Kementrian Lembaga: Kemenkeu

  • Kemenkeu sebut belanja K/L 2025 lambat karena banyaknya penyesuaian

    Kemenkeu sebut belanja K/L 2025 lambat karena banyaknya penyesuaian

    Mereka melakukan perencanaan lagi, mana yang prioritas dan tidak, sehingga ini jadwal juga jadi agak mundur

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Keuangan menyebutkan lambatnya belanja kementerian/lembaga (K/L) pada tahun anggaran 2025 disebabkan oleh banyaknya penyesuaian.

    “Tahun 2025 ini istimewa,” kata Direktur Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti dalam taklimat media di Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, penyaluran belanja K/L secara umum tetap berjalan secara reguler, meski kecepatan penyaluran tiap K/L berbeda sehingga terlihat adanya gap.

    Namun, untuk tahun ini, terdapat beberapa anomali yang berbeda dengan tahun anggaran lainnya.

    Sebagai contoh, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sudah diumumkan sejak November 2024 dan aturan pelaksanaannya terbit pada Januari 2025.

    Namun, muncul kebijakan efisiensi anggaran pada Februari 2025, yang membuat K/L perlu menyesuaikan kembali anggaran masing-masing instansi.

    “Mereka melakukan perencanaan lagi, mana yang prioritas dan tidak, sehingga ini jadwal juga jadi agak mundur,” jelasnya.

    Di sisi lain, bertambahnya jumlah K/L serta tantangan geopolitik dan perekonomian global juga menambah tantangan belanja K/L pada tahun ini.

    Meski begitu, Astera optimistis K/L mampu menyerap anggaran dengan maksimal pada akhir tahun nanti.

    Optimisme itu berangkat dari tren realisasi belanja K/L yang sebagiannya menunjukkan progres positif.

    Kemenkeu mencatat terdapat 12 K/L besar yang melaporkan progres realisasi belanja mencapai 80 persen. Namun, dia tidak merinci detail K/L yang dimaksud.

    “Kami cukup optimistis untuk bisa menyelesaikan belanja K/L tahun ini, kurang lebih mirip sama modus di tahun-tahun sebelumnya,” tutur Astera.

    Sebagai catatan, belanja K/L tercatat sebesar Rp686 triliun per 31 Agustus 2025, setara 53,8 persen dari outlook APBN senilai Rp1.275,6 triliun.

    Namun, nilai realisasi itu terkoreksi 2,5 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp703,3 triliun.

    Sementara itu, belanja non-K/L terakselerasi sebesar 5,6 persen dengan realisasi Rp702,8 triliun atau 50,6 persen dari outlook.

    Sedangkan realisasi transfer ke daerah (TKD) tercatat sebesar Rp571,5 triliun atau 66,1 persen dari outlook. Realisasi ini tumbuh sebesar 1,7 persen.

    Dengan demikian, belanja pemerintah pusat (BPP) mencapai Rp1.388,8 triliun atau setara 52,1 persen dari outlook, tumbuh 1,5 persen.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menkeu: Permintaan kenaikan DBHCHT ke daerah sesuai kondisi keuangan

    Menkeu: Permintaan kenaikan DBHCHT ke daerah sesuai kondisi keuangan

    Apalagi, semua daerah sekarang minta DBHCHT. Kita akan melihat sesuai dengan kondisi keuangan negara

    Kudus (ANTARA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan respons atas usulan daerah agar ada kenaikan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau (DBHCHT) akan disesuaikan dengan kondisi keuangan negara.

    “Apalagi, semua daerah sekarang minta DBHCHT. Kita akan melihat sesuai dengan kondisi keuangan negara,” ujarnya saat melakukan kunjungan ke Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Jumat.

    Menurut dia, peluang penambahan alokasi DBHCHT bagi daerah dapat dilihat setelah triwulan kedua tahun depan.

    Ia menambahkan, semakin cepat pertumbuhan ekonomi maka penerimaan negara dari cukai juga akan meningkat.

    “Jadi harusnya ada peluang untuk menambah distribusi ke daerah,” ujarnya.

    Sebelumnya, Bupati Kudus Sam’ani Intakoris mengusulkan kepada Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan agar alokasi DBHCHT yang diterima Kabupaten Kudus ditambah untuk optimalisasi pembangunan daerah.

    Pada 2025, Kabupaten Kudus mendapatkan alokasi DBHCHT sebesar Rp268 miliar. Pemerintah daerah berharap alokasi itu dapat ditingkatkan menjadi lebih dari Rp300 miliar. Bahkan, jika mencapai Rp1 triliun, Sam’ani menyebut Kudus bisa menjadi “Singapura-nya Indonesia”.

    Usulan tersebut, menurut Bupati, sejalan dengan amanat Undang-Undang Perimbangan Keuangan Daerah. Hal ini juga dilatarbelakangi kontribusi Kudus yang setiap tahun menyumbang penerimaan negara sekitar Rp43 triliun dari cukai rokok.

    Selain mengusulkan kenaikan alokasi, Pemkab Kudus juga meminta adanya kelonggaran penggunaan DBHCHT. Harapannya, alokasi bisa dibagi 50 persen dalam bentuk specific grant dan 50 persen dalam bentuk block grant agar dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur jalan.

    “Di Kudus ada jalan dan jembatan yang terhubung langsung ke pabrik rokok. Buruh pabrik rokok berangkat sejak subuh hingga pulang sore, jadi infrastruktur sangat vital bagi mereka,” ujarnya.

    Pewarta: Akhmad Nazaruddin
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menkeu: Data subsidi elpiji ukuran 3 kg akan dipelajari lagi

    Menkeu: Data subsidi elpiji ukuran 3 kg akan dipelajari lagi

    Kudus (ANTARA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan pemerintah akan kembali meninjau data terkait subsidi elpiji, menanggapi perbedaan pandangan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengenai akurasi angka subsidi tersebut.

    “Kita pelajari lagi. Mungkin Pak Bahlil betul, akan kita lihat lagi seperti apa. Yang jelas saya dapat angka dari hitungan staf saya. Nanti kita lihat di mana salah pengertiannya. Tapi pada akhirnya angkanya sama, uangnya itu-itu saja,” ujarnya saat melakukan kunjungan kerja di Kabupaten Kudus, Jumat.

    Ia menilai perbedaan data yang muncul kemungkinan disebabkan oleh metode pencatatan atau pendekatan analisis yang digunakan.

    “Hitung-hitungan kadang dari sisi praktik akuntansi bisa berbeda cara menuliskannya. Tapi saya yakin besarannya sama juga kok. Kalau salah hitung bisa nambah duit, saya salah hitung terus biar uang nambah,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Purbaya menegaskan bahwa subsidi elpiji pada tahun depan diperkirakan akan meningkat seiring pola konsumsi masyarakat.

    “Angka persisnya agak susah, tapi harusnya naik sedikit sesuai ekspektasi meningkatnya konsumsi,” ujarnya.

    Menurut dia tidak ada gunanya kalau subsidi dipotong tiba-tiba uang negara banyak, tetapi ekonomi berhenti karena masyarakat tidak mampu beraktivitas.

    Selain membahas subsidi energi, Purbaya juga mengungkapkan rencananya bertemu sejumlah pengusaha. Pertemuan itu bertujuan mendengarkan langsung keluhan pelaku usaha, khususnya terkait aspek perpajakan dan kepabeanan.

    “Saya mau dengar saja keluhan bisnis mereka. Kalau ada yang berhubungan dengan keuangan, pajak, dan cukai akan saya betulkan secepatnya. Tapi nanti saya juga minta, kalau bisnisnya lebih bagus, pajak dan cukainya jangan main-main. Jadi sama-sama untung,” ujar Purbaya.

    Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menanggapi paparan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait harga LPG 3 kilogram (kg) dan menilai ada kesalahan membaca data harga asli elpiji 3 kg.

    Karena sebelumnya Menteri Keuangan menyampaikan harga asli elpiji 3 kg mencapai Rp42.750 per tabung dan pemerintah menanggung subsidi Rp30.000 per tabung sehingga masyarakat bisa membeli dengan harga Rp12.750.

    Pewarta: Akhmad Nazaruddin
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Penyerapan Anggaran MBG Naik 3 Kali Lipat dalam Sebulan, Ini Sebabnya

    Penyerapan Anggaran MBG Naik 3 Kali Lipat dalam Sebulan, Ini Sebabnya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkap bahwa realisasi penyerapan anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) naik tiga kali lipat dalam kurun waktu Agustus ke September 2025. Salah satu faktor yang memengaruhinya adalah proses pencairan anggaran yang sudah tidak lagi dengan metode penggantian (reimbursement). 

    Direktur Jenderal (Dirjen) Perbendaharaan Kemenkeu Astera Primanto Bhakti menjelaskan bahwa pemerintah telah mengubah metode pencairan anggaran MBG setelah April 2025. 

    Dari awalnya dengan metode reimbursement, kini Badan Gizi Nasional (BGN) membuat perencanaan anggaran untuk setiap 10 hari ke depan. Dokumen perencanaan pencairan anggaran itu lalu diajukan ke Kemenkeu melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk diverifikasi sebelum akhirnya dibayar ke Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

    Dalam hal pelaksanaan MBG, alur penyampaikan dokumen perencanaan anggaran itu berawal dari yayasan yang menyelenggarakan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau Dapur MBG, lalu ke BGN sebelum akhirnya disampaikan ke Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu. 

    Perubahan alur pencairan anggaran inilah yang dinilai membuat penyerapan anggaran MBG semakin cepat. Perkembangannya terlihat sejak Juni 2025 dan semakin cepat dari Agustus ke September 2025. 

    “Dari bulan Agustus ke September itu naik tiga kali lipat realisasinya. Makanya ini good news-nya. Berarti proses yang ada di BGN sudah semakin baik,” jelas pria yang akrab disapa Prima itu kepada wartawan di kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (3/10/2025). 

    Prima menyebut pihaknya telah mengirimkan personel ke BGN untuk membantu penyerapan anggaran MBG, yang sebelummya diketahui lambat. Berdasarkan data Kemenkeu hingga Agustus 2025, realisasi belanja anggaran MBG baru Rp13 triliun dari pagu sebesar Rp71 triliun.

    Kini, berdasarkan data terbaru, realisasinya berdasarkan data terbaru sudah mencapai Rp20 triliun. Kemudian, jumlah penerimanya adalah 30 juta orang dengan SPPG yang sudah ada sekitar 13.000. 

    Pejabat eselon I Kemenkeu itu tidak menampik bahwa sistem pencairan anggaran MBG diganti dari metode reimbursment ke model perencanaan setiap 10 hari karena lambatnya realisasi belanja program prioritas pemerintah itu. 

    Selain evaluasi penyerapan anggaran, BGN selaku KPA juga meminta perubahan sistem dimaksud. Anggaran untuk 10 harian itu nantinya bisa ditambah sesuai keperluan. “Dan itu buktinya udah ada. Jadi percepatan yang cukup signifikan untuk bulan-bulan terakhir. Setelah bulan April,” jelasnya. 

  • Realisasi Belanja Kementerian/Lembaga Lambat, Ini Penyebabnya – Page 3

    Realisasi Belanja Kementerian/Lembaga Lambat, Ini Penyebabnya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti, buka suara bahwa perlambatan realisasi belanja kementerian/lembaga (K/L) pada 2025 bukan disebabkan masalah serius.

    Menurutnya, kondisi ini lebih pada faktor teknis, khususnya penyesuaian ulang anggaran yang dilakukan setelah adanya kebijakan efisiensi.

    “Masalah di belanja K/L. Ya, masalahnya apa? Jadi, kalau belanja K/L ini. Ya, kalau ditanya masalah sih sebenernya gak ada masalah. Karena ini kan sesuatu yang berjalan secara reguler,” kata Prima dalam Media Briefing di kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (3/10/2025).

    Ia menjelaskan bahwa sejak awal, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sudah disampaikan pada November 2024, dan aturan teknis belanja sudah dikeluarkan sejak Januari 2025.

    Namun, pada Februari lalu pemerintah memutuskan melakukan efisiensi, sehingga seluruh K/L harus menyesuaikan kembali rencana kerja dan anggarannya.

    “Nah, cuma biasanya kecepatan belanja dari KL-nya yang ada gap. Jadi, misalnya kan kita tahu semuanya DIPA. Ini udah diumumkan dari bulan November. Kemudian aturannya udah dikeluarkan dari Januari. Nah, kemudian ini mulai berjalan. Dan kita di bulan Februari kalau gak salah ada efisiensi,” ujarnya.

    Proses penyesuaian ini membuat sejumlah kegiatan K/L harus ditinjau ulang, baik dari sisi prioritas maupun jadwal pelaksanaan. Akibatnya, tahapan pelaksanaan program mengalami keterlambatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

    “Jadi, semua KL harus melakukan adjustment lagi. Jadi, ini tahun istimewa nih 2025. Nah, setelah itu dilakukan adjustment,” ujarnya.

     

  • Revisi UU 1987 Wujudkan KADIN Jadi Pejuang Keadilan Ekonomi Bangsa

    Revisi UU 1987 Wujudkan KADIN Jadi Pejuang Keadilan Ekonomi Bangsa

    UU Nomor 1 Tahun 1987 tentang KADIN sangat mendesak untuk direvisi menyeluruh agar sesuai dengan konteks pembangunan ekonomi yang sudah berubah drastis selama tiga dekade terakhir. Perubahan-Perubahan seperti percepatan transformasi digital, munculnya ekonomi inovasi, dan kompleksitas hubungan perdagangan global menuntut penataan kelembagaan KADIN yang mampu secara efektif menjawab kebutuhan zaman, sekaligus menjadi mitra strategis pemerintah.

    Hal ini sejalan dengan rekomendasi lembaga internasional sekaliber OECD (2025) dan laporan e-Conomy SEA (2024) yang menegaskan perlunya lembaga pengusaha adaptif menghadapi era digital ekonomi bernilai sangat besar. Revisi ini sangat bermanfaat bagi masyarakat, karena akan membuka peluang baru untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, meningkatkan akses pasar dan teknologi, serta memperkuat daya saing pelaku usaha.

    Sebagai satu-satunya organisasi pengusaha yang secara hukum diakui, KADIN harus bertransformasi menjadi pusat penggerak pembangunan ekonomi nasional berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan. Saat ini, UU KADIN membatasi kontribusi strategisnya hingga hanya sebagai pelengkap konsultatif tanpa kewenangan kuat yang nyata dalam pengambilan kebijakan sehingga tidak mampu menjalankan fungsi representasi pengusaha dan akselerator pembangunan ekonomi yang progresif secara maksimal.

    Revisi UU KADIN bukan soal pergantian kepemimpinan, melainkan harus memberikan kewenangan penuh, jelas dan nyata agar siapapun Pimpinan KADIN dapat berkolaborasi secara efektif dengan pemerintah dalam menghadapi persoalan konkret seperti pengangguran 7,28 juta jiwa (BPS 2025), kemiskinan 23,85 juta jiwa (BPS 2025), pengembangan 65,5 juta UMKM (Kementerian UMKM 2025), pemberdayaan 80 ribu Koperasi Desa (Kementerian Koperasi 2025), penguatan daya saing perdagangan global, peningkatan investasi, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi hingga 8% berkelanjutan (Kemenkeu 2025).

  • Anggaran MBG Meroket 4 Kali Lipat di 2026, Kemenkeu Buka Suara – Page 3

    Anggaran MBG Meroket 4 Kali Lipat di 2026, Kemenkeu Buka Suara – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Rencana pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 335 triliun untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada 2026 memicu perhatian publik. Pasalnya, angka ini melonjak lebih dari empat kali lipat dibandingkan pagu anggaran 2025 yang hanya sebesar Rp 71 triliun.

    Kenaikan fantastis ini menimbulkan pertanyaan, terutama di tengah fakta bahwa serapan anggaran tahun ini belum sepenuhnya optimal.

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyadari keresahan tersebut. Dirjen Perbendaharaan Kemenkeu, Astera Primanto Bhakti, menyebut bahwa evaluasi anggaran akan tetap dilakukan secara menyeluruh, termasuk untuk MBG.

    Hal ini dilakukan bukan hanya pada MBG, tetapi juga pada seluruh kementerian/lembaga (K/L). Dengan begitu, setiap rupiah anggaran dapat dipertanggungjawabkan.

    Namun, ia menegaskan kenaikan alokasi bukan tanpa alasan, melainkan sejalan dengan target yang kian luas.

    “Yang namanya evaluasi ini kita akan lakukan bukan cuman MBG. Semua anggaran K/L itu semuanya dilakukan evaluasi. Nah cuman kalau tadi pertanyaannya. Kok tahun depannya lebih banyak? Ya karena target dan kebutuhannya jadi lebih besar. Gitu,” ujar pria yang akrab disapa Prima dalam Media Briefing di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (3/10/2025).

    Sebagai informasi, hingga September 2025, realisasi MBG baru mencapai Rp 13 triliun atau 18,3 persen dari total pagu Rp 71 triliun. Meski angka itu relatif kecil, Kemenkeu melihat tren percepatan mulai terjadi sejak pertengahan tahun.

     

  • Pemerintah salurkan Rp13,87 triliun dana transfer ke Sumbar

    Pemerintah salurkan Rp13,87 triliun dana transfer ke Sumbar

    Jumlah TKD yang sudah terealisasi itu setara dengan 64,61 persen dari pagu 2025 sebesar Rp21,47 triliun

    Padang (ANTARA) – Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan Sumatera Barat (Sumbar) mencatat pemerintah pusat telah menyalurkan dana transfer ke daerah (TKD) ke provinsi itu sebesar Rp13,87 triliun.

    “Jumlah TKD yang sudah terealisasi itu setara dengan 64,61 persen dari pagu 2025 sebesar Rp21,47 triliun,” kata Kepala DJPb Kemenkeu Provinsi Sumbar Dody Fachrudin di Padang, Jumat.

    Hal tersebut disampaikan Dody Fachrudin terkait laporan kinerja anggaran pendapatan belanja negara (APBN) di Provinsi Sumbar hingga 31 Agustus 2025.

    Dody mengatakan realisasi belanja TKD didominasi oleh komponen Dana Alokasi Umum (DAU) yakni sebesar Rp10,02 triliun, atau 72,28 persen dari total TKD.

    Dana ini dialokasikan kepada provinsi, kabupaten dan kota untuk membiayai berbagai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi seperti belanja pegawai, dana pembangunan prasarana serta dukungan layanan publik di bidang pendidikan maupun kesehatan.

    Dalam laporan kinerja APBN tersebut, DJPb mencatat dana bagi hasil yang sudah disalurkan hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp398,07 miliar, atau 60,16 persen dari total pagu Rp661,73 miliar.

    “Realisasi ini meningkat 71,74 persen secara year on year (yoy),” sebut Kepala DJPb Sumbar.

    Ia mengatakan kenaikan nilai salur seiring dengan implementasi Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

    Sementara itu, Wakil Wali Kota Padang Provinsi Sumbar Maigus Nasir mengatakan pemerintah pusat memotong dana transfer sebesar Rp500 miliar untuk tahun anggaran 2026.

    Menyikapi itu, kepala daerah meminta organisasi perangkat daerah (OPD) agar mencarikan solusi pendanaan dari sumber lain.

    “Untuk 2026, kegiatan akan banyak dikelola oleh pusat. Ada kegiatan kepresidenan dan kegiatan kementerian,” kata dia.

    Eks Anggota DPRD Provinsi Sumbar tersebut mengatakan pemotongan dana transfer sebesar Rp500 miliar itu merupakan salah satu upaya pemerintah pusat untuk mempercepat implementasi Program Astacita.

    “Saya wajib menyampaikan ini. Lebih kurang Rp500 miliar dana dari pusat akan berkurang,” sebut dia.

    Pewarta: Muhammad Zulfikar
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kudus Siapkan Kawasan Industri Tembakau 5 Ha, Tampung Produsen Rokok Ilegal Biar Jadi Legal – Page 3

    Kudus Siapkan Kawasan Industri Tembakau 5 Ha, Tampung Produsen Rokok Ilegal Biar Jadi Legal – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, menyoroti rencana pembangunan kawasan industri hasil tembakau baru di Kudus dengan luas lahan mencapai 5 hektar.

    Rencana yang digagas Bupati Kudus ini diharapkan menjadi solusi bagi produsen rokok kecil, khususnya yang ingin beralih dari jalur ilegal ke sistem legal dan lebih tertata.

    “Pak Bupati katanya punya rencana satu lagi untuk membangun kawasan industri yang sejenis di tempat lain dengan luas tanah 5 hektar,” ujar Purbaya saat kunjungannya ke Aglomerasi Pabrik Hasil Tembakau (APHT) Kudus, Jawa Tengah, Jumat (3/10/2025).

    Lebih lanjut, Menkeu mengungkapkan bahwa Bupati Kudus telah menyiapkan rencana pembangunan kawasan industri tambahan seluas 5 hektar. Kawasan ini ditargetkan untuk menampung produsen rokok kecil agar bisa berproduksi secara resmi.

    Menurut Purbaya, langkah tersebut bisa menjadi strategi jangka panjang untuk merapikan industri hasil tembakau di daerah.

    Ia menegaskan, kawasan industri semacam ini akan memudahkan pemerintah melakukan pengawasan dan penarikan cukai, sekaligus memberi ruang usaha yang lebih legal dan adil bagi para produsen kecil.

    “Terus nanti dengan harapan tadi yang gelap, produsen-produsen yang gelap bisa masuk ke sana. Tapi nanti begini pesannya, kita akan bangunkan itu untuk produsen-produsen yang gelap,” ujarya.

     

  • Tokocrypto: Regulasi progresif jadi kunci kripto instrumen pembayaran

    Tokocrypto: Regulasi progresif jadi kunci kripto instrumen pembayaran

    Regulasi yang jelas dan harmonis bukan hanya memberi kepastian bagi pelaku industri, tetapi juga mampu membuka jalan bagi adopsi kripto yang lebih luas di masyarakat.

    Jakarta (ANTARA) – CEO Tokocrypto Calvin Kizana menilai, regulasi yang progresif dan adaptif menjadi kunci agar kripto bisa menjadi instrumen pembayaran di Indonesia.

    “Regulasi yang jelas dan harmonis bukan hanya memberi kepastian bagi pelaku industri, tetapi juga mampu membuka jalan bagi adopsi kripto yang lebih luas di masyarakat,” kata Calvin dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.

    Hal itu ia sampaikan sebagai respons terhadap salah satu isu mengenai masa depan aset kripto seiring pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).

    Salah satu isu strategis adalah potensi kripto berkembang tidak hanya sebagai instrumen investasi, tetapi juga sebagai alat pembayaran.

    Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo-ABI) sempat mengajukan usulan agar revisi UU P2SK memberi ruang lebih luas bagi inovasi, termasuk harmonisasi kebijakan antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI).

    Menurut Wakil Ketua Umum Aspakrindo-ABI Yudhono Rawis, mekanisme serupa sudah diterapkan di Amerika Serikat (AS), yang mana stablecoin mulai diakui untuk transaksi pembayaran sehari-hari.

    “Rekomendasi kami terkait inovasi, terutama untuk alat pembayaran. Pembayaran masih diatur di Bank Indonesia, sedangkan exchange dan blockchain di OJK. Harapan kami dengan harmonisasi antarinstitusi, kripto bisa berkembang dari instrumen investasi menjadi pembayaran,” ujar Yudho dalam rapat Panja Revisi UU P2SK dengan Komisi XI DPR RI, di Jakarta, Rabu (24/9) lalu.

    Tokocrypto menyambut baik hal tersebut. Calvin menilai inisiatif asosiasi untuk mendorong kripto sebagai instrumen pembayaran adalah momentum penting bagi Indonesia agar tidak tertinggal dari negara lain.

    Jika diarahkan dengan tepat, kripto bisa menjadi katalis bagi percepatan digitalisasi keuangan nasional, sekaligus menguatkan daya saing industri teknologi finansial di tingkat global.

    Lebih jauh, ia menekankan bahwa inovasi tidak harus menunggu perubahan regulasi yang besar.

    Calvin menambahkan bahwa selain rencana jangka panjang seperti perluasan fungsi kripto, pemerintah juga dapat mengambil langkah inovatif dalam jangka pendek untuk memperkuat ekosistem.

    Dalam jangka pendek, sejumlah langkah strategis dapat segera dilakukan, antara lain pemberian insentif pajak, percepatan proses listing token baru, serta dukungan terhadap pengembangan produk inovatif seperti Staking dan instrumen derivatif yang dirancang lebih sesuai dengan kerangka regulasi sekaligus agile mengikuti dinamika industri dapat memberikan stimulus signifikan bagi pertumbuhan ekosistem kripto.

    “Beberapa hal yang bisa dipertimbangkan misalnya pemberian insentif pajak yang lebih ringan, percepatan proses listing token-token baru, hingga dukungan untuk produk inovatif seperti Staking dan Futures. Langkah-langkah tersebut bisa menstimulasi pertumbuhan pasar kripto secara lebih cepat,” ujarnya lagi.

    Meski potensi kripto sebagai instrumen pembayaran terbuka lebar, sejumlah tantangan tetap harus diatasi.

    Salah satunya adalah maraknya exchange ilegal yang masih beroperasi dan mengambil porsi besar dari transaksi pengguna Indonesia. Selain itu, regulasi perpajakan juga perlu disesuaikan agar lebih mencerminkan karakteristik pasar kripto yang borderless.

    Calvin menilai, konsolidasi antarotoritas seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan Direktorat Jenderal Pajak menjadi kunci dalam membangun kerangka regulasi yang seimbang, antara perlindungan konsumen, stabilitas sistem keuangan, dan ruang inovasi.

    Ia juga menekankan bahwa aset kripto telah memberikan kontribusi nyata bagi negara.

    Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu), penerimaan pajak kripto hingga 31 Agustus 2025 mencapai Rp1,61 triliun, atau hampir 4 persen dari total penerimaan pajak ekonomi digital sebesar Rp41,09 triliun.

    “Potensi kripto sebagai instrumen pembayaran di Indonesia tidak hanya bergantung pada kesiapan teknologi, tetapi juga pada keberanian regulasi untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, kripto dapat berevolusi dari sekadar instrumen investasi menjadi bagian penting dalam sistem pembayaran digital nasional, memperluas inklusi keuangan, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di peta ekonomi digital global,” ujar Calvin pula.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.