Kementrian Lembaga: Kementerian Keuangan

  • Respons Asosiasi Pengusaha Lintas Sektoral Soal PPN 12% Barang Mewah

    Respons Asosiasi Pengusaha Lintas Sektoral Soal PPN 12% Barang Mewah

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi pengusaha lintas sektor mengapresiasi pemerintah atas penetapan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanya berlaku untuk barang-barang super mewah.

    Adapun sejumlah asosiasi itu yakni Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), dan Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo).

    Lalu, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), serta Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

    Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri Apindo Handaka Santosa menilai keputusan pemerintah itu langkah bijaksana yang menjaga daya beli masyarakat secara umum.

    Menurutnya, kenaikan PPN menjadi 12% khusus barang mewah dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga kelas menengah bawah dan sekaligus memberikan kepastian serta keadilan bagi sektor usaha.

    “Kebijakan yang terukur ini tidak hanya mendorong daya beli masyarakat, tetapi juga mendukung pertumbuhan industri di tengah tantangan ekonomi global,” ujar Handaka melalui keterangan resmi dikutip Minggu (5/1/2025).

    Selain itu, kata dia, masa transisi selama tiga bulan yang diberikan pemerintah dinilai sebagai langkah bijak untuk memberikan waktu bagi dunia usaha mempersiapkan penerapan kebijakan ini secara maksimal.

    Handaka juga menyebut sosialisasi teknis yang akan dilakukan pemerintah bersama asosiasi sektoral juga diharapkan dapat memastikan implementasi kebijakan berjalan lancar.

    Dia menambahkan bahwa Apindo bersama asosiasi sektoral lainnya berkomitmen mendukung pelaksanaan kebijakan ini.

    Menurutnya, para pengusaha juga percaya bahwa dialog yang erat antara pemerintah dan dunia usaha akan menciptakan iklim usaha yang kondusif, memperkuat daya saing industri, serta mendorong pemulihan ekonomi nasional.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan tarif PPN 12% hanya akan dikenai untuk barang mewah yang selama ini diatur dalam peraturan perundang-undangan.

    “Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya dan sudah berkoordinasi dengan DPR bahwa hari ini memutuskan kenaikan PPN dari 11% ke 12% hanya dikenakan kepada barang dan jasa mewah,” kata Prabowo di Kantor Kementerian Keuangan, Selasa (31/12/2024) sore.

  • Ramai soal PPN 12 Persen, Apa Dampaknya ke Penerimaan Negara? – Page 3

    Ramai soal PPN 12 Persen, Apa Dampaknya ke Penerimaan Negara? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Pemerintah resmi menetapkan kenaikan PPN darı 11 persen menjadi 12 persen dikenakan khusus terhadap barang dan jasa mewah. Sebelumnya direncanakan kenaikan PPN menjadi 12 persen juga terjadi pada beberapa barang lain, tetapi pemerintah kembali menetapkan untuk barang dan jasa mewah.

    Terkait ini, Senior Fellow Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta mengatakan pembatalan penerapan PPN 12 persen secara umum patut diapresiasi di tengah rendahnya daya beli masyarakat, massive layoff di industri padat karya dan deflasi. 

    “Memang, negara yang memiliki target pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada umumnya justru melakukan ekspansi fiskal dengan memotong pajak, alih-alih meningkatkannya,” kata Krisna dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (5/1/2025).

    Krisna menambahkan peningkatan tarif PPN, atau lebih luasnya permasalahan di penerimaan negara, telah menjadi isu lama. Sejak 2019, Kementerian Keuangan memiliki  fokus pada kondisi fiskal, baik di sisi penerimaan maupun pembiayaan. 

    Menurut press release World Bank, rencana perbaikan dari sisi penerimaan ini, diantaranya adalah, rasionalisasi keringanan pajak, mendorong pajak karbon, dan meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

    “Bahkan kenaikan tarif PPN sebenarnya sudah diinisiasi pada April 2022, di mana ketika itu tarif PPN naik dari 10 persen ke 11 persen,” ujarnya.

    Dampaknya pada Penerimaan Negara

    Krisna menjelaskan meskipun nilai PPN selama ini ada di angka 10 persen dari nilai tambah, namun penerimaan melalui PPN dan Pajak Pertambahan nilai untuk Barang Mewah (PPnBM) selalu berada di sekitar 3,5 persen PDB nominal. 

    Adapun pada 2022 dan 2023 adalah 3,51 persen dan 3,55 persen, masih dalam jangkauan 1 simpangan baku. Krisna melanjutkan, hal ini menunjukkan peningkatan PPN 11% pada 2022 belum berhasil mendorong penerimaan. 

    “Memang kenaikan tarif pajak secara teori berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, meskipun tarifnya naik, nilai penerimaan belum tentu ikut naik jika aktivitas ekonomi menurun,” ujarnya.

     

  • Atraksi Akali ‘Amanat Tunggal’ PPN 12%

    Atraksi Akali ‘Amanat Tunggal’ PPN 12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah resmi membedakan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN untuk barang mewah dan non-mewah melalui PMK 131/2024. Kendati demikian, atraksi mengakali pengenaan PPN 12% untuk semua barang/jasa itu mendapatkan kritik dari sejumlah pihak.

    Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2024, tarif PPN 12% tetap berlaku untuk semua barang/jasa. Hanya saja, dasar pengenaan pajak (DPP) dibedakan menjadi dua yaitu untuk barang mewah dan barang non-mewah.

    Pertama, pengenaan PPN untuk barang mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa harga jual/nilai impor sebesar 12/12. Kedua, pengenaan PPN untuk barang/jasa lain atau yang bukan tergolong mewah dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% dengan DPP berupa nilai lain (harga jual/nilai impor/nilai pengganti) sebesar 11/12.

    Dengan nilai DPP yang dibedakan menjadi dua itu, skema penghitungan PPN menjadi seperti berikut:

    12% x DPP = 12% x (12/12 x nilai transaksi)
    12% x DPP = 12% x (11/12 x nilai transaksi).

    Jika diasumsikan nilai transaksi barang/jasanya sebesar Rp1.000.000 maka perhitungan PPN-nya menjadi seperti berikut:

    12% x DPP = 12% x (12/12 x Rp1.000.000) = Rp120.000
    12% x DPP = 12% x (11/12 x Rp1.000.000) = Rp110.000.

    Perhitungan butir a berlaku untuk barang yang tergolong mewah. Sementara itu, perhitungan butir b berlaku untuk barang/jasa lain atau yang tidak tergolong mewah.

    Pada akhirnya barang non-mewah terkena besaran pajak 11% karena pengaturan DPP tersebut. Namun, sebenarnya tarif PPN yang berlaku adalah 12%.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membedakan dua DPP itu agar tarif PPN di Indonesia tetap tunggal yaitu 12% sesuai amanat Undang-Undang No. 42/2009 (UU PPN).

    Memang dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) UU PPN, disebutkan pemerintah mempunyai wewenang mengubah tarif PPN tetapi dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

    Hanya saja, sesuai PMK No. 131/2024, dalam praktiknya kini ada pembedaan untuk barang mewah dan non-mewah (multitarif) seperti arahan Presiden Prabowo Subianto.

    “UU PPN tetap menggunakan skema tarif tunggal, bukan multitarif. Akan tetapi, DPP-nya dibedakan menjadi dua,” jelas Prianto kepada Bisnis, Rabu (1/1/2025).

    Tuai Kritik

    Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun merasa pembedaan dua DPP dalam PMK No. 131/2024 itu sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya.

    Padahal, menurutnya, Prabowo sudah memberikan arahan yang jelas bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% hanya untuk barang mewah yang selama ini menjadi objek pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sementara itu, barang/jasa lainnya tetap dikenai PPN 11%.

    Dengan kata lain, Misbhakun menekankan seharus PPN diterapkan multitarif—bukan malah dipersulit dengan perhitungan dua DPP.

    “PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11% yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain,” ujar Misbakhun dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).

    Apalagi, sambungnya, persiapan dan pembuatan keputusan sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN. PMK 131/2024 diundangkan pada 31 Desember 2024, sedangkan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% berlaku pada 1 Januari 2025.

    Oleh sebab itu, politisi Partai Golkar itu menilai seharusnya Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya.

    Misbakhun pun menekankan tidak seharusnya Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah Prabowo sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat. Bahkan, dia mendorong Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Suryo Utomo mengundurkan diri.

    “Karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas,” katanya.

    Senada, Pakar Hukum Administrasi dan Keuangan Negara Beni Kurnia Illahi menyebutkan ada sejumlah kejanggalan dalam PMK 131/2024.

    Pertama, beleid tersebut tidak memasukkan Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam pertimbangannya. Padahal, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% diatur dalam UU HPP.

    “Hal ini jelas penganuliran secara terang-terangan, atau pemerintah sengaja selain tidak diatur secara teknis di PMK, aturan di UU HPP tetap berlaku untuk ke semua kategori barang/jasa,” ujar Beni kepada Bisnis, Rabu (1/1/2025).

    Kedua, PMK merupakan aturan teknis yang kedudukannya jauh di bawah UU. Oleh sebab itu, seharusnya PMK tidak bisa menganulir aturan dalam UU HPP yang menyatakan tarif PPN 12% berlaku secara umum.

    Jika ditoleransi, maka pengajar di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu itu khawatir ke depan tarif PPN 12% akan dikenakan untuk semua barang/jasa secara perlahan-lahan.

    “Ketika kebijakan PMK ini efektif untuk penerimaan negara maka kemungkinan aturan tersebut akan dilanjutkan, tetapi ketika objek tarif pajak tersebut tidak berjalan efektif bagi penerimaan negara maka pemerintah akan membuat norma baru lagi di level PMK,” jelas Beni.

    Oleh sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah menerapkan tarif pajak baru lewat level UU atau setidaknya Peraturan Pemerintah (PP) yang kedudukannya jauh lebih tinggi dan mengikat daripada PMK.

  • Pelaku Usaha Ditenggat hingga Maret untuk Sesuaikan Penerbitan Faktur Pajak Terkait PPN

    Pelaku Usaha Ditenggat hingga Maret untuk Sesuaikan Penerbitan Faktur Pajak Terkait PPN

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 pada 3 Januari 2025. Regulasi ini  menjadi upaya DJP untuk menjalankan  masukan masyarakat, khususnya pelaku usaha yang menginginkan kelancaran dalam menerbitkan faktur pajak seiring perubahan ketentuan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti mengatakan, dengan adanya regulasi ini diharapkan menjadi pedoman sistem administrasi penerbitan faktur pajak dan mekanisme pengembalian PPN yang berlaku sejak 1 Januari 2025.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan, yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025,” ucap Dwi dalam keterangan resmi yang diterima, Minggu (5/1/2025).

    Tiga hal yang yang perlu diperhatikan adalah pertama, pelaku usaha diberi kesempatan menyesuaikan sistem administrasi wajib pajak dalam menerbitkan faktur pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Kedua, penyesuaian PPN yang dikenakan untuk penyerahan barang selain barang mewah, terdapat penyesuaian terkait nilai PPN yang terutang dengan perhitungan sebagai berikut:

    ·       PPN sebesar 11% yang dihitung dengan rumus 12% x 11/12 x harga jual, atau

    ·       PPN sebesar 12% yang dihitung dengan rumus 12% x 11/12 x harga jual, keduanya dianggap benar dan tidak akan dikenakan sanksi.

    Ketiga, terkait kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% yang terjadi akibat penerapan tarif 12% pada transaksi yang seharusnya menggunakan tarif 11%.

    “Pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual. Penjual sebagai PKP (pengusaha kena pajak) akan melakukan penggantian faktur pajak untuk mengakomodasi pengembalian tersebut,” tutur Dwi. 

  • Pembeli Terlanjur Kena PPN 12% Bisa Minta Kembalian, Ini Aturannya

    Pembeli Terlanjur Kena PPN 12% Bisa Minta Kembalian, Ini Aturannya

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan para pembeli barang atau jasa nonmewah yang sudah terlanjur kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% bisa minta dikembalikan. Hal ini seiring penetapan PPN 12% yang hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan kelebihan pemungutan PPN yang timbul akibat penerapan PPN 12% bisa diminta oleh pembeli kepada penjual. Atas permintaan tersebut, pengusaha kena pajak (PKP) penjual melakukan pergantian faktur pajak.

    “Dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% namun telanjur dipungut sebesar 12%, pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual. Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, PKP penjual melakukan penggantian Faktur Pajak,” kata Dwi Astuti dalam keterangan tertulis, Minggu (5/1/2025).

    Pada jauh-jauh hari pemerintah menyatakan PPN 12% tetap berlaku mulai 1 Januari 2025. Hanya saja pada 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah dan jasa mewah yang selama ini sudah menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    Untuk BKP/JKP nonmewah, tarif PPN yang berlaku tetap 12%, hanya saja DPP yang digunakan dalam menghitung PPN atas BKP/JKP tidak mewah adalah DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual atau penggantian. Dengan demikian tarif efektif PPN atas BKP/JKP tidak mewah yang ditanggung masyarakat tetap sebesar 11%.

    DJP telah menerbitkan petunjuk teknis pembuatan Faktur Pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 yang menjadi landasan bagi pemerintah untuk membatasi pemberlakuan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah dan jasa mewah. Petunjuk teknis tersebut tertuang dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025.

    Dwi Astuti menyebut aturan itu ditetapkan guna memenuhi kebutuhan pelaku usaha yang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan sistem administrasi penerbitan Faktur Pajak.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025,” kata Dwi Astuti.

    (kil/kil)

  • Pengusaha yang Terlanjur Kenakan PPN 12 Persen Diminta Kembalikan Lebih Bayar – Page 3

    Pengusaha yang Terlanjur Kenakan PPN 12 Persen Diminta Kembalikan Lebih Bayar – Page 3

    Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan aturan terkait petunjuk teknis penerbitan faktur pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti menuturkan, berdasarkan aspirasi dan masukan dari masyarakat, pemerintah menyadari terdapat kebutuhan dari pelaku usaha untuk dapat melaksanakan ketentuan sesuai diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Hal ini antara lain terkait dengan penyesuaian sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak dan cara pengembalian pajak jika PPN sebesar 12% telanjur dipungut yang seharusnya sebesar 11%.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025,” ujar Dwi dikutip dalam keterangan resmi, Sabtu (4/1/2025).

    Ia menuturkan, ketentuan itu memberikan masa transisi selama tiga bulan yakni sejak 1 Januari 2025-31 Maret 2025. Pengaturannya antara lain:

    1.Pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan faktur pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    2.Faktur pajak yang diterbitkan atas penyerahan selalin barang mewah dengan mencantumkan nilai PPN terutang sebesar:

    a.11% dikali dengan harga jual (seharusnya 12% x 11/12 x harga jual), atau

    b.12% dikali dengan harga jual (seharusnya 12% x 11/12 x harga jual), dianggap benar dan tidak dikenakan sanksi.

    Dwi mengatakan, dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% tetapi telanjur dipungut sebesar 12% diberikan pengaturan. Hal itu antara lain:

    a.Pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual.

    b.Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, PKP penjual melakukan penggantian faktur pajak.

  • Dirjen Pajak Rilis Aturan Pengembalian Lebih Bayar PPN 12 Persen

    Dirjen Pajak Rilis Aturan Pengembalian Lebih Bayar PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja merilis aturan mengenai pengembalian kelebihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025.

    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 yang ditandatangani oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo pada 3 Januari.

    Beleid ini berisi mengenai pemberian masa transisi selama tiga bulan dari 3 Januari sampai 31 Maret 2025 bagi pelaku usaha yang terlanjur dipungut PPN 12 persen dari seharusnya tetap 11 persen.

    Untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pembayaran PPN, pelaku usaha diberi kesempatan untuk menyesuaikan sistem administrasi Wajib Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam PMK 131 Tahun 2024.

    Faktur Pajak setidaknya berisi mengenai data nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dan identitas pembeli Barang Kena Pajak.

    Mengutip Bab II Pasal 4 ayat 2 Perdirjen tersebut, atas kelebihan pemungutan PPN, maka ada dua langkah yang harus dilakukan. Pertama, pembeli meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1 persen kepada penjual.

    Kedua, berdasarkan permintaan pengembalian pembeli, maka Pengusaha Kena Pajak penjual melakukan pembetulan atau penggantian Faktur Pajak atau dokumen.

    Sebelumnya, viral di media sosial beberapa pihak mengaku tetap dipungut PPM 12 persen saat berbelanja di sejumlah toko ritel per 1 Januari 2025.

    Padahal, Presiden Prabowo Subianto sudah membatalkan kenaikan pajak tersebut. Ia menegaskan tarif baru itu hanya berlaku untuk barang-barang mewah, seperti jet pribadi hingga yacht.

    Ditjen Pajak mengaku sudah bertemu para pengusaha ritel dan menerima penjelasan bahwa kenaikan PPN 12 persen itu sudah diatur dalam sistem toko, sehingga dibuat aturan Perdirjen ini.

    Dirjen Pajak Suryo Utomo mengaku sudah melakukan negosiasi dengan peritel yang telah mengubah sistem PPN menjadi 12 persen. Padahal, untuk barang yang tidak masuk kelompok mewah hanya dikenakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain sebesar 11/12 dari tarif 12 persen.

    Suryo menegaskan pihaknya tetap harus menjalankan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) soal tarif 12 persen per 1 Januari 2025.

    Di sisi lain, pemerintah memutuskan tak mengerek PPN untuk barang-barang tidak mewah, sehingga perlu penetapan DPP lain dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024.

    “Kami lagi duduk, diskusi, kira-kira tiga bulan cukup enggak sistem mereka diubah? Itu yang kami coba nanti dudukkan, kira-kira ya transisi tiga bulan lah bagi (peritel) menyesuaikan sistemnya (kembali ke PPN 11 persen),” ungkap Suryo.

    (ldy/pta)

  • DJP Terbitkan Aturan soal Masa Transisi & Lebih Bayar PPN 12%

    DJP Terbitkan Aturan soal Masa Transisi & Lebih Bayar PPN 12%

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menerbitkan petunjuk teknis pembuatan Faktur Pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Petunjuk teknis tersebut tertuang dalam bentuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan aturan tersebut ditetapkan guna memenuhi kebutuhan pelaku usaha yang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan sistem administrasi penerbitan faktur pajak dan tata cara pengembalian pajak jika PPN 12% telanjur dipungut dari yang seharusnya adalah 11%.

    “Untuk mengakomodasi kebutuhan pelaku usaha tersebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tanggal 3 Januari 2025 yang intinya memberikan masa transisi selama 3 bulan yaitu sejak 1 Januari 2025 sampai 31 Maret 2025,” kata Dwi Astuti dalam keterangan resmi, dikutip Minggu (5/1/2025).

    Sepanjang 1 Januari-31 Maret 2025, faktur pajak atas penyerahan barang kena pajak/jasa kena pajak (BKP/JKP) tidak mewah yang dibuat dengan mencantumkan dasar pengenaan pajak (DPP) berupa nilai impor, harga jual atau penggantian secara penuh, serta menggunakan tarif 12% atau 11% dianggap sebagai faktur pajak yang benar, lengkap dan jelas.

    Adapun kelebihan pemungutan PPN yang timbul akibat penerapan PPN 12% tanpa menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual atau penggantian, bisa diminta oleh pembeli kepada pengusaha kena pajak (PKP) penjual. Atas permintaan tersebut, PKP penjual melakukan pergantian faktur pajak.

    “Dalam hal terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% namun telanjur dipungut sebesar 12%, pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% kepada penjual. Atas permintaan pengembalian kelebihan PPN tersebut, PKP penjual melakukan penggantian Faktur Pajak,” jelasnya.

    Sebagai informasi, PMK Nomor 131 Tahun 2024 menjadi landasan bagi pemerintah untuk membatasi pemberlakuan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah dan jasa mewah berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang selama ini sudah menjadi objek Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

    Untuk BKP/JKP nonmewah, tarif PPN yang berlaku tetap 12%, hanya saja DPP yang digunakan dalam menghitung PPN atas BKP/JKP tidak mewah adalah DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual atau penggantian. Dengan demikian tarif efektif PPN atas BKP/JKP tidak mewah yang ditanggung masyarakat tetap sebesar 11%.

    (kil/kil)

  • Pengusaha Minta Kebijakan Cukai Hasil Tembakau Berimbang

    Pengusaha Minta Kebijakan Cukai Hasil Tembakau Berimbang

    Jakarta

    Pemerintah melakukan pengetatan pada produk hasil tembakau. Kalangan pengusaha dan akademisi telah merampungkan kajian rekomendasi kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) untuk optimalisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

    Hasil kajian tersebut menekankan pentingnya penentuan kebijakan CHT dengan mempertimbangkan keseimbangan berbagai aspek, seperti kontribusi industri hasil tembakau (IHT) terhadap perekonomian nasional dan daerah, tenaga kerja, rokok ilegal, maupun kesehatan masyarakat. Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, diharapkan tercapai kebijakan yang berimbang dan berdampak positif bagi pembangunan daerah melalui alokasi DBHCHT.

    Ketua Umum KADIN Jawa Timur Adik Dwi Putranto menyampaikan bahwa IHT adalah salah satu industri penting dengan kontribusi yang signifikan. Tidak hanya di tingkat nasional, melainkan juga bagi daerah-daerah seperti Jawa Timur.

    “Pembangunan di Jawa Timur tidak dapat dilepaskan dari IHT. Kontribusinya mencapai 33% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Di sisi lain, Jawa Timur juga merupakan kontributor utama penerimaan CHT secara nasional dengan kontribusi hingga 60%,” kata Adik dalam keterangannya, ditulis Minggu (5/1/2024).

    Adik menambahkan, Jawa Timur adalah salah satu sentra produk tembakau di Indonesia. Di samping kontribusinya terhadap penerimaan cukai nasional, pelaku industri di Jawa Timur menyerap 40% tenaga kerja langsung dari sektor IHT skala nasional.

    Dengan keterkaitan erat ini, Adik memberikan apresiasi secara khusus kepada Pemerintah, utamanya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan yang menetapkan tidak ada kenaikan tarif CHT untuk tahun 2025.

    “Kami berterima kasih kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas keputusan tidak menaikkan tarif tahun depan. Kami yakin, kebijakan ini akan mendorong optimalisasi DBHCHT yang dapat mendukung pembangunan Jawa Timur. Namun, mengingat saat ini IHT tengah mengalami berbagai tekanan, kami berpandangan bahwa kebijakan ke depannya memerlukan kajian mendalam untuk memastikan keberlangsungan industri,” ujarnya.

    Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMMIdah Zuhroh turut menegaskan pentingnya DBHCHT bagi Jawa Timur. Menurutnya, Jawa Timur secara konsisten selalu menjadi provinsi dengan alokasi DBHCHT terbesar secara nasional.

    “Akan tetapi, DBHCHT yang diterima Jawa Timur pada tahun 2024 ini mengalami penurunan drastis hingga mencapai sekitar 10%. Kami meyakini hal ini terjadi seiring dengan turunnya penerimaan CHT secara nasional pada tahun 2023 akibat kenaikan tarif yang tinggi secara berturut-turut,” kata Idah.

    Berdasarkan kesimpulan ini, ia berpandangan bahwa optimalisasi DBHCHT dapat dilakukan dengan kebijakan kenaikan tarif CHT yang tepat dan berimbang untuk memicu pertumbuhan penerimaan CHT secara nasional serta alokasi DBHCHT ke daerah. Idah melihat tidak adanya kenaikan tarif CHT untuk tahun 2025 sebagai langkah yang tepat untuk jangka pendek. Kebijakan kenaikan tarif di tahun 2026 dan dalam masa mendatang juga perlu melalui kajian yang berimbang untuk menjaga momentum pemulihan dan pertumbuhan penerimaan CHT dan DBHCT.

    “Sedangkan untuk jangka panjang tentu dibutuhkan kajian yang lebih mendalam. Universitas Muhammadiyah Malang sebagai institusi akademik siap memberikan dukungan, baik kepada Pemerintah maupun kepada KADIN Jawa Timur agar tercapai kebijakan yang berimbang bagi IHT ke depannya,” ujar Idah.

    (kil/kil)

  • Kenaikan PPN untuk Barang Mewah Tak akan Berdampak Signifikan Pada Pertumbuhan Ekonomi – Halaman all

    Kenaikan PPN untuk Barang Mewah Tak akan Berdampak Signifikan Pada Pertumbuhan Ekonomi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen untuk barang mewah tidak akan memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

    Sebab, konsumsi barang mewah hanya berkontribusi kecil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan konsumsi barang kebutuhan sehari-hari.

    Lalu, sektor-sektor terkait seperti properti premium, otomotif kelas atas, dan fesyen mewah kemungkinan tidak akan mengalami perlambatan akibat penurunan permintaan.

    Hal itu karena menurut Media, khusus untuk masyarakat desil 10 persen teratas, daya belinya masih bagus.

    “Pola konsumsi masyarakat atas relatif tidak berubah, dengan konsumen kelas atas tidak akan beralih ke barang substitusi yang lebih murah,” ujar Media kepada Tribunnews, dikutip Minggu (5/1/2025).

    Selain itu, ia mengatakan PPN 12 persen untuk barang mewah sebetulnya hanya pelengkap saja. Tidak akan ada kontribusi yang signifikan pada penerimaan negara.

    Beda dengan non barang mewah, konsumsi barang mewah tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor lain seperti inflasi dan pertumbuhan pendapatan, serta financial shock pada rumah tangga.

    “Menaikkan PPN hanya untuk barang mewah memang mencerminkan keadilan. Namun, jumlahnya tidak seberapa potensi penerimaannya dibandingkan mendorong pajak penghasilan yang lebih progresif,” ucap Media.

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun disebut tidak pernah menjadikan untuk barang mewah sebagai opsi yang diambil.

    Menurut dia, opsi tersebut sejak awal tak pernah menjadi pertimbangan kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu.

    “Semua tahu gimana proses kekacauan kebijakan PPN ini selama beberapa bulan terakhir ini,” kata Media. 

    “Opsi menaikkan hanya untuk barang mewah sebetulnya dari awal tidak pernah menjadi opsi Kemenkeu,” pungkasnya.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya dikenakan pada barang yang tergolong mewah.

    Barang mewah itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2021.

    PMK tersebut mengatur tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

    “Jadi yang 12 persen itu barang yang sangat mewah yang diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023. Itu itemnya sangat sedikit,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip Rabu (1/1/2025).

    Lantas, barang apa saja yang terkena PPN 12 persen?

    1. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp 30 miliar.

    2. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.

    3. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:
    – peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.

    4. Helikopter

    5. Pesawat udara dan kendaraan udara lainnya selain helikopter.

    6. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:
    – Senjata artileri
    – Revolver dan pistol
    – Senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.

    7. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum:
    – Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam itu terutama dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri, dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
    – Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum atau usaha pariwisata.

    Sementara itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa seluruh barang dan jasa yang selama ini terkena PPN 11 persen tidak mengalami kenaikan atau tetap 11 persen.

    “Tidak ada kenaikan PPN untuk hampir seluruh barang dan biasa yang selama ini tetap 11 persen,” papar dia.

    Dia juga merincikan bahwa ada beberapa barang dan jasa mengalami pengecualian atau PPN nya hanya 0 persen meliputi barang pokok, misalnya beras, jagung, kedelai, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi jalar.

    Kemudian gula, ternak dan hasilnya, susu segar, unggas, hasil pemotongan hewan, kacang tanah, kacang-kacangan lain, padian-padian yang lain, kemudian ikan, udang, biota lainnya, rumput laut.

    “Kemudian juga tiket kereta api, tiket bandara, angkutan orang, jasa angkutan umum, jasa angkutan sungai dan penyeberangan, penyerahan jasa paket penggunaan besar tertentu, penyerahan pengurusan paspor, jasa biro perjalanan, kemudian jasa pendidikan, pemerintah dan swasta, buku-buku pelajaran, kitab suci,” terangnya.

    Selain itu, jasa kesehatan dan layanan medis pemerintah maupun swasta, jasa keuangan, dana pensiun, jasa keuangan lain seperti pembiayaan piutang, kartu kredit, asuransi kerugian, asuransi jiwa serta reasuransi tetap mendapatkan fasilitas PPN 0 persen atau tidak membayar PPN.

    “Sedangkan seluruh barang jasa yang lain yang selama ini 11 persen, tetap 11 persen, tidak ada atau tidak terkena kenaikan 12 persen,” ungkap dia.