Kementrian Lembaga: kemenpupr

  • Komdigi Sambungkan Internet Cepat 200 Mbps ke Sekolah Rakyat di Yogyakarta

    Komdigi Sambungkan Internet Cepat 200 Mbps ke Sekolah Rakyat di Yogyakarta

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mulai merealisasikan program prioritas Presiden Prabowo Subianto dengan penyediaan akses internet cepat ke dua Sekolah Rakyat (SR) di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

    Dua sekolah yang menjadi sasaran awal program ini adalah Sekolah Rakyat Menengah Atas 19 Kabupaten Bantul dan Sekolah Rakyat Menengah Atas 20 Kabupaten Sleman.

    “Sekolah ini nanti didesain sesuai arahan Bapak Presiden adalah sekolah dengan smart school, di mana semuanya sangat tergantung juga dengan layanan internet yang diberikan oleh teman-teman Komdigi,” kata Meutya Hafid dikutip dari laman resmi Komdigi pada Sabtu (28/6/2025)

    Adapun SR di Sleman mendapatkan layanan internet berkecepatan 100 Mbps untuk mendukung kegiatan belajar 75 siswa dari tiga rombongan belajar. 

    Sementara itu, SR di Bantul menerima koneksi lebih besar, yakni 200 Mbps, yang akan dimanfaatkan oleh 200 siswa dari lima kabupaten/kota di DIY.

    Meutya Hafid menegaskan SR adalah program Presiden yang diamanahkan kepada seluruh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Menurutnya program ini merupakan bagian dari komitmen Kemkomdigi dalam mendukung agenda besar transformasi digital nasional. 

    “Terutama bagi kelompok rentan. Internet cepat dinilai sebagai elemen vital untuk menunjang konsep smart school yang diusung Presiden,” katanya. 

    Dalam kesempatan tersebut, Meutya Hafid didampingi oleh Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Wayan Toni Supriyanto yang menegaskan bahwa dukungan teknis terhadap infrastruktur digital sekolah akan terus dipantau dan ditingkatkan. Turut hadir pula Kepala BPSDM Kementerian Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto. Di sisi lain, bantuan tersebut diterima langsung oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial Robben Rico. 

    “Sinergi antar kementerian dan lembaga menjadi kunci dalam mewujudkan sistem pendidikan yang inklusif dan merata di seluruh Indonesia,” katanya. 

    Peluncuran resmi program Sekolah Rakyat direncanakan akan dilakukan langsung oleh Presiden Prabowo pada 14 Juli 2025 mendatang.

    Target Sekolah Rakyat

    Sebelumnya, Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo Priyono menjelaskan program ini merupakan upaya nyata pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi sekaligus menciptakan harapan baru bagi keluarga kurang mampu.

    Agus menjelaskan, sejak perintah turun pada Januari lalu, Kemensos berupaya keras mewujudkan 100 Sekolah Rakyat. 

    “Kami membentuk tim formatur yang diketuai Prof. M. Nur, mantan Menteri Pendidikan, serta satgas-satgas lintas kementerian untuk memastikan seluruh aspek berjalan baik, mulai dari guru, sarana prasarana, hingga anggaran,” ujar Agus dalam acara Diskusi Redaksi (Diksi) di Jakarta, Rabu (25/6/2025).

    Kemensos menargetkan pada tahap 1 akan Sekolah Rakyat akan dibangun di 100 lokasi dengan total siswa yang dapat ditampung sebanyak 9.755 siswa. Kemudian untuk jumlah guru dan tenaga pendidik masing-masing berjumlah 1.554 guru dan 3.390 tenaga pendidik. 

    Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo Priyono mengungkap rencana pengembangan Sekolah Rakyat

    Jika tahap I berjalan baik, akan dilanjutkan  tahap II dengan potensi lokasi sebanyak 167 lokasi.

    Pada tahap ini jumlah siswa yang ditampung targetnya sebanyak 10.600 siswa. Alhasil, total siswa yang mengikuti Sekolah Rakyat lebih dari 20.000 siswa.

    Kemudian pada tahap II, jumlah guru dan tenaga pendidik terlibat masing-masing sebanyak 2.180 guru dan 4.069 tenaga pendidik. 

    Agus menjelaskan dalam mewujudkan target tersebut, Kemensos berperan sebagai penyedia data siswa calon peserta didik, sedangkan kementerian lain seperti Kemendikbud, Kemenkeu, dan KemenPUPR terlibat dalam penyediaan guru, fasilitas, dan pendanaan. 

    “Kami juga menginventarisasi aset Kemensos, mengirim surat ke gubernur, bupati, dan walikota untuk dukungan aset daerah, serta memanfaatkan sentra-sentra rehabilitasi sosial untuk direvitalisasi menjadi sekolah,” tambahnya.

  • Wamensos Ungkap Seluk-beluk Sekolah Rakyat: Target hingga Harapan

    Wamensos Ungkap Seluk-beluk Sekolah Rakyat: Target hingga Harapan

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Sosial (Kemensos) menggenjot pelaksanaan program Sekolah Rakyat, sebuah inisiatif pendidikan yang ditujukan khusus untuk anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem di seluruh Indonesia. Targetnya, tahun ini Sekolah Rakyat dapat menampung total 20.000 siswa.

    Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo Priyono menjelaskan program ini merupakan upaya nyata pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan antargenerasi sekaligus menciptakan harapan baru bagi keluarga kurang mampu.

    Agus menjelaskan, sejak perintah turun pada Januari lalu, Kemensos berupaya keras mewujudkan 100 Sekolah Rakyat. 

    “Kami membentuk tim formatur yang diketuai Prof. M. Nur, mantan Menteri Pendidikan, serta satgas-satgas lintas kementerian untuk memastikan seluruh aspek berjalan baik, mulai dari guru, sarana prasarana, hingga anggaran,” ujar Agus dalam acara Diskusi Redaksi (Diksi) di Jakarta, Rabu (25/6/2025).

    Kemensos menargetkan pada tahap 1 akan Sekolah Rakyat akan dibangun di 100 lokasi dengan total siswa yang dapat ditampung sebanyak 9.755 siswa. Kemudian untuk jumlah guru dan tenaga pendidik masing-masing berjumlah 1.554 guru dan 3.390 tenaga pendidik. 

    Jika tahap I berjalan baik, akan dilanjutkan  tahap II dengan potensi lokasi sebanyak 167 lokasi.

    Pada tahap ini jumlah siswa yang ditampung targetnya sebanyak 10.600 siswa. Alhasil, total siswa yang mengikuti Sekolah Rakyat lebih dari 20.000 siswa.

    Kemudian pada tahap II, jumlah guru dan tenaga pendidik terlibat masing-masing sebanyak 2.180 guru dan 4.069 tenaga pendidik. 

    Lokasi 100 titik Sekolah Rakyat

    Agus menjelaskan dalam mewujudkan target tersebut, Kemensos berperan sebagai penyedia data siswa calon peserta didik, sedangkan kementerian lain seperti Kemendikbud, Kemenkeu, dan KemenPUPR terlibat dalam penyediaan guru, fasilitas, dan pendanaan. 

    “Kami juga menginventarisasi aset Kemensos, mengirim surat ke gubernur, bupati, dan walikota untuk dukungan aset daerah, serta memanfaatkan sentra-sentra rehabilitasi sosial untuk direvitalisasi menjadi sekolah,” tambahnya.

    Konsep Boarding School untuk Anak Miskin

    Dia menjelaskan Sekolah Rakyat dirancang sebagai sekolah berasrama (boarding school) dengan jenjang dari SD hingga SMA. Fasilitas yang disediakan sangat lengkap, mulai dari ruang kelas, asrama, dapur, ruang makan, lapangan olahraga, tempat ibadah, hingga perpustakaan. 

    “Walaupun siswanya dari keluarga miskin, fasilitas yang diberikan setara dengan sekolah unggulan. Ini sesuai perintah Presiden,” tegas Agus.

    Benchmark sekolah ini adalah sekolah unggulan milik CT Arsa Sukoharjo dan MAN Insan Cendikia Serpong, yang terbukti mampu melahirkan lulusan berkualitas dan berkarakter. 

    Dia menekankan ada tiga hal penting yang harus didapatkan anak-anak miskin saat bersekolah di Sekolah Rakyat. 

    “Ilmu pengetahuan, karakter kebangsaan dan agama, serta keterampilan hidup,” jelasnya.

    Agus mengatakan selain membangun sekolah dan karakter anak, program ini juga menyasar perbaikan rumah dan pemberdayaan ekonomi 500.000 kepala keluarga miskin. 

    Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang Pengentasan dan Penghapusan Kemiskinan menjadi landasan kuat program ini. Dia berharap Sekolah Rakyat menciptakan harapan dan kebahagiaan baru bagi orang miskin. 

    “Mayoritas mereka adalah buruh informal di sektor pertanian, dengan penghasilan rata-rata Rp900.000–Rp2 juta. Program ini tidak hanya memutus rantai kemiskinan, tapi juga memuliakan dan memberdayakan orang miskin,” tegas Agus.

  • Meski Dinilai Sempit, Rumah Subsidi 18 Meter Diprediksi Tetap Laku Terjual

    Meski Dinilai Sempit, Rumah Subsidi 18 Meter Diprediksi Tetap Laku Terjual

    JAKARTA – Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial UI, Rissalwan Handy mengungkapkan ukuran rumah subsidi seluas 18 meter sebenarnya tidak sesuai dengan hitung-hitungan Badan Pusat Statistik (BPS) di mana ukuran ideal rumah subsidi bagi warga miskin adalah 32 meter persegi.

    Dia menjelaskan, angka itu diperoleh dari perkiraan kebutuhan ruang bagi setiap orang sekitar 8 meter persegi. Dengan asumsi satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak, maka keluarlah angka luas rumah sekitar 32 meter persegi.

    “Jadi, ini lebih dari perspektif kontraktor supaya rumah tersedia. Risikonya apa? Seandainya rumah itu kecil, tapi fasos dan fasumnya memadai, saya kira enggak masalah. Artinya, jalan tidak sempit,” ujarnya, Minggu 22 Juni 2025.

    Rissalwan mencontohkan ukuran rumah-rumah di kawasan padat penduduk seperti di Johar Baru dan Tambora, Jakarta Barat yang bahkan lebih kecil dari tipe 21. Bahkan, masih ada hunian yang luasnya yang cuma 10 meter.

    Rumah seluas 18 meter, kata dia, sebenarnya masih layak ditempati oleh keluarga baru dengan satu anak. Rumah juga bisa dibangun vertikal jika anggota keluarga bertambah. Hal terpenting adalah jalanan di perumahan subsidi dibangun luas serta permukiman dilengkapi fasilitas umum dan fasilitas sosial yang memadai.

    “Jalan sempit enggak bisa diakses kalau ada kebakaran. Enggak bisa diselamatkan. Apakah laku? Tentu saja kita lihat dari supply and demand. Kalau dari sisi supply, tadi tentu kontraktor, dalam hal ini pemerintah, juga ingin memenuhi target perumahan. Kita tahu sekarang harga tanah dan material juga tinggi. Jadi, ini dibuat kecil justru supaya terbeli,” imbuhnya.

    Rissalwan optimistis rumah seluas 18 meter persegi akan tetap akan laris manis. Apalagi, saat ini banyak pekerja Jakarta yang sudah tidak lagi mampu membeli rumah tipe 36.

    “Selama lingkungannya tidak kumuh. Jangan juga rumahnya kecil, tapi jalannya sempit. Ini membuat orang jadi stres. Enggak ada fasos, fasum, dan enggak punya teman,” tutupnya.

    Seperti diketahui, ketentuan pengurangan ukuran rumah bersubsidi tertera dalam Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), di mana ukuran luas bangunan rumah bersubsidi dirancang minimal 18 meter persegi dan maksimal 36 meter persegi.

    Sementara itu sesuai aturan yang saat ini masih berlaku, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023, ukuran luas bangunan rumah subsidi minimal 21 meter persegi dan maksimal 36 persegi. Luas tanah minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi.

  • Akankah Jadi Jawaban Kesulitan Kelas Menengah?

    Akankah Jadi Jawaban Kesulitan Kelas Menengah?

    JAKARTA – Kelas menengah disebut kesulitan membeli rumah karena harganya yang semakin tak terjangkau. Rumah subsidi seluas 18 meter persegi yang sedang digodok pemerintah sejauh ini tidak menarik minat masyarakat.

    Rumah subsidi berukuran 18 meter persegi menjadi perbincangan khalayak setelah Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman Maruarar Sirait mengeluarkan wacana tersebut.

    Kata pria yang karib disapa Ara ini, wacana tersebut disampaikan sebagai solusi perumahan di perkotaan. Menurutnya, generasi muda menginginkan rumah yang dekat dengan tempat kerja atau di tengah kota.

    Wacana pengurangan luas rumah subsidi tertuang dalam draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomoe/KPTS/M/2025. Di draf tersebut dijelaskan bahwa luas tanah dikurangi menjadi 25 meter persegi, sedangkan luas bangunan minimal 18 meter persegi.

    Padahal dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023, ditentukan bahwa luas rumah tapak subsidi adalah minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi. Sementara luas bangunan ditetapkan minimal 21 meter persegi sampai 36 meter persegi.

    Mirip Rumah Barbie

    Rancangan aturan baru terkait luas rumah subsidi memang masih dalam proses pembahasan dan uji publik. Namun, masyarakat kadung menolak gagasan tersebut.

    Apalagi, di tengah proses Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menggodok aturan baru tersebut, Lippo Group mengeluarkan contoh rumah subsidi 14 meter persegi.

    Representasi visual atau mock-up konsepnya bahkan sudah dipamerkan di lobi Nobu Bank, Plaza Semanggi, Jakarta. James Riady selaku CEO Lippo Group bilang, rumah tipe satu kamar tidur itu dibanderol mulai Rp100 juta, bisa disetujui masuk skema subsidi. Konsumen disebut bisa mencicil Rp600 ribu per bulan dengan bunga flat.

    Pameran rumah subsidi ini memang berhasil menarik perhatian banyak orang. Tapi berdasarkan reaksi di media sosial, banyak yang mengeluhkannya. Dengan luas bangunan hanya 14 meter persegi, interior rumah dibuat minimalis.

    Terdapat dua ruangan utama yang terpisah dinding, yaitu kamar tidur dan ruangan serbaguna. Di pameran tersebut, ruangan serbaguna ini berisi sofa dan meja, kompor listrik, mesin cuci, kulkas, hingga tempat cuci piring. Saking kecilnya rumah tersebut, warganet menyebut rumah subsidi seperti rumah Barbie.

    Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP Sri Haryati menyampaikan keterangan kepada awak media, di Jakarta, Senin (16/6/2025). (ANTARA/Aji Cakti)

    Rumah contoh dengan lebar 2,6 meter ini mendapat reaksi negatif dari warganet. Terlebih lokasi rumah mungil itu kecil kemungkinan berada di dalam Kota Jakarta. Padahal, generasi Z dan generasi milenial mengharapkan rumah harga terjangkau ini dibangun di Jakarta. Salah satu alasannya adalah supaya tak kehabisan energi karena harus jauh-jauh menempuh perjalanan dari rumah ke kantor, yang biasanya di Kota Jakarta.

    Sejauh ini memang belum ada informasi pasti di mana rumah mungil ini akan dibangun. Tapi Dirjen Perumahan Perkotaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Sri Haryati berujar, kecil kemungkinan hunian tersebut berlokasi di Jakarta.

    “Mungkin yang dekat dengan pinggiran Jakarta, supaya harganya masih masuk,” ucap Sri.

    Selama ini, rumah subsidi memang banyak dibangun di luar Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi, karena harga tanahnya masih terbilang terjangkau.

    “Dengan harga yang kemarin kita sampaikan itu, ada di koridor timur, Cikampek, Purwakarta. Kalau di Bogor mungkin di daerah kabupatennya. Di area-area Tangerang,” kata Head of Project Management PT Lippo Karawaci Fritz Atmodjo, mengutip Antara.

    Tak Dinikmati Kelas Menengah

     Cikal bakal program rumah subsidi dimulai pada 1974, saat pemerintahan Presiden Soeharto memasukkan penyediaan rumah sederhana dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita) II.

    Program rumah subsidi terus berjalan hingga era Presiden Joko Widodo pada 2015 dengan tajuk Program Sejuta Rumah. Artinya, pemerintah memiliki target pembangunan satu juta hunian subsidi setiap tahun.

    Sampai Oktober 2024, program ini diklaim telah berhasil membangun 9.872.741 unit rumah. Presiden Prabowo Subianto pun melanjutkan program ini setelah. Targetnya adalah membangun tiga juta rumah.

    Meski berganti pemerintahan, sejak dulu fokus utama program ini adalah menyediakan hunian yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR.

    Namun batas penghasilan MBR yang berhak membeli rumah subsidi ini kemudian juga menjadi polemik. Menurut Peraturan Menteri PKP Nomor 5 Tahun 2025, batas maksimal penghasilan MBR berbeda tergantung zona wilayah di seluruh Indonesia.

    Sejumlah warga berjalan di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (30/8/2024). (ANTARA/Fauzan/nym)

    Daerah Jabodetabek misalnya, batas maksimal penghasilan untuk warga yang tidak kawin sebesar Rp12 juta per bulan, dan kawin dengan satu orang peserta Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) sebesar Rp14 juta per bulan.

    Namun menurut ekonom Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira batas maksimal penghasilan ini hanya membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka yang kelas menengah justru tidak masuk syarat membeli rumah subsidi. Hal ini, kata Bhma, menunjukkan pemerintah memang melupakan kelas atas.

    “Dianggap selama mereka bekerja, tidak menganggur, buat apa dibantu pemerintah?” kata Bhima.

    “Jadi memang kebijakannya ‘bolong di tengah’. Meski ada pertumbuhan ekonomi, kelas menengah tidak menikmati itu,” kata dia menambahkan.

  • Rumah Subsidi Diubah jadi 18 Meter, Apersi Pertanyakan Serapan Pasar

    Rumah Subsidi Diubah jadi 18 Meter, Apersi Pertanyakan Serapan Pasar

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman (Apersi) mempertanyakan kejelasan kebutuhan pasar apabila pemerintah benar-benar merevisi batas luas bangunan minimum rumah subsidi menjadi 18 meter persegi.

    Sekretaris Jenderal (Sekjen) Apersi, Deddy Indrasetiawan mengaku pihaknya siap untuk segera menjalankan regulasi tersebut sejauh pemerintah dapat meyakinkan bahwa produk tersebut bakal diserap pasar.

    “Kita siap-siap saja kalau harus disuruh bangun 18/25 [tipe 18 dengan luas tanah 25 m2], atau tipe 18/30 m2 ya, permasalahannya apakah pasar ini akan menyerap?” jelasnya saat ditemui di Jakarta Timur, Jumat (20/6/2025).

    Di samping itu, Deddy juga turut menyoroti rencana pemerintah yang hendak membangun rumah minimalis tersebut di wilayah perkotaan. Dalam kalkulasinya, hal itu sulit untuk masuk apabila dibanderol menjadi rumah subsidi.

    Dengan mempertimbangkan harga tanah di perkotaan yang sudah cenderung tinggi, Deddy menyebut rencana membangun rumah minimalis di perkotaan itu bakal menyasar masyarakat menengah.

    “Jadi sebenarnya yang 18/25 atau 18/30 ini sebenarnya masuk nih [kalau dijual secara komersil], kalau bicara di tengah kota masuknya di MBT masyarakat berpenghasilan tanggung. Jadi mungkin di sekitaran kisaran harga di bawah [Rp]500 juta,” tegasnya.

    Untuk diketahui, pemerintah saat ini tengah dalam tahap sosialisasi dan uji publik yang hendak mengubah batas luas lantai rumah subsidi untuk di revisi menjadi 18 m2 (luas bangunan) dan 25 m2 (luas tanah). 

    Rencana perubahan tersebut telah diatur dalam draf perubahan Keputusan Menteri PKP Nomor –/KPTS/M/2025. Dalam rumusan beleid itu, juga ditetapkan bahwa luas tanah paling rendah rumah subsidi yakni 25 m2 dan paling tinggi yakni 200 m2, sedangkan luas lantai rumah paling rendah yakni 18 m2 dan paling tinggi 36 m2. 

    Pada aturan yang lama, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023, ditetapkan bahwa luas tanah paling rendah yakni 60 meter persegi dan paling tinggi 200 meter persegi. 

    Kemudian, luas lantai rumah paling rendah sebesar 21 meter persegi dan paling tinggi 36 meter persegi.

  • Soal Rumah Subsidi Mini, REI: Lebih Baik Fokus Hunian Vertikal

    Soal Rumah Subsidi Mini, REI: Lebih Baik Fokus Hunian Vertikal

    Bisnis.com, JAKARTA — Real Estat Indonesia (REI) menilai lebih baik pemangku kepentingan sektor perumahaan fokus terhadap hunian vertikal untuk mengatasi backlog di perkotaan, alih-alih memangkas ukuran rumah subsidi.

    Rencana perubahan luas rumah subsidi tercantum di dalam draf perubahan Keputusan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Nomor –/KPTS/M/2025. Dalam beleid itu, disebutkan luas tanah rumah bersubsidi minimal sebesar 25 meter persegi (m2) dan paling luas 200 m2. Adapun, luas lantai rumah paling rendah 18 m2 dan paling tinggi 36 m2.

    Sementara itu, dalam aturan lama yang masih berlaku, yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023, ditetapkan bahwa luas tanah rumah subsidi paling rendah 60 m2 dan paling tinggi 200 m2. Kemudian, luas lantai rumah subsidi minimal 21 m2 dan paling tinggi 36 m2.

    Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Joko Suranto menyampaikan pihaknya sudah menyampaikan masukan kepada Kementerian PKP terkait rencana pemangkasan ukuran minimal rumah subsidi. Ada tiga poin utama dalam pesan tersebut.

    Pertama, rencana kebijakan ini harus mengacu terhadap regulasi yang sudah ada, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan, hingga standar WHO.

    Menurut standar World Health Organization (WHO) luasan rumah minimal 9 m2 per jiwa, sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) menetapkan luasan rumah minimal 7,2 m2.

    “Jadi mana standar yang mau diambil [untuk rumah subsidi] mestinya berdasarkan ke sana [aturan yang sebelumnya sudah ada],” ujar Joko Suranto mengutip kanal YouTube tvOneNews, Rabu (18/6/2025).

    Poin kedua, terkait tingkat kelayakan hunian. Masyarakat Indonesia memiliki budaya silaturahmi yang kuat. Jangan sampai adanya aturan atau kebijakan baru mengamputasi budaya kekerabatan ini karena kecilnya ruangan rumah.

    Poin ketiga, rumah subsidi harus terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Harapannya, pemerintah dapat membuat kebijakan jangka panjang yang terukur.

    “Karena itu, kami sangat mendukung Program 3 Juta Rumah yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Hunian vertikal 1 juta unit adalah jawabannya, dan hampir seluruh dunia melakukan itu,” jelas Joko.

    Kemudian target 2 juta rumah di pedesaan dan pesisir berpeluang bisa dilakukan. Penyediaan rumah selain memastikan keberadaan fasilitas tempat tinggal juga mendorong lapangan kerja dan pergerakan ekonomi.

    Menurutnya, pemangku kepentingan sektor perumahan sebaiknya mendiskusikan skema hunian vertikal untuk masyarakat perkotaan. Apalagi, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara berkomitmen untuk memberikan pembiayaan senilai Rp130 triliun untuk mendukung pelaksanaan Program 3 Juta Rumah.

    “Mestinya kita bicara skema vertical housing bisa berjalan, sehingga tidak buang waktu mendiskusikan sesuatu yang mestinya lebih clear dari awal,” tutur Joko.

  • Kementerian Perumahan: Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Belum Final

    Kementerian Perumahan: Rumah Subsidi 18 Meter Persegi Belum Final

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) menegaskan aturan ambang batas luas rumah subsidi masih belum final meskipun pemerintah telah meluncurkan desain atau mock up.

    Direktur Jenderal (Dirjen) Perumahan Perkotaan Kementerian PKP menjelaskan draf Keputusan Menteri (Kepmen) yang mengatur batasan luas tanah dan luas lantai rumah umum tapak dan satuan rumah susun menjadi paling kecil seluas 25 meter persegi (luas Tanah) dan 18 meter persegi (luas lantai) saat ini masih dalam tahap uji publik.

    Dengan demikian, Sri memastikan bahwa payung hukum pengadaan rumah subsidi masih mengacu pada aturan lama yakni Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023 yang menetapkan bahwa luas tanah paling rendah yakni 60 meter persegi dan paling tinggi 200 meter persegi.

    Kemudian, dalam aturan lama juga ditetapkan bahwa luas lantai rumah paling rendah sebesar 21 meter persegi dan paling tinggi 36 meter persegi. 

    “Tapi sekali lagi yang sekarang berlaku masih menggunakan aturan Kepmen yang lama gitu ya. Nanti kalau ini sudah disetujui kita akan masukkan sebagai tambahan fitur, sebagai tambahan opsi bagi masyarakat,” tegasnya, Senin (16/6/2025).

    Pada saat yang sama, Sri juga menegaskan bahwa apabila Kepmen baru resmi ditetapkan bukan berarti rumah subsidi ukuran tanah 60 meter persegi tidak lagi berlaku.

    Adapun saat ini, penetapan Kepmen yang mengatur batas luas bangunan dan luas tanah rumah subsidi tersebut saat ini masih berada dalam lingkup pembahasan antara pemerintah, pelaku usaha dan konsumen.

    “Aturan ini pun kita tanyakan dulu ke calon pengguna atau yang nantinya akan beli. Tanyakan juga ke asosiasi pengembang yang nantinya akan membangun. Jadi ke seluruh stakeholder kita diskusikan. Nah nanti kemudian begitu kita tahu ada yang ideal, terus ada regulasi nih ada PP yang harus kita sesuaikan,” pungkasnya.

    Untuk diketahui sebelumnya, pemerintah hendak melakukan revisi pada batasan luas tanah dan luas lantai rumah umum tapak dan satuan rumah susun menjadi paling kecil seluas 25 meter persegi (luas Tanah) dan 18 meter persegi (luas lantai). 

    Bahkan rencana perubahan tersebut telah diatur dalam draf perubahan Keputusan Menteri PKP Nomor –/KPTS/M/2025. 

    Dalam beleid itu, ditetapkan bahwa luas tanah paling rendah rumah subsidi yakni 25 m2 dan paling tinggi yakni 200 m2. Sementara itu, luas lantai rumah paling rendah yakni 18 m2 dan paling tinggi 36 m2.

  • Bos Ciputra Buka Suara Soal Batas Minimal Luas Rumah Subsidi

    Bos Ciputra Buka Suara Soal Batas Minimal Luas Rumah Subsidi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berencana mengubah luas tanah rumah subsidi dari minimal 60 meter persegi menjadi 25 meter persegi dan luas bangunan minimal dari 21 meter persegi berkurang menjadi 18 meter persegi.

    Di sisi lain, besaran maksimal luas rumah subsidi tidak berubah dimana luas tanah maksimum tetap 200 meter persegi dan luas lantai paling besar 36 meter persegi.

    Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman tengah menggodok regulasi untuk mengubah luas tanah dan luas lantai rumah subsidi. Hal itu tertulis dalam draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Nomor/KPTS/M/2025 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan. Draf ini nantinya akan mengubah standar sebelumnya yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023.

    Managing Director PT Ciputra Development Tbk (CTRA) Budiarsa Sastrawinata mengatakan draft Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman terkait batasan luas lahan dan luas lantai rumah MBR ini memperluas dan memberikan pilihan bagi pengembang untuk membangun rumah subsidi di tengah lahan yang semakin terbatas dan harga yang tinggi di perkotaan. 

    “Ini menjadi pilihan bagi pengembang untuk membangun rumah subsidi di kota yang lahannya sudah mahal dan juga pilihan bagi konsumen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin tinggal di kota,” ujarnya saat menghubungi Bisnis, Kamis (5/6/2025). 

    Pihaknya tak menampik saat ini lokasi rumah subsidi berada di pinggiran kota dan tak jarang jauh dari transportasi umum. Hal ini karena lahan di perkotaan yang sudah tinggi sehingga tak bisa dibangun rumah subsidi. Lokasi yang berada di pinggiran kota dan bahkan pelosok membat MBR enggan membeli dan tinggal di rumah subsidi. 

    Menurut Budiarsa, dengan adanya perluasan minimal luas tanah dan bangunan rumah subsidi akan menjadi pilihan bagi MBR agar bisa memiliki rumah pertama. Draft beleid batasan minimal rumah subsidi tersebut bukan menjadi kewajiban yang harus diikuti. Pengembang masih bisa membangun rumah dengan ukuran luas bangunan maksimal 36 meter persegi. 

    Terkait kelayakan huni, rumah dengan ukuran 18 meter persegi ini juga dinilai layak menjadi tempat tinggal bagi MBR yang yang baru mulai bekerja. Dia meyakini seiring dengan kenaikan pendapatan, MBR pasti akan berpindah rumah dengan ukuran lebih besar. 

    “Ini kan pilihan tempat tinggal pertama, kalau dia sudah naik pendapatannya, maka akan mencari dan berpindah hunian yang ukurannya lebih besar,” katanya. 

    Dia berharap pemerintah juga menyesuaikan harga rumah susbidi untuk ukuran luas bangunan 18 meter persegi.

    Untuk diketahui, harga rumah subsidi tahun 2025 masih sesuai dengan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang Batasan Luas Tanah, Luas Lantai, dan Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak Dalam Pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka Perumahan. Dalam beleid tersebut, harga rumah subsidi untuk luas bangunan berukuran 21 meter persegi hingga 36 meter persegi mulai dari Rp166 juta hingga Rp240 juta. 

    “Jadi misalnya di kota harga rumah subsidi bisa Rp150 juta dengan ukuran 18 meter persegi, lalu dipinggiran harga rumah subsidi berbeda dengan ukuran yang lebih besar yakni 21 meter persegi hingga 36 meter persegi. Ini kan jadi pilihan untuk MBR. Kalau dia tidak mau rumah subsidi ukuran kecil ya bisa mencari di pinggiran kota yang lebih besar,” ucap Budiarsa. 

    Pihaknya berkomitmen dalam mendukung program pemerintah dalam penyediaan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat Indonesia.

    Adapun Ciputra Group telah membangun lebih dari 2.000 unit rumah subsidi yang salah satunya berada di Citra Maja City yang berada di Kota Baru Maja, Banten. Perumahan Citra Maja City salah satu proyek bagian dari Kota Baru Maja yang dicanangkan pemerintah sebagai Kota Baru Publik dalam RPJMN 2019-2024.

    Proyek perumahan terpadu yang menawarkan hunian berkualitas dengan harga terjangkau yang dirancang dan dikembangkan Pemerintah sebagai salah satu kota baru publik berdasarkan Perpres no. 52/2023. Hingga saat ini, Citra Maja City telah membangun 20.000 baik rumah subsidi dan komersial serta ruko yang kini dihuni oleh lebih dari 12.000 jiwa. Kawasan ini menerapkan Konsep Transit Oriented Development (TOD) dengan Stasiun KA Maja sebagai simpul pergerakan.

    Sebelumnya, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menuturkan rencana pemangkasan batas luas rumah subsidi menjadi 25 meter persegi itu dilakukan guna memperluas penyaluran rumah bagi masyarakat. Menurutnya, prinsip dari penyusunan draft peraturan tersebut adalah untuk mendorong pembangunan rumah subsidi di kawasan perkotaan di mana lahan yang ada sangat terbatas.

    “Tapi tujuan saya [penyusunan draft peraturan] sangat baik. Kenapa? Supaya makin banyak [masyarakat] yang bisa mendapat manfaat. Dan kira-kira ada nggak ruginya buat konsumen? atau malah nggak ada. Kan dia yang pilih rumahnya. Saya optimis kok peraturan ini sangat baik,” ujarnya. 

    Dia menilai ukuran bangunan rumah yang tidak terlalu luas sangat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lahan yang semakin terbatas. Dia meyakini dengan desain yang baik, rumah subsidi meskipun lahannya terbatas bisa dibangun bertingkat dan sesuai kebutuhan konsumen.

    Pihaknya sangat terbuka dengan berbagai masukan terkait draft Peraturan Menteri PKP tersebut. Terlebih, dengan saran dan kritik yang ada akan membuat pembahasan peraturan tersebut menjadi lebih terbuka dan diketahui oleh banyak pihak.

  • Menilik Harga Rumah Subsidi Apabila Luas Diperkecil Jadi 25 Meter

    Menilik Harga Rumah Subsidi Apabila Luas Diperkecil Jadi 25 Meter

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah berencana memperkecil ukuran rumah subsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

    Keputusan itu dilakukan untuk membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan papannya.

    Untuk diketahui, luas tanah dan bangunan rumah subsidi telah diatur dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PUPR) Nomor 689/KPTS/M/2023.

    Dimana luas tanah rumah tapak ditetapkan minimal 60 meter persegi-200 meter persegi. Sedangkan luas bangunan ditetapkan minimal 21 meter persegi hingga 36 meter persegi.

    Kemudian saat ini, direncanakan Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025 yang membuat luasan rumah subsidi diperkecil menjadi: luas tanah menjadi minimal 25 meter persegi dan luas bangunan minimal 18 meter persegi.

    Putusan ini kemudian mendapat pro dan kontra dari berbagai pihak.

    Anggota Satuan Tugas (Satgas) Perumahan Bonny Z. Minang mengatakan bahwa putusan memperkecil rumah subsidi tidaklah sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    Ia pun menyebut bahwa fokus pemerintah seharusnya yakni menyediakan likuiditas agar pembangunan perumahan untuk rakyat berjalan lancer, bukan mengatur luas rumah subsidi.

    “Presiden tidak pernah mengamanahkan seperti itu untuk mengecilkan luasnya. Kenapa? Karena tidak sehat dengan ukuran 25 m2. Nah pemerintah hanya memberikan relaksasi terhadap bunga, supaya masyarakat punya daya beli, dan likuiditas,” tandasnya.

    Tujuan Pengecilan Luasan Rumah Subsidi

    Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait mengatakan diperkecilnya luasan rumah subsidi agar bisa menekan harga rumah subsidi.

    Hal ini pun bisa menjadi hal yang akan dinikmati manfaatnya secara luas.

    “Sekarang masih tahap menerima masukan-masukan, pro kontra biasa, tujuan baik biasa ada pro dan kontra, tapi tujuan saya sangat baik, supaya makin banyak yang mendapatkan manfaat, dan ruginya buat konsumen apa?, nggak ada, karena bisa memilih,” jelasnya.

    Selain itu, ia juga memastikan meskipun ukuran rumah akan diperkecil, namun desain dari rumah subsidi akan diperbaiki.

    “Desainnya gitu-gitu aja, kita bikin desain yang bagus, saya sudah siapkan kejutannya, kita akan ekspose desain yang bagus,” jelasnya.

    “Bedanya rumah subsidi dengan yang lain kalau yang lain itu liat pamflet, tapi subsidi harus jadi dulu, di sini akan beradu kreatifitas para pengusaha untuk membuat lokasi dan desain,” imbuhnya.

    Kemudian, ia juga meminta mayoritas rumah subsidi yang berukuran kecil ini bisa berlokasi di dalam pusat perkotaan. Tujuannya untuk mengurangi kemacetan lalu lintas akibat banyak masyarakat yang Jarak tempat tinggal dan tempat bekerja berjauhan.

    “Kalau menurut saya mayoritas harus di dalam kota, kenapa karena harga di dalam kota mahal, bagaimana menyiasatinya, tanahnya dikecilin, desainnya dibagusin, dibikin yang satu kamar, dua kamar kita jangan kalah dari masalah,” tandasnya.

    Harga Rumah Subsidi

  • Satgas IKN Era Jokowi Dibubarkan, Ini Gantinya

    Satgas IKN Era Jokowi Dibubarkan, Ini Gantinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Satuan Tugas (Satgas) Pembangunan Infrastruktur Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), telah dibubarkan.

    Menteri Pekerjaan Umum (PU) Dody Hanggodo membubarkannya dengan menerbitkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 408/KPTS/M/2025 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 17/KPTS/M/2024 Tentang Satuan Tugas Pembangunan Infrastruktur Ibu Kota Negara.

    Keputusan Menteri (Kepmen) itu ditetapkan pada 26 Maret 2025 dan langsung berlaku pada saat ditetapkan.

    Dalam pertimbangan terungkap, pencabutan payung hukum Satgas itu adalah karena sudah ada Otorita IKN (OIKN).

    Huruf (a) pertimbangan Kepmen No 408/2025 itu menjelaskan, dalam rangka persiapan pembangunan infrastruktur Ibu Kota Negara telah dibentuk satuan tugas pembangunan infrastruktur ibu kota negara melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 17/KPTS/M/2024 tentang Satuan Tugas Pembangunan Infrastruktur Ibu Kota Negara.

    “Bahwa telah dibentuk Otorita Ibu Kota melalui Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2022 tentang Otorita Ibu Kota Nusantara dalam rangka pelaksanaan pembangunan infrastruktur Ibu Kota Negara,” bunyi huru (b), dikutip Minggu (27/4/2025).

    Lebih lanjut pada poin huruf (c) tertulis, “Pelaksanaan pembangunan infrastruktur Ibu Kota Negara dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sehingga tidak diperlukan Satuan Tugas Ibu Kota Negara di Kementerian Pekerjaan Umum.”

    Karena pertimbangan tersebut, pada poin huruf (d) disebutkan, perlu menetapkan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pencabutan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 17/KPTS/M/2024 tentang Satuan Tugas Pembangunan Infrastruktur Ibu Kota Negara.

    Sehingga ditetapkan, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 408/KPTS/M/2025 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 17/KPTS/M/2024 Tentang Satuan Tugas Pembangunan Infrastruktur Ibu Kota Negara.

    Diktum Kesatu Kepmen No 408/2025 memutuskan, “Pada saat Keputusan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 17/KPTS/M/2024 tentang Satuan Tugas Pembangunan Infrastruktur Ibu Kota Negara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”

    Tidak Direstui Sri Mulyani

    Dalam keterangan terpisah, Sekjen Kementerian PU Zainal Fatah mengungkapkan alasan lain pembubaran Satgas Pembangunan Infrastruktur IKN. Salah satunya karena tidak mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani.

    “Kita komunikasi secara administratif dengan (Kementerian) Keuangan, Keuangan menolak. Artinya keliatannya nggak perlu itu (satgas). Ya sudah kita bubarin, karena nggak bisa dieksekusi,” kata Zainal, seperti dilansir detikfinance.

    “(Yang menolak Menteri Keuangan?) Iya, karena untuk membentuk pusat gas itu kan ada macem-macemnya, duitnya, acem-macem kan itu,” sambungnya.

    Dia menjelaskan, Satgas membutuhkan dukungan berbagai pihak, termasuk pendanaan. Di sisi lain, OIKN sudah bekerja normal, sehingga Satgas tidak diperlukan lagi.

    “Yang jelas trigger utamanya kan Otorita sudah bekerja normal. Dulu tuh kan kita dibentuk karena di sini masing-masing Ditjen membangun, sehingga ada usulan Satgas,” terangnya.

    Sementara, imbuh dia, saat ini pimpinan Satgas yang dulunya menjabat di Kementerian PUPR sudah pindah ke Otorita IKN semua. Beberapa di antaranya seperti Deputi Bidang Sarana dan Prasarana OIKN Danis Hidayat Sumadilaga dan Stafsus Bidang Perencanaan Pembangunan OIKN Imam Santoso Ernawi.

    “Sudah di sana semua, yang penting bergerak bareng pendekatannya tidak hilang,” kata dia.

    Sebagai catatan, Satgas Pembangunan Infrastruktur IKN dulu dibentuk oleh Menteri PUPR era Presiden Jokowi, yang kini ditunjuk Presiden Prabowo Subianto sebagai Kepala OIKN, yaitu Basuki Hadimuljono.

    Pembentukan Satgas melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 1419/KPTS/M/2021 tentang Satgas Pembangunan Infrastruktur IKN.

    (mkh/mkh)