Kementrian Lembaga: Kementerian Keuangan

  • PPN 12% Berlaku per 1 Januari 2025, Daya Beli Warga RI Aman?

    PPN 12% Berlaku per 1 Januari 2025, Daya Beli Warga RI Aman?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% menjadi 12% dinilai tidak akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Hal ini didasari oleh dampak inflasi yang terbilang rendah atas kenaikan PPN menjadi 12% mulai awal tahun depan.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan berdasarkan hitungan Pemerintah, inflasi saat ini rendah di angka 1,6%.

    “Dampak kenaikan PPN 11% menjadi 12% adalah 0,2%. Inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di kisaran 1,5%-3,5%,” papar Dwi dalam pernyataan resminya, dikutip Selasa (24/12/2024).

    “Dengan demikian, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan,” tegasnya.

    Dia pun mengungkapkan, melihat kembali kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 1 April 2022 tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa dan tergerusnya daya beli masyarakat.

    “Berkaca pada periode kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, dampak terhadap inflasi dan daya beli tidak signifikan,” ungkapnya.

    Adapun, pada tahun 2022, tingkat inflasinya adalah 5,51%, namun terutama disebabkan tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM akibat kenaikan permintaan dari masyarakat pasca pandemi Covid-19. Sepanjang 2023-2024 tingkat inflasi berada pada kisaran 2,08%.

    Namun, bertolak belakang dari pemerintah pengusaha dan bankir masih melihat PPN 12% akan berpengaruh pada daya beli masyarakat.

    Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk. (DNAR) Efdinal Alamsyah mengatakan dari sisi konsumen, kenaikan PPN bakal meningkatkan harga barang dan jasa, lantas menekan daya beli masyarakat. Ini kemudian bisa mengurangi permintaan kredit konsumer.

    “Hal ini berpotensi mengurangi permintaan kredit konsumer, seperti KPR (Kredit Pemilikan Rumah), KKB (Kredit Kendaraan Bermotor), atau pinjaman lainnya,” ujar Efdinal saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (19/12/2024).

    Sementara itu Executive Vice President Consumer Loan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), Welly Yandoko menilai kenaikan PPN bakal jadi tantangan khususnya bagi penjualan property primary di tahun 2025.

    “Tantangan ini diperkirakan terjadi dari 2 sisi, di sisi developer akan adanya kenaikan harga property karena bahan bangunan, di sisi lain kondisi ekonomi dalam ketidakpastian, yang tentunya berdampak pada daya beli masyarakat,” tuturnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Kamis (19/12/2024).

    Meskipun begitu, bank swasta terbesar RI itu optimis bahwa akan masih bisa bertumbuh dengan baik. Tentunya, kata Welly, dengan strategi kolaborasi antara BCA dan semua channel penjualan, baik dari kantor cabang BCA, para pengembang, sekaligus juga broker property.

    Co-Founder Tumbuh Makna (TMB), Benny Sufami, mengakui bahwa kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

    “Kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara yang nantinya disalurkan kembali ke sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan program pemerintah lainnya,” ujar Benny.

    Meski memiliki tujuan positif, menurut Benny, pemerintah perlu melihat situasi saat ini dengan sangat hati-hati melalui pemantauan daya beli masyarakat khususnya di kalangan menengah bawah. Sebab hal ini sangat menentukan pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu dijaga pada angka 5% dimana jika melihat pertumbuhan ekonomi pada 2024 ada indikasi mengalami tren penurunan. Untuk itu, Benny melihat bahwa masyarakat perlu menyiapkan diri dalam menghadapi dampak optimalisasi PPN ini.

    “Tantangan terbesar ada di tiga bulan pertama sebagai masa transisi, di mana harga barang cenderung naik. Stimulus pemerintah di periode ini justru menjadi sangat penting,” katanya.

    (haa/haa)

  • Jawaban PDIP Kala Sikap soal PPN 12% Dibanjiri Kritik

    Jawaban PDIP Kala Sikap soal PPN 12% Dibanjiri Kritik

    Jakarta

    Partai koalisi pemerintah hingga sejumlah pihak mengkritik PDIP atas kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen. PDIP yang dituding sebagai inisiator kenaikan PPN lantas memberi jawaban.

    Sebagai informasi, asal muasal dasarnya kenaikkan PPN ini, yakni Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021 di DPR. PDIP lantas meminta agar Presiden Prabowo Subianto menunda atau membatalkan kenaikan PPN 12 persen.

    Sejumlah politisi dari berbagai partai pendukung pemerintah lantas mengkritik PDIP atas sikap penolakan tersebut. Mereka menilai PDIP tidak konsisten dan cenderung cuci tangan.

    Mereka menuding PDIP lah yang sebetulnya menginisiasi kenaikan PPN 12 persen tersebut. Selain itu, PDIP juga disebut sebagai ketua panja RUU yang menyebabkan PPN naik jadi 12 persen.

    Lantas apa respons PDIP?

    PDIP Tak Bermaksud Menyalahkan Prabowo

    Foto: Rifkianto Nugroho

    Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menegaskan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% melalui pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bukan atas dasar inisiatif Fraksi PDIP. Deddy mengatakan partainya tak bermaksud menyalahkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Deddy menjelaskan, pembahasan UU tersebut sebelumnya diusulkan oleh pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) periode lalu. Saat itu, PDIP sebagai fraksi yang terlibat dalam pembahasan, ditunjuk sebagai ketua panitia kerja (panja).

    “Jadi salah alamat kalau dibilang inisiatornya PDI Perjuangan, karena yang mengusulkan kenaikan itu adalah pemerintah (era Presiden Jokowi) dan melalui kementerian keuangan,” kata Deddy dalam keterangannya, Senin (23/12).

    Deddy menjelaskan, pada saat itu UU tersebut disetujui dengan asumsi bahwa kondisi ekonomi Indonesia dan global dalam kondisi yang baik. Akan tetapi, kata Deddy, seiring perjalannya waktu, ada sejumlah kondisi yang membuat banyak pihak, termasuk PDIP meminta untuk dikaji ulang penerapan kenaikan PPN menjadi 12%.

    Kondisi tersebut di antaranya, menurut PDIP, seperti daya beli masyarakat yang terpuruk, PHK di sejumlah daerah, hingga nilai tukar Rupiah terhadap Dollar yang saat ini terus naik.

    “Jadi sama sekali bukan menyalahkan pemerintahan Pak Prabowo, bukan, karena memang itu sudah given dari kesepakatan periode sebelumnya,” ujarnya.

    Oleh karena itu, Deddy menyatakan bahwa sikap fraksinya terhadap kenaikan PPN 12% ini hanya meminta pemerintah untuk mengkaji ulang dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Permintaan itu, bukan berarti PDIP menolaknya.

    “Kita minta mengkaji ulang apakah tahun depan itu sudah pantas kita berlakukan pada saat kondisi ekonomi kita tidak sedang baik-baik saja. Kita minta itu mengkaji,” tuturnya.

    Fraksi PDIP, kata dia, hanya tidak ingin ada persoalan baru yang dihadapi pemerintahan Prabowo imbas kenaikan PPN 12% ini.

    “Jadi itu bukan bermaksud menyalahkan Pak Prabowo tetapi minta supaya dikaji dengan baik, apakah betul-betul itu menjadi jawaban dan tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru,” ujar anggota Komisi II DPR RI itu.

    “Tapi kalau pemerintah percaya diri itu tidak akan menyengsarakan rakyat silahkan terus, kan tugas kita untuk melihat bagaimana kondisi,” imbuhnya.

    PDIP Ajak Cari Jalan Keluar

    Foto: Jubir PDIP Chico Hakim (dok istimewa)

    Lebih lanjut, Juru bicara (jubir) PDIP, Chico Hakim, meminta semua pihak tak saling menyalahkan soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12%. PDIP keberatan jika kesalahan dititikberatkan kepada mereka.

    “Jadi salah besar kalau dikatakan inisiatornya adalah PDIP. Dan lebih salah lagi kalau dikatakan PDIP harus bertanggung jawab karena UU HPP itu adalah produk DPR RI secara kelembagaan. Saat itu ada 8 fraksi yang menyetujui,” kata Chico.

    Chico menyebutkan yang terpenting saat ini adalah mencari jalan keluar terkait kenaikan pajak yang sudah didasarkan pada undang-undang. Ia menyebutkan UU HPP memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk menaikkan pajak di rentang 5-15%.

    “Tetapi akar masalahnya bukan soal siapa yang inisiasi atau bertanggung jawab, melainkan bagaimana mencari jalan keluar. UU HPP yang memberi keleluasaan menaikkan PPN dari rentang 5-15% itu dibuat dengan asumsi kondisi makro dan mikro ekonomi dalam kondisi normal,” katanya.

    “Sementara saat ini semua indikator ekonomi menunjukkan situasi yang tidak kondusif. Dari sudut fiskal APBN kita tahun ini defisit sekitar Rp 400 triliun dan tahun depan diproyeksikan defisit mencapai 1.500 triliun. Dari sisi moneter, nilai tukar rupiah sudah menembus angka psikologis Rp 16.000, bahkan mencapai Rp 16.300 dan akan terus jatuh hingga Februari 2025,” ungkapnya.

    Ia menyoroti gelombang PHK yang sedang terjadi di beberapa perusahaan RI. Chico meminta ada penundaan dari kenaikan pajak itu.

    “Tentu saja ini bukan salah Presiden Prabowo atau siapa pun tetapi kondisi-kondisi yang memerlukan pertimbangan untuk pemberlakuan PPN 12%. PDI Perjuangan tidak menolak UU HPP, tetapi meminta pemerintah mengkaji ulang secara serius dampak kenaikan itu bagi masyarakat,” kata dia.

    Chico meminta pemerintah mengkaji ulang terkait itu. Ia menyoroti masyarakat tingkat menengah-bawah yang akan terdampak dari kenaikan PPN menjadi 12%.

    “Apakah Januari tahun depan adalah waktu yang tepat atau tidak atau kita harus menunggu indikator-indikator ekonomi sedikit lebih baik? Jika pemerintah menganggap bahwa penerapan kenaikan HPP tahun depan sudah tidak bisa ditunda dan tidak berdampak bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, silakan saja. Mari kita sama-sama berdoa agar pemerintah memiliki skenario dan rencana mitigasi,” imbuhnya.

    Halaman 2 dari 3

    (maa/maa)

  • Top Up e-Money Rp 1 Juta Kena PPN 12% Rp 180, Ini Hitungannya!

    Top Up e-Money Rp 1 Juta Kena PPN 12% Rp 180, Ini Hitungannya!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menjelaskan soal transaksi uang elektronik dan dompet digital yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengungkapkan PPN sudah dikenakan sejak lama terhadap uang elektronik atau e-money dan dompet digital atau e-wallet. Hal ini sesuai dengan aturan PMK 69 Tahun 2022 tentang PPh dan PPN atas penyelenggara teknologi finansial.

    “Jadi selama ini jasa atas transaksi uang elektronik dan dompet digital sudah kena PPN yaitu di PMK No. 69/2022,” ungkap Dwi dalam konferensi pers, dikutip Selasa (24/12/2024).

    “Saya paham diskusi di masyarakat QRIS setiap transaksi kena dong, e-money setiap transaksi kena dong. Ini saya klarifikasi ya kenanya sudah lama bukan baru berdasarkan PMK No. 69 Tahun 2022,” ungkapnya.

    Namun, dia menjelaskan PPN 12% dikenakan terhadap biaya admin dalam transaksi elektronik dan dompet digital. Dalam hal ini bukan pada nilai uang yang diisi (top up), nilai saldo atau nilai transaksi jual beli.

    Dwi pun memberikan contoh, misalnya, Slamet melakukan top up e-money atau e-wallet sebesar Rp 1 juta dan biaya admin Rp 1.500. Maka PPN yang dikenakan sebesar Rp 180, yang didapat dari 12% x Rp 1.500.

    “Jadi jasa yang dikenakan PPN itu, 1.500-nya atas jasanya. Jadi Rp 1.500 yang disebut biaya admin itu jasa,” papar Dwi.

    Biasanya, lanjut Dwi, provide sudah memperhitungkan PPN di dalamnya. Lalu dia juga mencontohkan PPN dalam e-wallet ketika dipakai untuk belanja. Misalnya, dompet digital di-top-up sebesar Rp 500.000 dan biaya adminnya Rp 1.500. Itu sudah diperhitungkan pajaknya oleh provide dan ketika pengguna membeli makanan sebesar Rp 100.000 dan membeli pulsa Rp 50.000, maka tidak dikenakan PPN lagi.

    “Pas nge-tap tol juga tidak dikenakan PPN-nya. Gak ada PPN di situ (e-wallet/e-money),” tegas Dwi.

    (haa/haa)

  • Menyibak Alasan Prabowo Enggan Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

    Menyibak Alasan Prabowo Enggan Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah ngotot menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen mulai 1 Januari 2025. Padahal, gelombang penolakan kenaikan PPN terus menggema.

    Petisi berisi penolakan kenaikan PPN menjadi 12 persen bahkan menembus 171 ribu tanda tangan per Senin (23/12) pagi pukul 07.40 WIB.

    Pembuat petisi menganggap PPN 12 persen menyulitkan rakyat. Dia mengingatkan daya beli masyarakat sedang buruk.

    “Rencana menaikkan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik. Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik,” tulis Bareng Warga, inisiator petisi tersebut.

    Kenaikan PPN tak heran membuat masyarakat marah. Pasalnya, harga barang dan jasa yang selama ini dikonsumsi sehari-hari akan ikut terkerek.

    Awalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim kebijakan kenaikan PPN ini bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.

    Sejumlah barang mewah yang ia maksud di antaranya beras premium; buah-buahan premium; daging premium (wagyu, daging kobe); ikan mahal (salmon premium, tuna premium); udang dan crustacea premium (king crab); jasa pendidikan premium; jasa pelayanan kesehatan medis premium; dan listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA.

    Namun, kenyataannya PPN 12 persen tak hanya menyasar barang-barang mewah. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif PPN 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen.

    Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat mulai dari sabun mandi, pulsa, hingga langganan video streaming seperti Netflix.

    Lantas apa yang membuat pemerintah seolah menutup telinga terhadap protes kenaikan PPN 12 persen?

    Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan peluang kenaikan PPN ditunda atau dibatalkan sebenarnya terbuka. Pasalnya, dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 Ayat (3) pada Bab IV disebutkan tarif PPN bisa diubah dalam rentang 5 hingga 15 persen.

    Namun, langkah ini akan memakan waktu lama karena perlu kesepakatan antara pemerintah dan DPR.

    Media mengatakan sebenarnya ada jalan pintas untuk membatalkan kenaikan PPN yakni dengan Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengubah kebijakan kenaikan PPN 12 persen pada 2025.

    Namun sayangnya, Prabowo tak mengambil langkah itu hingga saat ini.

    “Akan jadi heroik sekali Pak Prabowo kalau menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan tarif PPN 12 persen karena memang membebani masyarakat menengah ke bawah. Jadi akan dianggap sebagai presiden yang baik di mata masyarakat,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (23/12).

    Media menilai pemerintah tak kunjung membatalkan kenaikan PPN lantaran sudah kebakaran jenggot saat ini. Menurutnya, perencanaan kebijakan PPN 12 persen sudah salah sejak awal karena tidak diputuskan dengan matang.

    Hal itu setidaknya terlihat dari pernyataan pemerintah yang berubah-ubah di mana yang awalnya mereka menyebut PPN 12 persen hanya untuk barang mewah. Namun, kemudian pemerintah menjelaskan PPN 12 persen berlaku untuk semua barang dan jasa yang dikenakan PPN 11 persen selama ini.

    Selain itu, pemerintah katanya sepertinya tidak mengira bahwa kritik masyarakat akan sangat tajam terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    “Jadi sekarang (pemerintah) udah kayak kebakaran jenggot. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sekarang diminta sebagai garda depan untuk berbicara kepada publik. Jadi seakan-akan ya sudah ini tanggung jawab Kemenkeu. Padahal Kemenkeu juga sudah bingung karena ini adalah kesepakatan antara pemerintah dan DPR,” katanya.

    “Jadi pemerintah khususnya Prabowo takut malu seandainya membatalkan kenaikan PPN, sehingga mereka enggan membatalkan sekarang. Jadi udah heboh di publik, sekarang kalau ditarik lagi kebijakannya seakan menjilat ludah sendiri,” katanya.

    Sementara, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan alasan pasti pemerintah tetap menaikkan PPN ke 12 persen bukan lah hanya demi menjalankan UU HPP seperti yang selama ini disampaikan Airlangga cs. Pasalnya beleid itu memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan tarif PPN.

    Menurutnya, alasan paling utama PPN tetap dinaikkan adalah karena pemerintah butuh uang untuk pembiayaan program andalan Prabowo-Gibran.

    “Mereka butuh uang banyak, yang mereka ambil dari masyarakat dalam bentuk pajak. PPN merupakan instrumen termudah dan mengikat bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Porsi PPN juga relatif besar, daripada effort lebih untuk ekstensifikasi pajak melalui pencarian objek pajak baru atau pematuhan subjek pajak,” katanya.

    Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat pemerintah kekeh menaikkan PPN menjadi 12 persen lantaran pemerintah butuh uang untuk program baru yang siap dieksekusi di tahun depan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Di saat yang bersamaan, pemerintahan Prabowo juga butuh uang untuk melanjutkan beberapa program yang sudah diinisiasi oleh pemerintahan Jokowi seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

    Alasan lainnya adalah pemerintah akan dihadapkan pada kondisi utang jatuh tempo dalam lima tahun ke depan. Makan mau tak mau, pemerintah harus mencari cara untuk mencari tambahan sumber pendanaan.

    [Gambas:Photo CNN]

    “Terkait dengan sumber pendanaan sebenarnya pemerintah bisa mencari melalui pos lain seperti misalnya pajak windfall dan batubara, yang secara spesifik bisa dijalankan ketika sebuah komoditas dalam hal ini misalnya batubara tengah mengalami kenaikan harga di sebabkan oleh beberapa faktor,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, pemerintah juga masih bisa menjalankan pajak karbon yang sebenarnya ketentuannya sudah diatur bersamaan dengan UU HPP.

    Yusuf pun mengaku bingung kenapa pemerintah begitu percaya diri mengerek tarif PPN di tengah kondisi ekonomi saat ini. Pasalnya, saat ini sudah terlihat jelas jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat tertekan. Kondisi itu sudah menjadi indikasi yang jelas bahwa kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja.

    Namun, sayangnya pemerintah hanya melihat ekonomi yang tumbuh di kisaran 5 persen, tanpa melihat masalah yang sebenarnya terjadi di dalamnya.

    “Pandangan inilah yang saya kira menjadikan pemerintah tetap menaikkan tarif PPN karena menganggap pertumbuhan ekonomi yang terjadi merupakan indikator satu-satunya yang menggambarkan kondisi perekonomian saat ini. Padahal pemerintah seharusnya melihat lebih jauh terkait kondisi perekonomian kita saat ini terutama ketika mempertimbangkan akan menjalankan kebijakan tarif baru PPN ini,” katanya.

  • Menyibak Alasan Prabowo Enggan Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

    Bagaimana Cara Menghitung PPN 12 Persen saat Belanja?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah memastikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

    Tarif PPN 12 persen tidak hanya berlaku untuk barang mewah seperti yang sebelumnya disampaikan pemerintah.

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen.

    Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat mulai dari sabun mandi, makanan siap saji di restoran, pulsa telepon, tiket konser, hingga layanan video streaming seperti Netflix.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti dalam rilis resminya Minggu (22/12) menegaskan bahwa hanya ada 3 barang pokok yang tak terdampak kenaikan tarif PPN mulai 1 Januari 2025 yakni minyak goreng curah pemerintah dengan merek Minyakita, tepung terigu, serta gula industri. Ketiganya tetap dengan tarif lama 11 persen.

    “Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1 persen akan ditanggung oleh pemerintah (DTP). Sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut,” ujarnya.

    Lantas bagaimana cara menghitung harga barang dan jasa yang dikenakan PPN 12 persen?

    DJP menjelaskan rumus untuk menghitung PPN adalah Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dikali tarif PPN. Adapun DPP adalah harga barang atau jasa yang diserahkan penjual kepada konsumen.

    Misalnya, Anda ingin membeli barang seharga Rp5 juta dan tarif PPN yang berlaku sebesar 11 persen, maka PPN yang harus dibayar adalah Rp550 ribu. Angka itu didapat dari 11 persen dikali Rp5 juta.

    Dengan demikian, total harga yang harus dibayarkan konsumen menjadi Rp5,550 juta.

    Jika PPN naik menjadi 12 persen, maka PPN yang perlu dibayar untuk harga barang Rp5 juta adalah sebesar Rp600 ribu. Angka itu didapat dari 12 persen dikalikan Rp5 juta sehingga total harga yang dibayar menjadi Rp5,6 juta.

    (fby/sfr)

  • Video : Dirjen Pajak Bicara Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12%

    Video : Dirjen Pajak Bicara Transaksi Uang Elektronik Kena PPN 12%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktur penyuluhan pelayanan dan hubungan masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti meluruskan soal kenaikan jasa transaksi digital hanya 1% bukan 12%. Kenaikan 1% dari 11% menjadi 12% ini berlaku mulai tanggal 1 januari 2025.

    Selengkapnya dalam program Evening Up CNBC Indonesia, Senin (23/12/2024).

  • Untung Rugi Wacana Pemangkasan Kuota Produksi Nikel

    Untung Rugi Wacana Pemangkasan Kuota Produksi Nikel

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Badan Kejuruan Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia Rizal Kasli mengungkapkan keuntungan dan kekurangan dari wacana pemerintah memangkas besar-besaran kuota produksi nikel.

    Diberitakan oleh Bloomberg, pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) disebut berencana mengurangi kuota produksi bijih nikel dari 272 juta ton menjadi 150 juta ton pada tahun depan.

    Hal ini bertujuan untuk mendongkrak harga nikel di pasaran. Diskusi mengenai besarnya potensi pemangkasan kuota sedang berlangsung di dalam pemerintahan.

    Langkah pembatasan produksi secara signifikan disebut kemungkinan akan ditentang oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Investasi karena akan berdampak pada pendapatan pajak dan juga akan berisiko berdampak buruk pada investasi di sektor nikel.

    Terkait hal ini, Rizal menilai efektivitas pembatasan produksi nikel menjadi 150 juta ton dapat dimaksudkan untuk mengendalikan pasokan dan harga bijih nikel. Menurutnya, hal itu memang dapat mendongkrak harga produk smelter dan bahan baku baterai, terutama untuk mendukung industri baterai listrik dan kendaraan listrik.

    “Ini adalah bagian dari strategi hilirisasi yang lebih besar yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada ekspor produk antara [intermediate product],” jelas Rizal kepada Bisnis, Senin (23/12/2024).

    Namun, pembatasan produksi itu berpotensi menimbulkan defisit sekitar 263 juta ton per tahun. Jika melihat data yang ada, kata Rizal, kebutuhan bijih nikel untuk smelter yang sudah beroperasi, yang sedang dibangun, dan yang dalam tahap perencanaan jauh lebih tinggi, yakni 413 juta ton.

    Sementara itu, kuota produksi bijih nikel akan dipangkas menjadi 150 juta ton pada 2025. Oleh karena itu, pemangkasan ini pun bisa mengganggu kelancaran operasional smelter, terutama yang baru dalam tahap konstruksi dan perencanaan.

    “Jika kuota ini diterapkan, perusahaan-perusahaan yang bergantung pada pasokan bijih nikel mungkin akan kesulitan memperoleh bahan baku untuk melanjutkan proyek mereka,” ucap Rizal.

    Dengan demikian, Rizal menilai sebagian besar perusahaan smelter kemungkinan akan berhenti beroperasi karena kesulitan bahan baku. Ini terutama yang tidak dapat melakukan impor bijih nikel dari negara lain seperti Filipina.

    Lebih lanjut, Rizal mengatakan, pembatasan produksi nikel bisa dianggap penting jika tujuannya adalah untuk mengelola pasokan secara lebih berkelanjutan, menghindari over produksi, dan mendongkrak harga nikel agar lebih menguntungkan bagi industri hilirisasi dalam negeri.

    Menurutnya, dengan adanya kebijakan ini, diharapkan harga nikel dapat lebih stabil dan bermanfaat untuk mendorong pengembangan industri baterai dan kendaraan listrik dalam negeri.

    Namun, pembatasan produksi juga berpotensi menimbulkan masalah bagi kelancaran pembangunan smelter baru dan operasional industri smelter yang ada.

    “Ini bisa menghambat pertumbuhan industri hilirisasi yang saat ini menjadi fokus besar pemerintah, apalagi dengan banyaknya proyek smelter yang sudah berada dalam tahap konstruksi dan perencanaan,” ucap Rizal.

    Oleh karena itu, dia berpendapat keputusan ini perlu diimbangi dengan kebijakan yang mendorong efisiensi dan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri.

    Selain itu, Rizal juga menilai pembatasan produksi nikel bisa berdampak pada kepercayaan investor,  khususnya di sektor pertambangan dan pengolahan nikel. Dia berpendapat investor cenderung mencari stabilitas dan kepastian dalam operasional bisnis mereka.

    Dengan demikian, jika kebijakan tersebut mengurangi ketersediaan bijih nikel, hal ini bisa menurunkan minat investasi.

    “Meskipun ada dorongan hilirisasi yang kuat dari pemerintah, kebijakan yang tampaknya kontraproduktif [membatasi pasokan bahan baku] dapat menciptakan ketidakpastian bagi investor yang telah menanamkan modal dalam smelter atau proyek-proyek terkait,” jelas Rizal.

    Tak hanya itu, Rizal juga menilai pembatasan produksi nikel dapat berdampak pada penerimaan negara dan ekonomi. Dia menjelaskan bahwa Indonesia sudah menjadi pemain besar dalam pasar nikel global.

    Adapun produksi bijih nikel yang tinggi memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara, terutama melalui pajak dan ekspor.

    “Pembatasan produksi bijih nikel dapat menyebabkan penurunan ekspor dan pengurangan pendapatan negara dalam jangka pendek,” tutur Rizal.

    Sebaliknya, kata Rizal, jika pembatasan produksi mengarah pada pengembangan industri hilirisasi yang lebih maju, Indonesia bisa memperoleh keuntungan dalam bentuk nilai tambah yang lebih tinggi, terutama dari industri baterai dan kendaraan listrik.

    “Namun, untuk mencapai itu, kebijakan tersebut harus diimbangi dengan dukungan terhadap smelter yang ada dan proyek baru yang sedang berjalan, serta memastikan adanya pasokan nikel yang cukup untuk mendukung sektor hilirisasi,” papar Rizal.

  • DJP Pastikan PPN 12 Persen Atas Transaksi QRIS Tak Ditanggung Konsumen

    DJP Pastikan PPN 12 Persen Atas Transaksi QRIS Tak Ditanggung Konsumen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen atas transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) tidak akan dibebankan kepada konsumen.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan PPN akan dikenakan pada Merchant Discount Rate (MDR) yakni biaya jasa yang dikenakan ke merchant atau penjual kepada Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) atau provider.

    “Jadi sebenarnya yang menjadi dasar untuk dilakukannya pembayaran QRIS itu adalah MDR. Jadi sebenarnya provider itu menyediakan aplikasi ini, kemudian nanti ada mekanisme antara provider dan merchantnya, nanti merchantnya yang bayar PPN berapa jasanya. Bisa jadi 0,1 atau 0,2 (persen) dari transaksi. Dan itu sebenarnya merchantnya yang bertanggung jawab dengan provider,” katanya dalam konferensi pers, Senin (23/12).

    Karena PPN atas transaksi QRIS tidak dibebankan kepada konsumen, sambung Dwi, nominal pembayaran menggunakan QRIS ataupun secara fisik akan sama.

    Namun, PPN akan tetap dibebankan kepada masyarakat jika membeli barang yang tergolong kena PPN, terlepas pembayarannya dilakukan menggunakan QRIS atau secara fisik.

    Misalnya Anda membeli TV seharga Rp 5 juta, maka akan dikenakan PPN sebesar Rp550 ribu. Pasalnya, barang elektronik tidak termasuk jenis barang bebas PPN.

    Dengan demikian, total harga yang dibayarkan sebesar Rp5.550.000 baik membayar dengan QRIS maupun fisik.

    “Kita mau bayar pakai QRIS, maupun pakai cash ya sama bayarnya Rp5.550.000,” kata Dwi.

    Dalam kesempatan sama, Dwi juga menjelaskan soal transaksi uang elektronik dan dompet digital yang dikenakan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025. PPN katanya dikenakan atas biaya administrasi dalam transaksi elektronik dan dompet digital.

    Misalnya, A melakukan top-up e-money atau e-wallet sebesar Rp1 juta dengan biaya admin Rp1.500. Maka PPN yang dikenakan sebesar Rp180 yang didapat dari 12 persen dikali Rp1.500.

    “Jadi yang dikenakan PPN itu yang Rp1.500 atas jasanya. Jadi Rp1.500 itu disebutnya biaya admin. Itu dalam istilah pajak namanya jasa,” katanya.

    Ia mengatakan biasanya biaya admin yang selama ini dikenakan sebesar Rp1.500 sudah termasuk PPN. Namun masyarakat cenderung tidak menyadari hal tersebut.

    “Mungkin selama ini kenapa kalau isi e-wallet atau e-money tetap aja biayanya Rp1.500, tidak ada keterangan PPN. Nah bisa jadi biaya jasanya itu dari providernya sudah memperhitungkan PPN-nya di situ makanya biayanya tetap Rp1.500,” katanya.

    Dengan PPN yang sudah masuk dalam biaya admin, maka nominal top-up dengan yang diterima akan sama. Misalnya seperti A yang top-up Rp1 juta maka tetap akan menerima saldo Rp1 juta.

    Dwi pun menjelaskan ketika bertransaksi menggunakan e-wallet tidak dikenakan PPN, termasuk saat membayar jalan tol. Ia menegaskan yang dikenakan PPN hanya saat top-up yang sudah masuk dalam biaya admin.

    “Ya setiap ngisi ya Rp1.500 (biaya admin dan PPN), tapi sekali itu saja. Ketika saya tap tol kan enggak kena (PPN). Enggak ada PPN di situ,” katanya.

    Ketika ditanya kemungkinan biaya admin yang saat ini Rp1.500 naik ketika PPN naik ke 12 persen, Dwi mengatakan hal itu bukan ranah pemerintah.

    “Kalau itu yang tarif Rp1.500 kan di luar kewenangan kami. Itu kan provider,” katanya.

    (fby/sfr)

  • Sadar Daya Beli Rakyat Turun, Prabowo Ingin PPN 12% Hanya Barang Mewah

    Sadar Daya Beli Rakyat Turun, Prabowo Ingin PPN 12% Hanya Barang Mewah

    Jakarta, CNBC Indonesia-Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyesali arahan Presiden Prabowo Subianto terkait kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berbeda dengan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

    Ketua Komisi XI Misbakhun menjelaskan, dalam pertemuan Presiden dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), PPN 12% hanya dikenakan pada kelompok barang mewah. Kala itu Presiden hanya menyebut jenis mobil, rumah dan tas mewah.

    “Presiden sangat tahu secara mendalam kondisi masyarakat seperti apa. Presiden tau apa yang menjadi getaran hati rakyat, maka beliau mengambil keputusan yang moderat,” ungkapnya saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Senin (23/12/2024)

    Penurunan daya beli masyarakat, kata Misbakhun sangat jelas terjadi dalam beberapa waktu terakhir. Terlihat dari jumlah simpanan, indeks keyakinan konsumen dan konsumsi rumah tangga yang terus menurun.

    Daya beli tidak bisa dilihat dari penerimaan PPh pasal 21. Penerimaan tersebut mencakup gaji pegawai negeri sipil, badan usaha milik negara serta pekerja kelas menengah atas lainnya.

    “Dalam situasi seperti ini pundak negara yang mampu menanggung situasi yang berat maka negara yang ambil alih, penderitaan rakyat jangan hanya penderitaan rakyat,” tegasnya.

    Menurut Misbakhun, Kementerian Keuangan masih ada waktu sebelum 1 Januari 2025 untuk kembali pada arahan Presiden.

    “Mudah-mudahan nanti ada hal yang sifatnya formal pemerintahan dan ada sebuah keputusan Perintah Presiden itu dijalankan,” ujar Misbakhun.

    (mij/mij)

  • Transaksi QRIS Kena PPN 12%, Harga Barang Naik? – Page 3

    Transaksi QRIS Kena PPN 12%, Harga Barang Naik? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menegaskan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen mulai Januari 2025. Kenaikan tarif PPN ini akan berlaku juga untuk transaksi yang menggunakan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS).

    Namun, PPN 12% yang diberlakukan untuk biaya transaksi ini akan dibebankan kepada merchant atau penjual, bukan langsung kepada konsumen yang melakukan pembayaran melalui QRIS.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa meskipun transaksi menggunakan QRIS akan dikenakan PPN, dasar pengenaan pajaknya mengacu pada Merchant Discount Rate (MDR).

    Sebagai informasi, MDR adalah biaya yang dipungut oleh penyelenggara jasa pembayaran kepada merchant atau pemilik toko. Dengan demikian, merchant yang menggunakan layanan QRIS akan bertanggung jawab untuk membayar PPN yang terutang, bukan konsumen.

    “Jadi, sebenarnya yang menjadi dasar untuk dilakukannya pembayaran QRIS termasuk keuangan itu MDR, sebenarnya provider itu menyediakan aplikasi ini, kemudian nanti ada mekanisme antara provider dan merchant-nya. Nanti merchant-nya yang bayar PPN berapa jasanya? Bisa jadi 0,1 atau 0,2 dari transaksi dan itu sebenarnya merchant-nya yang bertanggung jawab dengan provider. Kita bayar ya sama-sama aja,” kata Dwi dalam Media Briefing tentang PPN atas Jasa Layanan Transaksi Uang Elektronik dan Digital, di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Senin (23/12/2024).

    Perempuan yang akrab disapa Ewie ini menjelaskan, bahwa transaksi menggunakan QRIS maupun tunai, pada dasarnya memiliki prinsip yang sama, yaitu tidak ada perbedaan harga yang signifikan.

    Misalnya, ketika Anda membeli air mineral seharga Rp 6.000 di Gelora Bung Karno (GBK) dan pembayarannya menggunakan QRIS. Harganya akan tetap sama meskipun membayarnya secara tunai. Harganya juga tetap sama Rp 6.000.

    Untuk contoh lainnya, ketika Anda membeli barang dengan harga Rp 5.000.000 di toko elektronik menggunakan QRIS, PPN 11 persen yang dikenakan adalah atas jasa transaksi, bukan harga barang itu sendiri. Artinya, baik Anda membayar dengan QRIS atau tunai, harga yang dibayar tetap sama, yaitu Rp 5.550.000 (harga barang ditambah PPN). Begitupun untuk tahun 2025 nanti dimana PPN menjadi 12 persen.

    Kendati demikian, DJP tidak dapat memberikan jaminan bahwa harga barang yang dijual oleh merchant tidak akan naik setelah tarif PPN 12 persen diberlakukan pada Januari 2025. Kenaikan harga, jika terjadi, sepenuhnya tergantung pada keputusan merchant masing-masing.

    “Apa ada jaminan (harga barang tak naik)? Ya nggak bisa jamin,” pungkasnya.