Kementrian Lembaga: Kementerian Keuangan

  • Ekonomi Indonesia Tidak Sedang Baik-baik Saja, Kenaikan PPN 12 Harus Dikaji Ulang

    Ekonomi Indonesia Tidak Sedang Baik-baik Saja, Kenaikan PPN 12 Harus Dikaji Ulang

    GELORA.CO – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 menjadi 12 persen.

    “Jadi, sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo (Subianto), bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujar Deddy dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (23/12/2024).

    Oleh karena itu, Deddy yang juga anggota Komisi II DPR RI itu menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12 persen itu hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti fraksi PDIP menolaknya.

    “Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.

    Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo Subianto imbas kenaikan PPN 12 persen tersebut.

    “Jadi, itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, tetapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silakan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” kata Deddy.

    Lebih lanjut, ia juga menyatakan kenaikan tarif PPN dari 11 menjadi 12 tersebut melalui pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP.

    Deddy menyebut pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode lalu. Sementara, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).

    “Jadi, salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan,” katanya.

    Ia menjelaskan pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi bangsa Indonesia dan kondisi global dalam kondisi yang baik-baik saja.

    Namun, kata Deddy, seiring berjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    Kondisi tersebut seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang saat ini terus naik.

  • Kebutuhan Infrastruktur: Pembiayaan Alternatif?

    Kebutuhan Infrastruktur: Pembiayaan Alternatif?

    loading…

    Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/SINDOnews

    Candra Fajri Ananda
    Staf Khusus Menteri Keuangan RI

    INFRASTRUKTUR memegang peranan penting dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan merata. Fasilitas seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, air bersih, listrik, dan jalur kereta api memiliki peran strategis dalam mendukung kelancaran distribusi barang dan jasa, ekosistem sektor industri, yang berujung pada peningkatan efisiensi kegiatan ekonomi.

    Melalui pembangunan yang baik, terintegrasi, akan mampu menekan biaya logistik dan berujung pada penguatan daya saing produk. Selain itu, berkurangnya ketimpangan ekonomi antarwilayah, akses yang lebih luas pada pasar baru, dan munculnya pusat pertumbuhan ekonomi baru, semakin mudah diraih dengan makin terintegrasinya pembangunan infrastruktur.

    Pada sepuluh tahun terakhir – di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo – pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas utama pemerintah. Sejak awal masa kepemimpinannya pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo telah menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama.

    Hingga 2024, pemerintah terus mengalokasikan anggaran besar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur strategis. Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan 2023, tercatat bahwa anggaran infrastruktur meningkat signifikan dari Rp290 triliun pada 2015 menjadi Rp400 triliun pada 2023.

    Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong konektivitas antarwilayah serta meningkatkan efisiensi logistik nasional. Melalui alokasi anggaran besar dari APBN dan APBD, berbagai proyek strategis diluncurkan untuk menghubungkan wilayah-wilayah penting di Indonesia.

    Di samping itu, demi mendukung pembiayaan proyek-proyek besar, pemerintah juga mengadopsi berbagai skema pembiayaan inovatif. Berbagai inovasi pembiayaan seperti penerbitan obligasi dan skema kerja sama dengan sektor swasta turut diimplementasikan guna mempercepat pembangunan.

    Data Kementerian Keuangan 2023 mencatat bahwa penerbitan obligasi infrastruktur mencapai Rp45 triliun, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu, skema kerja sama dengan pihak swasta atau Public-Private Partnership (PPP) juga berhasil menarik investasi senilai Rp348 triliun sejak 2014, yang digunakan untuk mendanai berbagai proyek strategis di seluruh Indonesia.

    Hasilnya, beberapa proyek besar yang diinisiasi selama sepuluh tahun terakhir meliputi pembangunan Jalan Tol Trans Jawa dan Trans Sumatera, telah mulai memiliki dampak signifikan terhadap pengurangan waktu tempuh dan biaya transportasi. Artinya, hasil dari pembangunan infrastruktur yang masif ini telah mulai dirasakan oleh masyarakat dan dunia usaha.

    Berdasarkan laporan Bank Indonesia tahun 2024, infrastruktur berkontribusi pada peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1,5% per tahun. Selain itu, proyek-proyek strategis tersebut juga menciptakan lebih dari 1,2 juta lapangan kerja di berbagai sektor. Manfaat lainnya adalah peningkatan konektivitas yang mempercepat pertumbuhan kawasan industri baru, terutama di wilayah luar Jawa.

  • Dituding Inisiator PPN 12%, PDIP: Salah Alamat

    Dituding Inisiator PPN 12%, PDIP: Salah Alamat

    loading…

    Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menjelaskan kenaikan PPN 12% diusulkan pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kementerian Keuangan. FOTO/DOK.SINDOnews

    JAKARTA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menilai tudingan PPN 12% diinisiasi oleh PDIP salah alamat. Sebab, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai itu diusulkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

    Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menjelaskan, sikap fraksinya meminta pemerintah mengkaji ulang rencana kenaikan tarif PPN 12% karena melihat kondisi ekonomi nasional. Sikap tersebut, kata Deddy, bukan berarti Fraksi PDIP menyalahkan Pemerintahan Prabowo Subianto.

    Ia mengingatkan bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%, melalui pengesahan undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP. Pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    “Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui Kementerian Keuangan,” kata Deddy dikutip, Senin (23/12/2024).

    Dia menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Bangsa Indonesia dan kondisi global dalam kondisi yang baik-baik saja. Namun, kata Deddy, seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12%.

    Kondisi tersebut di antaranya daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar yang saat ini terus naik. “Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujarnya.

    Deddy menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12% hanya meminta pemerintah mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat.

    “Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.

    Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12%. “Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru,” ujar anggota Komisi II DPR itu.

    “Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat, silakan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” katanya.

    (abd)

  • Ingat Pembayaran Pakai QRIS Tak Kena PPN

    Ingat Pembayaran Pakai QRIS Tak Kena PPN

    JABAR EKSPRES – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa pembayaran menggunakan sistem Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) tidak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

    Penjelasan ini disampaikan dalam acara peluncuran EPIC SALE di Alfamart Drive Thru Alam Sutera pada Minggu, 22 Desember 2024.

    Baca juga : Viral Seruan Boikot Pajak Imbas PPN 12%, Masyarakat Diajak Belanja ke UMKM

    QRIS dan Sistem Pembayaran Lain Bebas atau Tak Kena PPN

    Menurut Airlangga, pembayaran melalui QRIS diperlakukan sama seperti transaksi menggunakan kartu debit atau metode pembayaran elektronik lainnya yang tidak dikenakan PPN.

    PPN hanya berlaku pada barang atau jasa yang dibeli, bukan pada sistem pembayaran itu sendiri.

    “QRIS tidak kena PPN, seperti halnya debit card. Kami selalu memantau perkembangan di masyarakat untuk memastikan informasi yang beredar akurat,” jelasnya.

    Selain itu, Airlangga juga menegaskan bahwa bahan pokok penting, termasuk turunannya seperti tepung, gula, dan minyak, tetap bebas dari PPN.

    Hal yang sama berlaku untuk sektor transportasi, pendidikan, dan kesehatan, kecuali pada layanan tertentu yang bersifat khusus.

    Isu PPN pada Uang Elektronik

    Sebelumnya, beredar isu bahwa transaksi uang elektronik akan dikenakan PPN sebesar 12% mulai 1 Januari 2025.

    Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan bahwa pengenaan PPN pada jasa uang elektronik bukan merupakan objek pajak baru.

    “Pengenaan PPN ini sudah berlaku sejak 1 Juli 1984 berdasarkan UU PPN Nomor 8 Tahun 1983. Artinya, ini bukan hal baru,” ungkap Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP.

    Dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021, layanan uang elektronik tidak termasuk dalam daftar objek yang dibebaskan dari PPN.

    Jadi, ketika tarif PPN meningkat menjadi 12%, jasa layanan uang elektronik juga akan mengikuti tarif tersebut.

    Namun, Dwi menjelaskan bahwa dasar pengenaan PPN bukan berasal dari nominal uang yang di-top-up, melainkan dari biaya jasa layanan top-up itu sendiri.

    Misalnya, jika biaya top-up adalah Rp 1.500, maka PPN dihitung dari jumlah tersebut.

    Contoh Perhitungan PPN Uang Elektronik

    Top-up sebesar Rp 1.000.000 dengan biaya jasa Rp 1.500:

  • Pernyataan Lengkap Kemenkeu soal QRIS Tak Kena PPN 12%

    Pernyataan Lengkap Kemenkeu soal QRIS Tak Kena PPN 12%

    Jakarta

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menekankan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% tidak akan berimbas kepada biaya layanan tambahan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan sejenisnya. Dengan begitu, tidak ada tambahan beban bagi customer yang bertransaksi via QRIS.

    “Transaksi melalui QRIS dan sejenisnya tidak menimbulkan beban PPN tambahan untuk customer,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Febrio Kacaribu dalam keterangan tertulis, Senin (23/12/2024).

    Sebagai informasi, QRIS adalah media pembayaran antara merchant (penjual) dan customer (pembeli) sesuai nilai transaksi perdagangan dengan memanfaatkan teknologi finansial (fintech) yang semakin memudahkan transaksi.

    Febrio menyebut PPN memang dikenakan atas transaksi yang memanfaatkan fintech, salah satunya QRIS. Hanya saja beban PPN atas transaksi via QRIS sepenuhnya ditanggung merchant sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

    “Dengan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%, tidak ada tambahan beban bagi customer yang bertransaksi via QRIS,” tegasnya.

    Contoh ada seseorang membeli TV seharga Rp 5.000.000. Atas pembelian tersebut, terutang PPN 12% sebesar Rp 550.000 sehingga total harga yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 5.550.000.

    Nah atas pembelian TV tersebut, jumlah pembayaran yang dilakukan tidak berbeda baik ketika menggunakan QRIS maupun menggunakan cara pembayaran lainnya.

    Berikut pernyataan Kemenkeu:

    Jakarta, 22 Desember 2024

    Berkenaan dengan pemberitaan akhir- akhir ini terkait dampak penyesuaian PPN 12% terhadap transaksi jual beli masyarakat yang menggunakan QRIS, dengan ini kami sampaikan hal-hal sebagai berikut:

    1. Transaksi melalui QRIS dan sejenisnya tidak menimbulkan beban PPN tambahan untuk customer. QRIS adalah media pembayaran antara merchant (penjual) dan customer (pembeli) sesuai nilai transaksi perdagangan, memanfaatkan teknologi finansial (fintech) yang semakin memudahkan transaksi.

    2. PPN memang dikenakan atas transaksi yang memanfaatkan fintech, QRIS salah satunya. Namun, beban PPN atas transaksi via QRIS sepenuhnya ditanggung merchant, berjalan sejak tahun 2022 melalui PMK 69 Tahun 2022.

    3. Dengan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%, tidak ada tambahan beban bagi customer yang bertransaksi via QRIS.

    Demikian disampaikan, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

    Kepala Badan Kebijakan Fiskal

    Ttd.

    Febrio Kacaribu

    (acd/acd)

  • Syarat Agar PNS Bisa Sewa Rusun Gratis Tarif PNBP

    Syarat Agar PNS Bisa Sewa Rusun Gratis Tarif PNBP

    Jakarta

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menetapkan tarif hingga Rp 0 untuk sewa rumah susun (rusun) negara yang dimiliki Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Keringanan dapat diberikan dengan pertimbangan tertentu.

    Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 106 Tahun 2024 tentang Besaran, Persyaratan dan Tata Cara Pengenaan Tarif Sampai Nol Rupiah atau Nol Persen Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sewa Satuan Rumah Susun yang Berlaku Pada Kementerian Keuangan. Peraturan diterbitkan sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2023 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku Pada Semua Instansi Pengelola Penerimaan Negara.

    “Rumah Susun Negara adalah Rumah Susun yang dimiliki negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri,” tulis penjelasan Pasal 1 ayat (2) aturan tersebut, dikutip Minggu (22/12/2024).

    Dalam Pasal 2 dikatakan bahwa tarif sewa satuan rumah susun (Sarusun) dapat dikenakan hingga Rp 0 atau 0% dengan pertimbangan berupa faktor penyesuai sewa satuan rumah susun yang berupa keringanan dan/atau pengakuan pegawai negeri sipil (PNS) berupa fasilitas yang menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi.

    Tarif atas jenis PNBP dihitung dengan menggunakan formula yakni struktur tarif x faktor penyesuai sewa. Struktur tarif ditentukan berdasarkan biaya operasional atau biaya pemeliharaan, dengan memilih komponen biaya terendah.

    Adapun, besaran faktor penyesuai sewa berkisar antara 50% hingga 100%, tergantung pada tipe Sarusun sebagai berikut:

    1. Tipe A (maks. 168 m²): 60%

    2. Tipe B (maks. 104 m²): 57,5%

    3. Tipe C (maks. 56 m²): 55%

    4. Tipe D (maks. 48 m²): 52,5%

    5. Tipe E (maks. 36 m²): 50%

    Tarif atas jenis PNBP ini berlaku untuk PNS aktif di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Tarif ini juga hanya berlaku untuk Sarusun yang dimiliki oleh Kemenkeu.

    (kil/kil)

  • Legislator Deddy Sitorus Bantah PDIP Inisiasi Kenaikan PPN 12 Persen

    Legislator Deddy Sitorus Bantah PDIP Inisiasi Kenaikan PPN 12 Persen

    JAKARTA – Anggota Fraksi PDIP DPR RI Deddy Sitorus membantah tudingan bahwa partainya yang menginisiasi kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang akan diterapkan di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Deddy menegaskan, keputusan Undang-Undang (UU) Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) itu diusulkan saat pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo. Meski ketua panitia kerja (panja) merupakakan anggota fraksi PDIP, hal ini disepakati semua fraksi di DPR RI.

    “Itu adalah keputusan DPR RI, bukan inisiatif dari PDI Perjuangan. Salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan,” kata Deddy kepada wartawan, Minggu, 22 Desember.

    Deddy menjelaskan, saat kenaikan PPN diusulkan oleh Kementerian Keuangan, DPR menyetujui dengan asumsi kondisi ekonomi di Tanah Air maupun kondisi global itu dalam kondisi yang baik-baik saja.

    Namun, memang ada permintaan dari sebagian fraksi di DPR agar ini dipertimbangkan berdasarkan sejumlah faktor, yakni menurunnya daya beli masyarakat, kelas menengah yang tergerus, hingga ancaman badai PHK.

    “Jadi ini bukan salah pemerintahan Prabowo tentu saja. Yang diminta teman-teman itu juga bukan membatalkan undang-undang itu atau kesepakatan yang sudah dibuat di DPR, tetapi meminta pemerintah mengkaji baik buruknya dari kenaikan PPN itu bagi rakyat,” jelas Deddy.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Wihadi Wiyanto, mengungkapkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) diinisiasi Fraksi PDI Perjuangan DPR. Hal ini yang menjadi dasar kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025.

    “Kenaikan PPN 12 persen itu adalah merupakan keputusan UU Tahun 2021, HPP. (PPN) 12 persen di 2025, dan itu diinisiasi oleh PDI Perjuangan,” kata Wihadi kepada wartawan, Sabtu, 21 Desember.

    “Itu kita bisa melihat dari yang memimpin Panja (Panitia Kerja) pun dari PDI Perjuangan,” tambahnya.

    Adapun Dolfie Othniel Fredric Palit yang merupakan anggota Fraksi PDIP menjadi Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) HPP saat pembahasan dilakukan.

    Kondisi ini membuat Wihadi mempertanyakan sikap PDIP yang mengkritisi kenaikan PPN menjadi 12 persen. Baginya, partai berlambang banteng itu terkesan menyudutkan Presiden Prabowo Subianto.

    “Kalau sekarang pihak PDI Perjuangan meminta itu ditunda, ini adalah merupakan suatu hal yang justru menyudutkan pemerintahan Prabowo. Sebenarnya yang menginginkan kenaikan itu adalah PDI Perjuangan,” tuturnya.

  • Imbas PPN Naik Jadi 12%, Harga-harga Barang Bakal Ikut Naik 0,9%

    Imbas PPN Naik Jadi 12%, Harga-harga Barang Bakal Ikut Naik 0,9%

    Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan menyatakan pengaruh kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen terhadap harga barang dan jasa hanya sebesar 0,9 persen.
     
    “Kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Dwi Astuti dikutip dari keterangan di Jakarta, melansir Antara, Minggu, 22 Desember 2024.
     
    Sebagai ilustrasi, untuk minuman bersoda dengan harga jual Rp7.000, nilai pengenaan PPN dengan tarif 11 persen adalah sebesar Rp770. Maka, jumlah yang harus dibayar sebesar Rp7.770. Sementara, ketika PPN menjadi 12 persen, pengenaan PPN sebesar Rp840, sehingga total biaya yang harus dibayar sebesar Rp7.840.
     
    Dari contoh itu, selisih kenaikan harga antara PPN dengan tarif 11 persen dan 12 persen sebesar Rp70 atau hanya 0,9 persen dari harga sebelum kenaikan Rp7.770.
     
    Sama halnya untuk barang lain, televisi misalnya. Dengan harga jual senilai Rp5 juta, PPN yang dibebankan dengan tarif 11 persen adalah Rp550 ribu, sementara dengan tarif 12 persen menjadi Rp600 ribu. Total harga yang harus dibayar konsumen naik dari Rp5,55 juta menjadi Rp5,6 juta atau berselisih 0,9 persen.
     
    “Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa,” klaim Dwi.
     

     

    Pengeluaran rumah tangga jadi makin besar
     
    Dalam kesempatan terpisah, Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan PPN menjadi 12 persen bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.
     
    Perhitungan itu diperoleh melalui pengolahan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tentang pengeluaran rumah tangga terkait makanan dan nonmakanan serta asumsi inflasi sebesar 4,11 persen.
     
    Salah satu pemicu kenaikan inflasi (dari data per November 2024 sebesar 1,55 persen (yoy) adalah fenomena pre-emptive inflation, di mana pelaku usaha ritel dan manufaktur menaikkan harga lebih awal untuk menjaga margin keuntungan sebelum tarif baru diterapkan.
     
    Kenaikan harga diperkirakan akan terlihat menjelang akhir 2024 hingga kuartal pertama 2025, didorong oleh tarif PPN baru dan musim liburan Natal dan Tahun Baru 2025.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Begini Penjelasan Kemenkeu soal Rincian Barang dan Jasa Premium PPN 12%

    Begini Penjelasan Kemenkeu soal Rincian Barang dan Jasa Premium PPN 12%

    Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka suara soal rincian barang dan jasa premium yang akan menjadi objek pajak yang dikenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen.
     
    Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menyatakan Kemenkeu tengah mengkaji kriteria atau batasan barang/jasa tersebut secara hati-hati dengan pihak-pihak terkait.
     
    “Agar pengenaan PPN atas barang/jasa tertentu dengan batasan di atas harga tertentu dapat dilakukan secara tepat sasaran, yaitu hanya dikenakan terhadap kelompok masyarakat sangat mampu,” kata Dwi di Jakarta, dikutip dari Antara, Minggu, 22 Desember 2024.
     
    Hingga rincian tersebut dirilis, maka seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa yang menerima fasilitas pembebasan PPN sebagaimana yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak akan dikenakan PPN.
     
    “Atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait,” ujar Dwi.
     
    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah.
     
    Dari konferensi pers Senin (16/12), pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.
     
    Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen. Terkait barang mewah, pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.
     

     

    Konsep barang mewah
     
    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang terdiri atas dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non kendaraan bermotor.
     
    Untuk non kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.
     
    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu-atau yang disebut oleh Menkeu Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.
     
    Mengacu pada definisi di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut seharusnya mendapat fasilitas pembebasan PPN. Namun, karena sifatnya yang premium, pemerintah bakal menarik PPN 12 persen terhadap barang dan jasa tersebut.
     
    Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen.
     
    Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen.
     
    Untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP, menjadi contoh jasa yang dianggap premium. Sementara listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen.
     
    Adapun untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • PDIP Bantah Disebut Sebagai Inisiator UU Kenaikan Tarif PPN jadi 12%

    PDIP Bantah Disebut Sebagai Inisiator UU Kenaikan Tarif PPN jadi 12%

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus membantah jika partainya sebagai inisiator yang mengusulkan adanya kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%.

    Menurutnya, kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP.

    Deddy menyebut, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode lalu. Sementara, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja).

    “Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDIP, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah [era Presiden Jokowi] dan melalui kementerian keuangan,” katanya kepada wartawan di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (22/12/2024).

    Dia menjelaskan, pada saat itu, UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan kondisi global dalam kondisi yang baik-baik saja.

    Namun, kata Deddy, seiring dengan perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk mengkaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12%.

    Kondisi tersebut diantaranya; seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, badai PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar rupiah terhadap dollar yang saat ini terus naik.

    “Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujarnya.

    Oleh karena itu, Deddy menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12% ini hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti fraksi PDIP menolaknya.

    “Kami minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.

    Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan  Prabowo imbas kenaikan PPN 12% ini.

    “Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru. Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silahkan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” pungkas anggota Komisi II DPR RI itu.