Kementrian Lembaga: Kementerian ESDM

  • BKPM Sebut Belum Ada Investor Asing yang Minat Garap Proyek DME Pengganti LPG

    BKPM Sebut Belum Ada Investor Asing yang Minat Garap Proyek DME Pengganti LPG

    Jakarta

    Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM menyebutkan hingga saat ini belum ada perusahaan asing yang berinvestasi di proyek Dimethyl Ether (DME) berbasis batu bara sebagai pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG). Sebelumnya, perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat (AS), Air Products and Chemicals mundur dari proyek DME.

    “Kita masih belum mendengarkan ketertarikan (perusahaan asing) secara real untuk DME ini,” kata Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, Nurul Ichwan usai acara International & Indonesia CCS Forum 2025 di Jakarta, Selasa (7/10/2025).

    Pihaknya baru akan mengeluarkan pernyataan resmi terkait investor yang akan masuk proyek DME jika sudah resmi terdaftar dalam Nomor Induk Berusaha (NIB).

    “Nggak tahu kalau datang ke kementerian lain ya, karena kalau bagi kami, biasanya kami mencatatkannya adalah ketika mereka memang sudah masuk dan mendapatkan NIB,” katanya.

    China Minat Garap DME

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno mengungkapkan bahwa perusahaan China tertarik menanamkan modal US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 19,7 triliun (kurs Rp 16.440) dalam proyek gasifikasi batu bara menjadi DME di Kalimantan. Proyek ini diharapkan dapat menjadi solusi pengganti impor LPG.

    Meski begitu, Tri belum menjelaskan detail perusahaan China yang akan menggarap proyek DME. Dalam proyek ini, perusahaan China tidak melakukannya sendiri, melainkan akan menggandeng perusahaan swasta dalam negeri. Tri juga belum membocorkan perusahaan swasta dalam negeri mana yang bakal menggarap.

    “Dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan itu sendiri. Artinya, negara tidak investasikan sesuatu, dan perusahaan itu akan jalan. Nah, dengan IRR yang cukup menarik dan sebagainya, mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita akan memulai untuk industri DME ini dan itu menggunakan batu bara kualitas yang rendah,” katanya dalam acara Energi Mineral Festival 2025 di Hutan Kota by Plataran, Jakarta, pada Kamis (31/7/2025).

    Sebelumnya, pemerintah serius dalam mengembangkan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Hal ini telah dilakukan pra studi kelayakan atau pra-Feasibility Study (pra-FS) yang dikerjakan Tim Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang telah diberikan kepada Danantara untuk segera ditindaklanjuti pada beberapa waktu lalu.

    Proyek Industri DME tersebut akan berada di enam lokasi, di antaranya yakni Bulungan, Kutai Timur, Kota Baru, Muara Enim, Pali, Banyuasin. Sebanyak enam proyek tersebut diperkirakan nilai investasinya mencapai Rp 164 triliun. Proyek ini juga diperkirakan akan menciptakan 34.800 lapangan kerja.

    Lihat juga Video Bahlil Menghadap Prabowo, Bahas Hilirisasi Nikel-Bangun Kilang DME

    (ara/ara)

  • 27 Perwira Polri Naik Pangkat, 4 Anggota jadi Resmi Sandang Bintang 3

    27 Perwira Polri Naik Pangkat, 4 Anggota jadi Resmi Sandang Bintang 3

    Bisnis.com, JAKARTA — Sebanyak 27 Perwira Tinggi (Pati) Polri telah mengalami kenaikan pangkat satu tingkat dari sebelumnya.

    Kadivhumas Polri, Irjen Pol Sandi Nugroho mengatakan empat dari 27 Pati Polri itu telah resmi menyandang pangkat Komisaris Jenderal (Komjen).

    “Empat Pati Polri naik pangkat menjadi Komisaris Jenderal,” ujar Sandi dalam keterangan tertulis, Selasa (7/10/2025).

    Sandi merincikan empat Pati Polri yang resmi menjadi jenderal bintang tiga itu adalah Komjen Ramdani Hidayat menjabat sebagai Dankorbrimob Polri.

    Selanjutnya, Komjen Yuda Gustawan menjabat sebagai Kabaintelkam Polri; Komjen Yudhiawan menjabat sebagai Inspektur Jenderal Kementerian ESDM RI; dan Komjen Dwiyono menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

    Kemudian, kenaikan pangkat Inspektur Jenderal juga telah diberikan kepada 8 personel, tiga di antaranya Irjen Pol Reza Arief Dewan sebagai Wadankorbrimob Polri; Irjen Pol Nanang Rudi Supriatna sebagai Wakabaintelkam Polri; dan Irjen Ahmad Ramadhan sebagai Dosen Kepolisian Utama TK. I Akpol Lemdiklat Polri.

    Sementara itu, 15 Pati Polri lainnya yang menerima kenaikan pangkat menjadi Brigjen Pol salah satunya adalah Ade Safri Simanjuntak selaku Dirtipideksus Bareskrim Polri.

    Melalui kenaikan pangkat ini, 27 Pati Polri itu diharapkan bisa terus memberikan kontribusi terbaik bagi institusi maupun masyarakat.

    “Kenaikan pangkat ini bukan sekadar simbol kehormatan, tapi juga amanah untuk terus meningkatkan profesionalisme dan pelayanan kepada masyarakat. Ini adalah hasil dari kerja keras dan komitmen dalam menjaga keamanan dan ketertiban,” pungkasnya.

  • BBM SPBU Swasta Langka, Bahlil Wajibkan Beli dari Pertamina tapi Tak Sediakan BBM RON 95

    BBM SPBU Swasta Langka, Bahlil Wajibkan Beli dari Pertamina tapi Tak Sediakan BBM RON 95

    FAJAR.CO.ID — Kelangkaan bahan bakar minyak atau BBM terjadi di SPBU swasta. Kelangkaan ini ditengarai terjadi akibat kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia yang mewajibkan SPBU swasta untuk membeli BBM dari Pertamina, tetapi justru tak menyediakan BBM dengan jenis oktan RON 95.

    Tidak adanya stok RON 95 dari Pertamina menjadi sorotan Komisi XII DPR RI. Ketiadaan BBM RON 95 memicu kelangkaan yang dialami oleh seluruh SPBU swasta di tanah air.

    Anggota Komisi XII DPR Yulian Gunhar menilai tidak tersedianya BBM RON 95 di Pertamina menjadi anomali kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di saat seluruh SPBU swasta diwajibkan membeli bahan bakar dasar dari Pertamina untuk stok hingga akhir tahun ini.

    “⁠Swasta diwajibkan beli base fuel ke Pertamina, padahal SPBU swasta menjual 3 jenis bensin (Ron 92, 95 dan 98). Sedangkan Pertamina hanya bisa menyediakan Ron 92 dan 98,” ujar Gunhar dalam keterangannya belum lama ini.

    Tidak tersedianya BBM RON 95 di Pertamina membuat SPBU swasta kebingungan mencari pasokan bahan bakar minyak dengan spesifikasi tersebut. Kebingungan terjadi saat Kementerian ESDM mewajibkan SPBU swasta untuk membeli BBM dari Pertamina.

    “Saat ini BBM jenis Ron 95, Pertamina hanya tersedia di 119 SPBU, untuk wilayah Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” ungkapnya.

    Di sisi lain, pemerintah mengklaim telah menambah kuota impor BBM pada SPBU swasta untuk 2025. Bahkan, kuota yang diajukan oleh SPBU swasta dinilai telah melampaui kebijakan yang diatur pemerintah.

  • Ekonom: Krisis BBM di Shell, BP, Vivo Rugikan Konsumen dan Ekonomi Lokal

    Ekonom: Krisis BBM di Shell, BP, Vivo Rugikan Konsumen dan Ekonomi Lokal

    Bisnis.com, JAKARTA — Stok BBM di SPBU swasta seperti Shell, BP, dan Vivo masih kosong imbas pasokan habis. Pengamat menilai hal ini turut merugikan konsumen.

    Ekonom Senior di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Ishak Razak mengatakan, kelangkaan BBM di SPBU swasta itu membuat konsumen hanya bisa membeli bensin dari Pertamina. Terlebih, para pelanggan kehilangan opsi layanan yang kompetitif.

    “Jelas merugikan konsumen di mana para pelanggan yang telah percaya kepada SPBU swasta tersebut harus menghadapi antrean panjang, biaya tambahan, hilangnya opsi layanan yang kompetitif selain Pertamina,” ucap Ishak kepada Bisnis, Senin (6/10/2025).

    Dia menjelaskan, dari perspektif ekonomi, ketidakpastian pasokan dan regulasi dapat memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) SPBU swasta dan ekosistem bisnis yang telah terbentuk. Di sisi lain, hal ini juga dapat menurunkan kepercayaan terhadap investasi bisnis di Indonesia.

    “Jika tidak segera diatasi, situasi ini memperburuk ekonomi lokal dan daya tarik investasi energi,” imbuh Ishak.

    Lebih lanjut, Ishak menyebut bahwa kehadiran SPBU swasta ini cukup strategis bagi Pertamina. Sebab, mereka merupakan kompetitor penting untuk mendorong Pertamina meningkatkan kinerja dan kualitas produk.

    “Apalagi, Pertamina selama ini sering dicap negatif karena isu distribusi, pelayanan, dan ketidakstabilan pasokan khususnya di daerah,” katanya.

    Sebelumnya, kelangkaan stok BBM di SPBU swasta seperti Shell, BP, hingga Vivo masih menjadi polemik. Bahkan, stok bensin di SPBU Shell habis total. Sementara itu, stok BBM di SPBU BP dan Vivo diproyeksi habis total pada Oktober ini.

    Adapun, terkait kelangkaan stok BBM di SPBU swasta ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM memberi solusi dengan meminta mereka membeli BBM base fuel dari Pertamina. Pasalnya, Pertamina masih memiliki kuota impor BBM yang belum terpakai.

    Apalagi, SPBU swasta sudah tak diberikan tambahan impor lantaran pemerintah telah memberikan tambahan kuota 2025 kepada SPBU swasta sebesar 10% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Dengan begitu, kuota impor BBM SPBU swasta pada tahun ini mencapai 110%.

    Di sisi lain, pihak SPBU swasta termasuk BP belum sepakat membeli base fuel dari Pertamina. Hal ini terjadi lantaran base fuel itu mengandung etanol yang mencapai 3,5%.

  • Pakar energi: Kekhawatiran SPBU swasta soal etanol tidak berdasar

    Pakar energi: Kekhawatiran SPBU swasta soal etanol tidak berdasar

    Etanol memiliki kandungan oksigen yang tinggi, sehingga pembakarannya lebih sempurna. Itu membuat kadar karbon monoksida dan hidrokarbon tidak terbakar bisa berkurang. Artinya, lebih ramah lingkungan

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah pakar energi menilai kekhawatiran stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik swasta terhadap kandungan etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) dasar atau base fuel milik PT Pertamina (Persero) tidak berdasar secara teknis.

    Guru Besar Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Tri Yuswidjajanto menjelaskan penggunaan etanol dalam BBM bukan hal baru di tingkat internasional, bahkan kandungannya lebih tinggi dari milik Pertamina yang mencapai 3,5 persen.

    “Di Amerika pun menjual bensin yang dicampur etanol sebanyak 10 persen, dan di sana baik-baik saja, atau tidak ada masalah dengan mesin kendaraan. Bahkan, di Brasil itu kadar etanolnya sampai 85 persen, dan Australia juga sudah pakai,” ujar Tri dalam keterangannya yang dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

    Menurut dia, kandungan etanol dalam BBM dasar tidak berpengaruh terhadap mesin maupun performa kendaraan, meskipun kandungan energi etanol yang sekitar 26,8-29,7 megajoule per kilogram lebih rendah dibandingkan bensin yang mencapai 40 megajoule per kilogram.

    “Jadi, kalau kandungan etanolnya hanya 3,5 persen, energi yang turun hanya sekitar 1 persen. Artinya, daya mesin hanya berkurang sekitar 1 persen, dan itu tidak akan terasa, yakni dikonsumsi bahan bakar tidak akan lebih boros, di tarikan atau performa kendaraan tetap enak saja, dan enggak akan terasa karena secara internasional, penurunan daya baru terasa kalau sudah mencapai 2 persen,” jelasnya.

    Ia melanjutkan, “Jadi, kalau cuma 1 persen, tidak akan berpengaruh ke konsumsi bahan bakar maupun tarikan kendaraan.”

    Oleh sebab itu, dia memandang penolakan SPBU swasta terhadap BBM dasar Pertamina menjadi berlebihan. “Saya melihat ini lebih ke isu yang digunakan untuk menekan pemerintah agar mengeluarkan lagi kuota impor mereka,” kata Prof. Tri.

    Sementara itu, dosen program studi Rekayasa Minyak dan Gas Institut Teknologi Sumatera (Itera) Muhammad Rifqi Dwi Septian memandang kekhawatiran penggunaan etanol terhadap kerusakan mesin kendaraan merupakan hal yang berlebihan.

    “Kalau produksinya sesuai standar dan sistem penyimpanannya baik, risikonya sangat kecil. Apalagi kendaraan modern sekarang sudah kompatibel dengan bahan bakar campuran etanol,” kata Rifqi.

    Ia mengatakan penggunaan etanol dalam BBM dasar justru membawa dampak positif bagi kualitas udara.

    “Etanol memiliki kandungan oksigen yang tinggi, sehingga pembakarannya lebih sempurna. Itu membuat kadar karbon monoksida dan hidrokarbon tidak terbakar bisa berkurang. Artinya, lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

    Sebelumnya, pada 1 Oktober 2025, Wakil Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Achmad Muchtasyar mengungkapkan SPBU swasta batal membeli BBM dasar dari Pertamina karena ada kandungan etanol.

    Sementara Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi pada 6 Oktober 2025, mengatakan mobil-mobil di Indonesia sudah kompatibel dengan kandungan etanol dalam BBM hingga 20 persen.

    Namun, dia mengatakan Indonesia masih menganut campuran etanol hingga sebesar 5 persen karena mempertimbangkan ketersediaan bahan baku etanol di dalam negeri, seperti jagung dan tebu.

    Selain itu, dia mengatakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia tidak mau mengimpor bahan baku etanol tersebut, sehingga kandungan etanol dalam BBM di Indonesia belum mencapai 20 persen.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PLN Bakal Ganti Pembangkit Diesel di Indonesia Timur dengan PLTS

    PLN Bakal Ganti Pembangkit Diesel di Indonesia Timur dengan PLTS

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama PT PLN (Persero) sepakat untuk melakukan dedieselisasi pembangkit listrik di Indonesia timur. Ini dilakukan demi menekan harga listrik di wilayah tersebut.

    Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menuturkan, harga listrik di Indonesia timur mencapai 70 sen per kWh, sedangkan harga listrik di Jawa rata-rata senilai 3 sampai 4 sen per kWh.

    “Kalau kita bicara Indonesia timur, jadi Indonesia timur harga diesel di sana untuk membangkitkan 1 kWh listrik itu membutuhkan 70 sen,” ucap Eniya dalam acara Indonesia Energy Transition Dialogue 2025 di Jakarta, Senin (6/10/2025).

    Asal tahu saja, dedieselisasi merupakan program yang diinisiasi oleh PLN untuk mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) menjadi pembangkit energi baru terbarukan (EBT), seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dikombinasikan dengan sistem penyimpanan energi (baterai).

    Eniya menilai membangun PLTS yang dikombinasikan dengan baterai bisa lebih murah dibanding pembangkit diesel.

    “Nah, pada saat kita bicara renewable energy mungkin membangun photovoltaic, membangun baterai di sana akan jauh lebih murah saat ini,” ucapnya.

    Kendati demikian, Eniya mengatakan bahwa penentuan harga listrik dari PLTS dan baterai masih menjadi pekerjaan rumah. Menurutnya, pembangunan pembangkit listrik EBT di kawasan Indonesia timur membutuhkan investasi senilai Rp1.682 triliun.

    “Itu bukan angka yang kecil, kami inginkan adanya kolaborasi internasional dengan JETP [Just Energy Transition Partnership],” kata Eniya.

    Sebelumnya, PLN menginisiasi program dedieselisasi 5.400 unit PLTD dengan total kapasitas 3,5 GW dengan pembangkit energi terbarukan setempat untuk memberikan listrik yang cukup untuk tingkat akses listrik dengan level tier-3 (minimum 692kWh/cap/tahun).

  • Stok BBM SPBU Swasta Langka, YLKI Minta Pemerintah Pastikan Hak Konsumen Terpenuhi

    Stok BBM SPBU Swasta Langka, YLKI Minta Pemerintah Pastikan Hak Konsumen Terpenuhi

    Bisnis.com, JAKARTA — Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan bahwa konsumen berhak untuk mendapat BBM dengan kualitas dan kuantitas sesuai standar.

    Hal ini merespons polemik kelangkaan BBM di SPBU swasta seperti Shell, BP, hingga Vivo. Bahkan, stok bensin di SPBU Shell habis total. Sementara itu, stok BBM di SPBU BP dan Vivo diproyeksi habis total pada Oktober ini.

    Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo mengatakan, pada dasarnya, konsumen tidak mau tahu mengenai proses bisnis di belakangnya. Dia menekankan hal terpenting bagi konsumen adalah ketersediaan dan keterjangkauan. Oleh karena itu, pemerintah sebagai regulator maupun penengah harus memegang prinsip tersebut.

    “Kami sebagai konsumen juga berhak BBM yang standar baik secara kualitas maupun kuantitas. Lagi-lagi, pemerintah yang harus memastikan itu agar semua BBM yang dibeli konsumen memenuhi standar,” ucap Rio kepada Bisnis, Senin (6/10/2025).

    Dia mengatakan, tahun ini harus menjadi pelajaran betul bagi pemerintah bahwa ada dua persoalan. Pertama, soal gonjang-ganjing kualitas BBM Pertamax. Kedua, kekosongan stok BBM di SPBU swasta. 

    YLKI pun meminta pemerintah membenahi tata kelola BBM dari hulu hingga hilir agar hak konsumen tidak dikorbankan dan kepercayaan konsumen tergerus.

    Rio juga menuturkan, persoalan BBM berada di ranah legal policy dan wisdom policy. Karena itu, habisnya stok BBM SPBU swasta karena kuota impor yang telah terpakai merupakan komitmen legal policy pemerintah dengan SPBU swasta. 

    “Tapi mengisi kekosongan SPBU swasta menjadi wisdom policy pemerintah karena memperhatikan aspek ekonomi dan ketenagakerjaan,” imbuh Rio.

    Untuk mengatasi ini, YLKI mendorong pendekatan wisdom policy pemerintah. Pendekatan wisdom policy diharapkan menjadi win-win solution bagi pemerintah dan swasta demi keberlanjutan konsumen.

    Rio menambahkan bahwa habisnya stok BBM pemerintah padahal belum akhir tahun menandakan pemerintah lost control mengenai penjualan BBM oleh swasta. 

    “Ke depan pemerintah harus kontrol stok SPBU swasta secara periodik dan memberikan alarm jika stok sudah menipis,” ucapnya.

    Adapun, terkait kelangkaan stok BBM di SPBU swasta ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM memberi solusi dengan meminta mereka membeli BBM base fuel dari Pertamina. Pasalnya, Pertamina masih memiliki kuota impor BBM yang belum terpakai.

    Apalagi, SPBU swasta sudah tak diberikan tambahan impor lantaran pemerintah telah memberikan tambahan kuota 2025 kepada SPBU swasta sebesar 10% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Dengan begitu, kuota impor BBM SPBU swasta pada tahun ini mencapai 110%.

    Di sisi lain, pihak SPBU swasta termasuk BP belum sepakat membeli base fuel dari Pertamina. Hal ini terjadi lantaran base fuel itu mengandung etanol yang mencapai 3,5%.

  • Mendagri tegaskan peran krusial pemda dalam operasional PSEL

    Mendagri tegaskan peran krusial pemda dalam operasional PSEL

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan pemerintah daerah memegang peran yang krusial dalam operasional proyek Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) atau waste to energy.

    “Yang paling utama adalah membentuk collection system, mulai dari penyediaan tempat sampah di masyarakat, pengumpulan melalui sistem transportasi, hingga pengantaran ke TPA,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

    Secara garis besar ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi Pemda untuk bisa memulai proyek PSEL. Pertama, ketersediaan lahan, kedua adalah volume sampah minimal 1.000 ton per hari, dan yang ketiga adalah kemampuan anggaran daerah untuk mengangkut sampah ke insinerator PSEL.

    Setelah sampah terkumpul di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), Pemda juga harus memastikan ketersediaan lahan untuk pemasangan alat insinerator sebagai inti dari proses pengolahan energi.

    Saat ini, Kemendagri bersama Bappenas, Kementerian ESDM, dan Kemenko Pangan telah menetapkan 10 daerah prioritas yang akan menjadi lokasi awal pembangunan PSEL. Wilayah-wilayah ini dipilih karena memenuhi syarat volume sampah minimal 1.000 ton per hari, baik secara individu maupun lewat kerja sama antarwilayah.

    Menanggapi hal itu, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, menilai PSEL sebagai terobosan progresif untuk menjawab tantangan pengelolaan sampah nasional. Namun, ia menekankan pentingnya koordinasi antara Pemda dan masyarakat agar sistem berjalan efektif.

    “Syarat utama PSEL adalah sampah harus dipilah sejak dari sumbernya—mulai dari rumah tangga, RT, RW, hingga tingkat kota. Kalau sampah masih tercampur, insinerator tidak akan bisa bekerja optimal,” kata Nirwono dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

    Nirwono juga mengingatkan bahwa proyek PSEL harus sejalan dengan prinsip pengurangan sampah dari sumbernya, bukan hanya pengolahan.

    “Pengelolaan sampah menjadi energi listrik sebaiknya tidak dijadikan solusi utama. Harus ada program pengurangan produksi sampah sejak dari sumbernya. Kalau tidak, PSEL justru bisa mendorong peningkatan jumlah sampah di daerah,” ujarnya.

    Salah satu daerah yang bersiap menerapkan proyek PSEL adalah Kabupaten Bekasi. Bupati Bekasi Ade Kuswara menargetkan, pembangunan PSEL di wilayahnya dapat terealisasi pada akhir 2026.

    “Proyeksi terealisasinya insyaallah akhir 2026. Jadi kita harus segera menutup kekurangan lahan ini. Saya sudah koordinasi dengan Kemendagri, bahwa lahan bisa dialokasikan di titik lain,” kata Ade.

    Menurutnya, persoalan sampah di daerah sudah mendesak untuk diselesaikan. Dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat, Pemda memiliki peluang besar menuntaskan permasalahan ini secara berkelanjutan.

    “Kalau kita tidak ikut program PSEL ini rugi, karena ini didanai oleh pusat. Artinya, sampah yang ada di Kabupaten Bekasi kalau sudah berjalan, Insya Allah 80 persen bisa diubah jadi energi listrik,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • ESDM Sebut Mobil di Indonesia Kompatibel Etanol hingga 20 Persen, Benarkah?

    ESDM Sebut Mobil di Indonesia Kompatibel Etanol hingga 20 Persen, Benarkah?

    Jakarta

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut mobil di Indonesia sudah cocok dengan kandungan etanol dalam bahan bakar minyak (BBM) hingga 20 persen. Benarkah?

    “Sebetulnya, mobil-mobil mau merek apa pun itu, sudah kompatibel dengan etanol. Secara teknis, secara kemampuan mesin, itu maksimal bisa 20 persen,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi ketika ditemui di Jakarta, Senin dikutip dari Antara.

    Lebih lanjut, Eniya menjelaskan Pertamina melalui produk Pertamax Green 95 melakukan uji coba pasar untuk bensin dengan kandungan etanol.

    Adapun bensin yang digunakan berbasis kepada Pertamax, karena Pertamax Green 95 merupakan BBM non-PSO atau penugasan pemerintah.

    “Pertamax Green 95 itu, 5 persen (kandungan etanolnya), tetapi dipastikan suplainya dari dalam negeri, campurannya dipastikan 5 persen,” kata Eniya.

    Meskipun mobil-mobil di Indonesia sudah kompatibel dengan kandungan etanol di dalam BBM hingga 20 persen, Indonesia masih menganut campuran etanol sebesar 5 persen.

    Kebijakan tersebut disebabkan oleh pemerintah yang masih mempertimbangkan ketersediaan bahan baku etanol di dalam negeri, seperti jagung dan tebu. Sedangkan, di negara-negara lain, kandungan etanol di dalam BBM sudah lumrah ditemukan, bahkan hingga 20 persen seperti di Amerika Serikat.

    “Kalau kita mandatorikan (wajibkan), kami bingung sumber (etanolnya) di mana, karena Pak Menteri (Menteri ESDM Bahlil Lahadalia) nggak mau impor,” ucapnya.

    Lantas bagaimana rekomendasi pabrikan soal penggunaan etanol sebagai bahan bakar?

    Mengutip laman buku panduan manual Toyota Avanza, penggunaan campuran etanol pada mesin masih diperbolehkan. Namun kandungannya tidak lebih dari 10%.

    “Toyota membolehkan penggunaan bahan bakar campuran ethanol dengan kandungan hingga 10%. Pastikan bahwa campuran bahan bakar dengan ethanol yang digunakan memiliki angka oktan sesuai dengan di atas,” tulis keterangan dalam buku manual itu.

    Pun untuk angka oktan yang sesuai pada mobil Avanza merujuk pada BBM tanpa timbal dengan angka oktan 90 (sekelas Pertalite) atau lebih tinggi. Senada dengan Avanza, dalam buku panduan manual Mitsubishi Xpander pencampuran hingga 10% etanol dan 90% bensin bebas timbal masih bisa dilakukan.

    “Agar dapat menghasilkan kadar oktan yang setidaknya sama dengan rekomendasi minimal untuk bensin bebas timbal,” tulis keterangan di buku panduan manual Xpander.

    Begitu juga mobil Hyundai Stargazer. Pencampuran etanol dengan kadar 10% masih diperbolehkan. Tapi kalau lebih dari itu tidak diizinkan.

    “Jangan menggunakan gasohol yang mengandung lebih dari 10% etanol dan jangan menggunakan bensin atau gasohol yang mengandung metanol apapun. Salah satu dari bahan bakar ini dapat menyebabkan masalah drivability dan kerusakan pada sistem bahan bakar, sistem kontrol mesin, dan sistem kontrol emisi,” begitu keterangan di buku panduan Hyundai Stargazer.

    (riar/dry)

  • ESDM bidik nelayan pakai PLTS jadi sumber energi penyimpanan ikan

    ESDM bidik nelayan pakai PLTS jadi sumber energi penyimpanan ikan

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan nelayan menggunakan fotovoltaik (PV) untuk menjadi sumber energi dalam cold storage atau gudang penyimpanan ikan, untuk menciptakan demand pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

    “Demand creation itu kami melihatnya, misalkan pemakaian PV di cold storage,” ucap Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi dalam “Delivering Impactful Energy Transition” di Jakarta, Senin.

    Penggunaan PLTS bagi para nelayan tak terbatas di gudang penyimpanan. Nelayan, kata dia, juga bisa memanfaatkan PLTS untuk kebutuhan penerangan saat melaut pukul 2 pagi.

    “Jam 2 pagi itu mereka (nelayan) sudah jalan, penerangannya menggunakan baterai dari sel surya, sehingga tidak boros solar, tidak bolos diesel,” tutur Eniya.

    Menurut Eniya, program-program penggunaan PLTS bagi para nelayan, meski kapasitasnya cenderung kecil, efektif untuk turut mewujudkan target pemanfaatan PLTS sebesar 100 GW.

    Upaya mengarusutamakan penggunaan PLTS tidak terbatas di kalangan nelayan. Eniya juga menargetkan agar koperasi desa, puskesmas, hingga kendaraan listrik juga menggunakan PLTS sebagai sumber listriknya.

    Langkah itu, kata Eniya, juga selaras dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto untuk mengakselerasi pertumbuhan PLTS.

    “Program-program kecil seperti ini kami akan address, ya, di dalam penggunaan 100 GW fotovoltaik,” ujar Eniya.

    Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan pihaknya sedang membangun desain besar PLTS 100 gigawatt (GW) yang mendorong ketersediaan listrik bagi Kopdes Merah Putih.

    Bahlil mengatakan PLTS tersebut akan dibangun untuk semua desa, sehingga turut menjadi peluang baru bagi pengusaha baterai listrik di tanah air untuk memanfaatkan pasar yang masif.

    Kebutuhan baterai dalam negeri hingga 2034 mencapai 392 gigawatt hour (GWh) yang mencakup kebutuhan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, mobil dan motor listrik, peluang ekspor listrik dan program membangun 100 GW PLTS.

    Sedangkan, potensi pasar internasional mencakup 3.500 GWh pada 2030, dan 500 miliar dolar Amerika Serikat (AS) potensi pasar baterai kendaraan listrik global pada periode yang sama.

    Pewarta: Putu Indah Savitri
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.