Kementrian Lembaga: kementerian kkp

  • Rumpon Ilegal Milik Asing Bertebaran di Laut RI, Bikin Negara Rugi

    Rumpon Ilegal Milik Asing Bertebaran di Laut RI, Bikin Negara Rugi

    Jakarta

    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menemukan puluhan rumpon ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 717. Terbaru, Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menemukan 21 rumpon ilegal di Perairan Papua.

    Direktur Jenderal PSDKP Pung Nugroho Saksono mengatakan sebanyak 21 rumpon ilegal itu merupakan milik kapal asing asal Filipina. Sebelumnya, PSDKP juga telah mengangkat sebanyak 21 rumpon.

    “Kapal kita Orca 04 ya melakukan operasi juga di wilayah di atas Papua ya, Samudera Pasifik, itu mengamankan 21 rumpon ilegal miliknya Filipina,” kata pria yang akrab disapa Ipunk dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025).

    Ipunk menerangkan rumpon yang terpasang merupakan ilegal karena tidak mengantongi izin. Selain itu, dia menegaskan alat penangkapan ikan dilarang keras digunakan di Indonesia.

    Sebab, kapal asing menggunakan rumpon ini untuk menjebak ikan di satu titik. Kemudian operasi mudahkan kapal asing tersebut menangkap sebelum ikan masuk ke perairan dalam Indonesia.

    Rumpon Ilegal. Foto: Rumpon Ilegal. Foto: Dok KKP

    Lebih lanjut, pengangkatan rumpon ini dilakukan dengan penyelaman langsung oleh tim PSDKP tanpa bantuan tabung oksigen. Bahkan anggota penyelam terjun ke dasar laut dan memotong tali rumpon dengan gergaji manual.

    “Lihat itu anggota kita sampai di bawah air melakukan penyelaman, gergaji tali rumpon tersebut dengan upaya yang luar biasa. Ini kerjanya juga tidak main-main, tidak menggunakan tabung selam, oksigen ya,” tambah Ipunk.

    Selain merugikan negara secara ekonomi, Ipunk menegaskan rumpon ilegal juga berdampak ke nelayan lokal Papua. Nelayan setempat mengaku kesulitan menangkap ikan karena hewan laut sudah tertahan oleh rumpon asing.

    Rumpon Ilegal. Foto: Rumpon Ilegal. Foto: Dok KKP

    Akibat pemasangan rumpon ilegal ini, kerugian negara yang berhasil dicegah mencapai Rp 16,8 miliar. Sebab, satu rumpon bisa menampung 10 ton ikan setiap kali angkat dan bisa digunakan setiap minggu.

    (rea/rrd)

  • Siapa Pemilik Tambang yang Bikin Pulau Citlim Rusak Parah? Ini Kata KKP

    Siapa Pemilik Tambang yang Bikin Pulau Citlim Rusak Parah? Ini Kata KKP

    Jakarta

    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan investigasi terhadap aktivitas tambang ilegal di Pulau Citlim, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) telah menerjunkan tim ke lokasi.

    Direktur Jenderal PSDKP, Pung Nugroho Saksono mengatakan kasus tersebut masih dalam investigasi timnya. Saat ini, belum ada laporan terkait hal itu.

    “Masih dalam investigasi kita. Tunggu saja. Kita kan tim terbatas. Kita juga turunkan ke sana, belum ada laporan,” kata pria yang karib disapa Ipunk kepada awak media di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025).

    Ipunk menegaskan saat ini belum bisa memberitahukan secara jelas terkait aktivitas tambang ilegal di sana. Sebab, pihaknya juga masih harus koordinasi dengan kementerian lain.

    “Kami belum bisa mempublish. Jadi segala sesuatu harus sudah tervalidasi dengan baik, dengan perizinan, dengan koordinasi kami dengan intansinya yang lain. Sehingga kalau itu sudah semuanya, baru bisa dipublis,” imbuh Ipunk.

    Lebih lanjut, Ipunk menjelaskan KKP juga tengah mengharmonisasi peraturan terkait peraturan-peraturan terkait tambang di pulau-pulau kecil.

    “Di sini juga sedang kompilasi peraturan semuanya. Sama koordinasi menyeluruh intansi terkait dalam hal ini,” tambah Ipunk.

    Sebelumnya, Tambang ilegal ditemukan di Pulau Citlim, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Aktivitas itu dianggap ilegal lantaran tidak mengantongi izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

    Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan (DJPK) KKP Ahmad Aris menilai perizinan di Pulau Citlim secara aturan memang harus mendapatkan rekomendasi dari KKP. Menurut Aris, pelaku usaha tersebut tidak pernah mengurus perizinan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil ke KKP.

    “Ya, mestinya ini pulau kita segel karena kita ada kewenangan. Tapi dia tidak mengindahkan begitu ya, mestinya kita segel. Itu juga ada reklamasi, ada jeti, saya rasa juga tidak ada perizinannya,” Aris dalam unggahan di akun Instagram @ditjenpkrl, dikutip Selasa (17/6/2025).

    (rea/rrd)

  • KKP tertibkan 21 rumpon ilegal diduga milik asing di perairan Papua

    KKP tertibkan 21 rumpon ilegal diduga milik asing di perairan Papua

    Jadi kapal-kapal ikan asing ilegal tersebut sengaja memasang rumpon-rumpon ilegal tersebut untuk mengumpulkan ikan secara ilegal

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan atau PSDKP berhasil menertibkan 21 rumpon ilegal diduga milik nelayan Filipina di perairan Papua dan berhasil menyelamatkan valuasi kerugian negara sebesar Rp16,8 miliar

    “Kapal kita melakukan operasi juga di wilayah perairan Papua dan mengamankan 21 rumpon ilegal diduga milik nelayan asal Filipina. Rumpon-rumpon ini harusnya tidak terpasang di wilayah kita. Jadi kapal-kapal ikan asing ilegal tersebut sengaja memasang rumpon-rumpon ilegal tersebut untuk mengumpulkan ikan secara ilegal,” ujar Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Pung Nugroho Saksono dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

    Modus operandi pemasangan rumpon-rumpon tersebut oleh kapal ikan asing ilegal agar rumpon-rumpon tersebut menjadi tempat fishing ground kapal-kapal ikan asing ilegal. Dampak dari rumpon ilegal ini sangat merugikan yang mana rumpon ilegal tersebut menjadi penghalang bagi ikan-ikan untuk masuk ke perairan di Indonesia.

    Rumpon-rumpon ini mengumpulkan ikan yang seharusnya bisa masuk sampai ke perairan dalam Indonesia, namun oleh kapal-kapal asing tersebut dipasangi rumpon sehingga menjadi pagar atau penghalang (barrier) ikan masuk ke perairan dalam.

    Di sinilah kapal-kapal ikan asing ilegal tersebut menangkap ikannya. Satu rumpon ilegal ini ketika sekali diangkat bisa mengambil 10 ton ikan. Rumpon-rumpon itu juga kemudian membuat terganggunya ekosistem sumber daya ikan, migrasi, nursery ground. Lalu menyebabkan nelayan kecil harus melaut dengan jarak tempuh fishing ground yang jauh untuk mencari ikan.

    “Inilah yang coba ditertibkan oleh PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan masih ada berapa rumpon ilegal lagi yang akan dilakukan penertiban oleh PSDKP di sana,” katanya.

    Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menertibkan delapan rumpon ilegal di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 716 Laut Sulawesi yang berbatasan langsung dengan perairan Filipina.

    Rumpon berjenis menetap atau ponton itu, ditemukan tidak jauh dari perbatasan wilayah Indonesia-Filipina. PSDKP menertibkan karena pemasangan rumpon-rumpon itu selain tidak memiliki identitas, juga dilakukan tanpa izin pemerintah.

    Rumpon atau Fish Aggregating Device (FAD) merupakan alat bantu penangkapan ikan yang penting untuk meningkatkan produktivitas penangkapan ikan.

    Pewarta: Aji Cakti
    Editor: Faisal Yunianto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KKP Ancam Cabut Izin Usaha 27 Penyelenggara SKKL Jika Tak Segera Lapor KKPRL

    KKP Ancam Cabut Izin Usaha 27 Penyelenggara SKKL Jika Tak Segera Lapor KKPRL

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengancam akan mencabut izin berusaha pengelola ruang laut jika tak segera menyerahkan laporan tahunan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) kepada Menteri Kelautan dan Perikanan.

    Dalam catatan Bisnis, dari 50 KKPRL untuk kegiatan penggelaran sistem kabel telekomunikasi bawah laut (SKKL) yang diterbitkan, sebanyak 27 diantaranya belum atau terlambat menyerahkan laporan tahunan. 

    Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Pung Nugroho Saksono menyampaikan, kepada pemegang KKPRL yang belum menyampaikan laporan, KKP akan melayangkan Surat Peringatan (SP) sebanyak tiga kali.

    “SP 1, SP 2, SP 3. Kalau ketiga dia tetap nggak lakukan, bisa dicabut lagi tuh. Ngurus lagi dari awal lagi dia. Repot dia. Jadi kalau dicabut, mereka akan ngurus dari awal lagi,” ujar Pung ketika ditemui di Kantor KKP, Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025).

    Kendati begitu, Pung meyakini pemegang KKPRL melaksanakan kewajibannya, apalagi jika pemerintah telah menerbitkan surat peringatan kedua.

    “Saya rasa dengan peringatan kedua mereka sudah agak gerah-gerah dikit lah. Ketiga pasti mereka akan segera melakukan itu,” ujarnya. 

    Sebelumnya, KKP tengah memroses pengiriman surat peringatan pertama kepada para pemegang KKPRL yang tidak taat. Untuk diketahui, pemegang dokumen KKPRL wajib menyerahkan laporan tahunan, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 28/2021 tentang Penyelenggaran Penataan Ruang Laut.

    Penyampaian laporan tahunan dilaksanakan setiap tahun. Pelaporan tidak boleh melebihi tanggal diterbitkannya dokumen KKPRL. Misalnya, dokumen KKPRL milik Vino terbit pada 24 Agustus 2023. Itu artinya, laporan tahunan wajib diserahkan maksimal 23 Agustus setiap tahunnya.

    Pemegang dokumen KKPRL akan dikenakan denda sebesar Rp5 juta per hari jika terlambat atau tidak menyerahkan dokumen laporan tahunan KKPRL. Hal ini sesuai Permen KP No. 31/2021 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Bidang Kelautan dan Perikanan.

    Sejauh ini, KKP telah menyiapkan surat peringatan pertama untuk 27 pemegang KKPRL dari segmentasi Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL).

  • Tim Khusus KKP Cek Dampak Tambang di Raja Ampat, Ini Hasilnya

    Tim Khusus KKP Cek Dampak Tambang di Raja Ampat, Ini Hasilnya

    Jakarta

    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengungkapkan hasil pengecekan aktivitas tambang nikel di kawasan Raja Ampat. Aktivitas tambang di kawasan tersebut sempat viral karena dinilai dapat merusak ekosistem laut di sana.

    Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pung Nugroho Saksono memastikan aktivitas penambangan di Raja Ampat, khususnya di area penambangan milik PT Gag Nikel tak akan ganggu ekosistem pesisir dan laut. Hal ini berdasarkan peninjauan langsung ke lokasi penambangan.

    “Itu sampai 100 kilometer, kami menyelam di situ sedimentasinya tidak banyak,” kata pria yang karib disapa Punk kepada awak media di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (18/6/2025).

    Ipunk menjelaskan KKP berwenang menerbitkan rekomendasi perizinan pengelolaan dan pemanfaatan pulau kecil apabila area penambangan tersebut di bawah 100 kilometer dari pesisir. Sementara, izin penambangan yang dikelola oleh PT Gag Nikel lebih dari 100 km dan masuk kategori daratan.

    “Terus yang kena itu kan yang daratan, yang pulau daratan itu, yang digunduli kan hutan-hutannya,” jelas Ipunk.

    Ipunk memastikan aktivitas tambang di sana tidak sampai merusak terumbu karang serta ekosistem laut. Bahkan dia menyebut masih banyak ikan di sana

    “Kita pastikan terumbu karang, maupun ikan di situ jangan sampai terganggu. Ikan masih banyak di situ, ikan hiu anak anaknya masih banyak,” tambah Ipunk.

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Pung Nugroho Saksono menambahkan pihaknya akan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait yang menangani masalah tersebut. Di sisi lain, pihaknya juga sudah menurunkan tim untuk memeriksa lebih lanjut.

    “Juga sudah menurunkan tim di sana dari Polsus kita. Jadi tunggu nanti setelah pemeriksaan dari kami juga,” kata Ipunk
    kepada awak media di kantornya, Kamis (5/6/2025).

    (rea/rrd)

  • KKP tawarkan peluang investasi di sentra garam Rote Ndao

    KKP tawarkan peluang investasi di sentra garam Rote Ndao

    KKP menargetkan produktivitas lahan mencapai 200 ton per hektare per siklus,

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuka peluang investasi untuk pengembangan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN) di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

    “Kawasan itu akan menjadi model pengembangan industri garam nasional untuk mendukung target swasembada garam pada 2027 sesuai amanat Perpres Nomor 17 Tahun 2025,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP Koswara di Jakarta, Rabu.

    Dengan potensi lahan lebih dari 10.000 hektare dan kondisi iklim ideal, enam hingga tujuh bulan musim kemarau per tahun, Rote Ndao dinilai memiliki kemiripan karakter geografis dengan lokasi tambak garam kelas dunia seperti Dampier, Australia.

    “KKP menargetkan produktivitas lahan mencapai 200 ton per hektare per siklus,” ujarnya.

    Kawasan K-SIGN akan dikembangkan secara terpadu dengan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN seperti PT Garam, hingga investor swasta dan membuka peluang kerja.

    Model bisnis yang ditawarkan mencakup pengelolaan tambak, pembangunan sarana produksi, gudang, washing plant, refinery, serta sistem distribusi terintegrasi.

    “Ini adalah bentuk konkret keberpihakan pemerintah kepada industri garam nasional. Rote Ndao akan menjadi wajah baru pergaraman Indonesia yang berdaya saing tinggi,” jelasnya.

    Ia menambahkan, kawasan tersebut juga akan menjadi pusat pengembangan hilirisasi garam yang bernilai tinggi.

    Lebih lanjut, dia mengatakan, pembangunan K-SIGN di Rote Ndao diproyeksikan menyerap hingga 26.000 tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat hingga 2,5 kali UMR setempat.

    Selain itu, proyek ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor garam, yang saat ini masih mencapai lebih dari 2,5 juta ton per tahun untuk industri kimia dan pangan.

    Investasi dalam proyek K-SIGN tidak hanya menjanjikan keuntungan ekonomi, tetapi juga berkontribusi pada ketahanan pangan nasional.

    Dengan dukungan teknologi, mekanisasi, dan tata kelola modern, kawasan ini ditargetkan menjadi benchmark baru pergaraman di kawasan tropis.

    Sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono melakukan kick-off pembangunan Kawasan Sentra Industri Garam Nasional (K-SIGN) di Desa Matasio, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur pada awal Juni 2025.

    Pembangunan sentra industri garam menggunakan pendekatan ekstensifikasi terpadu, yang mencakup pembangunan tambak garam modern, fasilitas gudang dan pengolahan, hingga penataan kelembagaan dan kerja sama produksi.

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Soal Sengketa 13 Pulau, DPRD Jatim Desak Pemprov Tak Lepas Tangan dan Kawal Kepentingan Trenggalek

    Soal Sengketa 13 Pulau, DPRD Jatim Desak Pemprov Tak Lepas Tangan dan Kawal Kepentingan Trenggalek

    Surabaya (beritajatim.com) – Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono, mendesak Pemerintah Provinsi tidak lepas tangan terkait sengketa batas wilayah 13 pulau di perairan selatan antara Kabupaten Trenggalek dan Tulungagung. Deni menilai polemik ini menyangkut kredibilitas tata kelola wilayah dan harus dikawal serius oleh Pemprov Jatim.

    “Pemprov tidak boleh lepas tangan. Ini soal kredibilitas tata kelola wilayah. Kalau dulu setuju pulau itu masuk Trenggalek, ya sekarang harus dikawal dong,” tegas Deni saat ditemui di Kantor DPRD Jatim, Rabu (18/6/2025).

    Ia mempertanyakan keputusan Kepmendagri No. 300 Tahun 2025 yang menetapkan 13 pulau tersebut sebagai bagian dari Kabupaten Tulungagung, padahal data dan sejarah mencatat wilayah itu selama ini masuk dalam administrasi Trenggalek. Menurutnya, keputusan terbaru tersebut mencederai kesepakatan lintas lembaga yang telah terjalin sebelumnya.

    “Kami meminta Kemendagri membuka ruang klarifikasi dan mendasarkan keputusan pada data faktual, bukan sekadar dokumen administratif,” ujar politisi PDI Perjuangan ini.

    Deni mengungkapkan bahwa rapat resmi pada 11 Desember 2024 di Gedung Ditjen Bina Administrasi Kewilayahan Kemendagri secara sah menyepakati bahwa 13 pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Trenggalek. Rapat tersebut dihadiri oleh Kemendagri, Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pemprov Jatim.

    “Sudah ada Berita Acara Kesepakatan yang jelas dan resmi, menyatakan bahwa 13 pulau itu masuk Trenggalek. Tapi mengapa dalam Kepmendagri terbaru justru dipindahkan ke Tulungagung? Ada apa sebenarnya dengan pulau-pulau ini?” tandasnya.

    Menurut Deni, secara historis dan administratif, ke-13 pulau tersebut sejak lama masuk dalam wilayah Trenggalek, seperti tercantum dalam RTRW Provinsi Jatim maupun RTRW Kabupaten Trenggalek. Ia mencurigai adanya potensi sumber daya alam seperti minyak dan gas yang menjadi latar belakang keputusan pemindahan wilayah administratif tersebut.

    “Kalau benar ada indikasi migas, jangan sampai ini jadi ajang rebutan diam-diam yang melukai rasa keadilan masyarakat. Ini bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berhak,” ujarnya.

    Secara geografis dan operasional, Deni menyebut pulau-pulau itu lebih dekat dengan garis pantai Trenggalek serta masuk dalam wilayah patroli TNI AL dan Polairud Trenggalek.

    “Pulau-pulau itu lebih dekat ke Trenggalek, bahkan sudah lama menjadi bagian dari sistem pengawasan TNI AL dan Polairud Trenggalek,” jelasnya.

    Deni pun mendorong agar Kepmendagri segera direvisi. Menurutnya, Pasal 63 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan ruang koreksi terhadap keputusan pejabat tata usaha negara jika ditemukan kekeliruan atau data yang tidak sesuai.

    “Jangan sampai seperti ini terus. Pemerintah pusat harus berani mengoreksi jika ada kekeliruan. Pulau ini bisa jadi sumber konflik di masa depan jika dibiarkan,” tegasnya.

    Ia mencontohkan penyelesaian cepat dalam konflik batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara, yang membuktikan bahwa pemerintah pusat bisa mengambil langkah adil jika ada kemauan politik.

    “Jika Aceh bisa mendapatkan kembali hak atas pulau-pulaunya melalui revisi Kemendagri dan keputusan presiden, maka Trenggalek pun layak diperlakukan setara. Kami di DPRD Jatim akan terus mengawal ini sampai tuntas,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 menyebut 13 pulau di perairan selatan Jawa Timur masuk wilayah Kabupaten Tulungagung. Hal ini kemudian diikuti oleh Perda RTRW Kabupaten Tulungagung Nomor 4 Tahun 2023 yang menetapkan keberadaan pulau-pulau tersebut dalam rencana tata ruang hingga 2043.

    Namun, Perda Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2023 serta Perda Kabupaten Trenggalek Nomor 15 Tahun 2012 justru menyatakan bahwa ke-13 pulau berada dalam wilayah Kabupaten Trenggalek, memunculkan sengketa wilayah antar kedua daerah.

    Ke-13 pulau yang menjadi objek sengketa antara Trenggalek dan Tulungagung yaitu Pulau Anak Tamengan, Pulau Anakan, Pulau Boyolangu, Pulau Jewuwur, Pulau Karangpegat, Pulau Solimo, Pulau Solimo Kulon, Pulau Solimo Lor, Pulau Solimo Tengah, Pulau Solimo Wetan, Pulau Sruwi, Pulau Sruwicil, dan Pulau Tameng. [asg/beq]

  • Triasmitra (KETR) Kebut SKKL Rising 8, Bidik Pertumbuhan Bisnis 22% Tahun Ini

    Triasmitra (KETR) Kebut SKKL Rising 8, Bidik Pertumbuhan Bisnis 22% Tahun Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Ketrosden Triasmitra Tbk. (KETR), perusahaan yang berfokus pada pembangunan hingga penggelaran jaringan sistem komunikasi kabel bawah laut (SKKL), mengebut penggelaran SKKL Rising 8 yang menghubungkan Jakarta – Batam – Singapura.

    Direktur Utama Triasmitra Titus Dondi Patria mengatakan dalam menggarap proyek Rising 8, Triasmitra bermitra dengan PT Mora Telematika Indonesia, Tbk (MORA). Ditargetkan PKKPRL dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Izin Membangun dari Dirjen Hubla keluar bulan ini. 

    PKKPRL adalah Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut. Dokumen  yang diterbitkan oleh KKP menyatakan kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang laut dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. PKKPRL merupakan persyaratan dasar untuk mendapatkan izin berusaha di wilayah laut. 

    Dia juga mengatakan SKKL Rising 8 ini akan memiliki panjang kabel sekitar 1.128,5 km dengan menggunakan teknologi sistem Repeater dan memiliki kapasitas sebesar 25 terabite (TB) per second per fiber pair. 

    Perusahaan menggunakan kabel dari produsen Jerman Norddeutsche Seekabelwerke (NSW). Sementara Repeater yang digunakan berasal dari produsen Perancis yaitu Alcatel Submarine Network (ASN). 

    “Saat ini kabel dan repeater sudah berada di atas kapal Bentang Bahari. Sementara pada bagian komersial, tiga pelanggan Off-Taker telah diperoleh kesepakatannya, dan sejumlah pelanggan potensial lainnya sedang berada pada tahap negosiasi akhir,” kata Titus, dikutiip Rabu (18/6/2025). 

    Titus juga mengatakan Triasmitra sedang berencana mengembangkan cakupan bisnisnya sampai ke Indonesia Tengah dengan rencana Pembangunan SKKL Indonesia Tengah yang menyambungkan pulau Bali, Nusa Tenggara, hingga Sulawesi. 

    SKKL Indonesia Tengah ini dirancang dengan memiliki 9 Segmen dengan total panjang hingga 2.597 km. SKKL Indonesia Tengah ini akan menyambungkan kabel laut dari Sanur (Bali), Kawinda Nae, Labuan Bajo, Makassar, Selayar, Baubau, Wakatobi, Kendari, Morowali, dan Luwuk. 

    Pembangunan SKKL Indonesia Tengah ini akan dibagi ke dua tahap. Tahap 1 akan dibangun pada tahun 2026 untuk Segmen Sanur sampai Makassar. Sementara Tahap 2 akan dibangun pada tahun 2027 untuk Segmen Selayar sampai Luwuk. 

    “Saat ini proses pembangunan berada dalam fase perizinan dimana Surat Izin Rekomendasi 1 untuk kegiatan Marine Survey telah dirilis, dan marine survey akan dilaksanakan setelah pembangunan SKKL Rising 8 selesai,” kata Titus. 

    Dia menuturkan dalam pengembangan bisnis, Triasmitra memiliki tiga fokus utama. Fokus pertama dalam rencana pengembangan bisnis yaitu Kesiapan Komersial CLV Bentang Bahari. Perseroan saat ini fokus dalam penyelesaian proyek konversi kapal Bentang Bahari tepat waktu agar dapat melakukan pekerjaan pertamanya untuk menggelar jaringan SKKL Rising 8 pada kuartal IV/2025. 

    Selain itu Perseroan pun fokus untuk mengkomersialisasi kapal Bentang Bahari agar dapat terutilisasi dengan optimal di tahun 2026. Beberapa proyeksi agar dapat mengutilisasi kapal Bentang Bahari di tahun depan adalah untuk menggelar SKKL milik Pelanggan di area Nusa Tenggara. 

    Setelah itu kapal Bentang Bahari akan diutilisasi untuk menggelar jaringan SKKL milik perseroan yaitu SKKL Indonesia Tengah untuk Tahap 1 segmen Sanur – Makassar. Dilanjutkan untuk penggelaran SKKL Indonesia Tengah Tahap 2 Segmen Selayar – Luwuk. 

    Target …

  • Mendagri Ungkap Alasan Sempat Masukkan Empat Pulau ke Wilayah Sumut

    Mendagri Ungkap Alasan Sempat Masukkan Empat Pulau ke Wilayah Sumut

    GELORA.CO – Polemik administratif atas empat pulau yang selama ini menjadi sumber ketegangan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara akhirnya menemui titik akhir.

    Presiden Prabowo Subianto, dalam rapat terbatas di Istana Merdeka pada Selasa, 17 Juni 2025, secara resmi menetapkan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek merupakan bagian dari wilayah Provinsi Aceh.

    Persoalan ini mencuat usai terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.

    Dalam keputusan tersebut, empat pulau itu tercatat sebagai bagian dari wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara, yang langsung memicu gelombang protes dari berbagai kalangan di Aceh. Hal ini kemudian memicu protes dari sejumlah pihak di Aceh, yang mengklaim pulau-pulau tersebut sebagai bagian sah dari wilayahnya.

    Menanggapi polemik tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan penjelasan menyeluruh. Ia menegaskan bahwa keputusan semula yang memasukkan keempat pulau ke wilayah Sumatera Utara merujuk pada hasil rapat Tim Pembakuan Nama Rupa Bumi pada tahun 2017.

    Tim ini terdiri dari sejumlah lembaga, termasuk Kemendagri, Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

    “Itu pernah melakukan rapat pada tahun 2017, udah lama sekali ya, yang intinya berdasarkan data-data masukan yang ada, sehingga akhirnya tim ini banyak yang menganggap empat wilayah ini masuk cakupan Sumatera Utara,” ungkap Tito dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Selasa, 17 Juni 2025.

    Menurut Tito, dasar utama pengambilan keputusan saat itu adalah hasil verifikasi wilayah yang dilakukan pada tahun 2008. Hasil verifikasi tersebut menunjukkan bahwa keempat pulau tidak masuk dalam cakupan administrasi Provinsi Aceh.

    “Dan di tahun 2008, saya ulangi, di tahun 2008 itu empat pulau ini tidak masuk dalam cakupan wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tidak dimasukkan. Ada namanya tapi koordinatnya ada, di gugusan Pulau Banyak,” kata dia.

    Lebih lanjut, Tito mengungkapkan bahwa pada tahun 2008, Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf, tidak memasukkan empat pulau tersebut dalam peta wilayah Aceh. 

    Sebaliknya, Gubernur Sumut saat itu, Syamsul Arifin, justru memasukkan keempat pulau ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah.

    “Di tahun 2008 dan di tahun 2009 itu Gubernur Aceh tidak memasukkan empat pulau yang sekarang kita permasalahkan itu tidak masuk dalam Provinsi Aceh. Sementara surat dari Gubernur Sumut itu memasukkan ke dalam, empat ini masuk dalam Tapanuli Tengah. Ini suratnya ada, ini 2008 dan 2009,” papar Tito.

    Kendati demikian, pihak Pemerintah Provinsi Aceh tetap menyampaikan keberatan atas keputusan tersebut. Mereka meminta agar keempat pulau tersebut dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil.

    Namun permintaan tersebut tidak disertai dengan koordinat yang akurat, bahkan disebut Tito justru menggunakan koordinat yang salah.

    “Tapi tanpa koordinat, koordinatnya salah. Maka atas dasar itu 2017 itu dimasukkan ke Sumut,” jelasnya.

    Menurut Tito, pada tahun 2022, baik Pemprov Aceh maupun Sumut kembali menyampaikan keberatan. Keduanya menyodorkan dokumen kesepakatan batas wilayah yang pernah ditandatangani pada tahun 1992. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa keempat pulau memang berada dalam cakupan Aceh.

    Namun, saat itu dokumen yang diterima Kemendagri hanya berupa salinan fotokopi, bukan naskah asli. Hal ini menjadi kendala tersendiri karena dokumen fotokopi dianggap lemah dari sisi hukum jika nantinya disengketakan.

    “Dengan adanya peta ini tentu kita mempertimbangkan kemungkinan empat pulau ini masuk ke Aceh, namun saat itu dokumennya hanya dokumen fotokopi. Kita tahu dalam sistem pembuktian, dokumen fotokopi mudah sekali nanti kalau misalnya ada masalah hukum untuk dipatahkan,” ujarnya.

    Setelah melalui proses penelusuran yang panjang, Tito menyampaikan bahwa dokumen asli kesepakatan dua gubernur pada tahun 1992 akhirnya berhasil ditemukan pada Senin, 16 Juni 2025. Penemuan tersebut dilakukan di Pusat Arsip Nasional di Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

    “Alhamdulillah, kemarin dipimpin langsung oleh Pak Tomsi, didampingi Pak Safrizal, itu kita punya pusat arsip di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Itu ada tiga gedung dibongkar-bongkar, dokumen asli yang kesepakatan dua gubernur tersebut yang disaksikan oleh pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini,” pungkas Tito.

  • Mencari Aktor Intelektual di Balik Aktivitas Tambang Nikel Raja Ampat

    Mencari Aktor Intelektual di Balik Aktivitas Tambang Nikel Raja Ampat

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memang telah mencabut 4 dari 5 izin perusahaan tambang nikel yang berada di kawasan Raja Ampat, Papua Barat. Namun hingga kini, publik masih menunggu langkah lanjutan dari pemerintah pasca pencabutan izin tambang nikel tersebut.

    Dalam catatan Bisnis, empat perusahaan yang telah dicabut izinya oleh pemerintah antara lain, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa serta PT Nurham. Sementara itu, PT Gag Nikel yang merupakan anak usaha BUMN tambang, PT Aneka Tambang Tbk. aka ANTM masih diizinkan beroperasi. 

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia beralasan berdasarkan hasil evaluasi tim kementerian, PT GAG Nikel dinilai menjalankan aktivitas pertambangannya secara baik dan masih sesuai dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

    “Untuk PT GAG, karena itu adalah dia melakukan sebuah proses penambangan yang menurut dari hasil evaluasi tim kami itu bagus sekali,” kata Bahlil di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (10/6/2025).

    Namun demikian pernyataan Bahlil itu memicu perdebatan. Ketua Satgas Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah V KPK, Dian Patria blak-blakan menilai izin usaha pertambangan (IUP) PT Gag Nikel juga harusnya ikut dicabut. 

    Hal itu disampaikan Dian saat menjadi pembicara pada acara Peluncuran Laporan dan Diskusi: ‘Mendesak Perlindungan Raja Ampat Sepenuhnya’ yang diselenggarakan oleh Greenpeace Indonesia, Kamis (12/6/2025).

    “[Izin] PT Gag mesti dicabut,” terang Dian. 

    Dian lalu bercerita pernah mengunjungi PT Gag Nikel dua tahun yang lalu. Dia sempat menanyakan luas tambang Gag Nikel yang ternyata mencapai 13.000 hektare (ha). Artinya, luas tambang dua kali lipat lebih besar dari luas Pulau Gag yang hanya sekitar 6.000 ha. Dian pun menyebut IUP PT Gag berarti bisa sampai ke wilayah laut di sekitarnya. 

    Padahal, lanjutnya, pemanfataan area laut harusnya mendapatkan dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut atau KKPRL dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 

    Hal itulah, terang Dian yang menunjukkan adanya permasalahan di balik pemberian izin pertambangan kepada perusahaan-perusahaan di daerah Raja Ampat itu. Menurutnya, ada ego sektoral antara kementerian/lembaga sehingga tidak adanya konsistensi kebijakan.

    “Mungkin ESDM mengatakan selama di situ ada potensi, ya keluar izinnya, termasuk lautnya. Padahal laut ada KKPRL dan aturan lain. Ini perlu dikaji ulang,” tuturnya. 

    Ke depan, Dian berpesan agar pemangku kebijakan bisa menghindari ego sektoral. Untuk kasus Raja Ampat, dia menyebut IUP empat perusahaan nikel yang dicabut oleh ESDM perlu diikuti juga dengan pencabutan izin-izin lainnya yang berkaitan.

    “Bagaimana dengan izin-izin lain yang mungkin ada di LH [Kementerian Lingkungan Hidup]. Bagaimana kalau izin KKPRL-nya? Tersusnya? Bicara KKPRL, bahwa ini yang sudah tata ruangnya gak boleh tambang, tapi KKP mengeluarkan KKPRL-nya. Berarti ada ego sektoral di eselon 1,” ucapnya. 

    Bagaimana Sikap Polisi dan Jaksa?

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan pihaknya sedang menyelidiki potensi pidana dalam aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat.

    Listyo menyampaikan bahwa penyidik Bareskrim telah menggandeng sejumlah pihak, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), untuk memastikan ada atau tidaknya tindakan pidana dalam proses penambangan di sekitar kawasan konversvasi tersebut. 

    “Baik, yang jelas tim dari Bareskrim kemarin gabungan ya dengan LHK dan sepertinya juga ada dari SDM (Kementerian ESDM), melakukan pendalaman tentunya,” ujarnya di Mabes Polri, Kamis (12/6/2025).

    Kendati demikian, bekas Kabareskrim Polri ini enggan berkomentar lebih jauh terkait dengan polemik tambang tersebut. Sebab, pihaknya masih melakukan pendalaman di lokasi. “Kita ingin mengetahui lebih jauh apa yang terjadi, sehingga kemudian apabila ada pelanggaran disesuaikan dengan pelanggaran tersebut, saya kira itu dulu karena memang tim sedang bekerja,” jelasnya.

    Di sisi lain, Kejaksaan Agung (Kejagung) membuka peluang untuk mengusut polemik pertambangan nikel di Raja Ampat. Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan peluang pengusutan itu bakal dilakukan selagi ada yang melaporkan tindak pidananya.

    Namun demikian, pihak korps Adhyaksa masih belum menerima laporan terkait dengan peristiwa pertambangan yang diduga menggerus kawasan wisata tersebut.

    “Kalau ada laporan pengaduannya [polemik tambang Raja Ampat diusut],” ujarnya di Kejagung, Selasa (10/6/2025).

    Dia menambahkan, persoalan itu bisa saja dilaporkan ke setiap aparat penegak hukum (APH) mana pun. Pada intinya, pelaporan itu bisa menjadi bahan untuk pengusutan perkara yang ada. “Supaya ada bahan, ada dasar bagi APH untuk melakukan penelitian, pengecekan sebenarnya apa yang terjadi di sana. Sebagai pintu masuk yang bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum,” tukasnya.

    Kemenhut Cari Pelanggaran

    Sementara itu, Kementerian Kehutanan (Kemhut) sedang menelisik dugaan pelanggaran kewajiban perusahaan penambang nikel di sekitar kawasan konservasi Kepulauan Raja Ampat.

    Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum Kemenhut Dwi Januanto Nugroho mengatakan, pihaknya masih berproses untuk mengecek pemenuhan kewajiban perusahaan nikel di Raja Ampat itu. 

    Adapun pemenuhan kewajiban yang dimaksud berkaitan dengan izin yang perusahaan-perusahaan tersebut dapatkan dari Kemenhut, berupa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). 

    “Dalam hal ini izin, tentu ada kewajiban-kewajiban. PNBP, kewajiban-kewajiban lain coba kami teleisik ke sana dan tentu tidak menutup kemungkinan kalau memang terjadi pelanggaran-pelanggaran serius, walaupun sudah dicabut [IUP oleh ESDM], tidak menggugurkan konsekuensi hukum lain dengan perdata, atau mengaktifkan gugatan-gugatan lainnya untuk kerusakan lingkungan,” ujar Dwi di acara tersebut, dikutip Jumat (13/6/2025). 

    Dwi menyatakan pihaknya tetap berkomitmen mengawal hal tersebut kendati empat perusahaan itu sudah tidak lagi memiliki izin pertambangan dari ESDM. Namun, dia tidak memerinci lebih lanjut sudah sampai mana proses yang dia maksud sedang bergulir di Kemenhut. 

    “Kami komitmen mengawal ke sana, dan saat ini sedang berproses,” kata Dwi.