Kementrian Lembaga: Kementerian Keuangan

  • Skenario Optimistis BI: Ekonomi Tumbuh ‘Hanya’ 7,7% pada 2031, 8% Sulit Terealisasi?

    Skenario Optimistis BI: Ekonomi Tumbuh ‘Hanya’ 7,7% pada 2031, 8% Sulit Terealisasi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Indonesia (BI) memaparkan peta jalan ambisius pertumbuhan ekonomi nasional, yang diproyeksikan hanya mampu menembus kisaran 6,9% hingga 7,7% pada 2031 melalui skenario ‘Super Optimis’.

    Dalam dokumen Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2025, bank sentral menyusun tiga skenario pertumbuhan jangka menengah-panjang: Baseline, Optimis, dan Super Optimis. Skenario tertinggi ini mensyaratkan akselerasi investasi swasta yang masif dan reformasi struktural yang agresif.

    “Dengan bauran kebijakan transformasi ekonomi nasional tersebut, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2031 […] diperkirakan dapat meningkat menjadi 6,1%—6,9% pada skenario ‘Optimis’ dan bahkan lebih tinggi lagi menjadi 6,9%—7,7% pada skenario ‘Super Optimis’,” tulis Bank Indonesia dalam laporannya, dikutip Sabtu (29/11/2025).

    Angka tersebut jauh melampaui proyeksi skenario baseline—yang hanya mengandalkan proyek-proyek yang sudah berjalan (carry over) atau sudah groundbreaking—di mana pertumbuhan ekonomi 2031 diperkirakan hanya berada di kisaran 5,6%—6,4%.  

    Kunci Skenario Super Optimis

    Bank Indonesia menjelaskan bahwa skenario Super Optimis tidak hanya bergantung pada proyek yang sudah ada. Skenario ini memperhitungkan implementasi proyek-proyek baru yang saat ini belum berjalan atau belum groundbreaking, dengan karakteristik biaya investasi yang relatif tinggi.  

    Berbeda dengan proyek pemerintah yang mengandalkan APBN, realisasi proyek-proyek dalam skenario ini diproyeksikan akan memakan waktu pembiayaan yang lebih lama karena sangat bergantung pada sumber dana swasta, baik dari dalam maupun luar negeri. 

    Selain itu, skenario ini menuntut intensitas kebijakan reformasi struktural yang jauh lebih kuat dibandingkan skenario lainnya. Reformasi tersebut mencakup tiga aspek krusial.

    Pertama, peningkatan produktivitas melalui akselerasi infrastruktur, riset dan pengembangan (R&D), adopsi teknologi, serta efisiensi pasar.  

    Kedua, peningkatan modal alias kapital melalui perbaikan iklim investasi serta peningkatan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).  

    Ketiga, peningkatan kualitas tenaga kerja melalui akses pendidikan, partisipasi angkatan kerja, dan penciptaan lapangan kerja formal.  

    Dampak dari skenario Super Optimis ini diyakini akan meningkatkan efisiensi perekonomian secara signifikan. Hal ini tercermin dari proyeksi penurunan rasio modal terhadap output inkremental (Incremental Capital-Output Ratio/ICOR) yang paling tajam dibandingkan skenario lainnya.  

    “Dengan penurunan ICOR, perekonomian nasional menjadi lebih efisien karena untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi diperlukan nilai investasi yang lebih kecil,” jelas BI.  

    Sejalan dengan itu, produktivitas faktor total (Total Factor Productivity/TFP) juga diproyeksikan mencatatkan pertumbuhan tertinggi. Artinya, dengan tingkat modal dan tenaga kerja yang sama, Indonesia mampu menghasilkan output ekonomi yang jauh lebih besar. 

    Lebih Rendah dari Mimpi Prabowo

    Dari tiga skenario pertumbuhan ekonomi BI, tak ada satupun yang mencapai target Presiden Prabowo Subianto. Kepala negara dan pemerintah itu memimpikan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% pada 2029, seperti yang sudah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025—2029.

    Dalam RPJMN, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/menetapkan trajektori pertumbuhan ekonomi dari 2025 sampai dengan 2029. Perinciannya, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% pada 2025; 6,3% pada 2026; 7,5% pada 2027; 7,7% pada 2028; dan 8% pada 2029.

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sesuai mimpi Prabowo, seperti yang tercantum Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/202 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029. Rencana Strategis (Renstra) Kemenkeu terbaru itu menyelaraskan dengan RPJMN 2025—2029.

    Adapun Renstra Kemenkeu 2025-2029 di antaranya adalah RPJMN 2025-2029 yang mencantumkan lima sasaran pembangunan nasional: meningkatkan pendapatan per kapita menuju setara negara maju; kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat; kemiskinan menurun dan ketimpangan berkurang; daya saing sumber daya manusia meningkat; serta intensitas emisi gas rumah kaca (GRK) menurun menuju net zero emission.

    Pada 2025, pertumbuhan ekonomi ditargetkan sebesar 5,3% sebelum disasar ke 8% pada akhir pemerintahan Prabowo.

    Terdapat delapan strategi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8% di 2029 itu, yakni peningkatan produktivitas pertanian menuju swasembada pangan, industrialisasi/hilirisasi, pariwisata dan ekonomi kreatif, ekonomi biru dan ekonomi hijau, perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, transformasi digital, investasi, dan belanja negara untuk produktivitas.

  • Ruang Naikkan Tarif Pajak Nihil, Purbaya Andalkan ‘Otot’ Pengawasan dan Penindakan

    Ruang Naikkan Tarif Pajak Nihil, Purbaya Andalkan ‘Otot’ Pengawasan dan Penindakan

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengandalkan peningkatan kepatuhan wajib pajak (WP) hingga penegakan hukum dalam mengejar target penerimaan Rp2.357,7 triliun pada 2026. Hal ini menjadi opsi yang diambil di tengah terbatasnya ruang untuk menetapkan pajak baru maupun menaikkan tarif. 

    Arahan untuk tidak memungut pajak baru sejalan dengan keinginan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Apalagi, dia kerap menyampaikan bahwa perekonomian 2025 setidaknya sampai dengan September ‘sengaja atau tidak sengaja diperlambat’. 

    Konsekuensinya, otoritas fiskal kini fokus untuk mendorong geliat pertumbuhan ekonomi masyarakat sebelum bisa menetapkan pajak baru atau meningkatkan tarif. 

    Direktur Eksekutif MUC Tax Research Consulting Wahyu Nuryanto menilai keputusan Kemenkeu melalui Direktorat Jenderal Pajak untuk tidak menaikkan tarif merupakan hal yang tepat. Menurutnya, kenaikan tarif bisa menimbulkan dampak lanjutan yang mungkin sulit untuk dikendalikan. 

    Dalam catatan Bisnis, belakangan ini publik menolak keras rencana penaikan tarif pajak. Misalnya, penaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% akhir 2024 lalu, serta penaikan pajak bumi bangunan perkotaan dan pedesaan (PBB-P2) oleh Bupati Pati. 

    “Jadi, yang paling ideal adalah dengan memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak,” terang Wahyu kepada Bisnis, Jumat (28/11/2025). 

    Wahyu menyebut peningkatan kepatuhan bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, penegakan hukum (enforcement) kepada WP yang tidak patuh atau lalai menjalankan kewajiban pajaknya. Penegakan hukum diharapkan bisa menekan ketidakpatuhan. 

    Kedua, pendekatan cooperative compliance, yaitu kepatuhan berbasis kerja sama dan saling percaya (trust) antara WP dan otoritas pajak. Pelaksanaan pendekatan ini, terang Wahyu, bisa melalui adanya Tax Control Framework (TCF). 

    Dia menjelaskan bahwa TCF adalah sebuah sistem pengendalian intern khusus untuk memastikan kepatuhan pajak. TCF diterapkan oleh WP berdasarkan persetujuan dengan otoritas pajak.  

    Menurutnya, Ditjen Pajak sedang menyusun peraturan terkait dengan cooperative compliance yang akan diterapkan utamanya untuk Wajib pajak besar dan juga wajib pajak yang sukarela untuk menerapkan. 

    “Dengan adanya trust antara wajib pajak dan otoritas pajak, maka kepatuhan akan meningkat dan harapannya penerimaan pajak juga meningkat,” ujarnya.

    Di sisi lain, lanjut Wahyu, Ditjen Pajak dinilai bisa melanjutkan perbaikan sistem administrasi perpajakan, Coretax, agar tidak ada masalah lagi. 

    Dirjen Pajak Bimo Wijayanto serta jajarannya juga dinilai bisa memperluas basis pajak dengan memaksimalkan potensi dari sektor-sektor yang selama ini masih belum optimal.

    “Misalnya digital economy, termasuk mengimplementasikan pemungutan PPh pelaku e-commerce,” pungkasnya.

  • Menilik Kesiapan Anggaran Tanggap Bencana Prabowo, Seberapa Besar?

    Menilik Kesiapan Anggaran Tanggap Bencana Prabowo, Seberapa Besar?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah pusat baru saja mengirimkan bantuan dalam jumlah besar untuk penanganan bencana alam di Aceh, Sumatera Utara sampai dengan Sumatera Barat.

    Bencana alam yang dipengaruhi oleh siklon tropis senyar itu memicu banjir dan tanah longsor di tiga provinsi tersebut. 

    Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno menyebut Presiden Prabowo Subianto telah menginstruksikan upaya tanggap darurat dengan mengirimkan bantuan logistik, berupa tenda pengungsian, makanan serta kebutuhan sehari-hari. 

    “Jadi yang dikirim hari ini atas perintah Bapak Presiden adalah kebutuhan yang sangat mendesak, misalnya tadi disampaikan oleh Pak Seskab [Sekretaris Kabinet], alat komunikasi, perahu karet, kemudian genset listrik. Itu hal-hal yang juga sangat diperlukan untuk supaya pekerjaan-pekerjaan tanggap darurat ini semakin efisien,” terangnya kepada wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (28/11/2025).

    Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) juga bergerak ke beberapa titik lokasi yang terdampak longsor untuk perbaikan jalan. 

    Di sisi lain, Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya memerinci lebih lanjut beberapa bantuan yang dikirim pagi ini dari Halim Perdanakusuma. Contohnya, sesuai kebutuhan pemerintah mengirimkan 150 tenda, 64 perahu karet, genset serta 100 alat komunikasi guna memperbaiki sinyal yang terdampak. 

    Selanjutnya, pemerintah turut mengirimkan bahan makanan siap saji, obat-obatan, serta tim medis dari TNI maupun Kementerian Kesehatan. Teddy menyampaikan bahwa pengiriman bantuan ini bukan pertama kalinya yang diinstruksikan oleh Presiden. Dia mengeklaim Kepala Negara sudah memerintahkan penanggulangan bencana sejak 25 November 2025. 

    “Jadi ini bukan yang pertama. Sejak hari pertama, tanggal 25 November, Bapak Presiden sudah langsung menginstruksikan kepada Bapak Menko PMK untuk mengoordinir secara langsung terkait penanganan bencana,” terang Teddy.

    Berapa Kesiapan Anggaran Pemerintah? 

    Adapun anggaran terkait dengan kebencanaan yang disiapkan di dalam APBN tersebar di anggaran kementerian/lembaga (K/L), non-K/L, maupun dana-dana lainnya termasuk dana penanggulangan bencana alam. 

    Apabila berdasarkan belanja K/L, instansi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dikutip dari Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2026, anggaran BNPB sejak 2021-2025 menurun. 

    Pada 2021, saat masih terjadi pandemi, BNPB memiliki anggaran berdasarkan LKPP 2021 sebesar Rp7,1 triliun. Hal ini disebabkan oleh BNPB yang leading dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Mulai 2022, anggarannya turun drastis ke Rp5 triliun, kemudian naik lagi ke Rp5,4 triliun pada 2023. 

    Pada 2024, anggaran BNPB turun semakin drastis ke Rp4,9 triliun. Outlook APBN 2025 anggaran BNPB yakni Rp2 triliun, dan pada 2026 dianggarkan hanya Rp491 triliun. 

    Namun demikian, anggaran penanggulangan bencana oleh BNPB juga masuk ke dalam anggaran perlindungan sosial (perlinsos). Pada 2025, outlook anggaran perlinsos yakni Rp465,1 triliun, dan dianggarkan Rp508,2 triliun pada APBN 2026. 

    Selain anggaran yang disiapkan tahunan dalam APBN, pemerintah turut menyiapkan alokasi dana cadangan penanggulangan bencana. Rata-rata realisasi dana cadangan tersebut dalam periode 2014-2024 sekitar Rp4,2 triliun per tahun.  

    Penyediaan dana cadangan penanggulangan bencana dialokasikan pada Kementerian Keuangan (BA BUN), serta dapat digunakan saat kejadian tanggap darurat atau on-call. Alokasi dana itu juga bisa digunakan pada tahap rehabilitasi serta konstruksi melalui pemberian hibah dari pusat ke daerah. 

    Selama 2021-2025, dana cadangan penanggulangan bencana alam dialokasikan Rp5 triliun. Realisasinya fluktuatif, dengan tingkat realisasi tertinggi pada 2024 yaitu 106,6% atau Rp5,33 triliun. Kemudian, outlook sampai dengan Juni 2025 yaitu Rp950 miliar. 

    Di sisi lain, pemerintah turut menyiapkan pooling fund bencana dan pinjaman kontinjensi dalam rangka pendanaan penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.28/2025. 

    Adapun alokasi anggaran kebencanaan ini masih kecil apabila dibandingkan dengan keseluruhan program prioritas pemerintah 2025. Pagu tahun ini disiapkan yakni Rp929 triliun, dengan realisasi sampai dengan akhir Oktober 2025 yaitu Rp611,7 triliun. 

    Pagu terbesar yakni untuk subsidi atau kompensasi energi sebesar Rp394,3 triliun, subsidi nonenergi (pupuk hingga KUR) Rp104,5 triliun serta Makan Bergizi Gratis (MBG) senilai Rp71 triliun. Tahun depan, khususnya MBG yang merupakan prioritas pemerintahan Prabowo mencapai melonjak ke Rp335 triliun. 

    Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu menyampaikan bahwa anggaran Rp335 triliun terbagi ke fungsi anggaran pendidikan sampai dengan fungsi ekonomi. 

    “Ini menjadi bagian dari anggaran pendidikannya Rp223,6 triliun, dari anggaran kesehatan Rp24,7 triliun, dan termasuk yang di dalam fungsi ekonomi adalah Rp19,7 triliun,” terang Direktur Anggaran Bidang Perekonomian dan Kemaritiman Kemenkeu, Tri Budhianto di Bogor, Jawa Barat, Jumat (10/10/2025).

  • Jumlah Populasi Wajib Pajak Sektor Pertambangan Minerba Naik 3%

    Jumlah Populasi Wajib Pajak Sektor Pertambangan Minerba Naik 3%

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkapkan alasan di balik rencana memperketat masa tunggu eks pegawai DJP (Direktorat Jenderal Pajak) sebelum bisa menjadi konsultan pajak.

    Nantinya, mantan pegawai DJP wajib menunggu 5 tahun sebelum beralih profesi menjadi konsultan pajak. Lebih lama dibanding ketentuan sebelumnya yang hanya 2 tahun saja.

    Bimo mengatakan, kebijakan ini ditegakkan demi menghindari potensi kebocoran data negara terkait perpajakan yang sangat sensitif. Ia tidak ingin adanya benturan kepentingan antara DJP dan kantor akuntan publik (KAP).

    “Tapi sekarang tuh gini. Di HP, di tablet, di kepala, di laptop, di PC kantor itu ada data negara,” ujar Bimo di Bali, Rabu (26/11/2025).

    “Itu yang saya nggak pengen, dan itu enggak dipahami selama ini sebagai bagian dari conflict of interest, sebagai bagian dari data yang ada konsekuensi pidana atas penyalahgunaannya,” dia menegaskan.

    Sehingga, DJP menetapkan masa tunggu 2-5 tahun bagi mantan pegawainya untuk bisa menjadi ko sultan pajak. Demi menjaga asas profesionalisme dari pegawai di sektor perpajakan, agar tidak disusupi kepentingan tertentu.

    “Jadi ada masa tunggulah 5 tahun. Untuk pegawai aktif, kalau yang sudah paripurna, itu ada masa tunggulah 2 tahun saja. Ya mudah-mudahan, itu bisa membuat kita lebih bisa optimum,” kata Bimo.

     

  • Alasan Purbaya Ancam Bekukan Bea Cukai: Under Invoicing-Banyak Barang Ilegal

    Alasan Purbaya Ancam Bekukan Bea Cukai: Under Invoicing-Banyak Barang Ilegal

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa buka-bukaan soal modus nakal di Bea Cukai yang membuat institusi tersebut terancam dibekukan. Wacana pembekuan itu diungkapkan Purbaya karena melihat banyaknya masalah di Bea Cukai.

    Purbaya bilang ada sederet modus nakal yang dilakukan beberapa oknum dan mencoreng institusi Bea Cukai. Mulai dari siasat under-invoicing hingga bocornya barang ilegal masuk ke Indonesia.

    “Kan ada under-invoicing, ekspor yang nilainya lebih rendah, ada juga barang-barang yang ilegal masuk, yang nggak ketahuan segala macam. Orang kan nuduh katanya Bea Cukai main segala macam,” ujar Purbaya di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2025) kemarin.

    Bahkan ada juga modus barang yang diselundupkan ke negara lain terlebih dahulu, sehingga membuat pencatatan ekspor impor yang ada di Indonesia berbeda dengan negara tujuan.

    Seperti misalnya dengan China seringkali data barang yang diekspor dari China berbeda dengan data barang yang tercatat diimpor ke Indonesia. Ada dugaan oknum Bea Cukai ikut kongkalikong soal penyelundupan sebagian barang di Singapura.

    “Lalu ada pencatatan, kita udah investigasikan, ada katanya ekspor dari mana? Di Chinanya, total ekspornya itu nggak sama dengan total impornya di sini, dari China ke Indonesia atau dari Indonesia ke China,” ujar Purbaya.

    “Tapi ada jalan yang sebagian dari China tuh ke Singapura, baru Singapura ke Indonesia. Kalau orang pake UN Comtrade database, cuma satu sisi aja, itu nggak pas. Tapi kalau kita gabung yang sini sama yang sini ke sini, itu akan sama,” lanjutnya.

    Soal wacana pembekuan Bea Cukai, Purbaya mengaku tidak punya kekesalan apapun kepada institusi tersebut. Hanya saja reformasi tegas dan cepat memang harus dilakukan di institusi tersebut. Perbaikan harus dilakukan segera di Bea Cukai.

    “Saya nggak kesal sama bea cukai. Tapi kita memerlukan solusi dari kita semua di Kementerian Keuangan untuk memperbaiki kinerja bea cukai,” ungkap Purbaya.

    Menurutnya bila Bea Cukai sama sekali tidak bisa melakukan perbaikan, wacana pembekuan institusi tersebut dan digantikan kepada institusi swasta seperti era orde baru mulai jadi diskusi pemerintah.

    Tapi baginya, wacana ini justru bukan berita negatif, tapi memberikan semangat baru bagi para stafnya untuk melakukan perbaikan.

    “Jadi saya pikir dengan adanya seperti itu, orang-orang Bea Cukai tim saya di Bea Cukai semakin semangat. Pengembangan software-nya juga cepat sekali. Saya pikir kita akan bisa menjalankan program-program yang di Bea Cukai dengan lebih bersih, tanpa harus menyerahkan ini ke tangan orang lain,” sebut Purbaya.

    (hal/fdl)

  • Bea Cukai dan DJP Sang ‘Enak Emas’ Kemenkeu Kini jadi Sorotan

    Bea Cukai dan DJP Sang ‘Enak Emas’ Kemenkeu Kini jadi Sorotan

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak kerap dianggap sebagai ‘anak emas’ Kementerian Keuangan, di antaranya terkait fungsi mereka dalam mengumpulkan penerimaan negara. Namun, kedua instansi itu kini menjadi sorotan, bahkan ada ancaman pembekuan langsung dari presiden.

    Presiden Prabowo Subianto memberikan ultimatum keras kepada Bea Cukai melalui pesannya ke Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Ada waktu satu tahun bagi lembaga itu untuk berbenah dan memperbaiki kinerja.

    Menurut Purbaya, Prabowo akan membekukan Bea Cukai dan mengembalikan fungsi pemeriksaan kepabeanan kepada surveyor swasta internasional, Société Générale de Surveillance (SGS), layaknya era Orde Baru apabila kinerja dan citra publik mereka tak kunjung membaik.

    “Kalau kita gagal memperbaiki, nanti 16.000 orang pegawai Bea Cukai dirumahkan,” ujar Purbaya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025).

    Purbaya mengakui bahwa saat ini persepsi publik terhadap instansi kepabeanan tersebut berada di titik kritis. Dalam rapat internal, dia secara terbuka menyampaikan kepada jajarannya bahwa citra Bea Cukai kurang bagus di mata media, masyarakat, hingga Prabowo.

    Hanya saja, di tengah ancaman pembubaran tersebut, Purbaya mengaku telah memasang badan. Dia telah meminta tenggat waktu satu tahun kepada Prabowo untuk melakukan bersih-bersih internal secara mandiri tanpa intervensi pihak luar.

    Purbaya mengatakan opsi pembekuan Bea Cukai bukanlah bentuk hukuman, melainkan langkah korektif agar kinerja lembaga itu bisa meningkat.

    “Waktu zaman Orde Baru, SDS yang menjalankan pengecekan di custom kita. Jadi, saya pikir dengan adanya seperti itu orang-orang Bea Cukai, tim saya di Bea Cukai semakin semangat. Pengembangan software-nya juga cepat sekali,” katanya.

    Kendati demikian, Purbaya tidak serta-merta ingin menyerahkan operasional Bea Cukai kepada pihak luar. Oleh sebab itu, dia tetap berharap fungsi Bea Cukai dapat dijalankan internal pemerintah, dengan syarat adanya perbaikan signifikan.

    “Saya pikir kita akan bisa menjalankan program-program yang di Bea Cukai dengan lebih bersih tanpa harus menyerahkan ini ke tangan orang lain. Jadi, teman-teman saya di Bea Cukai, staf saya, saya peringatkan itu dan mereka amat semangat untuk memperbaiki bersama-sama,” tuturnya.

    Purbaya turut merinci sejumlah persoalan yang sedang membelit Bea Cukai, mulai dari dugaan praktik under-invoicing hingga masuknya barang ilegal.

    “Ada under-invoicing ekspor yang nilainya lebih rendah. Ada juga barang-barang yang ilegal masuk yang enggak ketahuan segala macam. Orang kan nuduh, katanya Bea Cukai main segala macam,” katanya.

    Lebih jauh, dia memaparkan adanya temuan dari investigasi internal yang menyangkut ketidaksesuaian data perdagangan antara Indonesia, China, dan Singapura.

    “Ada jalan yang sebagian dari China tuh ke Singapura, baru Singapura ke Indonesia. Kalau orang pakai UN.com trade database, kalau cuma lihat satu sisi aja, itu enggak pas. Namun, kalau kita gabung yang sini sama yang sini ke sini itu akan sama. Jadi bedanya enggak banyak. Hanya beda CIF, FOB aja. Jadi antara ekspor sampai impor aja pengitungannya,” tuturnya.

    Oleh sebab itu, Purbaya pun memastikan investigasi lanjutan akan terus dilakukan, dan prosesnya akan makin cepat dengan pemanfaatan teknologi baru.

    “Untuk semua jenis ekspor, apakah seperti itu? Atau apakah ada penggelapan? Ini masih kita kerjakan manual. Nggak lama lagi kita akan kerjakan pakai AI [artificial intelligence]. Jadi, akan lebih cepat,” ujarnya.

    Sebagai langkah perbaikan, bendahara negara itu mulai mengadopsi teknologi kecerdasan imitasi alias AI di pos-pos pelayanan Bea Cukai. Teknologi ini difokuskan untuk mendeteksi praktik under-invoicing atau manipulasi faktur harga barang impor yang selama ini menjadi celah kebocoran penerimaan negara.

    Purbaya menilai, respons internal Bea Cukai terhadap ultimatum ini cukup positif. Dia meyakini sumber daya manusia (SDM) di instansi tersebut memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni untuk berubah.

    “Saya pikir tahun depan sudah aman. Artinya, Bea Cukai akan bisa bekerja dengan baik dan profesional. Orang Bea Cukai pintar-pintar dan siap untuk merubah keadaan,” ujar Purbaya.

    Pelantikan Letjen TNI (Purn.) Djaka Budi Utama (kiri) sebagai ⁠Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, menggantikan Askolani (kanan) yang kini menjabat sebagai ⁠⁠Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Pelantikan berlangsung di Kementerian Keuangan, Jakarta pada Jumat (23/5/2025). / dok. KLI Kementerian Keuangan

    Pembekuan Bea Cukai Bukan Hal Baru

    Secara historis, pembekuan Bea Cukai bukan hal yang baru. Era Orde Baru, tepatnya periode pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an mencatat babak penting tarik-ulur kewenangan di pelabuhan.

    Berdasarkan laporan Media Keuangan terbitan Kementerian Keuangan bertajuk Mengurai Sejarah Lembaga Bea Cukai, saat itu pelabuhan di Indonesia terkenal sangat korup: penyeludupan dan penyelewengan oleh petugas Bea Cukai sudah menjadi rahasia umum.

    Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang. Aparat Bea Cukai disebut ribet, berbelit-belit, sehingga pada akhirnya melakukan pungutan liar.

    Masalah tersebut sampai ke Presiden Soeharto. Kepala negara dan pemerintah itu pun menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 (Inpres 4/1985) setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Bahwa kelancaran arus lalu lintas barang antar pulau, ekspor dan impor merupakan unsur penting dalam peningkatan kegiatan ekonomi pada umumnya dan peningkatan ekspor komoditi non migas pada khususnya,” jelas pertimbangan Inpres 4/1985.

    Soeharto mengerahkan belasan menteri hingga Panglima ABRI untuk memastikan instruksi ini berjalan, sebuah sinyal bahwa kemacetan di pelabuhan telah menjadi masalah keamanan dan stabilitas ekonomi nasional.

    Enam tahun berselang, kebijakan tersebut dievaluasi: pemerintah menilai Inpres 4/1985 telah sukses memperlancar arus barang. Hanya saja, dinamika perdagangan ekspor-impor menuntut penyesuaian baru.

    Pada 25 Juli 1991, Presiden Soeharto menandatangani Inpres No. 3/1991. Poin paling krusial dari aturan ini adalah pernyataan tegas bahwa Inpres 4/1985 dinyatakan tidak berlaku lagi.

    Dalam Lampiran Inpres 3/1991, ditegaskan kembali bahwa kewenangan pemeriksaan barang impor berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

    Kendati demikian, kewenangan ini tidak serta-merta kembali seperti era pra-1985. Pemerintah menerapkan sistem pengawasan berlapis menggunakan jasa Surveyor.

    “Berdasarkan pemeriksaan tersebut surveyor menerbitkan Laporan Pemeriksaan Surveyor-Ekspor (LPS-E) yang dipergunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pemeriksaan yang bersifat final,” tertulis dalam Lampiran Inpres 3/1991.

    Dijelaskan, barang impor hanya diizinkan masuk ke wilayah pabean Indonesia apabila dilengkapi Laporan Pemeriksaan Surveyor Impor (LPS-I) yang diterbitkan oleh surveyor di negara asal barang (tempat ekspor dilakukan).

    Dalam hal ini, pemerintah melibatkan PT Surveyor Indonesia (PT SI) untuk bekerja sama dengan SGS. Laporan surveyor ini menjadi ‘dokumen sakti’.

    Bea Cukai menggunakan LPS-I sebagai dasar pemeriksaan yang bersifat final. Artinya, petugas Bea Cukai di pelabuhan Indonesia tidak lagi memeriksa fisik barang secara acak, melainkan hanya melakukan pencocokan dokumen alias hanya ‘memberi stempel’.

    Kewenangan kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.

    UU Kepabenan kembali memberikan wewenang pemeriksaan barang kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan kontrak dengan SGS berakhir.

    Sorotan ke Mantan Bos Pajak dan Coretax

    Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa mantan anak buah Menkeu Sri Mulyani dalam kasus dugaan korupsi terkait pembayaran pajak periode 2016—2020. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna mengatakan pihaknya telah memeriksa saksi berinisial SU.

    SU merupakan eks Staf Ahli Menkeu sekaligus eks Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Berdasarkan penelusuran Bisnis, SU ini mengacu pada nama Suryo Utomo.

    “SU selaku Mantan Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak dan Mantan Direktur Jenderal [Dirjen] Pajak Kementerian Keuangan RI diperiksa,” ujar Anang dalam keterangan tertulis, Selasa (25/11/2025) malam.

    Selain Suryo, Anang mengemukakan bahwa pihaknya juga telah memeriksa BNDP selaku Kepala KPP Madya Dua Semarang. Namun, dia tidak menjelaskan materi pemeriksaan keduanya secara detail, Anang hanya mengemukakan bahwa pemeriksaan ini dilakukan untuk melengkapi berkas perkara kasus pembayaran pajak periode 2016—2022.

    “Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” pungkas Anang.

    Purbaya masih memantau apakah kasus yang sedang ditangani oleh Kejagung terkait pelaksanaan pengampunan pajak alias tax amnesty atau tidak. Dia ingin tahu apakah ada penyelewengan dalam kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty pada 2016.

    “Kita lihat apakah ada penyelenggaraan di waktu tax amnesty keluar,” katanya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (26/11/2025).

    Kendati demikian, mantan ketua dewan komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menilai seharusnya tidak sewajarnya tax amnesty berujung ke kasus pidana. Menurutnya, jika memang ditemukan pelanggaran maka yang bersangkutan hanya perlu membayar denda.

    “Kalau ada pelanggaran, ya harusnya ada klausul di mana kalau misalnya aset yang dilaporkan ternyata lebih kecil daripada yang seharusnya ada dendanya. Saya pikir itu saja yang dikejar,” jelas Purbaya.

    Sorotan itu juga terjadi di tengah jalannya proyek prestisius dan ambisius Dirjen Pajak, yakni Sistem Inti Perpajakan alias Coretax System. Penerapan Coretax tidak sebanding dengan niat awalnya karena sering terkendala masalah teknis hingga persoalan teknisi yang dianggap tidak memenuhi kualifikasi.

    Purbaya pada akhir Oktober 2025 menyebut upaya pembenahan Coretax belum sepenuhnya tuntas. Salah satu aspek yang belum selesai dibenahi adalah perangkat lunak atau software yang digarap LG CNS-Qualysoft Consortium.

    Purbaya menjelaskan bahwa pihaknya sudah sebulan terakhir membenahi Coretax jelang penggunaannya untuk pelaporan SPT tahun depan.

    “Untuk software-software yang bisa dikendalikan langsung oleh tenaga dari Indonesia, kami sudah perbaiki. Cuma ternyata masih ada bagian-bagian yang terikat kontrak dengan pihak LG, di mana kami belum dikasih akses ke sana,” ujarnya kepada wartawan di kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (24/10/2025) lalu.

    Dia mengatakan bahwa kontrak antara pemerintah Indonesia dengan LG untuk Coretax akan berakhir pada Desember 2025 mendatang. Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu blak-blakan menyampaikan bahwa sebelumnya Kemenkeu telah membentuk tim satgas untuk menindaklanjuti gangguan sistem Coretax yang dikerjakan oleh perusahaan asal Korea Selatan itu.

    “Sebelum kami jalankan tim special task force ini, mereka itu kalau ditanya, enggak peduli. Ditanya di sana, cuek dan, responnya lama,” paparnya.

    Kendati demikian, Purbaya menyebut saat ini pihak LG sudah mengirimkan tim untuk mengurus pembenahan sistem Coretax.

    “Jadi, orang sana enggak pintar-pintar amat. Jadi, kami optimalkan perbaikan dengan kendala yang ada dalam hal ini, sebagian masih dipegang LG,” tuturnya. (Anshary Madya Sukma, Dany Saputra)

    Mantan Dirjen Pajak Suryo Utomo, kini menjabat sebagai Kepala Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan Kemenkeu. / Bisnis

  • Deretan Upaya DJP Tagih Tumpukan Piutang Pajak Hampir Rp140 Triliun

    Deretan Upaya DJP Tagih Tumpukan Piutang Pajak Hampir Rp140 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat saldo piutang pajak neto sudah dikurangi penyisihan piutang awal 2025 tercatat sebesar Rp35,25 triliun. 

    Pada rapat dengar pendapat (RDP) lanjutan dengan Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2025), Dirjen Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa sebagian besar nilai saldo piutang tersebut merupakan piutang dengan umur sampai dengan satu tahun.

    Namun demikian, Bimo mengungkap terdapat lonjakan satu piutang hingga senilai Rp139,83 triliun. 

    “Dalam catatan kami sampai dengan 30 September 2025 terdapat penambahan satu piutang sebesar Rp139,83 triliun. Di periode yang sama terdapat pelunasan piutang Rp81,297 triliun,” terang Bimo kepada Komisi Keuangan DPR, dikutip Jumat (28/11/2025). 

    Bimo lalu memaparkan bahwa pihaknya melakukan serangkaian tindakan penagihan aktif mulai dari persuasif hingga hard collection.  

    Pertama, penyampaian surat reminder melalui email blast dengan pendekatan behavioral insight, penerbitan surat teguran, penyampaian surat paksa serta pelaksanaan sita. 

    Upaya pencairan juga dilakukan khususnya terhadap 201 penunggak pajak terbesar nasional yakni dengan memblokir rekening mereka, termasuk juga terhadap 15 penunggak pajak besar.

    Kedua, pemblokiran SABH yang ada di bawah Ditjen AHU Kementerian Hukum, pemblokiran layanan PNBP, serta pelaksanaan lelang bersama dengan Ditjen Kekayaan Negara Kemenkeu. 

    Ketiga, upaya pencegahan ke luar negeri dan penyanderaan atas penanggung pajak. “[Upaya dilanjutkan dengan] pembatasan kebebasan berup cekal dan kalau perlu sampai penyanderaan,” terang Dirjen Pajak lulusan Taruna Nusantara itu. 

    Keempat, kerja sama dengan aparat penegak hukum serta antarunit eselon I Kemenkeu, perbankan dan PPATK. 

    Adapun secara terpisah, Ditjen Pajak juga mencatat khusus untuk 201 penunggak pajak besar, otoritas telah mencairkan Rp11,99 triliun per 24 November 2025 lalu. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyebut pihaknya menargetkan pengumpulan Rp20 triliun dari penunggak pajak besar itu sampai akhir 2025.

  • Pembekuan Bea Cukai Bukan Hal Baru, Pernah Terjadi pada Era Orde Baru!

    Pembekuan Bea Cukai Bukan Hal Baru, Pernah Terjadi pada Era Orde Baru!

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto melemparkan ultimatum kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Prabowo siap membekukan instansi tersebut apabila kinerja dan citra publik mereka tak kunjung membaik.

    Secara historis, pembekuan Bea Cukai bukan hal yang baru. Era Orde Baru, tepatnya periode pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an mencatat babak penting tarik-ulur kewenangan di pelabuhan.

    Berdasarkan laporan Media Keuangan terbitan Kementerian Keuangan bertajuk Mengurai Sejarah Lembaga Bea Cukai, saat itu pelabuhan di Indonesia terkenal sangat korup: penyeludupan dan penyelewengan oleh petugas Bea Cukai sudah menjadi rahasia umum.

    Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang. Aparat Bea Cukai disebut ribet, berbelit-belit, sehingga pada akhirnya melakukan pungutan liar.

    Masalah tersebut sampai ke Presiden Soeharto. Kepala negara dan pemerintah itu pun menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 (Inpres 4/1985) setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Bahwa kelancaran arus lalu lintas barang antar pulau, ekspor dan impor merupakan unsur penting dalam peningkatan kegiatan ekonomi pada umumnya dan peningkatan ekspor komoditi non migas pada khususnya,” jelas pertimbangan Inpres 4/1985.

    Soeharto mengerahkan belasan menteri hingga Panglima ABRI untuk memastikan instruksi ini berjalan, sebuah sinyal bahwa kemacetan di pelabuhan telah menjadi masalah keamanan dan stabilitas ekonomi nasional.

    Lewat beleid itu, Soeharto memangkas sebagian besar kewenangan Bea Cukai dalam memeriksa barang impor. Pemerintah kemudian menunjuk Société Générale de Surveillance (SGS), sebuah perusahaan surveyor swasta asal Swiss, untuk mengambil alih tugas pemeriksaan barang.

    Reformasi 1991 dan Pengembalian Wewenang 1997

    Enam tahun berselang, kebijakan tersebut dievaluasi: pemerintah menilai Inpres 4/1985 telah sukses memperlancar arus barang. Hanya saja, dinamika perdagangan ekspor-impor menuntut penyesuaian baru. 

    Pada 25 Juli 1991, Presiden Soeharto menandatangani Inpres No. 3/1991. Poin paling krusial dari aturan ini adalah pernyataan tegas bahwa Inpres 4/1985 dinyatakan tidak berlaku lagi.  

    Dalam Lampiran Inpres 3/1991, ditegaskan kembali bahwa kewenangan pemeriksaan barang impor berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

    Kendati demikian, kewenangan ini tidak serta-merta kembali seperti era pra-1985. Pemerintah menerapkan sistem pengawasan berlapis menggunakan jasa Surveyor. 

    “Berdasarkan pemeriksaan tersebut surveyor menerbitkan Laporan Pemeriksaan Surveyor – Ekspor (LPS-E) yang dipergunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pemeriksaan yang bersifat final,” tertulis dalam Lampiran Inpres 3/1991.

    Dijelaskan, barang impor hanya diizinkan masuk ke wilayah pabean Indonesia apabila dilengkapi Laporan Pemeriksaan Surveyor Impor (LPS-I) yang diterbitkan oleh surveyor di negara asal barang (tempat ekspor dilakukan).  

    Dalam hal ini, pemerintah melibatkan PT Surveyor Indonesia (PT SI) untuk bekerja sama dengan SGS. Laporan surveyor ini menjadi ‘dokumen sakti’.

    Bea Cukai menggunakan LPS-I sebagai dasar pemeriksaan yang bersifat final. Artinya, petugas Bea Cukai di pelabuhan Indonesia tidak lagi memeriksa fisik barang secara acak, melainkan hanya melakukan pencocokan dokumen alias hanya ‘memberi stempel’.

    Kewenangan kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997.

    UU Kepabenan kembali memberikan wewenang pemeriksaan barang kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan kontrak dengan SGS berakhir.

    Disinggung Purbaya 

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyinggung sejarah ‘pembekuan’ Bea Cukai era Orde Baru itu ketika mengungkapkan bahwa Prabowo telah memberikan ultimatum.

    Menurutnya, Prabowo siap mengembalikan fungsi pemeriksaan kepabeanan kepada surveyor swasta internasional seperti SGS era Orde Baru apabila kinerja dan citra publik Bea Cukai tak kunjung membaik.

    “Kalau kita gagal memperbaiki, nanti 16.000 orang pegawai Bea Cukai dirumahkan,” ujar Purbaya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025).

    Purbaya mengakui bahwa saat ini persepsi publik terhadap instansi kepabeanan tersebut berada di titik kritis. Dalam rapat internal, dia secara terbuka menyampaikan kepada jajarannya bahwa citra Bea Cukai kurang bagus di mata media, masyarakat, hingga Prabowo.

    Hanya saja, di tengah ancaman pembubaran tersebut, Purbaya mengaku telah memasang badan. Dia telah meminta tenggat waktu satu tahun kepada Prabowo untuk melakukan bersih-bersih internal secara mandiri tanpa intervensi pihak luar.

    “Saya sudah minta waktu keberhasilannya satu tahun untuk tidak diganggu dulu. Biarkan saya, beri waktu saya untuk memperbaiki Bea Cukai, karena ancaman ini serius,” tegasnya.

    Sebagai langkah perbaikan, bendahara negara itu mulai mengadopsi teknologi kecerdasan imitasi alias artificial intelligence (AI) di pos-pos pelayanan Bea Cukai.

    Teknologi ini difokuskan untuk mendeteksi praktik under-invoicing atau manipulasi faktur harga barang impor yang selama ini menjadi celah kebocoran penerimaan negara.

    Purbaya menilai, respons internal Bea Cukai terhadap ultimatum ini cukup positif. Dia meyakini sumber daya manusia (SDM) di instansi tersebut memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni untuk berubah.

    “Saya pikir tahun depan sudah aman. Artinya, Bea Cukai akan bisa bekerja dengan baik dan profesional. Orang Bea Cukai pintar-pintar dan siap untuk merubah keadaan,” tutupnya.

  • Purbaya Investigasi Dugaan Praktik Penggelapan Ekspor-Impor di Bea Cukai

    Purbaya Investigasi Dugaan Praktik Penggelapan Ekspor-Impor di Bea Cukai

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bakal menginvestigasi dugaan praktik penggelapan ekspor-impor di tengah sorotan publik ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

    Sebagaimana diketahui, Bea Cukai menjadi otoritas yang menangani jalur masuk dan keluar barang.

    Usai ramai wacana pembekuan Bea Cukai, Purbaya mengakui salah satu unit Kemenkeu yang dibawahinya itu kerap dirundung masalah dan tuduhan oleh masyarakat. 

    Beberapa tuduhan itu meliputi praktik pelaporan nilai barang secara tidak sesuai atau underinvoicing, maupun masuknya barang-barang impor ilegal ke Tanah Air. 

    “Orang kan nuduh katanya bea cukai main segala macam. Saya enggak tahu ya,” terangnya kepada wartawan usai rapat terbatas (ratas) di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (27/11/2025). 

    Di sisi lain, Purbaya menyebut pihaknya juga sudah menginvestigasi ihwal adanya perbedaan antara data volume barang yang diekspor Indonesia ke negara lain, dengan yang diterima atau diimpor oleh negara tersebut.

    Salah satu contohnya, yakni data volume ekspor dari Indonesia ke China serta yang diterima atau diimpor oleh China. 

    Padahal, sebagaimana diketahui, data perdagangan barang antarnegara untuk satu komoditas tertentu sudah ditentukan berdasarkan kode HS yang sama dan berlaku di seluruh negara. 

    “Total ekspornya enggak sama dengan total impornya gitu. Dari China ke Indonesia atau dari Indonesia ke China, tetapi ada jalan yang sebagian dari China tuh ke Singapura, baru Singapura ke Indonesia,” ungkapnya.

    Purbaya menjelaskan seharusnya tidak banyak perbedaan pada data ekspor impor suatu komoditas dengan kode HS yang sama, antar dua negara.

    Oleh sebab itu, dia akan mendalami hal tersebut apabila ada dugaan praktik penggelapan ekspor impor.

    “Jadi bedanya enggak banyak. Hanya beda CIF [cost insurance and freight] dan FOB [free on board] aja. Jadi antara ekspor sampe impor aja pengitungannya. Kelihatannya itu yang terjadi dan akan kami investigasi. Untuk semua jenis ekspor, apakah seperti itu? Atau apakah ada penggelapan? Ini masih kami kerjakan manual. Enggak lama lagi kami akan kerjakan pakai AI. Jadi akan lebih cepat,” terangnya. 

  • Kemenko IPK tingkatkan layanan mancanegara dengan “All Indonesia”

    Kemenko IPK tingkatkan layanan mancanegara dengan “All Indonesia”

    aplikasi tersebut merupakan inisiatif lintas sektor kementerian/lembaga untuk membangun layanan modern dan terintegrasi untuk mendorong perbaikan pelayanan publik

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Kemenko IPK) menyampaikan terus berupaya meningkatkan kualitas layanan perjalanan travel bagi warga mancanegara menjadi terintegrasi secara modern dan tersinkronisasi melalui aplikasi “All Indonesia” yang telah diluncurkan pada 1 Oktober 2025.

    “Kita tidak ingin ada warga negara asing yang merasa kesulitan memahami prosedur, terhambat pada proses imigrasi, atau mengalami ketidakjelasan pada pemeriksaan kesehatan dan karantina. Kita ingin memastikan bahwa ketika mereka tiba di tanah air, di Indonesia, yang mereka rasakan adalah ketertiban, kecepatan, keramahtamahan, dan kemudahan. Bukan sebaliknya,” ujar Staf Ahli Bidang Pembangunan Daerah Kemenko IPK Arif Rahman di Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Kamis.

    Arif mengatakan peluncuran aplikasi All Indonesia bertujuan untuk merealisasikan cita-cita layanan perjalanan mancanegara di Indonesia dapat sejajar dengan pusat transportasi global di berbagai negara, termasuk memudahkan wisatawan mancanegara dalam menghadirkan pengalaman seamless saat berkunjung ke Indonesia.

    “Untuk mencapainya, tidak cukup hanya membangun infrastruktur secara fisik saja, kita harus menampilkan kualitas layanan yang modern, terintegrasi, aman, cepat, dan konsisten. Pemerintah secara resmi meluncurkan All Indonesia, sebuah sistem yang terintegrasi, yang dirancang untuk menghadirkan seamless travel experience bagi seluruh pelaku perjalanan yang masuk ke wilayah negara kita,” katanya.

    Menurut Arif, aplikasi tersebut merupakan inisiatif lintas sektor kementerian/lembaga untuk membangun layanan modern dan terintegrasi untuk mendorong perbaikan pelayanan publik.

    “All Indonesia adalah sebuah inisiatif lintas sektor. Sebuah langkah kolektif pemerintah untuk menyatukan alur pemeriksaan, menyederhanakan proses, dan menyelaraskan data dari berbagai institusi yang sebelumnya bekerja secara sendiri-sendiri. Sistem ini dibangun atas dasar pemahaman bahwa modernisasi layanan publik tidak dapat dikerjakan oleh satu kementerian saja, melainkan membutuhkan orkestrasi nasional,” ucapnya.

    Untuk itu, Kemenko IPK menyempurnakan aplikasi All Indonesia bersama Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan sebagai pemegang kewenangan utama dalam pemeriksaan keimigrasian, Kementerian Keuangan yang memastikan kelancaran dan kepatuhan kepabeanan, dan Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab terhadap kelengkapan dan validitas persyaratan kesehatan.

    Selain itu, Badan Karantina Indonesia juga mengawasi standar karantina hewan, tumbuhan, dan produk terkait menjaga keamanan hayati nasional. Hal tersebut, ucap Arif, aplikasi All Indonesia bukan sekadar digitalisasi layanan perjalanan antarnegara, tetapi transformasi tata kelola.

    Dengan sinergi tersebut, kata dia, pelaku perjalanan tidak lagi mengulang-ulang pengisian data. Selain itu, validasi dapat dilakukan secara real time dan pemeriksaan dapat dipercepat tanpa mengurangi aspek keamanan.

    “Pemerintah menekankan pengisian All Indonesia dari negara origin sebagai elemen paling kritikal. Pengisian data sejak sebelum keberangkatan memastikan bahwa saat mereka tiba, nanti seluruh data sudah tersinkronisasi. Inilah yang memungkinkan pengalaman yang benar-benar seamless tanpa antrian panjang, tanpa hambatan administratif, dan tanpa repetisi informasi,” jelasnya.

    Pewarta: Benardy Ferdiansyah/Muhammad Rizki
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.