Kementrian Lembaga: Kementerian Keuangan

  • Ditjen Pajak Buka Suara soal e-Money dan e-Wallet Kena PPN 12%

    Ditjen Pajak Buka Suara soal e-Money dan e-Wallet Kena PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan buka suara terkait kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% yang ikut dikenakan untuk uang elektronik seperti e-money hingga dompet digital (e-wallet).

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menjelaskan bahwa jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN.

    Dia menjelaskan, hal itu sesuai dengan ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

    “Namun, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang [top up], saldo [balance], atau nilai transaksi jual beli melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut,” tutur Dwi dalam keterangan tertulis, Sabtu (21/12/2024).

    Artinya, lanjut Dwi, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru.

    “Berapapun jumlah nominal transaksi sepanjang jasa layanan yang dibebankan oleh provider tidak mengalami perubahan, maka jumlah PPN yang dibayar akan tetap sama,” terangnya.

    Lebih lanjut, DJP Kemenkeu pun memberikan contoh pengenaan tarif PPN 12% untuk e-money hingga dompet digital (e-wallet).

    Sebagai contoh, X mengisi ulang (top up) uang elektronik sebesar Rp1 juta. Sementara itu, biaya top up yang dikenakan Rp1.500, maka PPN dihitung 11% x Rp1.500 = Rp165.

    Namun dengan kenaikan PPN 12% pada awal Januari 2025, maka PPN dihitung menjadi 12% x Rp1.500 = Rp180.

    “Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp15,” jelasnya.

    Contoh untuk kasus dompet digital, misalnya Z mengisi dompet digital (e-wallet) sebesar Rp500.000. Biaya pengisian e-wallet misalnya adalah Rp1.500, maka PPN dihitung: 11% x Rp1.500 = Rp165. Akan tetapi, dengan kenaikan PPN 12%, maka PPN dihitung menjadi 12% x Rp1.500 = Rp180.

    “Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp15,” imbuhnya.

    Dwi menambahkan, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% ini sejatinya merupakan amanat Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

    Sesuai kesepakatan pemerintah dengan DPR, kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025 mendatang.

    “Kenaikan secara bertahap ini dimaksudkan agar tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi,” tutupnya.

  • UMKM Beromzet Kurang dari Rp4,8 M Tetap Pakai PPh 0,5%

    UMKM Beromzet Kurang dari Rp4,8 M Tetap Pakai PPh 0,5%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan membantah adanya rencana pemerintah untuk menurunkan batasan omzet bagi UMKM untuk bisa menikmati tarif PPh 0,5% maupun kategori pengusaha kena pajak (PKP).

    Sebagaimana diketahui, batasan atau threshold bagi pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0,5% maupun sebagai batasan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP) saat ini adalah senilai Rp 4,8 miliar per tahun.

    Namun, saat tarif PPN akan naik menjadi 12% per 1 Januari 2025, santer tersiar kabar thresholdnya tengah dibahas pemerintah untuk diturunkan menjadi menjadi Rp 3,6 miliar per tahun. Sebagaimana tertera dalam dokumen Bahan Rapat Koordinasi Paket Kebijakan Ekonomi.

    Meski begitu, melalui lembaran Keterangan Tertulis Nomor KT-03/2024, Ditjen Pajak menegaskan, “Sampai saat ini Pemerintah tidak berencana untuk menurunkan batasan omzet bagi pengusaha untuk menggunakan tarif PPh 0,5% maupun sebagai batasan untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP), dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.”

    Penegasan ini sebelumnya telah disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia membantah bahwa pemerintah akan menurunkan ambang batas atau threshold omzet UMKM yang bisa memanfaatkan tarif pajak penghasilan (PPh) final dan status pengusaha kena pajak dari yang saat ini maksimal Rp 4,8 miliar menjadi Rp 3,6 miliar per tahun.

    “Ya kalau itu belum ada rencana. Threshold tetap Rp 4,8 miliar,” kata Airlangga di kantornya Kamis malam (19/12/2024).

    Ia pun mengaku belum ada bahasan di antara pemerintah untuk menurunkan ambang batas UMKM yang bisa bebas pajak tersebut. Meski begitu, Airlangga mengakui bila pemerintah memang ada rencana untuk mengevaluasi ambang batas omzet UMKM yang mulai terkena pajak ataupun bisa menikmati PPh Final 0,5%.

    “Tapi tetap Rp 4,8 miliar, ya. Kalau evaluasi pasti ada, sekarang engak ada,” tutur Airlangga.

    Sebelumnya, Sekertaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, rencana kebijakan penurunan threshold omzet PPh Final UMKM didasari dari rekomendasi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan atau OECD.

    OECD menganggap, batasan omzet usaha di Indonesia yang terbebas dari pajak pertambahan nilai (PPN) ketinggian. Penilaian ini tertuang dalam Survei Ekonomi OECD Indonesia edisi November 2024. Batasan omzet usaha yang dimaksud OECD ini ialah senilai Rp 4,8 miliar atau setara US$ 300.000.

    “Sebenarnya rencana penurunan sudah disampaikan Bu Menkeu (Sri Mulyani) dan Pak Menko (Airlangga) di beberapa kesempatan karena ada catatan rekomendasi OECD juga, untuk lebih disesuaikan thresholdnya dengan best practices negara lain, terkait keadilan dan perluasan tax base,” ucap Susiwijono di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (17/12/2024).

    Meski begitu, Susiwijono menegaskan bahwa rencana kebijakan ini baru sebatas kajian di internal pemerintahan, belum ada keputusan resmi terkait itu. Ia juga menekankan kebijakan ini tidak akan termasuk ke dalam paket kebijakan ekonomi yang dirilis pemerintah tentang kelanjutan PPh Final UMKM orang pribadi yang dapat memanfaatkan PPh Final 0,5% sampai dengan 2025.

    “Kemarin ini tidak disinggung karena konteksnya kan adalah insentif-insentif untuk meringankan UMKM dalam rangka adanya pemberlakuan PPN 12% per 1 Januari 2025. Tapi, setelah itu nanti pasti disampaikan,” ucap Susiwijono.

    Bila nantinya hasil proses pembahasan threshold omzet PPh final UMKM diputuskan diturunkan menjadi Rp 3,6 miliar per tahun, Susiwijono memastikan, pemberlakuannya akan ditetapkan dengan mengubah PP, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022.

    Perubahan PP itu ia akui pada akhirnya juga akan menjadi acuan batasan omzet untuk memberikan insentif PPh Final 0,5% bagi UMKM. Namun, ia kembali menegaskan bahwa rencana ini juga belum tentu menghasilkan keputusan threshold omzet pengusaha kena pajak yang senilai Rp 4,8 miliar akan ikut turun.

    “Kita lihat perubahan PP nya nanti ya, threshold yang mana ini kan harus ubah PP, nanti pasti pemerintah akan sampaikan hitung-hitungannya, kita perlu juga arah kajiannya bagaimana meski sudah ada ke sana terkait rekomendasi OECD, cuma konteks sekarang kan ke insentif PPh Final UMKM,” ungkap Susiwijono.

    (mkh/mkh)

  • PPN 12 Persen Berlaku, Beli Barang Rp5 Juta Bayar Rp5,6 Juta

    PPN 12 Persen Berlaku, Beli Barang Rp5 Juta Bayar Rp5,6 Juta

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai diberlakukan 1 Januari 2025 mendatang. Dengan kenaikan ini, masyarakat akan merogoh kocek lebih dalam untuk membeli baik barang dan jasa, selain sembako dan beberapa barang yang diklasifikasikan tidak terkena pajak. 

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan pun membuat simulasi perhitungan pengenaan tarif PPN 12 persen.

    Adapun rumus untuk menghitung PPN adalah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dikali tarif PPN, dengan DPP adalah harga barang atau jasa yang diserahkan penjual kepada konsumen.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengilustrasikan jika seseorang ingin membeli barang seharga Rp5 juta dan tarif PPN yang berlaku sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp550 ribu, sehingga total harga menjadi Rp5,550 juta.

    Bila PPN naik menjadi 12 persen, maka PPN yang perlu dibayar untuk harga barang Rp5 juta adalah sebesar Rp600 ribu, sehingga total harga yang dibayar menjadi Rp5,6 juta.

    “Jadi kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen,” jelas Dwi dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12).

    Dwi pun menegaskan tarif PPN 12 persen di 2025 berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang sebelumnya sudah terkena tarif.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen,” katanya.

    Sebelumnya pemerintah pada awal pekan telah resmi menaikkan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. 

    Meski demikian, ada sejumlah kebutuhan pokok lain yang mendapatkan fasilitas bebas PPN. DJP Kementerian Keuangan menyebut barang dan jasa tersebut tidak akan dipungut pajak pertambahan nilai alias tarifnya 0 persen. Barang dan jasa tersebut adalah:

    1. Kebutuhan pokok

    Ada beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

    2. Sejumlah jasa

    Jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan. Kemudian, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja, serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum.

    3. Barang lain

    Ini mencakup buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rumah susun sederhana milik (rusunami), listrik, dan air minum.

    (del/vws)

    [Gambas:Video CNN]

  • Dampak PPN Naik 12%, Ini Hasil Hitung-Hitungan Pemerintah

    Dampak PPN Naik 12%, Ini Hasil Hitung-Hitungan Pemerintah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Badan Kebijjakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu membeberkan dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 1 Januari 2025 terhadap ekonomi RI.

    Menurutnya kenaikan penambahan pajak ini, tidak akan memberikan pengaruh terhadap ekonomi RI di tahun 2025. Pertumbuhan ekonomi 2025 tetap akan dijaga sesuai target APBN sebesar 5,2%.

    “Pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan tetap tumbuh 5,0%, Dampak kenaikan PPN ke 12% terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan,” kata Febrio, dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12/2024).

    Menurutnya adanya paket stimulus seperti bantuan pangan, diskon listrik, Pembebasan PPN Rumah, Pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) selama satu tahun bagi buruh; pabrik tekstil; pakaian; alas kaki, dan lainnya ini akan menjadi bantalan bagi masyarakat.

    Begitu juga dengan tingkat inflasi Indonesia saat ini, menurut Febrio masih tergolong rendah. Dari hitungannya, dampak kebaikan PPN 12% hanya menambah 0,2%, sehingga Inflasi diprediksi masih sesuai target APBN 2025.

    “Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di 1,5%-3,5%,” kata Febrio.

    Sebagai informasi, per 1 Januari 2025 masyarakat Indonesia akan menghadapi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi sebesar 12%. Pemerintah memastikan ini tidak berlaku untuk seluruh barang dan jasa.

    Kelompok barang yang dibebaskan dari PPN adalah sembako meliputi beras, daging, telur hingga ikan dan susu. Begitu juga dengan jasa pendidikan, kesehatan, keuangan, tenaga kerja, asuransi serta air.

    Sementara untuk tepung terigu, minyak goreng dan gula industri hanya akan dikenakan PPN sebesar 11%.

    (mkh/mkh)

  • DJP: Bukan Objek Pajak Baru, Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12% – Page 3

    DJP: Bukan Objek Pajak Baru, Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12% – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menekankan, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada transaksi uang elektronik bukan merupakan objek pajak baru. Penegasan ini diutarakan demi menanggapi kabar transaksi uang elektronik akan turut terkena kenaikan PPN 12 persen mulai tahun depan. 

    “Jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital selama ini telah dikenakan PPN sesuai ketentuan PMK (Peraturan Menteri Keuangan) 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial,” jelas Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, Sabtu (21/12/2024). 

    Namun, Dwi mengatakan, yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli. Melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut. 

    “Artinya, jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru,” ungkap dia. 

    Sebagai contoh, isi ulang atau top up uang elektronik sebesar Rp 1.000.000. Biaya top up misalnya Rp 1.500, maka PPN dihitung sebagai berikut:

    11%xRp 1.500 = Rp 165.

    Dengan kenaikan PPN 12%, PPN dihitung menjadi sebagai berikut:

    12%xRp 1.500= Rp 180.

    Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1% hanya Rp 15.

    Selain itu contoh lainnya, pengisian dompet digital (e-wallet) Rp 500 ribu. Transaksi itu misalnya kena biaya pengisian dompet digital Rp 1.500. Maka pengenaan PPN dihitung 12 persen dari Rp 1.500, dengan biaya tambahan Rp 180. Sebelumnya PPN dihitung 11 persen dari Rp 1.500 dengan biaya tambahan Rp 165. “Jadi kenaikannya PPN sebesar 1 persen hanya Rp 15,” demikian seperti dikutip.

    “Artinya, berapa pun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut, karena PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top up tersebut. Sehingga, sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah,” ujar Dwi.

    Selain dompet digital, transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pun merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran.

    Atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN, sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial. 

     

  • Kenaikan PPN 12 Persen Tidak Berdampak Signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

    Kenaikan PPN 12 Persen Tidak Berdampak Signifikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

    Jakarta, Beritasatu.com – Pro dan kontra terus mencuat terkait rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan berlaku mulai Januari 2025. Kebijakan ini memicu beragam pendapat di tengah masyarakat dan pelaku usaha mengenai dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.

    Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memastikan, dampak kebijakan ini terhadap inflasi dan ekonomi akan sangat minimal.

    “Saat ini, inflasi berada di level rendah, yaitu 1,6 persen. Sementara itu, dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen terhadap inflasi hanya sekitar 0,2 persen,” ujar Febrio dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu (21/12/2024).

    Febrio menambahkan, pemerintah tetap berkomitmen menjaga inflasi sesuai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yaitu di kisaran 1,5 persen hingga 3,5 persen. Ia juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi diproyeksikan tetap kuat meski ada kenaikan PPN jadi 12 persen.

    “Pertumbuhan ekonomi 2024 diperkirakan akan tetap berada di atas 5 persen, dan target pada 2025 mencapai 5,2 persen. Dengan demikian, kenaikan PPN jadi 12 persen dipastikan tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

    Sebagai upaya mengurangi beban masyarakat, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah langkah kompensasi melalui berbagai paket stimulus ekonomi. Langkah tersebut mencakup pemberian bantuan pangan, diskon tarif listrik, pembebasan pajak penghasilan selama satu tahun untuk buruh di sektor tekstil, pakaian, alas kaki, dan furnitur, serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah tertentu.

    “Paket stimulus ini menjadi bantalan untuk menjaga daya beli masyarakat dan memastikan bahwa dampak kenaikan PPN tetap terkendali,” tambah Febrio.

    Pemerintah optimistis bahwa dengan kombinasi kebijakan yang terukur, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 akan tetap terjaga sesuai target APBN sebesar 5,2 persen. Sementara itu, masyarakat dan pelaku usaha diimbau untuk tidak khawatir secara berlebihan terhadap kenaikan PPN jadi 12 persen, mengingat kondisi ekonomi Indonesia saat ini relatif stabil dengan inflasi yang rendah dan prospek pertumbuhan yang positif.

  • Simulasi Tarif PPN 12%, Harga TV hingga Minuman Bisa Jadi Segini

    Simulasi Tarif PPN 12%, Harga TV hingga Minuman Bisa Jadi Segini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan merilis gambaran harga barang dan jasa kena pajak setelah naiknya tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

    Melalui keterangan tertulis bernomor KT-03/2024, Ditjen Pajak menegaskan, perubahan tarif PPN menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Penerapannya pun terhadap seluruh barang dan jasa kena pajak, kecuali barang dan jasa yang dibebaskan dari pengenaan tarif maupun di berikan fasilitas pajak ditanggung pemerintah.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak,” dikutip dari keterangan tertulis Ditjen Pajak yang terbit Sabtu (21/12/2024).

    Ditjen Pajak mengklaim, karena kenaikannya dibuat bertahap oleh UU HPP, dari 10% menjadi 11% per April 2022, dan 12 per Januari 2025, harga barang dan jasa kena pajak tidak akan melonjak tinggi dan tidak memberi dampak yang signifikan terhadap daya beli masyarakat, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” tulis Ditjen Pajak.

    Ditjen Pajak pun mencontohkan perubahan harga barang dengan adanya kenaikan tarif PPN menjadi 12%, sebagaimana berikut` ini:

    1. Minuman Bersoda pada 2024 harganya Rp 7.000, lalu kena PPN 11% senilai Rp 770, sehingga masyarakat yang membeli sekaleng minuman bersoda mengeluarkan kocek total sebesar Rp 7.770. Sementara itu, ketika PPN 12% pada 2025, harga minuman soda yang tadinya Rp 7.000, kena PPN 12% senilai Rp 840, menyebabkan harga di tangan konsumen menjadi Rp 7.840.

    2. Harga TV pada 2024 harganya Rp 5 juta, lalu kena PPN 11% senilai Rp 550.000, sehingga masyarakat yang membeli TV mengeluarkan kocek total sebesar Rp 5,55 juta. Sementara itu, ketika PPN 12% pada 2025, harga TV yang tadinya Rp 5 juta, kena tambahan harga dari PPN 12% yang senilai Rp 600 ribu, menyebabkan harga di tangan konsumen menjadi Rp 5,6 juta. 

    Ditjen Pajak pun menilai kenaikan beban harga akhir pada konsumen hanya 0,9%. “Jadi, kenaikan PPN 11% menjadi 12% hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen,” tulis Ditjen Pajak.

    Akan tetapi simulasi tersebut tentu dengan catatan harga dari pabrikan tidak berubah setelah kenaikan PPN menjadi 12%.

    Barang Bebas PPN

    Ditjen Pajak juga menegaskan, barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%. Barang dan jasa tersebut seperti:

    1) Barang kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran

    2) Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum

    3) Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp 265,6 triliun untuk tahun 2025.

    Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11%, kecuali jiga terhadap tiga jenis barang yang 1% PPN nya ditanggung pemerintah atau DTP, yaitu minyak goreng curah “Kita”, tepung terigu dan gula industri.

    Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1% akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.

    (mkh/mkh)

  • Jurus MG Biar Dapat Insentif Mobil Hybrid dari Pemerintah

    Jurus MG Biar Dapat Insentif Mobil Hybrid dari Pemerintah

    Jakarta

    Mobil MG VS HEV belum bisa mendapatkan insentif pajak penjualan atas barang mewah. Sebab mobil tersebut masih diimpor utuh dari Thailand

    He Guowei atau disapa Alec, Chief Executive Officer MG Motor Indonesia mengikuti regulasi insentif mobil hybrid yang bakal diterbitkan di Indonesia.

    “Sekarang masih diimpor dari Thailand, HEV benefit (insentif) hanya produksi lokal. Jadi kita tidak bisa menikmatinya,” kata Alec di Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2024).

    Dia memiliki agenda bakal meluncurkan mobil hybrid dari model ZS. Diketahui model ini juga bakal dapat penyegaran untuk model internal combustion engine (ICE). Rencananya peluncuran bakal dilakukan sekitar bulan Juli, MG bakal memperkenalkan dua model baru jenis SUV, salah satunya hybrid.

    “Tapi tahun depan proyek depan akan meluncurkan ZS baru dan hybrid itu akan produksi di sini,” kata Alec.

    “Sebelumnya kita punya HEV, ini akan diproduksi lokal. Jadi kita akan bisa menikmati insentif HEV,” tambahnya.

    Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kemenko Perekonomian telah mengumumkan diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil hybrid sebesar tiga persen.

    Namun, aturan tersebut hanya berlaku untuk kendaraan produksi lokal. Kepastian tersebut disampaikan Rustam Effendi selaku Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI. Sehingga, kendaraan hibrida yang masih berstatus impor tak bisa menikmati fasilitas tersebut.

    “PPnBM DTP 3 persen hybrid hanya untuk produksi dalam negeri peserta program Kemenperin, yang berhak mendapatkan reduced tarif PPnBM,” ujar Rustam Effendi.

    Seperti diketahui, pabrik MG Motor Indonesia sudah beroperasi sejak Januari 2024. Pabrik ini memproduksi dua mobil listrik andalan MG, New MG ZS EV dan MG 4 EV. Kedua model listrik ini menjadi bukti komitmen MG dalam berinvestasi di Indonesia.

    (riar/dry)

  • Ditjen Pajak: PPN 12% Tak Berdampak Signifikan ke Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

    Ditjen Pajak: PPN 12% Tak Berdampak Signifikan ke Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal/Ditjen Pajak Kementerian Keuangan mengklaim bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 tidak akan berdampak signifikan terhadap daya beli, inflasi, maupun pertumbuhan ekonomi. 

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti menuturkan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tersebut telah dilaksanakan secara bertahap sejak 2022 lalu. 

    Ketentuan tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). kenaikan tarif dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan kemudian dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Sabtu (21/12/2024).

    Dwi menjelaskan bahwa dampak yang tidak signifikan tersebut karena barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0%.

    Adapun kenaikan tarif PPN berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11%, kecuali barang pokok penting (bapokting) Minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri.

    Di mana bapokting tersebut tetap 11%, sementara 1% sisanya ditanggung pemerintah (DTP).

    Dalam simulasi perhitungan Ditjen Pajak, kenaikan tarif 1% tersebut hanya memberikan tambahan harga sebesar 0,9% bagi konsumen.

    Misalnya, jika sebelumnya sebuah minuman seharga Rp7.000 dengan tarif 11% menjadi Rp7.770. Kini dengan tarif 12%, minuman tersebut menjadi Rp7.840 atau naik Rp70 atau setara 0,9%. 

    Kerek Inflasi Terbatas 

    Sebelumnya, Sekretaris Menteri Koordinator bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menuturkan implementasi tarif PPN 12% pada tahun depan akan otomatis berdampak mendorong inflasi secara tahunan, tetapi secara terbatas.  

    Susi menyampaikan secara umum, melalui kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% terhadap barang maupun jasa, hanya akan mendorong inflasi sebesar 0,3% year on year (YoY). 

    “[Inflasi] tambahan 0,3% untuk year on year. Sekarang berapa? Kemarin 1,55% [November 2024], maka tambah 0,3%,” tuturnya di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (17/12/2024). 

    Sama halnya dengan bank sentral, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aida S. Budiman menyampaikan proyeksi tersebut berdasarkan hitungannya terhadap barang-barang yang kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan bobotnya terhadap porsi inflasi. 

    Sejauh ini, selain objek PPN secara umum yang naik tarifnya, pemerintah juga akan mengenakan PPN 12% terhadap barang/jasa yang tergolong premium. 

    “Hitungannya, ini mengakibatkan sekitar penambahan inflasi 0,2%. Apakah ini besar? Jawabanya tidak,” tuturnya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG), Rabu (18/12/2024).

    Peningkatan yang terbatas tersebut artinya inflasi hanya akan naik sedikit dari target Bank Indonesia pada rentang 1,5% hingga 3,5% pada 2025.

    Meski demikian, kalangan ekonom meyakini efek kenaikan tarif pajak ini dapat mendorong inflasi tembus lebih dari 4%, lebih dari dari perkiraan pemerintah maupun Bank Indonesia. 

    Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Askar Wahyudi melihat pengeluaran masyarakat akan otomatis bertambah. 

    Seperti pengeluaran kelompok miskin berpotensi meningkat senilai Rp101.880 per bulan, sehingga memperburuk kondisi ekonomi mereka. Sementara itu, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sejumlah Rp354.293 per bulan.

    Berikut Barang/Jasa yang Bebas PPN alias PPN 0%:

    Barang kebutuhan pokok: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran

    Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum

    Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum

  • Emang Iya e-Money Kena PPN Jadi 12%?

    Emang Iya e-Money Kena PPN Jadi 12%?

    Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengklarifikasi isu transaksi uang elektronik menjadi objek pajak yang dikenakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12 persen.
     
    “Perlu kami tegaskan pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Mayarakat DJP Dwi Astuti saat dihubungi Antara, Jumat, 20 Desember 2024.
     
    UU PPN telah diperbarui dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam UU HPP, layanan uang elektronik tidak termasuk objek yang dibebaskan dari PPN. Artinya, ketika PPN naik menjadi 12 persen nanti, tarif tersebut juga berlaku untuk transaksi uang elektronik.
    Aturan rinci mengenai pengenaan PPN terhadap transaksi uang elektronik, atau layanan teknologi finansial (fintech) secara umum, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022.
     
    Layanan yang dikenakan PPN di antaranya uang elektronik (e-money), dompet elektronik (e-wallet), gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.
     
     

    PPN berlaku untuk biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara

    PPN berlaku untuk biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara. Misalnya, biaya layanan registrasi, pengisian ulang saldo (top-up), pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai untuk uang elektronik.
     
    Hal yang sama berlaku pada layanan dompet elektronik, termasuk biaya pembayaran tagihan dan layanan paylater. PPN juga dikenakan pada biaya merchant discount rate (MDR). Sementara nilai uang elektronik itu sendiri, termasuk saldo, bonus point, reward point, dan transaksi transfer dana murni, tidak dikenakan PPN.
     
    Sebagai contoh, ketika pengguna melakukan top-up saldo uang elektronik dan dikenakan biaya administrasi, maka biaya administrasi tersebut yang dikenakan PPN. Jika biaya administrasi top-up adalah Rp1.000 dan tarif PPN yang berlaku saat ini sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp110, sehingga total biaya menjadi Rp1.110.
     
    Bila PPN naik menjadi 12 persen nantinya, maka PPN yang perlu dibayar sebesar Rp120, sehingga total biaya menjadi Rp1.120. Sedangkan ketika pengguna hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo tanpa biaya tambahan, maka tidak ada PPN yang dikenakan.
     
    Untuk diketahui, UU HPP mengatur pembebasan PPN terhadap sejumlah jasa keuangan. Jasa ini meliputi penghimpunan dana seperti giro, tabungan, deposito, dan sertifikat deposito, yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan.
     
    Selain itu, kegiatan penyaluran dan peminjaman dana, baik melalui transfer elektronik, cek, maupun wesel. Pembiayaan seperti leasing dengan hak opsi, anjak piutang, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen juga tidak dikenakan PPN, termasuk yang berprinsip syariah.
     
    Layanan gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia, serta jasa penjaminan untuk melindungi kewajiban finansial, juga dikecualikan dari pajak.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (AHL)