Kementrian Lembaga: Kemenkum HAM

  • Trimedya Panjaitan Dorong Pengelolaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Jadi Motor Pemasukan Negara – Halaman all

    Trimedya Panjaitan Dorong Pengelolaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Jadi Motor Pemasukan Negara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengelolaan barang sitaan dan rampasan oleh aparat penegak hukum (APH) dinilai masih belum optimal.

    Hal itu sebagaimana dikayakan Trimedya Panjaitan saat sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur.

    Trimedya menyampaikan bahwa barang sitaan negara bisa menjadi salah satu sumber pemasukan besar bagi keuangan negara jika dikelola dengan baik.

    Politisi PDIP itu menegaskan pentingnya perubahan paradigma di kalangan APH—yakni Kejaksaan, Polri, dan KPK dalam menangani barang hasil sitaan tindak pidana.

    “Kalau barang sitaan tidak dirawat dan dikelola, nilainya bisa menyusut drastis. Misalnya, pabrik yang awalnya bernilai Rp500 miliar bisa jatuh ke Rp200–300 miliar. Negara rugi besar,” kata Trimedya, Sabtu (19/4/2025).

    Dia pun mendorong agar koordinasi antar lembaga APH diperkuat tanpa ego sektoral. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto melalui Perpres Nomor 155 Tahun 2024 telah mengambil langkah maju dengan mengalihkan kewenangan pengelolaan barang sitaan dari Kementerian Hukum dan HAM ke Kejaksaan.

    “Sekarang tugas institusi Kejaksaan untuk mulai membangun sistem pengelolaan yang transparan, terukur, dan memberi nilai tambah bagi negara,” tambahnya.

    Trimedya juga mengapresiasi langkah KPK yang dianggap sudah lebih maju dalam hal penyimpanan barang sitaan. 

    Dia menyebut bahwa aset-aset mewah seperti mobil dan tas branded ditata rapi dan dijaga dengan baik.

    Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan tersebut seharusnya tidak hanya terpusat di satu lembaga atau lokasi saja.

    “Sayangnya, sistem penyimpanan yang baik itu hanya terbatas di satu lokasi milik KPK. Ke depan, kita perlu sistem yang terintegrasi secara nasional,” tuturnya. 

    Lebih lanjut, Trimedya mendorong agar Indonesia bisa mencontoh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Belanda dalam membangun sistem manajemen aset hasil tindak pidana.

    Menurutnya, penyelamatan keuangan negara bisa dimulai dari hal-hal konkret seperti optimalisasi aset sitaan.

    “Ini salah satu medium bagi Presiden Prabowo untuk menyelamatkan keuangan negara. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum bisa menjalankan perintah ini dengan serius dan kolaboratif,” pungkasnya.

    Dalam sidang terbuka tersebut, Trimedya mendapat hasil memuaskan, predikat Cumlaude dengan IPK 3,96. 

    Trimedya mengangkat disertasi berjudul ‘Pembaruan Hukum Pengelilaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Yang Adil dan Bermanfaat’

    Sederet tokoh nasional hadir dalam sidang promosi terbuka tersebut, mulai dari Jampidum Asep Nana Mulyana (Penguji Eksteenal), Wakil Ketua DPR Adies Kadir (Penguji Eksternal), Ketua Komisi I DPR Utut Adianto, Setara Institute Hendardi, Politikus Senior PDIP Panda Nababan, Anggota Komisi III Nasir Djamil, Benny K Harman, 

    Tampak juga Fungsionaris DPP PDIP, antara lain: Bendum PDIP Olly Dondokambey, Wakil Ketua MPR Bambang Wuryanto (Pacul), Arteria Dahlan, Putra Nababan, hingga Ganjar Pranowo. 

    Tampak juga, Mantan Pimpinan DPR Azis Syamsuddin, Pengamat Politik Henri Satrio, Qodari, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin, Anggota KPU Jakarta Timur Carlos Paath.

     

  • Kakanwil Kemenkum HAM Jatim Dorong Optimalisasi Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin

    Kakanwil Kemenkum HAM Jatim Dorong Optimalisasi Bantuan Hukum untuk Masyarakat Miskin

  • Eksploitasi Pemain Sirkus OCI, Reza Indragiri: Jika Jalur Hukum Buntu, Sanksi Sosial Bisa Jadi Jalan – Halaman all

    Eksploitasi Pemain Sirkus OCI, Reza Indragiri: Jika Jalur Hukum Buntu, Sanksi Sosial Bisa Jadi Jalan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Puluhan tahun telah berlalu sejak pertunjukan sirkus keliling Oriental Circus Indonesia menghibur publik dari kota ke kota.

    Namun kini, bayang-bayang masa lalu mulai muncul ke permukaan.

    Kisah mantan pemain sirkus cilik yang mengaku dieksploitasi secara fisik dan mental kembali membuka luka lama—sekaligus mempertanyakan: di mana keadilan bagi anak-anak yang pernah dijadikan tontonan?

    Sayangnya, jalan pidana untuk menuntut pertanggungjawaban para pelaku dinilai nyaris mustahil.

    Terkait hal itu, Reza Indragiri Amriel, konsultan dari Lentera Anak Foundation mengutip ‘tragedi terjun bebas’ dan ‘kisah bebas merdeka’ dua orang mantan pemain sirkus cilik, kepada The Stolen Generation.

    “Yaitu, kebijakan pemerintah kulit putih Australia memindahkan secara paksa anak-anak Aborigin dan Torres Strait Island dari keluarga mereka sekian puluh tahun silam,” ujarnya dalam keterangan yang diterima, Jumat (18/4/2025).

    Menurutnya, mengakui kebijakan itu sebagai produk keliru negara, Pemerintah Australia pada tahun 2008 meminta maaf secara terbuka.

    Menjadi pertanyaan, apa yang bisa dilakukan agar pencetus bisnis sirkus (OCI), Taman Safari Indonesia, Hadi Manansang serta ketiga anaknya, Jansen Manansang, Frans Manansang, dan Tony Sumampau, menyampaikan permohonan maaf dan memberikan ganti rugi atau restitusi sebagaimana disebut oleh para korban? 

    “Jalan pidana tampaknya sulit untuk dilalui. Apalagi lex specialist berupa UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Hak Asasi Manusia, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual baru ada setelah berhentinya Oriental Circus Indonesia,” kata Reza.

    Namun menjadi pengecualian jika otoritas penegakan hukum menemukan eksploitasi serupa masih berlangsung di bidang-bidang bisnis mereka.

    “Jangan-jangan tersisa satu jalan, yakni sanksi sosial berupa boikot, yang bisa masyarakat lakukan sebagai bentuk hukuman bagi pemilik Oriental Circus Indonesia sekaligus Taman Safari Indonesia,” katanya.

    “Atau, boleh jadi restitusi perlu digeser menjadi kompensasi (ganti rugi dari pemerintah),” tambah Reza.

    Dasar berpikirnya, kata Reza karena negara telah abai pasca laporan pertama korban pada tahun 1997.

    “Maka pemerintah dianggap telah sengaja menghindar dari kewajibannya melindungi warga negara. Atas kesengajaan itulah negara dihukum,” ujarnya.

    Manajemen Taman Safari Indonesia (TSI) memberikan klarifikasi mengenai dugaan eksploitasi dan perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh eks pemain sirkus dari Oriental Circus Indonesia (OCI).

    Pernyataan ini muncul setelah adanya audiensi di Kementerian Hukum dan HAM yang menyebut nama TSI Group dalam konteks permasalahan tersebut.

    Penegasan TSI Group

    Dalam keterangannya, Finky Santika Nh, Head of Media and Digital TSI Group, menegaskan bahwa TSI tidak memiliki keterkaitan bisnis atau hukum dengan eks pemain sirkus yang disebutkan.

    “Perlu kami sampaikan bahwa Taman Safari Indonesia Group adalah badan usaha berbadan hukum yang berdiri secara independen dan tidak terafiliasi dengan pihak yang dimaksud,” ujarnya pada Kamis, 17 April 2025.

    Finky menambahkan bahwa masalah ini bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan TSI Group secara kelembagaan.

    “Kami berharap agar nama dan reputasi TSI Group tidak disangkutpautkan dalam permasalahan yang bukan menjadi bagian dari tanggung jawab kami, terutama tanpa bukti yang jelas,” tegasnya.

    Komitmen TSI Group

    Lebih lanjut, Finky mengungkapkan bahwa TSI Group selalu berkomitmen untuk menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG), kepatuhan hukum, dan etika bisnis yang bertanggung jawab.

    “Selama lebih dari 40 tahun, TSI Group senantiasa mengutamakan konservasi, edukasi, dan pelayanan terbaik bagi masyarakat Indonesia dan mancanegara,” tambahnya.

    Finky juga mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital. “Jangan mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” pungkasnya.

    Dengan demikian, TSI Group berharap agar isu ini tidak mengganggu reputasi mereka yang telah dibangun selama bertahun-tahun.

  • Korban Tuntut Keadilan, TSI Enggan Dikaitkan

    Korban Tuntut Keadilan, TSI Enggan Dikaitkan

    PIKIRAN RAKYAT – Kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami mantan pemain Oriental Circus Indonesia (OCI) kembali mencuat ke publik setelah sejumlah korban menyampaikan aduan ke Kementerian Hukum dan HAM, pada Selasa, 15 April 2025.

    Mereka mengaku pernah menjadi korban kekerasan, kehilangan identitas, hingga tidak mendapatkan hak pendidikan saat bekerja sebagai bagian dari sirkus tersebut.

    Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merespons laporan ini dengan serius. Dalam keterangan resminya, Komnas HAM meminta agar penyelesaian kasus dilakukan melalui jalur hukum dan pemberian kompensasi kepada para korban.

    “Komnas HAM meminta agar kasus ini diselesaikan secara hukum atas tuntutan kompensasi untuk para mantan pemain OCI,” ujar Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, di Jakarta, Jumat 18 April 2025.

    Sejarah Panjang Pelanggaran di Lingkungan OCI

    Komnas HAM sebenarnya telah menyoroti praktik-praktik di lingkungan OCI sejak tahun 1997. Saat itu, mereka menemukan setidaknya empat jenis pelanggaran hak anak:

    Anak-anak tidak mengetahui asal-usul, identitas, dan hubungan keluarganya. Terjadi eksploitasi ekonomi terhadap anak-anak. Anak-anak tidak mendapatkan pendidikan umum yang layak. Tidak ada jaminan perlindungan keamanan dan sosial bagi anak-anak.

    Namun, penyelidikan terhadap dua tokoh yang disebut bertanggung jawab, yakni FM dan VS, dihentikan oleh Direktorat Reserse Umum Polri berdasarkan Surat Ketetapan Nomor Pol. G.Tap/140-J/VI/1999/Serse Um pada 22 Juni 1999.

    Kasus ini kembali mencuat setelah Komnas HAM menerima aduan dari Ari Seran Law Office pada Desember 2024, yang menyebutkan belum adanya penyelesaian atas tuntutan kompensasi sebesar Rp3,1 miliar kepada pihak OCI.

    Uli menegaskan bahwa pelatihan keras kepada anak-anak dalam sirkus tidak boleh menjurus pada penyiksaan.

    “Anak-anak tersebut juga mengalami pelanggaran atas hak untuk memperoleh pendidikan yang layak serta hak untuk memperoleh perlindungan keamanan dan jaminan sosial sesuai peraturan perundangan yang ada,” tuturnya.

    Wamenkumham: Ada Kemungkinan Banyak Tindak Pidana

    Wakil Menteri Hukum dan HAM, Mugiyanto, menerima langsung audiensi para korban. Ia mengatakan bahwa pengakuan yang disampaikan mengarah pada potensi pelanggaran pidana berat, termasuk kekerasan dan penghilangan identitas.

    “Banyak kekerasannya. Ada aspek penting yang orang tidak pikirkan, itu soal identitas mereka. Mereka tidak tahu asal usul, tidak tahu orang tuanya—beberapa dari mereka. Ini harus kita buka jalan supaya mereka bisa mengidentifikasi keluarga mereka,” kata Mugiyanto.

    Dia juga menyatakan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) serta Komnas HAM untuk menyelidiki lebih lanjut. Rencana pemanggilan kepada pihak-pihak terkait, termasuk pihak Taman Safari Indonesia, telah disiapkan.

    “Kami akan meminta keterangan dari pihak Taman Safari Indonesia. Pemanggilan itu akan dilakukan secepatnya,” ujarnya.

    Taman Safari Indonesia Tolak Dihubungkan

    Menanggapi sorotan publik, Taman Safari Indonesia (TSI) Group menyatakan dengan tegas bahwa pihaknya tidak memiliki keterkaitan atau hubungan bisnis dengan mantan pemain sirkus OCI.

    “Kami menilai bahwa permasalahan tersebut bersifat pribadi dan tidak ada kaitannya dengan Taman Safari Indonesia Group secara kelembagaan,” kata Head of Media and Digital TSI Group, Finky Santika Nh, di Kabupaten Bogor.

    Finky juga meminta publik untuk tidak menyebarkan informasi yang tidak berdasar, karena dapat berdampak hukum terhadap reputasi perusahaan.

    “Kami mengajak masyarakat untuk bersikap bijak dalam menyikapi informasi yang beredar di ruang digital dan tidak mudah terpengaruh oleh konten yang tidak memiliki dasar fakta maupun keterkaitan yang jelas,” tuturnya.

    Penjelasan Tony Sumampau: TSI dan OCI Adalah Entitas Berbeda

    Komisaris TSI Group, Tony Sumampau, yang diketahui pernah menjadi pelatih hewan di OCI, juga memberikan klarifikasi. Dia menyatakan bahwa TSI dan OCI adalah dua badan hukum yang berbeda, meski dirinya aktif di keduanya pada masa lalu.

    Menurut Tony, anak-anak memang tinggal sepenuhnya di lingkungan sirkus pada masa itu, namun semua kegiatan termasuk makan, tidur, dan belajar tetap ada porsinya.

    “Ketika itu memang bekerja semua, anak-anak makan, istirahat, show, sampai belajar ada waktunya. Kalau ada kekerasan mungkin saya juga kena karena saya kan di sana juga,” ujarnya.

    Upaya Negara Menjembatani Korban dan Pihak Terlapor

    Kementerian Hukum dan HAM berkomitmen untuk menjadi penghubung antara para korban dan pihak-pihak yang diduga terlibat. Meskipun peristiwa ini terjadi puluhan tahun lalu, pemerintah menegaskan bahwa tidak ada daluwarsa terhadap pelanggaran HAM.

    “Kami dengarkan dari mereka, ada kemungkinan banyak sekali tindak pidana yang terjadi di sana,” ujar Mugiyanto.

    Dia juga menambahkan bahwa pihaknya akan memberi ruang bagi korban yang ingin menempuh jalur hukum secara formal.

    “Kalau memang mau ditempuh jalur hukum, ya silakan jika korban mau menempuh jalur itu,” ucap Mugiyanto.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Siapa Pemilik Taman Safari? Viral Diduga Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus

    Siapa Pemilik Taman Safari? Viral Diduga Eksploitasi Mantan Pemain Sirkus

    PIKIRAN RAKYAT – Sejumlah mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) terkait dugaan kekerasan fisik dan eksploitasi selama puluhan tahun pertunjukan, yang sebagian di antaranya berlangsung di bawah naungan Taman Safari Indonesia (TSI), kini mengguncang dunia hiburan dan konservasi.

    Laporan yang disampaikan langsung kepada Wakil Menteri HAM (Wamenham) Mugiyanto pada Selasa, 15 April 2025 ini menyeret nama besar keluarga pendiri Taman Safari Indonesia, memicu polemik sengit dan desakan pengusutan tuntas dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

    Sorotan tajam kini tertuju pada sosok di balik megahnya Taman Safari Indonesia. Mereka adalah Hadi Manansang, Jansen Manansang, Frans Manansang, dan Tony Sumampau, sebagai pihak yang disebut oleh para mantan pemain sirkus memiliki keterkaitan dengan rangkaian dugaan kejadian eksploitasi dan kekerasan tersebut.

    Nama-nama ini bukanlah sosok asing dalam industri pariwisata dan konservasi di Indonesia, mengingat peran sentral mereka dalam mengembangkan Taman Safari menjadi salah satu destinasi ikonik di Tanah Air.

    Kronologi Dugaan Eksploitasi

    Kisah kelam yang diungkapkan oleh para mantan pemain sirkus OCI bermula dari pengalaman mereka selama puluhan tahun beratraksi di berbagai lokasi, termasuk di Taman Safari Indonesia.

    Para perempuan ini melaporkan kepada Wamenkumham Mugiyanto mengenai dugaan kekerasan fisik, eksploitasi ekonomi, serta perlakuan tidak manusiawi yang mereka alami selama masa kerja mereka di bawah bendera sirkus yang kerap kali bekerja sama dengan Taman Safari.

    Pengakuan ini sontak menimbulkan keprihatinan mendalam dan memicu pertanyaan besar mengenai praktik ketenagakerjaan dan perlindungan hak asasi manusia di industri hiburan, khususnya dalam konteks sirkus yang melibatkan individu-individu dengan latar belakang yang beragam.

    Bantahan Taman Safari

    Menanggapi tudingan serius yang viral dan menjadi perbincangan hangat di berbagai platform media, salah satu pendiri Taman Safari Indonesia, Tony Sumampau, tampil memberikan klarifikasi.

    Dalam konferensi pers yang digelar di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Rabu, 17 April 2025, Tony Sumampau membantah dengan tegas seluruh tuduhan yang dilayangkan oleh para mantan pemain sirkus OCI.

    “Sama sekali tidak benar. Kalau memang itu benar kejadiannya karena tahun 1997 itu kan ada yang melapor,” ujar Tony Sumampau, merujuk pada rentang waktu yang cukup lama.

    Ia juga menepis anggapan adanya penyiksaan yang dilakukan oleh pihak TSI terhadap para mantan pemain sirkus OCI yang telah bertahun-tahun beratraksi di berbagai tempat, termasuk di dalam kawasan Taman Safari Indonesia.

    “Itu sama sekali apa yang disampaikan kayaknya tidak masuk di akal juga gitu ya. Seperti dipukul pakai besi, mati mungkin kalau dipukul.

    “Jadi nggak benar itu hanya, apa, suatu difitnahkan seperti itu. Nah itu kan akan kita klarifikasi juga,” lanjutnya dengan nada defensif.

    Bahkan, Tony Sumampau menantang para mantan pemain sirkus tersebut untuk menunjukkan bukti konkret yang mendukung klaim mereka mengenai adanya perilaku kekerasan yang dilakukan oleh pihak Taman Safari Indonesia.

    Taman Safari Bogor / Instagram/@gisel_la

    Ia menekankan bahwa tuduhan tanpa bukti yang jelas hanyalah sebuah fitnah dan pihak TSI siap untuk melakukan klarifikasi lebih lanjut guna meluruskan permasalahan ini.

    Desakan DPR

    Reaksi keras atas pengakuan para mantan pemain sirkus OCI juga datang dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

    Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, mendesak pihak kepolisian, khususnya Mabes Polri, untuk segera mengusut tuntas kasus dugaan eksploitasi dan kekerasan yang dialami oleh para mantan pemain sirkus tersebut, yang diduga telah berlangsung selama bertahun-tahun.

    Menurut Abdullah, Mabes Polri perlu melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap Taman Safari Indonesia, yang menjadi salah satu tempat para pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI) tampil, guna mengungkap kebenaran di balik kasus yang menghebohkan ini.

    “Jangan ada yang ditutup-tutupi. Taman Safari harus terbuka agar kasus itu semakin terang. Apalagi kekerasan itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Ini tidak boleh dibiarkan,” tegas Abdullah dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu, 17 April 2025.

    Selain Taman Safari, Abdullah juga meminta pihak kepolisian untuk memeriksa pihak-pihak lain yang terkait dengan pengelolaan sirkus, serta para mantan pemain sirkus yang mengaku menjadi korban kekerasan dan eksploitasi.

    Langkah ini dinilai penting untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai praktik yang terjadi di balik layar dunia sirkus.

    Abdullah juga menyoroti informasi bahwa penanganan kasus serupa pernah dihentikan sebelumnya. Oleh karena itu, ia mendesak pihak kepolisian untuk membongkar kasus ini secara terang dan melakukan proses penyelidikan secara profesional dan transparan, tanpa ada yang ditutup-tutupi.

    “Polisi harus membongkar kasus itu secara terang. Proses penyelidikan harus dilakukan secara profesional dan transparan,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Abdullah menegaskan bahwa jika terbukti ada pelaku kejahatan yang melakukan kekerasan dan eksploitasi, mereka harus dijerat pidana dan dijatuhi hukuman berat sesuai dengan hukum yang berlaku, serta mempertanggungjawabkan perbuatan mereka di hadapan hukum.

    Sebagai wakil rakyat, Abdullah juga menyampaikan keprihatinannya yang mendalam atas kisah pilu yang disampaikan oleh para mantan pemain sirkus OCI saat mengadu ke kantor Kementerian Hukum dan HAM.

    Ia menekankan bahwa tindakan kejahatan seperti eksploitasi dan kekerasan terhadap pekerja tidak boleh dibiarkan dan jelas melanggar hukum.

    “Kejahatan itu tidak boleh dibiarkan. Jangan ada eksploitasi dan kekerasan terhadap para pekerja. Itu jelas melanggar hukum,” pungkasnya.

    Sebagai informasi tambahan, Oriental Circus Indonesia (OCI) memiliki sejarah panjang dalam dunia hiburan Tanah Air.

    Namun, seperti halnya sirkus tradisional lainnya, OCI juga tidak luput dari kontroversi terkait praktik penggunaan hewan dalam pertunjukannya.

    Isu kesejahteraan hewan telah menjadi perhatian global, dan sirkus yang masih menampilkan atraksi hewan seringkali menjadi sasaran kritik dari organisasi pecinta hewan. Kini, dengan adanya laporan dugaan eksploitasi manusia, citra OCI semakin terpuruk.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • UU TNI Belum Diteken Prabowo, Menkum: Tak Ada Dwifungsi ABRI!

    UU TNI Belum Diteken Prabowo, Menkum: Tak Ada Dwifungsi ABRI!

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Supratman Andi Agtas menegaskan, Presiden Prabowo Subianto belum menandatangani draf hasil revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu. Meskipun demikian, Menkumham menjamin bahwa revisi UU TNI ini tidak akan memicu kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru.

    Supratman Andi Agtas menjelaskan, draf UU TNI saat ini sedang berada di meja Presiden Prabowo Subianto untuk ditandatangani dan diundangkan ke dalam lembaran negara.

    “Ada banyak undang-undang yang akan ditandatangani presiden sehingga membutuhkan waktu. Bukan hanya satu. Untuk kepastian lebih lanjut nanti bisa ditanyakan ke Sekretariat Negara ya,” ujar Supratman Andi Agtas seusai konferensi pers capaian kinerja Kementerian Hukum dan HAM triwulan I 2025 di kantor Kemenkumham, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Menkumham juga menjelaskan bahwa UU TNI dapat berlaku secara otomatis apabila presiden tidak menandatanganinya dalam waktu 30 hari dan wajib diundangkan dalam lembaran negara, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.

    Supratman Andi Agtas meyakini bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menandatangani hasil revisi UU TNI tersebut. “Semua pasti prosesnya normal. Karena itu tinggal menunggu waktu saja, apalagi jadwal beliau kan kita tidak tahu,” tambahnya.

    Menkumham meminta masyarakat untuk tidak khawatir mengenai kemungkinan munculnya kembali dwifungsi TNI setelah UU TNI yang baru berlaku. Ia menegaskan bahwa aturan dalam UU tersebut memberikan batasan yang jelas mengenai jabatan sipil yang boleh diisi oleh anggota militer aktif.

    “Saya pastikan tidak akan ada yang berubah dari draf (UU TNI) yang sudah disusun. Itu (dwifungsi ABRI) tidak akan terjadi. Jadi seperti yang saya sampaikan, yang berubah itu kan hanya soal dua penambahan tugas TNI di luar tugas pokoknya,” pungkasnya.

  • Psikologi Lapangan, Aspek Krusial dalam Meningkatkan Kinerja yang Berorientasi pada Masyarakat

    Psikologi Lapangan, Aspek Krusial dalam Meningkatkan Kinerja yang Berorientasi pada Masyarakat

    JABAR EKSPRES – PT Martasandy Psychology Indonesia, perusahaan psikologi terkemuka asal Bandung, miliki layanan psikologi lapangan yang juga bisa diperuntukan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Layanan ini dirancang untuk mendukung ASN dalam penyusunan kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat.

    Direktur PT Martasandy Psychology Indonesia, Billy Martasandy Ph.D., menyatakan bahwa layanan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai aspek psikologis masyarakat.

    Dengan demikian, ASN dapat merancang kebijakan yang lebih tepat sasaran dan responsif terhadap kebutuhan publik.

    Selain itu, dalam era birokrasi modern yang penuh dinamika dan tantangan, psikologi lapangan kini menjadi salah satu aspek terpenting yang harus dimiliki oleh Aparatur Sipil Negara (ASN).

    “Psikologi lapangan adalah fondasi penting untuk membentuk ASN yang tangguh, profesional, dan berintegritas,” ujar Billy Martasandy.

    Dengan tantangan birokrasi yang semakin kompleks, kemampuan menghadapi tekanan secara mental dan emosional menjadi kebutuhan mutlak.

    Psikologi lapangan bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan syarat utama untuk menciptakan ASN yang siap menghadapi segala kondisi dengan sikap profesional dan berorientasi pada pelayanan publik.

    PT Martasandy Psychology Indonesia sendiri telah berkontribusi dalam berbagai kegiatan penting, seperti tes psikologi kepemilikan senjata api untuk petugas Kementerian Hukum dan HAM, serta partisipasi aktif dalam Kongres Luar Biasa Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) 2024.

    Dengan pengalaman dan komitmen yang kuat dalam bidang psikologi, PT Martasandy Psychology Indonesia siap mendukung ASN dalam menciptakan kebijakan publik yang lebih efektif dan berorientasi pada masyarakat.

  • Aplikasi BintangChip, Apakah Aman atau Penipuan?

    Aplikasi BintangChip, Apakah Aman atau Penipuan?

    JABAR EKSPRES – Di tengah menjamurnya aplikasi investasi online, muncul lagi satu nama yang patut diwaspadai: BintangChip. Aplikasi ini mengklaim sebagai platform investasi jangka panjang yang menjanjikan keuntungan besar setiap harinya. Namun setelah ditelusuri lebih dalam, banyak kejanggalan yang justru menandakan bahwa ini hanyalah kedok dari skema Ponzi.

    Promosi BintangChip tersebar luas di media sosial dengan janji-janji manis seperti:

    “Join BintangChip, tidak pernah rugi, untung terus!”“Aplikasi tahunan, bukan sembarang aplikasi!”“Profit harian hingga 3,4% selama 50 hari!”

    Dengan minimal deposit hanya Rp100.000, aplikasi ini menawarkan imbal hasil yang sangat tinggi dan tidak realistis. Terdapat pula klaim bahwa sistem mereka menggunakan teknologi dari Intel Generasi ke-9, seolah-olah mendapat dukungan dari perusahaan teknologi raksasa tersebut. Padahal kenyataannya, Intel tidak pernah terlibat dalam platform investasi semacam ini.

    Baca juga : Aplikasi ProBintang Penghasil Uang atau Skema Ponzi Berkedok Investasi?

    BintangChip memamerkan dokumen SK Kementerian Hukum dan HAM terkait pendirian PT mereka sebagai bukti legalitas. Namun perlu diketahui bahwa SK AHU hanya menyatakan pengesahan badan hukum, bukan legalitas operasional investasi. Banyak skema Ponzi menggunakan trik ini agar terlihat sah di mata masyarakat awam.

    Tidak hanya itu, mereka juga mencantumkan NIB (Nomor Induk Berusaha) dengan keterangan sebagai usaha mikro. Ini jelas bertolak belakang dengan klaim mereka sebagai mitra perusahaan sebesar Intel. Bagaimana mungkin sebuah perusahaan raksasa bekerja sama dengan entitas berskala mikro?

    Untuk meningkatkan kepercayaan, akun media sosial mereka bahkan sudah diberi centang biru. Mereka menampilkan video-video testimoni dari orang asing dan cuplikan yang terlihat profesional. Namun kenyataannya, itu hanyalah video editan yang tidak mewakili siapa pun secara resmi.

    Website dan tampilan aplikasi mereka juga tidak mencerminkan profesionalitas perusahaan global. Justru lebih mirip dengan situs-situs investasi bodong lainnya yang desainnya seadanya dan tidak kredibel.

    Baca juga : Apakah Ada Harapan Uang Kembali di Aplikasi AKQA? Ini Penjelasannya

    Jika ditelusuri, sistem BintangChip beroperasi layaknya skema money game: uang member baru digunakan untuk membayar member lama. Jika arus pendaftaran berhenti, maka sistem akan runtuh dan kabur begitu saja tanpa jejak. Inilah yang terjadi pada banyak platform serupa sebelumnya.

  • Tanpa Disadari, Tahu-tahu Dwifungsi Polri

    Tanpa Disadari, Tahu-tahu Dwifungsi Polri

    GELORA.CO – KETIKA publik berkeras menolak kembalinya “dwifungsi” Tentara Nasional Indonesia, “dwifungsi” Kepolisian Republik Indonesia rupanya sudah berjalan. Masuknya polisi aktif ke jabatan sipil ini bukan hanya rawan konflik kepentingan dan memperlemah profesionalisme Polri, melainkan juga memprovokasi tentara untuk meminta hal serupa.

    Orang-orang baru menyadari banyaknya polisi mengisi jabatan di luar institusi Polri setelah Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memutasi 1.255 perwira pada 12 Maret 2025. Sebanyak 25 perwira ditempatkan di sejumlah kementerian atau lembaga.

    Misalnya, Inspektur Jenderal Mohammad Iqbal dari Kepala Kepolisian Daerah Riau di Sekretariat Jenderal Dewan Pimpinan Daerah. Ada juga Inspektur Jenderal Pudji Prasetijanto Hadi yang digeser dari Kepala Kepolisian Daerah Gorontalo ke Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Walhasil, setidaknya kini ada hampir 50 perwira tinggi yang tercatat menduduki jabatan sipil.

    Dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya sejumlah perwira sudah merambah ke jabatan sipil. Sekretaris Jenderal Kementerian Hukum (dulu Kementerian Hukum dan HAM) serta Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan, misalnya, sudah menjadi pos langganan polisi.

    Di beberapa kementerian dan lembaga lain, perwira tinggi polisi ditempatkan menjelang mereka pensiun di kepolisian pada usia 58 tahun. Dengan menempati posisi baru di jabatan sipil, selain sempat naik pangkat menjadi bintang tiga, umur pensiun mereka bertambah menjadi 60 tahun.

    Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia sebenarnya melarang polisi aktif menempati jabatan sipil, kecuali mengundurkan diri atau pensiun dini. Tapi aturan ini jebol pada era Presiden Joko Widodo. Penempatan polisi di kementerian lembaga bersandar pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang ditafsirkan secara keliru oleh kepolisian demi kepentingannya sendiri.

    Kita tahu pangkal masalah ini adalah banyaknya perwira tinggi yang menganggur di kepolisian. Penyebabnya, pembinaan karier yang keliru yang menyebabkan penumpukan polisi di tingkat perwira. Selain itu, sistem gerbong yang menarik kawan satu angkatan ataupun berdasarkan kedekatan tertentu naik pangkat bila ada senior yang duduk di pucuk organisasi. Kenaikan pangkat seperti itu mengacaukan pembinaan karier dan menyuburkan budaya “asal bapak senang”.

    Tak punya jabatan, sejumlah perwira kemudian diberi posisi di luar Polri. Ini seperti kita punya masalah di rumah dan diselesaikan dengan mengurangi jumlah penghuni rumah. Tapi sebenarnya masalah pokoknya tak pernah dibereskan. Dalam hal penumpukan perwira polisi, bukan hanya tak menyelesaikan inti masalahnya, melainkan juga menimbulkan masalah di kementerian atau lembaga yang mereka masuki, yakni menghilangkan kesempatan aparatur sipil negara di sana untuk mengembangkan kariernya.

    Yang tidak disadari oleh banyak orang, “dwifungsi” Polri jadi pembenar bagi tentara masuk ke jabatan sipil. Bisik-bisik yang mempertanyakan kenapa tentara dilarang menduduki jabatan di luar institusinya, sementara polisi dibolehkan, kerap berseliweran. Ucapan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak bahwa “ada salah satu institusi masuk ke kementerian, enggak ribut ini orang” ketika merespons penolakan revisi Undang-Undang TNI, menyiratkan bahwa tentara menaruh perhatian pada maraknya polisi yang menduduki jabatan sipil. 

    Polri hendaknya mengerem ambisinya menguasai jabatan-jabatan sipil. Bukan hanya sedang merusak pengembangan karier pejabat sipil, polisi juga sedang memupuk kecemburuan militer. ●

  • Sirkulasi Elite dalam Pemberantasan Korupsi

    Sirkulasi Elite dalam Pemberantasan Korupsi

    Jakarta

    Kejagung takkan berani membongkar kasus korupsi jika tidak ada restu presiden ~ Mahfud MD

    Beberapa kasus korupsi belakangan ini yang dibongkar oleh Kejagung maupun KPK tidak lagi membuat publik terkejut. Kasus korupsi pun seperti serial film yang terus berlanjut tanpa akhir. Dari kasus pagar laut yang menjadi trending hingga kasus terbaru yakni LPEI yang berpotensi merugikan negara sebesar Rp 11,7 triliun rupiah. Alih-alih mengapresiasi pengungkapan kasus korupsi, publik justru meyakini bahwa ini hanyalah sandiwara pergantian pemain dalam kepemimpinan Prabowo-Gibran.

    Pemberantasan korupsi pada era kepemimpinan Prabowo bukanlah angin segar bagi masyarakat. Justru, hal ini semakin menumbuhkan skeptisisme dan menutup harapan publik terhadap komitmen pemberantasan korupsi. Alasannya sederhana, mayoritas publik tidak setuju dengan program makan gizi gratis yang membutuhkan anggaran terlalu besar. Imbasnya, terjadi efisiensi anggaran di beberapa sektor, yang menyebabkan banyak pegawai honorer mengalami pemutusan hubungan kerja secara paksa.

    Kekhawatiran publik semakin meningkat karena pengangkatan CPNS yang semula dijadwalkan pada Maret diundur menjadi Oktober 2025. Pengunduran ini semakin menguatkan dugaan bahwa negara sedang mengalami defisit anggaran. Kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak, baik di sektor pemerintahan maupun swasta seperti PHK massal di Sritex, membuat publik semakin kehilangan simpati terhadap kebijakan pemerintah. Meskipun banyak kasus korupsi terbongkar akhir-akhir ini, publik tidak lagi melihat urgensinya.


    Pergantian Pemain

    Pemberantasan korupsi yang dinilai sebagai pergantian pemain mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Dalam situasi ini, Vilfredo Pareto (1971) menyebutnya sebagai sirkulasi elite—bahwa kekuasaan hanya berpindah di antara kelompok tertentu. Perubahan yang terjadi bukanlah gebrakan yang diharapkan rakyat, melainkan sekadar pergantian elite tanpa perubahan sistematis. Sehingga, pengungkapan kasus korupsi hanya menjadi alat untuk menggulingkan satu kelompok dan menggantinya dengan kelompok lain, yang mungkin lebih baik atau bahkan lebih buruk.

    Sebagaimana pernyataan Mahfud MD, pengungkapan skandal korupsi dengan jumlah yang besar tidak lepas dari instruksi presiden. Di negara dengan sistem koruptif yang kuat, hanya segelintir orang yang berani dan mampu membongkarnya. Bahkan, KPK sebagai lembaga yang bertugas memberantas korupsi menghadapi berbagai tantangan seperti intervensi pihak lain, lemahnya independensi, dan revisi UU KPK. Hal ini membuktikan bahwa pemberantasan korupsi tidak semudah pada saat kampanye politik.

    Sekalipun Prabowo mendukung penuh pemberantasan korupsi, publik masih menilai bahwa ia terus dibayangi oleh Jokowi. Harapan publik terhadap Prabowo adalah menjadi pemimpin yang independen, tidak dikendalikan oleh siapapun. Sebagai ketua umum partai besar dengan koalisi gemuk di parlemen serta mantan Kopassus yang dikenal berjiwa ksatria, Prabowo seharusnya mampu keluar dari bayang-bayang presiden sebelumnya.

    Arah kebijakan pemerintahan Prabowo-Gibran masih belum jelas di depan mata. Dalam empat tahun ke depan, belum ada kepastian ke mana Indonesia akan dibawa, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi. Apakah benar untuk menyelamatkan negara, atau hanya sekadar pergantian pemain bagi orang-orang dekat Prabowo yang belum mendapatkan jabatan.


    Berharap pada RUU Perampasan Aset

    Regulasi hukum dalam pemberantasan korupsi belum sepenuhnya maksimal. Publik menanti agar RUU Perampasan Aset segera disahkan oleh DPR. Namun, RUU ini tidak masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, menunjukkan ketidaksepakatan lembaga legislatif dalam memberantas korupsi. Meski ada tekanan publik, DPR hingga kini masih enggan mengesahkannya dengan berbagai alasan. Padahal, RUU ini sangat penting untuk memperkuat pemberantasan korupsi.

    Jika ingin belajar dari negara sebelah, Singapura telah menerapkan regulasi perampasan aset sejak 1960 dan merevisinya pada 1993. Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi di Singapura diatur dalam Prevention of Corruption Act (PCA) Chapter 241, yang memberikan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) kewenangan untuk menyita dan mengalihkan aset koruptor ke kas negara demi kepentingan publik.

    CPIB memiliki Power of Arrest dan Power of Investigation, yang memungkinkannya melakukan penyitaan aset tanpa surat perintah jika bukti cukup. Selain itu, Singapura juga menjalin kerja sama internasional dalam pelacakan, penyitaan, dan pengembalian aset ilegal.

    Singapura telah lama memberlakukan regulasi perampasan aset, sementara di Indonesia RUU Perampasan Aset masih menjadi misteri, dengan proses pengesahannya yang terus dilempar antara legislatif dan eksekutif, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM. Jika presiden benar-benar mendukung pemberantasan korupsi, maka ia dapat menerbitkan Perppu Perampasan Aset untuk memberikan efek jera bagi para koruptor.

    Pemberantasan korupsi di Indonesia tidak memerlukan wacana panjang untuk menggerus simpati publik. Jika rakyat tidak ingin menganggap kasus korupsi hanya sebagai pergantian pemain, maka Presiden Prabowo harus membuktikan komitmennya dengan segera menerbitkan Perppu Perampasan Aset. Meskipun langkah ini tidak mudah dalam perjalanan politik hukumnya, inilah satu-satunya cara bagi Presiden Prabowo untuk menepis prasangka buruk masyarakat terhadap pemberantasan korupsi di negeri ini.

    Taufiqullah Hasbul peneliti di Akademi Hukum dan Politik (AHP)

    (mmu/mmu)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu