guterres tidak menyebutkan Trump atau usulannya mengenai Gaza selama pidatonya di hadapan Komite tentang Pelaksanaan Hak-Hak yang Tidak Dapat Dicabut dari Rakyat Palestina, juru bicaranya Stephane Dujarric mengatakan kepada wartawan sebelumnya bahwa akan menjadi “asumsi yang adil” untuk memandang pernyataan Guterres sebagai sebuah tanggapan.

    Sebelumnya pada hari Rabu Guterres juga berbicara dengan Raja Yordania Abdullah tentang situasi di kawasan itu, kata Dujarric.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa telah lama mendukung visi dua negara yang hidup berdampingan dalam batas-batas yang aman dan diakui. 

    Palestina menginginkan sebuah negara di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, semua wilayah yang diduduki secara ilegal oleh Israel sejak 1967.

    “Setiap perdamaian yang langgeng akan memerlukan kemajuan yang nyata, tidak dapat diubah, dan permanen menuju solusi dua negara, diakhirinya pendudukan, dan didirikannya negara Palestina yang merdeka, dengan Gaza sebagai bagian integralnya,” kata Guterres.

    “Negara Palestina yang layak dan berdaulat, yang hidup berdampingan secara damai dan aman dengan Israel adalah satu-satunya solusi berkelanjutan bagi stabilitas Timur Tengah,” katanya.

    Israel menarik tentara dan pemukim dari Gaza pada tahun 2005. 

    Wilayah tersebut telah dikuasai oleh Hamas sejak tahun 2007 tetapi masih dianggap berada di bawah pendudukan Israel oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Israel dan Mesir mengendalikan akses.

    Ramai-ramai Menolak

    Para menteri Arab dan seorang pejabat Palestina telah menyampaikan surat kepada Menlu AS, Marco Rubio untuk menyatakan penolakan mereka terhadap pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza.

    Lima menteri luar negeri Arab dan seorang pejabat senior Palestina menolak rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengusir paksa warga Palestina dari Gaza, dan mengusulkan agar mereka terlibat dalam proses rekonstruksi wilayah tersebut, Axios melaporkan. 

    Para pejabat tersebut dilaporkan menyampaikan surat kepada Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio, yang merupakan upaya bersama sekutu Arab Amerika Serikat untuk menekan Trump agar mengingkari pernyataannya.

    Trump telah berulang kali menyarankan agar Mesir dan Yordania menerima pengungsi Palestina dari Gaza, dengan menyebut Jalur Gaza sebagai “lokasi pembongkaran” akibat pemboman Israel selama berbulan-bulan. Perang tersebut telah menyebabkan sebagian besar dari 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi.

    Berbicara di atas Air Force One, Trump mengklaim bahwa ia telah membahas masalah tersebut dengan el-Sisi, dengan menyatakan,

    “Saya berharap ia mau mengambil sebagian. Kami banyak membantu mereka, dan saya yakin ia akan membantu kami… Namun saya rasa ia akan melakukannya, dan saya rasa Raja Yordania juga akan melakukannya.” Namun, Mesir membantah bahwa pembicaraan tersebut telah terjadi.

    Negara-negara Arab secara historis menolak usulan untuk menggusur warga Palestina dari tanah mereka.

    Sejak pecahnya perang di Gaza pada Oktober 2023, baik Mesir maupun Yordania telah memperkuat penentangan mereka terhadap usulan tersebut. 

    Yordania, yang telah menampung lebih dari dua juta warga Palestina dan menghadapi tekanan ekonomi, telah menolak gagasan tersebut secara langsung.

     “Solusi untuk masalah Palestina terletak di Palestina,” kata Menteri Luar Negeri Yordania Ayman Safadi, dikutip dari AL MAYADEEN.

    Oleh karena itu, menteri luar negeri Arab Saudi, UEA, Qatar, Mesir, dan Yordania, serta penasihat presiden Palestina Hussein al-Sheikh, berkumpul di Kairo pada hari Sabtu dan akhirnya memutuskan untuk membahas masalah tersebut dalam sebuah surat kepada Rubio. 

    Apa isi surat itu? 

    Para pejabat menekankan bahwa Timur Tengah sudah berjuang dengan populasi pengungsi dan terlantar terbesar di dunia, yang menekankan kondisi ekonomi dan sosial yang rapuh di kawasan itu.  

    Mereka memperingatkan bahwa pemindahan lebih lanjut, meskipun sementara, dapat meningkatkan risiko ketidakstabilan regional, radikalisasi, dan kerusuhan.

    Mereka juga menggarisbawahi perlunya melibatkan penduduk Palestina dalam rekonstruksi Gaza , dengan menegaskan bahwa mereka harus memiliki peran dalam membangun kembali tanah mereka dan tidak boleh dikesampingkan dalam proses tersebut, yang seharusnya didukung oleh masyarakat internasional.  

    Selain itu, para menteri Arab memperingatkan terhadap kemungkinan pengusiran warga Palestina oleh “Israel”, menegaskan kembali dukungan tegas mereka terhadap tekad warga Palestina untuk tetap berada di tanah mereka dan menekankan bahwa tindakan seperti itu akan membawa dimensi baru yang berbahaya terhadap konflik tersebut.  

    “Warga Palestina akan tinggal di tanah mereka dan membantu membangunnya kembali, dan tidak boleh dilucuti hak mereka selama pembangunan kembali, dan harus mengambil kepemilikan atas proses tersebut dengan dukungan masyarakat internasional,” bunyi surat tersebut. 

    Pada tingkat yang lebih luas, para menteri menyampaikan kesediaan negara mereka untuk bekerja sama dengan visi Presiden Trump untuk perdamaian Timur Tengah, dengan menyatakan keyakinannya pada kemampuannya untuk mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh presiden AS sebelumnya.

    Mereka menekankan bahwa pendekatan yang paling efektif adalah solusi “dua negara” dan menegaskan kesiapan mereka untuk mendorong kondisi regional yang akan menjamin keamanan “Israel” dan Palestina.

    (Tribunnews.com/ Chrysnha)

  • Endus Rencana Licik Barat, Rusia Tegas Tolak Gencatan Senjata Sementara dengan Ukraina – Halaman all

    Endus Rencana Licik Barat, Rusia Tegas Tolak Gencatan Senjata Sementara dengan Ukraina – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Rusia menolak mentah-mentah gencatan senjata sementara dengan Ukraina demi menghentikan perang yang sudah berlangsung tiga tahun itu.

    Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova menuding Barat punya rencana di balik gencatan senjata sementara.

    Menurut dia, gencatan senjata hanya akan dimanfaatkan Barat untuk menguatkan Ukraina sampai perang kembali meletus.

    Zakharova menegaskan Rusia hanya menginginkan solusi final yang bisa menyudahi perang Rusia-Ukraina.

    “Gencatan senjata sementara, atau membekukan konflik seperti yang dikatakan banyak orang, tidak bisa diterima,” kata Zhakarova hari Kamis, (6/2/2025), dikutip dari Russia Today.

    “Kita memerlukan kesepakatan yang mengikat secara hukum dan bisa diandalkan, dan mekanisme yang akan menjamin bahwa krisis ini tidak akan berulang.”

    “Gencatan sementara akan dimanfaatkan Barat, Barat secara bersama-sama atau perwakilan, individual, untuk menguatkan potensi militer rezim Kiev dan tentu saja balas dendam dengan senjata.”

    Dia kemudian menyinggung AS di bawah Presiden Donald Trump yang berulang kali berjanji akan mengakhiri konflik Rusia-Ukraina.

    Menurut dia, segalanya bergantung pada aksi spesifik dan rencana pemerintahan Trump. Zakharova menyebut tidak ada kejelasan mengenai langkah yang sedang diambil.

    Awal minggu ini juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengklaim kontak antara Rusia dan AS makin sering terjadi sesudah Trump berkuasa lagi.

    Peskov mengatakan ada beberapa kontak di antara kementerian tertentu, tetapi dia tidak menjelaskan lebih lanjut.

    Trump juga mengonfirmasi bahwa ada pembicaraan dengan pemerintah AS. Dia juga menegaskan kembali keinginan AS untuk mengakhiri perang di Ukraina.

    Sementara itu, Rusia sudah berulang kali mengaku bersedia menyelesaikan perang melalui diplomasi. Namun, perundingan dengan Ukraina harus didasarkan pada “kenyataan di lapangan”.

    “Langkah pertama menuju normalisasi hubungan bilateral, berdasarkan prinsip saling menghormati dan kesetaraan, harus diambil oleh AS,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Ryabkov.

    Zelensky bersedia menemui Putin

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengaku bersedia bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membahas solusi diplomatik demi mengakhiri perang.

    Zelensky mengklaim Putin “takut” membicarakan akhir perang.

    “Presiden AS Trump dan negara-negara Eropa meyakini demokrasi itu tidaklah mungkin tanpa Rusia, tanpa Putin. Inilah alasan saya berkata bahwa saya siap [bertemu dengan Putin] jika kami sepakat tentang bagaimana perang akan berakhir,” kata Zelensky dalam konferensi pers di Kyiv hari Kamis, (6/2/2025), dikutip dari Anadolu Agency.

    “Kami siap dengan demokrasi, saya tak punya masalah dengan hal itu. Masalahnya adalah bagi saya, Putin tampaknya takut berbicara dengan saya tentang mengakhiri perang.”

    PRESIDEN UKRAINA – Foto yang diambil dari laman President.gov.ua tanggal 5 Februari 2025 memperlihatkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sedang berpidato. (President.gov.ua)

    Terancam digulingkan

    Dinas Intelijen Luar Negeri Rusia (SVR) mengklaim Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berencana menggulingkan Zelensky.

    Caranya ialah dengan mendiskreditkan atau menjelek-jelekkan nama Zelensky menjelang pemilu Ukraina pada musim gugur nanti.

    SVR menyebut para pejabat Barat menganggap Zelensky sebagai penghalang besar dalam perundingan damai Ukraina-Rusia.

    Si mantan komedian itu tetap berkuasa sebagai Presiden Ukraina meski masa jabatannya sudah selesai pada bulan Mei 2024. Dia menolak turut takhta sembari menyinggung kebijakan darurat militer yang diberlakukan sejak perang meletus.

    Menurut SVR, para pemimpin Barat kini berusaha menghentikan perang dengan mendorong Rusia dan Ukraina duduk di meja perundingan. Namun, Zelensky menghalangi.

    “AS dan Belgia sepakat bahwa penghalang utama penerapan skenario itu ialah Zelensky, yang oleh Barat disebut tak lebih dari ‘unsur yang dapat dibuang,” ujar SVR dalam pernyataannya, dikutip dari Rusia Today.

    SVR juga mengklaim NATO sudah paham bawah masa Zelensky sudah berakhir. Untuk menyingkirkan Zelensky, NATO kini dilaporkan menyiapkan kampanye untuk menjelek-jelekkan Zelensky.

    SVR berujar pejabat Barat akan menerbitkan informasi yang mengaitkan Zelensky dengan kasus penggelapan dana lebih dari $1,5 miliar yang ditujukan untuk membeli peralatan militer.

    (*)

  • Negara Palestina Bisa Berdiri di Wilayah Arab Saudi

    Negara Palestina Bisa Berdiri di Wilayah Arab Saudi

    PIKIRAN RAKYAT – Perdana Menteri Israel penjajah, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa Negara Palestina bisa berdiri di wilayah Arab Saudi. Menurutnya, Arab Saudi memiliki cukup tanah untuk menyediakan negara Palestina.

    “Saudi dapat menciptakan negara Palestina di Arab Saudi; mereka memiliki banyak tanah di sana,” katanya dalam wawancara Channel 14 pada Kamis 6 Februari 2025.

    Ketika ditanyai tentang negara Palestina sebagai syarat normalisasi dengan Arab Saudi, Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa pihaknya akan menolak hal itu.

    “Kami tidak akan membuat kesepakatan yang akan membahayakan Negara Israel,” ucapnya.

    “Terutama bukan negara Palestina. Setelah 7 Oktober? Tahukah Anda apa itu? Ada sebuah negara Palestina, yang disebut Gaza. Gaza, yang dipimpin oleh Hamas, adalah negara Palestina, dan lihat apa yang kami dapatkan? pembantaian terbesar sejak Holocaust,” tutur Benjamin Netanyahu menambagkan.

    Wawancara itu dilakukan selama kunjungan Benjamin Netanyahu ke Washington, yang dimulai dengan konferensi pers bersama dengan Presiden AS Donald Trump, dengan presiden AS itu mengumumkan rencananya agar negaranya menguasai Jalur Gaza.

    Selain itu, keduanya membahas potensi normalisasi dengan Arab Saudi.

    “Saya pikir perdamaian antara Israel dan Arab Saudi tidak hanya layak, saya pikir itu akan terjadi,” ucap Benjamin Netanyahu.

    Respons Arab Saudi

    Akan tetapi, tak lama setelah konferensi pers, kementerian luar negeri Saudi menyatakan tidak akan membahas hubungan dengan Israel penjajah tanpa pembentukan negara Palestina.

    “Tidak akan ada normalisasi hubungan dengan Israel tanpa solusi dua negara yang adil dan komprehensif bagi rakyat Palestina,” ucap pernyataan tersebut, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari The Jerusalem Post.

    Pernyataan tersebut sejalan dengan posisi Arab Saudi selama ini, yang selalu mendukung kemerdekaan Palestina dengan batas-batas yang jelas berdasarkan kesepakatan internasional. Riyadh juga menekankan pentingnya solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian di Timur Tengah.

    Awal pekan ini, pejabat Israel penjajah yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada The Jerusalem Post bahwa mereka khawatir Benjamin Netanyahu akan bersedia mengakhiri perang di Gaza dan menunda aneksasi Tepi Barat demi memajukan kesepakatan normalisasi dengan Arab Saudi.

    Para pejabat khawatir bahwa perdana menteri akan menggunakan penundaan aneksasi sebagai kompromi dalam upaya untuk mempengaruhi Riyadh dari menuntut jalan menuju negara Palestina.

    Trump Mau Ambil Alih Gaza

    Donald Trump mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) akan mengambil alih dan memiliki Gaza, setelah menyingkirkan warga Palestina dari Tanah Airnya. Rencana itu akan dilakukan, setelah warga Palestina ‘direlokasi’ ke negara lain saat Gaza dibangun kembali.

    Presiden AS yang baru dilantik itu menyatakan niatnya untuk menjadikan Gaza sebagai “Riviera Timur Tengah”.

    Dalam pengumuman mengejutkan yang membalikkan kebijakan AS selama beberapa dekade terhadap konflik Israel-Palestina, Donald Trump mengungkapkan bahwa pihaknya akan mempelopori pembangunan di Gaza untuk memasok pekerjaan dan perumahan dalam jumlah tak terbatas bagi orang-orang di daerah tersebut.

    “AS akan mengambil alih Jalur Gaza, dan kami juga akan melakukan pekerjaan dengannya. Kami akan memilikinya,” kata Donald Trump di Gedung Putih setelah pembicaraan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    Dia menambahkan bahwa pemerintahannya akan bertanggung jawab untuk membersihkan bangunan yang hancur dan membongkar bom berbahaya yang tidak meledak serta senjata lainnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kedubes Afghanistan di Turki Ditutup, Ada Apa?    
        Kedubes Afghanistan di Turki Ditutup, Ada Apa?

    Kedubes Afghanistan di Turki Ditutup, Ada Apa? Kedubes Afghanistan di Turki Ditutup, Ada Apa?

    Ankara

    Kedutaan Besar Afghanistan di Turki mengumumkan penutupan definitif terhadap kantornya yang ada di ibu kota Ankara. Otoritas Kabul menyebut penutupan ini menyusul keputusan pemerintah Turki.

    Pengumuman itu, seperti dilansir AFP, Jumat (7/2/2025), disampaikan oleh pihak Kedubes Afghanistan di Ankara pada Kamis (6/2) waktu setempat.

    Kedubes Afghanistan di Turki telah beroperasi selama 3,5 tahun terakhir dengan tim diplomatik yang sama yang mewakili Afghanistan sebelum Taliban kembali berkuasa di Kabul pada Agustus 2021.

    Dalam pernyataan via media sosial X, Kedubes Afghanistan mengatakan penutupan itu didasari oleh “keputusan negara tuan rumah”.

    “Setelah peristiwa 15 Agustus 2021, karena kegagalan upaya Taliban untuk mengambil kendali atas kedutaan dan tekanan terus-menerus terhadap para diplomat dan pegawai kedutaan ini, serta tekanan yang diberikan kepada pemerintah Turki, Kementerian Luar Negeri (Turki) memutuskan untuk mengakhiri misi Duta Besar Republik ini dan para diplomat kedutaan ini,” demikian pernyataan Kedubes Afghanistan.

    Meskipun ada pengumuman penutupan itu, Kedubes Afghanistan di Ankara tetap beroperasi sepanjang hari pada Kamis (6/2) waktu setempat.

    Saat dihubungi oleh AFP, baik Kementerian Luar Negeri Turki maupun para diplomat Afghanistan tidak memberikan pernyataan apa pun.

    Lihat juga Video ‘Pemerintah Kirim Bantuan Senilai Rp 22 M untuk Korban Gempa Afghanistan’:

    Seorang penjaga keamanan di kompleks Kedubes Afghanistan mengatakan bahwa kedutaan itu ditutup karena “tidak mematuhi rezim Taliban”.

    Sementara pihak Kedubes Afghanistan, dalam pesan via media sosial X, mengatakan mereka mengakhiri misi diplomatik di Ankara karena “kurangnya pemerintahan yang sah berdasarkan keinginan rakyat” di Afghanistan dan berterima kasih kepada Turki atas “dukungan mereka selama beberapa tahun terakhir”.

    Turki tetap mempertahankan kedutaan besarnya di Kabul meskipun Taliban kembali berkuasa. Konsulat Turki yang ada di kota Mazar-i-Sharif dan di Herat juga masih dipertahankan.

    Lihat juga Video ‘Pemerintah Kirim Bantuan Senilai Rp 22 M untuk Korban Gempa Afghanistan’:

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu