Kementrian Lembaga: Kemenkeu

  • Menkeu Purbaya Tolak Ikut Restrukturisasi Utang Whoosh, Pengamat: Hindari Terjebak dalam Lingkaran Setan

    Menkeu Purbaya Tolak Ikut Restrukturisasi Utang Whoosh, Pengamat: Hindari Terjebak dalam Lingkaran Setan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat kebijakan publik, Gigin Praginanto ikut merespon pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa soal Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Woosh).

    Di mana, Menkeu Purbaya menolak untuk ikut dan terlibat di restrukturisasi utang whoosh ini.

    Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Gigin Praginanto memberikan respons.

    Ia mengaku setuju dengan langkah yang diambil oleh Menkeu Purbaya.

    Langkah ini juga disebutnya sebagai salah satu kejelian untuk menghindari jebakan dalam proyek tersebut.

    “Setuju,” tulis Gigin Praginanto dikutip Minggu (26/10/2025).

    “Jangan mau terjebak dalam lingkaran setan utang buatan para calo proyek,” ujarnya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, memastikan tak akan ikut dalam tim negosiasi restrukturisasi utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. 

    Menurutnya persoalan tersebut harus diselesaikan secara business to business (B2B).

    Adapun, tim tersebut bakal melibatkan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara).

    “Bagus. Saya nggak ikut kan? Top. Saya sebisa mungkin nggak usah ikut, biar aja mereka selesaikan, Business to Business. Jadi top,” ujar Purbaya 

    (Erfyansyah/Fajar) 

  • Uji Coba Ulang Utang Kereta Cepat

    Uji Coba Ulang Utang Kereta Cepat

    Oleh:Defiyan Cori 

       

    KEBERANIAN memulai hal baru, mungkin inilah warisan terbesar Joko Widodo selama dua periode memimpin negeri ini. Presiden yang akrab disapa Jokowi itu berani menantang kebiasaan lama, menembus keraguan birokrasi, dan menggebrak lewat proyek-proyek infrastruktur raksasa, termasuk Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB).

    “Kereta cepat bukan soal untung rugi, yang penting rakyat dilayani,” kata Jokowi pada 2 Oktober 2023 saat meresmikan beroperasinya kereta cepat pertama di Asia Tenggara itu. Ucapan itu menegaskan satu hal: proyek ini dibangun bukan semata demi laba, melainkan pelayanan publik. Dalam logika bisnis, kerugian di awal operasi adalah hal yang lumrah. Namun di dunia korporasi, setiap angka tetap bicara: untung atau rugi menentukan kepercayaan investor dan kreditor.

    Karena itu publik terperangah ketika Direktur Utama PT KAI, Bobby Rasyidin, mengeluhkan kerugian proyek KCJB di hadapan Komisi VI DPR, Rabu, 20 Agustus 2025. Ia menyebut kerugian gabungan PT KCIC dan PT KAI pada 2024 mencapai Rp4,195 triliun, sementara semester pertama 2025 (unaudited) sudah menembus Rp1,625 triliun. Ia bahkan menyebut kondisi itu sebagai “bom waktu”.

    Pernyataan itu sontak memicu polemik. Bukankah sejak awal proyek ini dijalankan dengan skema bisnis ke bisnis (B-to-B) tanpa jaminan APBN? Tidakkah sang direktur memahami kontrak dan risiko yang telah disepakati?

    Sebelum menuding siapa bersalah, ada baiknya publik menelusuri akar persoalan. Dalam dunia bisnis, studi kelayakan atau feasibility study (FS) adalah dokumen paling mendasar. Ia menentukan apakah sebuah proyek layak atau tidak layak dijalankan. Badan Pemeriksa Keuangan seharusnya menelusuri kembali dokumen ini: apakah KCJB benar-benar dinilai layak secara teknis, ekonomi, dan finansial sebelum dijalankan?

    Kalau memang layak, mengapa kerugian menggunung sejak awal? Tapi kalau tidak layak, mengapa proyek senilai triliunan rupiah ini tetap diteruskan?

    Sebagian pihak, termasuk Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), bahkan menyebut proyek ini “sudah busuk sejak awal”.

    Awal kisahnya bisa ditarik ke 2015. Kala itu, dua raksasa ekonomi–Jepang dan China–berebut mengerjakan proyek kereta cepat sejauh 142,3 kilometer ini. Melalui Peraturan Presiden Nomor 107 dan 93 Tahun 2015, pemerintah memberi batas waktu penentuan pemenang hingga 31 Agustus 2015.

    Akhirnya, pilihan jatuh ke China. Alasannya sederhana: tawaran mereka lebih murah dan tidak membebani APBN. Jepang menawarkan nilai proyek USD 6,2 miliar (sekitar Rp86,8 triliun), sedangkan China hanya USD 5,5 miliar (Rp77 triliun). Selisihnya sekitar Rp9,8 triliun.

    China juga berjanji tidak meminta jaminan pemerintah. Janji yang belakangan menjadi sumber polemik.

    Pertengahan Juni 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno meneken kerja sama pendanaan dengan berbagai BUMN senilai total US$40 miliar—sekitar Rp520 triliun. Padahal, nilai proyek KCJB hanya Rp78–87 triliun. Apakah seluruh pinjaman itu untuk kereta cepat semata? Pertanyaan ini belum pernah dijawab tuntas.

    Dari sinilah lahir PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), konsorsium yang terdiri dari PT KAI, PT Wijaya Karya (WIKA), PT Jasa Marga (JSMR), dan PTPN VIII. Mereka menggandeng China Railway International dengan kepemilikan saham 60:40.

    Masalahnya, sebagai leading consortium, PT KAI menanggung beban terbesar—58,53 persen saham PSBI—dan karenanya paling terdampak ketika proyek merugi. Semester pertama 2025, kerugiannya hampir Rp1 triliun.

    Mengapa Kerugian ini Tak Bisa Diantisipasi?

    Sebagian penyebabnya, proyek yang semula dirancang selesai 2019 baru rampung 2023. Biaya pun membengkak. Dari semula US$5,5 miliar, melonjak hingga US$8 miliar atau sekitar Rp114 triliun.

    Lebih runyam lagi, peralihan kepemimpinan konsorsium dari WIKA ke KAI menambah beban koordinasi. Lalu komitmen awal “tanpa APBN” berubah di tengah jalan: Menteri BUMN Erick Thohir, didukung Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, akhirnya mengusulkan keterlibatan dana negara.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 89 Tahun 2023 yang memberi ruang bagi penggunaan APBN. Presiden Jokowi disebut mengetahui keputusan itu. Dengan demikian, ada tiga pejabat yang memikul tanggung jawab atas perubahan fundamental proyek ini.

    Kini, Ketua DEN Luhut Binsar Pandjaitan kembali mengusulkan penerbitan Keppres baru untuk menyelesaikan utang proyek KCJB. Padahal, langkah itu justru menambah simpul birokrasi. Penyelesaiannya cukup dilakukan lewat mekanisme renegosiasi dan restrukturisasi utang antara PT KCIC dan lembaga pembiayaan China, seperti China Development Bank (CDB) dan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC).

    Tak perlu Keppres baru. Yang dibutuhkan hanyalah profesionalisme dan keberanian mengambil keputusan.

    Pemerintah sebenarnya punya instrumen yang bisa diandalkan: BPI Danantara. Badan ini dapat menjadi fasilitator renegosiasi antara PSBI dan pihak China Railway International, yang beranggotakan China Railway Group Limited, Sinohydro Corporation, TSDI Group, China Academy of Railway Sciences, CSR Corporation, serta China Railway Signal and Communication Corp.

    Mereka memegang 40 persen saham PT KCIC, dan karena itu, semua poin perjanjian kerja sama—termasuk kenaikan nilai proyek USD 1,9 miliar (Rp28,5 triliun) harus dinegosiasikan ulang berdasarkan dokumen resmi, bukan lobi politik.

    Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa sudah menegaskan: APBN tak boleh digunakan untuk menambal utang KCIC. Bahkan, memakai dividen BUMN untuk menalangi kerugian dinilai berisiko dan rawan penyimpangan.

    Masih ada cara lain yang lebih sehat secara korporasi, yakni: kebijakan delusi saham. Dengan mengalihkan sebagian kepemilikan 60 persen saham PSBI, beban utang PT KCIC dan PT KAI bisa berkurang tanpa membebani kas negara.

    Itu langkah konstitusional dan rasional, bukan jalan pintas politik. Pada akhirnya, keberanian membangun proyek besar memang perlu. Tapi keberanian itu harus disertai tanggung jawab penuh, bukan sekadar menumpahkan risiko ke negara.

    Sebuah proyek raksasa seperti KCJB hanya akan menjadi simbol kemajuan bila dikelola dengan prinsip bisnis yang sehat dan transparan. Karena di balik setiap rel yang berkilau dan setiap kereta yang melesat, tersimpan pertanyaan besar: siapa yang sesungguhnya membayar kecepatannya? 

    (Ekonom Konstitusi)

  • Bertujuan Sama dengan Menkeu, Mendagri: Dana Daerah Jangan Mengendap di Bank

    Bertujuan Sama dengan Menkeu, Mendagri: Dana Daerah Jangan Mengendap di Bank

    Bertujuan Sama dengan Menkeu, Mendagri: Dana Daerah Jangan Mengendap di Bank
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan bahwa dirinya memiliki pandangan yang sama dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa terkait dana daerah.
    Tito menegaskan bahwa dana daerah tidak boleh mengendap di bank dan harus segera digunakan untuk kepentingan masyarakat.
    “Tujuan kita sama, dana daerah jangan mengendap di bank, tapi segera dibelanjakan untuk masyarakat,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (25/10/2025), dikutip dari
    Antaranews
    .
    Saat ditanya soal perbedaan data simpanan pemerintah daerah (Pemda) antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Tito memastikan, tidak ada perbedaan prinsip melainkan hanya perbedaan teknis dalam metode pelaporan.
    Mendagri menjelaskan, selisih sekitar Rp 18 triliun antara data yang dirilis Kemenkeu dan Kemendagri bersifat wajar.
    Berdasarkan data Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) per Oktober 2025, dana simpanan Pemda tercatat Rp 215 triliun. Sementara data Bank Indonesia (BI) yang dikutip Menkeu menunjukkan angka Rp 233 triliun per Agustus 2025
    Menurut Tito, selisih dua bulan waktu pelaporan itulah yang menjelaskan perbedaan angka.
    “Sangat wajar jika berkurang. Kalau Agustus Rp 233 triliun, lalu Oktober Rp 215 triliun, artinya Rp 18 triliun itu sudah dibelanjakan,” ujarnya.
    Tito juga menegaskan bahwa semangat antara Kemenkeu dan Kemendagri tetap sejalan, yakni sama-sama ingin mempercepat penyerapan anggaran dan memastikan dana daerah memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
    Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti dana pemda yang belum digunakan dan masih mengendap di bank hingga Rp 234 triliun per akhir September 2025.
    Padahal, menurut dia, pemerintah pusat sudah menyalurkan dana ke daerah dengan cepat, dengan total realisasi transfer ke daerah sepanjang 2025 mencapai Rp 644,9 triliun.
    “Realisasi belanja APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sampai dengan triwulan ketiga tahun ini masih melambat. Jadi jelas ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” kata Purbaya dalam acara Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta pada 20 Oktober 2025.
    Oleh karena itu, Purbaya mengingatkan Pemda agar segera menggunakan anggaran untuk program yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
    Namun, sejumlah kepala daerah membantah data yang disampaikan Menkeu. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut, dana yang tersimpan di rekening pemerintah provinsinya hanya sekitar Rp 2,4 triliun, bukan Rp 4,1 triliun seperti yang disebut Kemenkeu.
    “Tidak ada dana Rp 4,1 triliun yang disimpan dalam bentuk deposito. Yang ada hari ini hanya Rp 2,4 triliun dan itu tersimpan di rekening giro untuk kegiatan Pemprov Jabar,” kata Dedi di Kantor Bank Indonesia pada 22 Oktober 2025.
    Bantahan juga disampaikan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Sebab, data Kemenkeu menyebut dana mengendap di daerahnya mencapai Rp 3,1 triliun.
    Bobby menyebut, saldo Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Sumut hanya Rp 990 miliar dan telah digunakan untuk membiayai sejumlah kegiatan pemerintah provinsi.
    “RKUD kami cuma satu, ada di Bank Sumut. Saldo hari ini Rp 990 miliar, dan itu pun untuk pembayaran beberapa kegiatan serta karena perubahan APBD,” kata Bobby di Medan pada 21 Oktober 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Purbaya Boyong Hacker LPS Didikan Rusia untuk Perkuat Sistem Coretax: Sepertinya KGB Juga Dia

    Purbaya Boyong Hacker LPS Didikan Rusia untuk Perkuat Sistem Coretax: Sepertinya KGB Juga Dia

    GELORA.CO – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kembali membuat langkah berani.

    Ia berencana memboyong tim hacker andalan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), untuk memperkuat dan memperbaiki sistem Coretax di Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

    Langkah ini diambil setelah tim hacker tersebut terbukti memiliki kemampuan tinggi dalam memperkuat sistem keamanan digital di lingkungan LPS.

    Menurut Purbaya, kepercayaannya terhadap tim ini bukan tanpa alasan.

    Para anggota tim disebut pernah menjalani pelatihan intensif selama enam bulan di Rusia, di sebuah tempat yang digambarkannya sebagai “khusus dan tertutup.”

    “Dia dilatih di Rusia enam bulan. Jadi kayaknya KGB juga dia,” ujar Purbaya sambil berseloroh dalam media briefing di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat 24 Oktober 2025.

    “Saya percaya mereka. Saya bawa dari pertahanan, ke Maritim, ke LPS, dan sekarang ke Kemenkeu.” lanjutnya.

    Awalnya, Purbaya mengenal kelompok ini setelah sistem LPS yang dianggap aman justru berhasil dibobol hanya dalam waktu lima menit oleh mereka.

    Namun alih-alih memusuhi, Purbaya justru merangkul mereka untuk memperkuat sistem keamanan negara.

    “Saya bilang, kalau nggak bisa ngalahin, ya kita rangkul. Mereka ini semua merah putih, jadi kita kasih ruang untuk bantu,” ucapnya.

    Kini, tim hacker yang sama akan ditugaskan untuk memperbaiki sistem Coretax yang sempat bermasalah.

    Purbaya memastikan kemampuan mereka benar-benar mumpuni  dan bukan abal-abal.

    “Mereka jago-jago, orang Indonesia semua. Banyak talenta digital kita yang luar biasa,” tegasnya.

    Meski begitu, proses perbaikan masih terkendala karena sebagian sistem Coretax masih di bawah kontrak dengan perusahaan asal Korea Selatan, LG.

    Kemenkeu baru akan mendapatkan akses penuh ke source code pada Desember mendatang.

    “Saya kira satu bulan bisa selesai. Tapi karena kendala kontrak, kita belum bisa masuk. Begitu Januari-Februari nanti akses dibuka, sistem akan selesai diperbaiki,” ujar Purbaya optimistis.

  • Mendagri dan Menkeu tegaskan dana daerah tidak boleh mengendap

    Mendagri dan Menkeu tegaskan dana daerah tidak boleh mengendap

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan dirinya dan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa satu suara terkait dana daerah yang tidak boleh mengendap di bank dan harus segera digunakan untuk kepentingan masyarakat.

    “Tujuan kita sama, dana daerah jangan mengendap di bank, tapi segera dibelanjakan untuk masyarakat,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Kemudian saat ditanya soal perbedaan data simpanan pemda antara Kemendagri dan Kemenkeu. Menurut Tito, tidak ada perbedaan prinsip antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), melainkan hanya perbedaan teknis dalam metode pelaporan.

    Tito menjelaskan, selisih sekitar Rp18 triliun antara data yang dirilis Kemenkeu dan Kemendagri bersifat wajar.

    Berdasarkan data Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) per Oktober 2025, dana simpanan Pemda tercatat Rp215 triliun. Sementara data Bank Indonesia (BI) yang dikutip Menkeu menunjukkan angka Rp233 triliun per Agustus 2025.

    Menurut Tito, selisih dua bulan waktu pelaporan itulah yang menjelaskan perbedaan angka.

    “Sangat wajar jika berkurang. Kalau Agustus Rp233 triliun, lalu Oktober Rp215 triliun, artinya Rp18 triliun itu sudah dibelanjakan,” ujarnya.

    Tito juga menegaskan bahwa semangat antara Kemenkeu dan Kemendagri tetap sejalan, yakni sama-sama ingin mempercepat penyerapan anggaran dan memastikan dana daerah memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

    Menanggapi hal tersebut, Dosen Hukum Pemerintahan Daerah Universitas Atma Jaya Yogyakarta Hestu Cipto Handoyo juga menyatakan dirinya sepakat dengan kedua menteri tersebut soal penggunaan dana daerah.

    Menurutnya, baik Mendagri maupun Menkeu memiliki semangat yang sama, yaitu memastikan dana daerah tidak menumpuk di perbankan.

    “Baik Kemenkeu maupun Kemendagri berupaya memperkuat disiplin fiskal daerah. Perbedaan data jangan diartikan perbedaan arah, karena tujuannya tetap sama: memastikan uang daerah bekerja untuk rakyat, bukan mengendap di rekening,” kata Hestu dalam keterangannya, Sabtu

    Hestu menilai perbedaan angka Rp18 triliun tidak menunjukkan konflik atau penyimpangan, melainkan disebabkan oleh perbedaan teknis dan metodologis dalam pelaporan data.

    Menurutnya, data BI yang digunakan Menkeu menggambarkan posisi simpanan Pemda di bank pada waktu tertentu, umumnya di akhir bulan.

    Sementara data yang digunakan Mendagri melalui SIPD bersumber dari laporan administratif Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), yang bersifat dinamis dan harian, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 70 Tahun 2019.

    “SIPD merekam kondisi kas daerah yang terus bergerak, sementara data BI bersifat posisi tetap (cut-off), jadi wajar jika angkanya berbeda,” tutur Hestu.

    Hestu menjabarkan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan selisih data, pertama perbedaan waktu pelaporan (cut-off date) antara BI dan SIPD.

    Kedua, perbedaan definisi akun, di mana rekening tertentu yang masih atas nama Pemda bisa jadi bukan kas daerah operasional.

    Ketiga, kesalahan input atau keterlambatan pelaporan di daerah karena keterbatasan SDM dan sistem.

    Menurut Hestu, semua faktor tersebut bisa diklarifikasi melalui proses rekonsiliasi administratif, tanpa harus diasumsikan sebagai pelanggaran.

    “Rekonsiliasi data antara ketiga lembaga ini sangat penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas keuangan negara,” tegas Hestu.

    Ia menyarankan agar hasil rekonsiliasi nantinya diumumkan bersama oleh BI, Kemenkeu, dan Kemendagri, sehingga publik mendapatkan data yang sudah tervalidasi dan tidak menimbulkan tafsir berbeda.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Begini Rencana Kelanjutan 80.000 Kopdes Raih Kredit Rp240 Triliun dari Himbara

    Begini Rencana Kelanjutan 80.000 Kopdes Raih Kredit Rp240 Triliun dari Himbara

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Koperasi (Kemenko) mengungkap kelanjutan pemberian akses kredit bagi 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDKMP) yang rencananya bakal mulai dikucurkan dalam waktu dekat.

    Menteri Koperasi Ferry Juliantono mengatakan rencana pemberian kredit hingga Rp240 triliun tersebut telah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa.

    “Dan oleh Menteri Keuangan, karena Menkeu-nya koboi keluar keputusan yang itu cukup bagi Danantara untuk disampaikan kepada Bank Himbara untuk bisa dicairkan platform pinjaman yang sudah disediakan,” ujarnya dalam konferensi pers diikutip Sabtu (25/10/2025).

    Adapun penyaluran kredit itu ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pinjaman dalam Rangka Pendanaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. 

    Nantinya setiap KDKMP akan mendapat plafon kredit mencapai Rp3 miliar. Sehingga, untuk memberikan pendanaan bagi 80.000 KDKMP dibutuhkan anggaran mencapai Rp240 Triliun.

    “Setiap Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih itu diberikan Rp3 miliar. Jadi kalau 80.000-an Koperasi Desa itu kurang lebih Rp240 triliun,” katanya. 

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) memastikan pencairan pinjaman dari Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk Koperasi Desa Merah Putih akan dilakukan secara serentak. 

    Pada tahap awal, ada sekitar 1.000 Kopdes yang siap untuk menerima pinjaman mulai pekan depan. Totalnya, pemerintah memprioritaskan injeksi pinjaman bank pelat merah terhadap 20.000 Kopdes Merah Putih. 

    “Pertama, kita akan fokus 20.000 dulu yang sudah lengkap, akan diawali 1.000 [Kopdes] minggu depan untuk di-launching, karena ini dananya sudah siap,” ucapnya. 

    Akses kredit tersebut akan diberikan sebagai modal Kopdes membangun sejumlah sarana dan prasarana awal. Salah satunya untuk pengembangan area pergudangan. Nantinya, Kopdes Merah Putih juga akan menjajakan sejumlah barang pojok mulai dari LPG 3 Kilogram (Kg), minyak, beras, hingga pupuk.

  • Dedi Mulyadi Harus Jujur Soal Duit Rp4 Triliun Mengendap di Bank

    Dedi Mulyadi Harus Jujur Soal Duit Rp4 Triliun Mengendap di Bank

    GELORA.CO -Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi didesak untuk menjelaskan kepada publik khususnya rakyat Jabar terkait dana Pemda Jabar sebesar Rp4,1 triliun yang mengendap di bank, sebagaimana diungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. 

    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga  menyoroti jika  anggaran Rp4 triliun tersebut diendapkan dalam bentuk deposito berjangka tiga atau enam bulan, tentu bunganya lumayan besar. 

    “Masalahnya, bunganya itu untuk siapa dan untuk apa?” kata Jamiluddin Ritonga kepada RMOL, Sabtu, 25 Oktober 2025.  

    Ia menilai sebaiknya Dedi Mulyadi dan kepala daerah lainnya dapat menjelaskan apa motivasi mengendapkan anggaran tersebut dan apakah anggaran yang disediakan benar-benar untuk pembangunan yang dilaksanakan tepat sesuai waktu yang ditetapkan.

    “Dengan begitu, pengendapan anggaran bukan dimaksudkan untuk mendapatkan bunga untuk keuntungan pihak-pihak tertentu. Kalau ini yang terjadi, maka pengendapan anggaran sudah sengaja diselewengkan,” kata Jamiluddin.

    Mereka-mereka yang melakukan hal itu tentunya sudah menghambat pembangunan di daerah, dan karenanya harus ditindak dengan sanksi yang berat.

    “Kiranya Dedi Mulyadi perlu menuntaskan hal itu, agar tuduhan negatif terkait pengendapan anggaran daerah dapat diminimalkan. Hal itu dapat diwujudkan bukan dengan kata-kata, tapi bukti berdasarkan hasil investigasi,” pungkasnya.

    Sebelumnya, KDM, sapaan Dedi Mulyadi membantah pernyataan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyebut ada dana Pemda Jabar sebesar Rp4,1 triliun mengendap di bank.

    “Kalau ada yang menyatakan ada uang Rp4,1 triliun tersimpan dalam bentuk deposito, serahin datanya ke saya. Soalnya saya bolak-balik ke BJB nanyain, kumpulin staf, marahin staf, ternyata tidak ada dibuka di dokumen, kasda juga tidak ada,” kata Dedi lewat unggahan video di akun Instagram pribadinya. Ia bahkan siap diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bila memang ada dana mengendap sebesar itu. 

    Meski demikian, Dedi mengakui Pemprov Jabar memang memiliki kas sebesar Rp2,3 triliun di perbankan. Dana itu, katanya, bukan diendapkan, melainkan disiapkan untuk pembayaran proyek dan kontrak kepada pihak ketiga menjelang akhir tahun.

    Sementara Menkeu Purbaya menegaskan data yang digunakan pemerintah pusat bersumber langsung dari pantauan Bank Indonesia (BI) yang dihimpun dari seluruh perbankan di Tanah Air. Karena itu, menurutnya, data tersebut sudah seharusnya akurat.

  • Programmer LG yang Garap Coretax Ternyata Lulusan SMA, Purbaya: Kita Sering Dikibuli Asing

    Programmer LG yang Garap Coretax Ternyata Lulusan SMA, Purbaya: Kita Sering Dikibuli Asing

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menemukan salah satu masalah utama yang kerap menyebabkan gangguan pada sistem administrasi perpajakan Coretax adalah perangkat lunak atau software yang digarap LG CNS-Qualysoft Consortium.

    Pada Jumat (24/10/2025), Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengeklaim sebagian besar masalah Coretax dari sisi pengguna sudah bisa diatasi. Namun, salah satu isu yang saat ini masih belum dituntaskan adalah perangkat lunak atau software buatan LG.

    Adapun mengutip laman resmi Ditjen Pajak, LG CNS-Qualysoft Consortium menjadi pemenang pengadaan sistem informasi Coretax senilai Rp1,2 triliun (termasuk pajak). LG CNS-Qualysoft Consortium yang beralamatkan di Jakarta ini menyediakan solusi Commercial Off The Shelf (COTS) untuk Sistem Inti Administrasi Perpajakan dan mengimplementasikan solusi tersebut.

    Pembenahan Coretax adalah salah satu aspek yang menjadi fokus Purbaya setelah resmi dilantik sebagai Menkeu menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada September 2025. Setelah satu bulan upaya pembenahan, dia mengungkap turut mempekerjakan peretas atau hacker asal Indonesia untuk mengatasi IT Coretax.

    Purbaya menyebut, peretas yang dipekerjakan olehnya itu menemukan bahwa programmer yang ditugaskan LG untuk menyusun sistem perangkat lunak Coretax adalah lulusan SMA.

    “Dia [peretas] bilang, wah ini programmer tingkat baru lulusan SMA, jadi yang dikasih ke kita bukan orang jago-jagonya kelihatannya. Jadi ya memang Indonesia sering dikibulin asing, begitu asing ‘wah’. Apalagi K-Pop, wah K-Pop nih, tapi di bidang programmer beda ya, di K-Pop, di film sama di nyanyi, programming [red] beda,” terangnya di kantor Kemenkeu, Jakarta, dikutip Sabtu (25/10/2025).

    Sampai dengan saat ini, penyelesaian masalah pada sistem software LG masih terhambat karena pemerintah dan perusahaan asal Korea Selatan itu masih berkontrak hingga pertengahan Desember 2025.

    Alhasil, tim dari Ditjen Pajak yang ditugaskan untuk membenahi Coretax belum bisa sepenuhnya masuk dan membenahi software dimaksud. Selepas batas akhir kontrak, maka nantinya pihak LG akan menyerahkan source code dari program Coretax ke pemerintah.

    “Jadi ini kan dibangun empat tahun, dengan segala macam kendala yang ada ya, tapi saya yakin nanti begitu dikasih ke kami, Januari, Februari udah selesai itu. Januari udah selesai harusnya,” kata Purbaya.

    Menurut mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu, infrastruktur maupun sistem keamanan Coretax sangat memadai. Pemerintah hanya perlu memaksimalkan pemanfaatannya. Dia pun menilai Ditjen Pajak sudah banyak mengidentifikasi masalah-masalah pada Coretax.

    Selain software, sistem keamanan siber atau cybersecurity dari Coretax juga dinilai sebelumnya sudah kuno. Purbaya juga memastikan ke depan tidak akan bergantung kepada pihak asing untuk pengadaan-pengadaan serupa.

    “On technique, adanya ketergantungan pada pihak asing, nanti ke depan akan kami putus, apalagi kualitas jelek seperti itu. Jadi, pada dasarnya, orang Indonesia punya kemampuan, dan kami akan memanfaatkan itu dengan serius ke depan,” paparnya.

  • Cegah Penumpukan, Menkeu Purbaya Bagi Dana Daerah Tiap Awal Januari

    Cegah Penumpukan, Menkeu Purbaya Bagi Dana Daerah Tiap Awal Januari

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bakal mengubah waktu pembayaran dana daerah menjadi awal Januari sehingga tidak ada penumpukan.

    Menurutnya, dana daerah atau anggaran transfer ke daerah (TKD) seharusnya tak mengendap di rekening kas daerah sebagai sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa). Oleh karena itu, dia tengah mempersiapkan cara dan proses pembayaran TKD pada awal tahun.
    Hal itu dilakukan setelah dia mengetahui total nilai simpanan pemerintah daerah (pemda) di perbankan mencapai Rp233 triliun, mengacu pada data Bank Indonesia (BI) per akhir September 2025.

    “Nanti tahun depan akan kami kembangkan sistem di mana transfernya bisa cepat tanggal 1, 2 Januari sudah keluar lah ke [rekening] pemda, sehingga pemda enggak usah menumpuk uang lagi,” terangnya kepada wartawan, dikutip Jumat (24/10/2025).

    Selama ini, terang Purbaya, secara historis sisa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) setiap tahunnya bisa mencapai Rp100 triliun. Dengan perubahan pembayaran TKD, dia berharap agar kebiasaan menumpuk uang atau sisa anggaran pemda setiap tahunnya itu tidak terjadi lagi.

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menilai sisa anggaran itu lebih baik dibelanjakan secara optimal sehingga mendorong perekonomian.

    “Kalau cara perencanaan yang lain ya mereka harus lebih rajin belajar gimana cara merencanaakan belanja tepat waktu, tepat sasaran,” ungkapnya.

    Sebelumnya, pada Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Senin (20/10/2025), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mendorong agar pemda memiliki cadangan anggaran setiap dua bulan pertama setiap tahun. Alasannya, pemda memiliki kebutuhan untuk membayar gaji pegawai.

    “Untuk daerah memang perlu harus ada Silpa karena di daerah-daerah ini di Januari mereka harus membayar belanja pegawai dan kontrak yang sudah selesai di deadline akhir Desember, dibayarnya Januari,” terangnya pada acara yang juga dihadiri Purbaya itu.

    Mantan Kapolri itu turut mengingatkan bahwa penyaluran TKD hibah dari provinsi ke kabupaten/kota juga kerap mengalami keterlambatan. Akibatnya, eksekusi anggaran TKD di level kabupaten/kota turut terdampak. Tito turut menyampaikan keluhan sejumlah pemda kepada pemerintah pusat melalui Purbaya mengenai pengiriman Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Alokasi Umum (DAU). Pemda mengeluhkan keterlambatan penyerahan petunjuk teknis (juknis) penggunaan DAK dari kementerian teknis, serta syarat salur dalam pemberian DAU.

    Namun demikian, Tito mengimbau pemda untuk mempercepat dan mengoptimalkan belanja daerah yang kini masih lambat. Terutama, bagi pemda-pemda yang memiliki pendapatan tinggi. Dia juga meminta agar uang pemda tidak ditanam pada bank-bank di pusat.

    “Saya tahu ada beberapa bank di pusat yang ditaruh karena memang dianggap bank sehat. Akibatnya uangnya beredar di pusat,” terangnya.

  • Menkeu Purbaya Pernah Jadi Bintang Tamu di Lapor Pak Trans 7, Wendy Cagur: Sombong juga Ini Orang!

    Menkeu Purbaya Pernah Jadi Bintang Tamu di Lapor Pak Trans 7, Wendy Cagur: Sombong juga Ini Orang!

    GELORA.CO –  Siapa sangka Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ternyata pernah menjadi bintang tamu di acara Lapor Pak Trans 7.

    Kala itu Purbaya masih menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

    Purbaya hadir di Lapor Pak dengan tajuk SIMPAN UANG YAA DI BANK BUKAN CELENGAN AYAM, yang tayang pada 8 Agutus 2025.

    “Kita sambut Bapak Purbaya Yudhi Sadewa selaku ketua Dewan Komisioner dari LPS atau Lembaga Penjamin Simpanan,” ucap Andika Pratama.

    “Saya mohon terima kasih diundang ke kantor Lapor Pak,” kata Purbaya.

    Purbaya mengatakan kedatanganya ke Lapor Pak untuk menjelaskan menabung di bank sangat aman.

    Sebelumnya, Wendy Cagur dalam perannya mengungkapkan khawatiran saat menabung di bank, dan merasa lebih aman menyimpan uang di dalam celengen ayam.

    “Untuk menjelaskan kemasyarakat atau mengimbau ke teman-teman semua bahwa menabung di bank itu aman,” ujar Purbaya.

    “Jadi nggak usah ketakutan kayak Pak Wendy tadi,” imbuhnya.

    “Nah, nggak usah khawatir, Wend,” celetuk Andika Pratama.

    “Jujur, saya masih ngerasa takut nih nabung di bank. Takut uangnya nggak bisa balik. Kemaleman kali makanya nggak bisa balik,” kata Wendy Cagur disambut tawa penonton.

    “Atau takut uang saya hilang karena banknya bangkrut, Pak,” tambah Wendy Cagur.

    Purbaya lalu menjelaskan semua bank di Indonesia mengikuti program LPS.

    “Semua bank di Indonesia ikut program penjaminan LPS. Jadi kalau ada bank bangkrut, uangnya diganti oleh LPS. Semua bank, jadi bank umum, bank syariah, maupun BPR dan BPRS yang syariahnya merupakan peserta program penjaminan LPS,” ujar Purbaya.

    “Dengerin dia, Pak. anaknya overthinking. Tapi ini mohon maaf nih, Pak. Bener nggak ya, Pak Purbaya, kalau misalnya tabungan kita di bank itu dijamin oleh LPS? ” ucap Andika Pratama.

    Purbaya lantas berseloroh, dirinya merupakan orang kaya sehingga mampu menjamin Rp2 miliar per nasabah di bank.

    Ucapan Purbaya langsung disambut tawa penonton, dan celetukan kocak Wendy Cagur.

    “Bener. Anda mesti tahu saya orang kaya. Saya punya uang Rp260 triliun sekarang,” kata Purbaya.

    “Jadi saya bisa jamin uang dari bank sampai Rp2 miliar per nasabah per bank. Jadi nggak usah takut. Anda berhadapan dengan orang kaya di Indonesia sekarang,” imbuhnya.

    “Waduh, sombong juga orang ini ya,” celetuk Wendy Cagur.

    Video yang merekam kedatangan Purbaya ke Lapor Pak Trans 7, kini kembali viral di media sosial.

    Ditegur Ajudan

    Aksi Purbaya Yuhdi Sadewa saat menegur ajudannya menjadi perhatian publik.

    Peristiwa itu terjadi saat wartawan mewawancarai Purbaya Yudhi Sadewa usai rapat bersama Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (23/10/2025) malam.

    Di tengah wawancara doorstop, ajudan Purbaya Yudhi Sadewa tiba-tiba meminta wartawan menyudahi pertanyaan.

    “Cukup ya,” ujar ajudan dikutip dari tayangan youtube Kompas TV, Jumat (24/10/2025).

    Ajudan tersebut berdiri di belakang Purbaya. Seketika, Purbaya lalu meminta ajudan tidak menghalangi wartawan untuk mengajukan pertanyaan

    Lantaran wartawan telah lama menunggu kehadirannya seusai rapat bersama Direktur Utama Pertamina.

    “Kasihan-kasihan mereka sudah nunggu lama, lo ngapain nyuruh gue pulang,” kata Purbaya sambil tertawa.

    Ajudan tersebut pun ikut tertawa bersama awak media.

    “Semangat, pak,” kata salah satu wartawan.

    Peristiwa serupa 

    Momen Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, meminta agar ajudannya tidak menghalangi wartawan yang tengah mengajukan pertanyaan juga sempat terjadi saat dirinya hendak keluar dari Gedung Kementerian Keuangan pada Selasa (21/10/2025).

    Dikutip dari Youtube Kompas.com, awak media saat itu masih mencecar Purbaya sejumlah pertanyaan, meski telah melakukan doorstop.

    Namun, saat Purbaya ingin menjawab pertanyaan, salah satu ajudan berupaya untuk menjaga agar wartawan tak terlalu dekat.

    “Nanti lagi ya, awas kena pagar,” ujar ajudan Purbaya.

    “Jangan ngedorong kasihan,” kata Purbaya sambil meminta sang ajudan untuk membiarkan wartawan mendekat.