Kementrian Lembaga: Kemenkeu

  • Kemenkeu Mengajar tanamkan literasi keuangan sejak dini di Solo

    Kemenkeu Mengajar tanamkan literasi keuangan sejak dini di Solo

    ANTARA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menggelar program Kemenkeu Mengajar ke-10 di Solo pada Senin (10/11). Program tersebut menyasar sepuluh sekolah di wilayah Solo salah satunya Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 17.
    (Denik Apriyani/Yovita Amalia/I Gusti Agung Ayu N)

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Sederet Alasan Target Pajak Purbaya 2025 Sulit Dicapai

    Sederet Alasan Target Pajak Purbaya 2025 Sulit Dicapai

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menghadapi risiko pelebaran shortfall alias selisih antara realisasi dengan target penerimaan pajak tahun 2025. Risiko pelebaran itu dipicu oleh rendahnya daya pungut penerimaan pajak, yang sampai kuartal III/2025 hanya di angka 8,58%. 

    Angka itu mengonfirmasi bahwa pengumpulan penerimaan pajak sebesar Rp1.295,3 triliun hanya mencakup 8,58% dari total PDB hingga kuartal III/2025 yang mencapai Rp17.672,9 triliun. 

    Dalam catatan Bisnis, rendahnya daya pungut penerimaan pajak itu terjadi karena 3 aspek. Pertama, karena kinerja perekonomian yang jelas berdampak langsung terhadap penerimaan pajak. Kedua, celah kepatuhan atau compliance gap. Ketiga, policy gap atau celah penerimaan pajak karena kebijakan tertentu, salah satunya pengecualian pajak atau tax exemption.

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa target fiskus senilai Rp2.076,9 triliun yang sulit dicapai disebabkan oleh kondisi ekonomi yang melemah. “Makanya target anda susah dicapai. Saya pernah bilang kan di meeting besar bahwa bukan salah orang pajak itu enggak tercapai, karena ekonominya turun, tetapi orang-orang kan enggak peduli di luar,” jelasnya dikutip dari akun Instagram resmi @menkeuri, Minggu (9/11/2025).

    Oleh sebab itu, dia meminta agar Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu tetap berusaha seoptimal mungkin. Dia meyakini kondisi perekonomian sudah berbalik arah sejak akhir kuartal III/2025, atau tak lama setelah dia menjabat Menkeu.

    Beberapa gebrakan Purbaya yakni memindahkan kas pemerintah Rp200 triliun di Bank Indonesia (BI) ke himbara guna memacu pertumbuhan kredit, maupun menggelontorkan beberapa stimulus. “Mudah-mudahan nanti pajaknya agak membaik sedikit. Saya harapkan target-targetnya bisa tercapai,” paparnya.

    Untuk tahun depan, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu memperkirakan penerimaan pajak akan membaik. Sebab, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan didorong mencapai 6% (yoy). “Kita akan dorong tumbuhnya ke 6%, itu harusnya kalau rasionya kita betul itu, private sektornya bisa jalan, tetapi anda ngerti kan apa yang anda kerjain? Jaga terus integritas,” terangnya.

    Target Ekonomi Sulit Tercapai 

    Adapun pelambatan laju perekonomian pada kuartal III/2025 yang realisasinya hanya 5,04% semakin memperberat posisi pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan tahunan di angka 5,2%. Pelambatan pertumbuhan ekonomi ini akan mempengaruhi penerimaan pajak, karena pajak adalah babak terkahir dari siklus ekonomi.

    Orang atau badan yang memperoleh tambahan penghasilan secara otomatis akan membayar pajak. Kalau rugi atau mengalami kondisi tertentu yang dibenarkan oleh undang-undang, orang atau badan tidak wajib membayar pajak. 

    Kalau menurut perhitungan secara akumulatif, untuk mencapai angka pertumbuhan 5,2%, pemerintah perlu mengejar target pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2025 di angka 5,77% – 5,8%. Sementara proyeksi pemerintah saat ini, kuartal IV/2025 hanya tumbuh di angka 5,5%.

    Hal itu berarti, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 hanya akan berada di kisaran 5,13%. Meski simulasinya jauh lebih baik 2024 yang hanya tumbuh di angka 5,03%, secara tren pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 di angka 5,5% apalagi 5,77% sangat jarang bisa dicapai.

    Dalam catatan Bisnis, selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 tidak pernah mencapai angka 5,5%. Apalagi dengan kondisi ekonomi 2025, yang selain ditopang dukungan dari stimulus pemerintah, nyaris tidak ada momentum politik atau ekonomi dalam skala besar yang bisa membawa ekonomi Indonesia tumbuh 5,5% pada kuartal IV/2025.

    Rata-rata pertumbuhan ekonomi kuartal IV dari tahun 2015-2024 hanya di kisaran 4,3%. Nilai rata-rata ini memperhitungkan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2020 yang terkontraksi 2,19% akibat pandemi Covid-19.

    Sedangkan pencapaian tertinggi pertumbuhan ekonomi kuartal IV dalam 10 tahun terakhir, terjadi pada tahun 2017. Saat itu realisasi pertumbuhannya di angka 5,19%. Menariknya, kuartal IV tahun 2018 dan 2023 yang didukung booming komoditas, realisasi pertumbuhannya masing-masing hanya di angka 5,18% dan 5,04%.

    Artinya, kalau menilik tren tersebut, pertumbuhan ekonomi di angka 5,5% atau 5,77% pada kuartal IV nyaris tidak pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Apalagi dengan fakta bahwa terjadi tren pelambatan kinerja konsumsi rumah tangga selama kuartal III/2025 lalu di angka 4,89%. Padahal, target pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 yang harus dipenuhi pemerintah agar bisa tumbuh sebesar 5,2% pada tahun 2025, minimal harus di angka 5,77%.  

    Policy Gap

    Soal celah dari kebijakan, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara pada pertengahan Oktober lalu mengungkapkan bahwa terdapat potensi penerimaan pajak sebesar Rp530 triliun yang tidak terpungut pada 2025.

    Suahasil menjelaskan bahwa ratusan triliun potensi pendapatan negara itu tak terpungut akibat berbagai program belanja perpajakan yang pemerintah luncurkan sepanjang tahun ini.

    Dia mencontohkan bahwa Kementerian Keuangan membebaskan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk bahan makanan, barang/jasa pendidikan, kesehatan, maupun listrik di bawah 6.600 volt-ampere. Selain itu, bea masuk ke sejumlah komoditas juga dibebaskan.

    Di sisi lain, kebijakan insentif tax holiday (pembebasan pajak), tax allowance (pengurangan pajak), tax incentive (insentif pajak), hingga PPN dan pajak penghasilan (PPh) yang sifatnya final.

    “Itu semua adalah bentuk fasilitas perpajakan yang kita maksudkan, ya sudah, uangnya biar tetap di perekonomian, berputar di perekonomian. Estimasi kita untuk 2025 adalah sekitar Rp530 triliun yang tidak dikumpulkan oleh pemerintah,” jelas Suahasil dalam acara 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

    Tabel Belanja Pajak 2021-2026

    Jenis Pajak
    2021
    2022
    2023
    2024
    2025
    2026

    PPN & PPnbM
    169,9
    190,4
    208,2
    227,8
    343,3
    371,9

    PPh
    106,5
    120,7
    129,2
    140,7
    150,3
    160,1

    Bea Masuk & Cukai
    16,6
    16,4
    21,5
    31,3
    36,2
    31,1

    PBB S5L
    0
    0,6
    0,7
    0,1
    0,1
    0,1

    Bea Meterai 

    0,4
    0,5
    0,3
    0,3
    0,4

    Total
    293
    328,5
    360
    400,1
    530,3
    563,6

    Keterangan: Kemenkeu, dalam triliun, 2025-2026 proyeksi

    Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia ini pun mengklaim bahwa besarnya belanja perpajakan itu menjadi salah satu alasan tax ratio atau rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia kerap rendah. Dia mencontohkan, Rp530 triliun potensi penerimaan pajak yang tak terpungut itu setara 2% dari PDB Indonesia.

    Lebih lanjut, dia merincikan sektor-sektor yang paling menikmati belanja perpajakan itu sepanjang tahun ini. Menurutnya, sektor manufaktur menjadi penikmat utama belanja perpajakan itu dengan estimasi sebesar Rp137 triliun sepanjang tahun ini, diikuti sektor pertanian (Rp60,5 triliun) dan perdagangan (Rp55 triliun).

    Sementara berdasarkan agennya, Suahasil mengungkapkan rumah tangga menikmati sekitar 55% belanja perpajakan itu, diikuti dunia bisnis dan investasi (25%) serta UMKM (18%). Dia pun mendorong agar setiap lapisan masyarakat terus menikmati belanja perpajakan tersebut. Suahasil menggarisbawahi bahwa belanja perpajakan bukan stimulus ekonomi yang terbatas untuk periode tertentu melainkan terus berjalan.

    “Kalau udah ada insentifnya dipakai, silakan. Pakainya bagaimana? Pakainya adalah dengan menjalankan terus kegiatan ekonomi. Kalau kegiatan ekonominya jalan, transaksinya jalan, ada sejumlah pajak yang enggak perlu dibayar,” tutup Suahasil.

    Rumitnya Administrasi PPN 

    Selain insentif PPh, rumitnya administrasi PPN di Indonesia juga turut menyumbang rendahnya daya pungut penerimaan pajak. Hal itu terjadi karena semakin banyaknya kebijakan yang membebaskan pengenaan PPN atau tax exemption. 

    Sekadar ilustrasi, pada tahun 2024 lalu penerimaan PPN tercatat hanya sebesar Rp828,5 triliun. Meski tercatat tumbuh, kinerja penerimaan PPN pada 2024 lalu hanya sebesar 6,9% dari total konsumsi rumah tangga atas harga berlaku yang angkanya sebesar Rp11.1964,9 triliun. Padahal, normalnya, kalau mengacu kepada tarif PPN sebesar 11%, penerimaan PPN seharusnya bisa menembus angka Rp1.316,13 triliun. 

    Tidak hanya itu kalau menggunakan rumus VAT gross collection ratio yang rumusnya adanya realisasi penerimaan PPN dibagi dengan tarif PPN dikalikan konsumsi rumah tangga, maka penerimaan PPN yang dipungut oleh pemerintah hanya sekitar 62,9% dari potensinya. Padahal, kalau mengacu kepada benchmark negara lain, angka ideal PPN yang seharusnya dipungut pemerintah ada di kisaran 70% dari potensi PPN.

    Aktivitas perekonomian di pasar tradisional./JIBI

    Belum optimalnya kinerja pemungutan PPN itu merupakan konsekuensi dari kebijakan pemerintah yang royal menggelontorkan insentif dan stimulus yang efeknya tidak terlalu signifikan ke perekonomian. Pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5%. Tidak pernah menembus angka 6% kecuali ada booming komoditas. 

    Bukti royalnya insentif dan stimulus pemerintah itu tampak dari realisasi belanja pajak. Saat ini, insentif untuk aktivitas konsumsi masih mendominasi struktur belanja pajak atau tax expenditure yang digelontorkan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Besarannya mencapai Rp371,9 triliun atau 65,9% dari total belanja perpajakan tahun depan sebesar Rp563,6 triliun.

    Sementara itu, belanja perpajakan untuk Pajak Penghasilan (PPh) pada RAPBN 2026 diproyeksikan sebesar Rp160,1 triliun atau lebih besar dari 2025 yakni Rp150,3 triliun. Kemudian, untuk bea masuk dan cukai diproyeksikan Rp31,1 triliun atau lebih kecil dari tahun sebelumnya yakni Rp36,2 triliun. Sedangkan, PBB P5L diproyeksikan pada 2026 sebesar Rp0,1 triliun atau hampir sama dengan tahun sebelumnya. 

    Compliance Gap

    Selain celah kebijakan, kepatuhan wajib pajak alias compliance gap juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Tren rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

    Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

    Kantor Direktorat Jenderal Pajak alias DJP./Istimewa

    Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan.

    Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

    Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

    Cerminan Ekonomi 

    Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai penurunan tax ratio itu bukan semata karena faktor administrasi, melainkan cerminan perlambatan ekonomi nasional.

    “Kinerja penerimaan pajak di negara berkembang seperti Indonesia bersifat pro-cyclical. Ketika pertumbuhan ekonomi melambat, tax ratio juga ikut menurun,” jelas Fajry kepada Bisnis, Kamis (6/11/2025).

    Adapun, tax ratio 8,58% hingga kuartal III/2025 itu turun dibandingkan periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, yaitu 9,48% pada kuartal III/2024, 10,15% pada kuartal III/2023, 10,9 pada kuartal III/2022.

    Adapun, tax ratio 8,58% hingga kuartal III/2025 ini hanya sedikit lebih baik dari realisasi tax ratio 8,28% per kuartal III/2021 atau masa pandemi Covid-19.

    Fajry mencatat, jika melihat tren penurunan tax ratio dalam tiga tahun terakhir maka tampak penurunan tahun ini merupakan yang paling tajam yaitu sebesar 0,9 poin persentase (dari 9,48% per kuartal III/2024 menjadi 8,58% per kuartal III/2025).

    Dia mengaku memang banyak terjadi gejolak sepanjang tahun ini dari besarnya restitusi pajak hingga pergantian kepemimpinan otoritas fiskal dan pajak. Hanya saja, Fajry menilai faktor restitusi pajak hanya berdampak pada kuartal I/2025, sedangkan pengaruh pergantian pimpinan di Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak belum terbukti signifikan.

    “Artinya, ini menjadi indikasi jika kondisi ekonomi tahun 2025 lebih lambat dibandingkan tahun 2024, setidaknya sampai kuartal III,” ujarnya.

    Pemerintah sendiri menargetkan tax ratio 2025 sebesar 10,03%, atau 1,44 poin lebih tinggi dari posisi saat ini. Fajry meragukan target tersebut realistis dicapai dalam sisa tahun berjalan.

    Dia berkaca pada realisasi tax ratio tahun lalu. Saat itu, tax ratio mencapai 9,48% sampai dengan kuartal III/2024; pada akhir tahun, tax ratio tercatat di angka 10,08% atau hanya meningkat 0,6 poin persentase meski dengan berbagai usaha ekstra yang telah dilakukan otoritas.

    “Kalaupun sisi penerimaannya mau dipaksa untuk mencapai target, iklim usaha yang akan menjadi korbannya,” wanti-wantinya.

  • Link Resmi Cek Penerima BLT Kesra Rp900.000, Klik di Sini

    Link Resmi Cek Penerima BLT Kesra Rp900.000, Klik di Sini

    Bisnis.com, JAKARTA – Di bawah ini adalah link resmi yang bisa Anda gunakan untuk mengecek daftar nama penerima BLT Kesra Rp900.000 bulan November 2025.

    Sebagaimana diketahui, bulan ini BLT Kesra Rp900.000 seharusnya cair.

    BLT Kesra diberikan sebagai bantuan tambahan di luar BLT reguler yang selama ini disalurkan melalui Kementerian Sosial kepada 20,88 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dalam program keluarga harapan dan bantuan sembako.

    Pemerintah mengatakan hingga saat ini, penyaluran BLT telah mencapai sekitar Rp20 triliun.

    BLT yang diumumkan pada Oktober 2025 itu menyasar kepada lebih dari 35 juta keluarga penerima manfaat atau KPM. Penyalurannya telah dilakukan secara bertahap dan secara keseluruhan ditargetkan pada pekan kedua November 2025.

    “Setiap KPM menerima total Rp900.000, jadi Rp300.000 setiap bulan. Sekarang sudah hampir Rp20 triliun tersalurkan,” ujar Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa di kantor Bank Indonesia (BI), Senin (3/11/2025).

    Jika Anda ingin cek apakah Anda terdaftar sebagai penerima BLT Kesra Rp900.000 atau tidak, cobalah langkah-langkah ini.

    Cek Daftar Nama Penerima BLT Kesra Rp900.000

    Anda dapat melakukan pengecekan status penerima BLT Kesra melalui situs resmi Kemensos sebagai berikut:

    Buka situs resmi https://cekbansos.kemensos.go.id/ 
    Pilih wilayah: Pilih provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa/kelurahan tempat tinggal.
    Masukkan nama lengkap seperti nama sesuai KTP
    Ketikkan kode captcha: Masukkan empat huruf kode yang tertera.
    Klik “Cari Data”: Tunggu sistem memproses data.
    Lihat hasilnya: Status penerima manfaat akan ditampilkan sesuai wilayah dan nama yang dimasukkan

    Syarat Penerima BLT Kesra Rp900.000 ada di halaman 2…

  • Purbaya Menggebrak, Ada Tanda-Tanda Bisnis Distro Bangkit dari Kubur

    Purbaya Menggebrak, Ada Tanda-Tanda Bisnis Distro Bangkit dari Kubur

    Jakarta, CNBC Indonesia – Langkah tegas pemerintah memberantas impor ilegal yang digencarkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, mendapat dukungan penuh dari kalangan industri tekstil. Para pelaku usaha optimistis, penertiban ini akan membuka jalan kebangkitan kembali bisnis pakaian lokal, termasuk distro dan brand independen anak muda.

    Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Danang Girindrawardana menilai upaya pemerintah itu akan membawa efek domino positif terhadap ekosistem industri tekstil dan garmen nasional.

    “Iya. Secara alami produk-produk thrifting impor akan digantikan oleh produk lokal,” ujar Danang kepada CNBC Indonesia, Minggu (9/11/2025).

    Menurutnya, langkah yang dilakukan Purbaya tidak hanya menekan maraknya impor ilegal, tetapi juga akan membentuk kembali preferensi konsumen agar lebih mencintai produk dalam negeri.

    Foto: Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa saat konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK IV Tahun 2025 di Jakarta, Senin (3/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
    Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa saat konferensi pers Hasil Rapat Berkala KSSK IV Tahun 2025 di Jakarta, Senin (3/11/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

    “Ini juga akan mengubah perilaku konsumen untuk lebih menyukai produk dalam negeri,” ujarnya.

    Danang menegaskan, asosiasinya sangat mendukung kebijakan tersebut. Ia meyakini, jika proses transisi dari produk thrifting impor ke produk lokal berjalan cepat, dampaknya akan terasa signifikan terhadap roda ekonomi nasional.

    “Sangat mendukung. Kalau siklus pergantian produk thrifting impor itu dengan produk lokal bisa berjalan dengan cepat, maka itu akan memperkuat perputaran ekonomi lebih masif lagi, baik di IKM ataupun manufaktur besar,” jelasnya.

    Ia menambahkan, kebijakan ini tidak hanya menguntungkan pelaku usaha, tetapi juga berdampak langsung terhadap perluasan lapangan kerja di sektor tekstil dan perdagangan garmen.

    “Artinya, keterlibatan pekerja industri TPT (tekstil dan produk tekstil) dan perdagangan garmen akan tumbuh signifikan,” kata Danang.

    Lebih jauh, dari sisi fiskal, negara juga akan diuntungkan dengan bertambahnya penerimaan pajak. Selama ini, praktik impor ilegal terutama untuk produk pakaian bekas, disebut Danang, telah merugikan negara hingga triliunan rupiah.

    “Importasi thrifting baju bekas mengorbankan pendapatan negara sekitar Rp1 triliun, dan importasi baju baru dengan kapasitas besar akan mematikan industri TPT. Artinya negara juga kehilangan pajak baik PPN atau PPh Badan,” tuturnya.

    Dengan semakin kuatnya langkah penegakan hukum terhadap impor ilegal, Danang optimistis pasar pakaian lokal akan kembali menggeliat. Usaha distro dan merek independen yang sempat tertekan oleh banjir barang impor diyakini bisa bangkit lagi.

    (wur)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 8%, Purbaya Ingin Rasio Pajak 15% di 2029

    Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 8%, Purbaya Ingin Rasio Pajak 15% di 2029

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menargetkan rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) naik seiring pertumbuhan ekonomi pada akhir pemerintahan Presiden Prabowo Subianto di 2029. 

    Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) 2025-2029 yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.70/2025, Kemenkeu diamanatkan mendukung arah kebijakan pembangunan nasional yakni optimalisasi pendapatan negara, belanja negara serta perluasan sumber dan pengembangan inovasi pembiayaan serta pengendalian inflasi. 

    Target itu sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Target indikator sasaran strategis pendapatan negara yang optimal meliputi di antaranya rasio pendapatan negara terhadap PDB 12,36% pada 2025, dan naik ke kisaran 12,86% sampai dengan 18% pada 2029. 

    Adapun penerimaan perpajakan yang merupakan sumber utama pendapatan negara, ditargetkan juga naik. Pada 2025, rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB ditargetkan sebesar 10,24%. Kemudian, target itu naik pada 2029 yakni ke kisaran 11,52% sampai dengan 15%. 

    Berikut target indikator sasaran strategis pendapatan negara yang optimal selengkapnya:

    – Rasio pendapatan negara terhadap PDB = 12,36% (2025); 12,86% — 18% (2029)

    – Rasio penerimaan perpajakan terhadap PDB = 10,24% (2025); 11,52% — 15% (2029)

    – Rasio PNBP = 2,11% (2025); 1,33% — 2,99% (2029)

    – Indeks efektivitas kebijakan belanja negara = 86 (2025); 88 (2029)

    – Rasio defisit APBN terhadap PDB dalam batas aman = -2,53% (2025); -2,24% — -2,50% (2029)

    – Rasio utang pemerintah terhadap PDB yang menjamin keberlanjutan fiskal = 39,43% (2025); 38,55% — 38,64% (2029)

    Optimisme Pertumbuhan

    Pada Jumat (7/11/2025), Purbaya mengunjungi Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak–Wajib Pajak Besar (LTO) dan memberikan arahan kepada para petugas pajak di kanwil tersebut.

    Dia menyampaikan, target fiskus yang sulit dicapai dalam memungut pajak disebabkan oleh kondisi ekonomi yang melemah. 

    Hal ini beberapa kali disampaikan olehnya, merujuk pada saat kondisi memburuk akhir Agustus 2025 lalu ketika terjadi demonstrasi besar-besaran. 

    “Makanya target anda susah dicapai. Saya pernah bilang kan di meeting besar bahwa bukan salah orang pajak itu enggak tercapai, karena ekonominya turun, tetapi orang-orang kan enggak peduli di luar,” jelasnya dikutip dari akun Instagram resmi @menkeuri, Minggu (9/11/2025). 

    Oleh sebab itu, dia meminta agar Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu tetap berusaha seoptimal mungkin. Dia meyakini kondisi perekonomian sudah berbalik arah sejak akhir kuartal III/2025, atau tak lama setelah dia menjabat Menkeu. 

    Beberapa gebrakan Purbaya yakni memindahkan kas pemerintah Rp200 triliun di Bank Indonesia (BI) ke himbara guna memacu pertumbuhan kredit, maupun menggelontorkan beberapa stimulus. 

    “Mudah-mudahan nanti pajaknya agak membaik sedikit. Saya harapkan target-targetnya bisa tercapai,” paparnya. 

    Untuk tahun depan, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu memperkirakan penerimaan pajak akan membaik. Sebab, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan didorong mencapai 6% (yoy). 

    “Kita akan dorong tumbuhnya ke 6%, itu harusnya kalau rasionya kita betul itu, private sektornya bisa jalan, tetapi  anda ngerti kan apa yang anda kerjain? Jaga terus integritas,” terangnya. 

  • Purbaya Target Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 Rampung 2027, Apa Untungnya?

    Purbaya Target Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 Rampung 2027, Apa Untungnya?

    GELORA.CO – Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka.

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan Rencana redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah masuk Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029

    Setelah lama tertahan dan sempat ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah kini menempatkan perubahan nilai nominal rupiah misalnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, ke dalam agenda strategis yang ditargetkan tuntas pada 2027. 

    Rencana ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029 yang ditetapkan pada 10 Oktober 2025.

    Dalam beleid tersebut, penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan.

    “RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027,” tertulis dalam PMK 70/2025.

    Redenominasi sendiri merupakan penyederhanaan nilai rupiah dengan menghapus beberapa angka nol tanpa mengubah daya beli masyarakat.

    Contohnya, uang Rp 1.000 akan menjadi Rp 1, tetapi harga riil barang tidak berubah. 

    Baca juga: Belajar dari Asing, Redenominasi Tak Selalu Manis, Turki Sukses, Zimbabwe Justru Berujung Kegagalan

    Pernah Ditolak MK 

    Upaya serupa pernah diuji di Mahkamah Konstitusi.

    Pada 17 Juli 2025, MK menolak permohonan dalam perkara Nomor 94/PUU-XXIII/2025 yang meminta agar konversi nilai nominal dapat dilakukan melalui penafsiran atas UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

    Hakim menegaskan, redenominasi merupakan kebijakan makro yang hanya bisa dilakukan lewat pembentukan undang-undang baru.

    “Redenominasi merupakan penyederhanaan nominal mata uang tanpa mengubah daya beli. Itu ranah pembentuk undang-undang, tidak bisa hanya dengan memaknai ulang pasal,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang putusan, dikutip 17 Juli 2025.

    MK juga mengingatkan bahwa kebijakan ini menyangkut banyak aspek, mulai dari stabilitas makroekonomi, kesiapan sistem pembayaran, hingga literasi masyarakat.

    Alasan Pemerintah Menghidupkan Lagi RUU Redenominasi Rupiah 

    Dalam PMK 70/2025, pemerintah menilai penyusunan RUU Redenominasi penting untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, menjaga stabilitas nilai rupiah, serta memperkuat kredibilitas mata uang nasional.

    Penyederhanaan nominal juga disebut dapat menyesuaikan sistem pembayaran dan pembukuan agar lebih efisien.

    Meski sinyal redenominasi pernah muncul sejak era Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution pada 2010, kebijakan tersebut tidak pernah masuk prioritas legislasi.

    Kini, pemerintah kembali mendorongnya melalui jalur legislasi resmi.

    Kemenkeu Masukkan Redenominasi Rupiah ke Rencana Strategis 5 Tahun

    -Kementerian Keuangan memasukkan rencana redenominasi rupiah ke dalam Rencana Strategis (Renstra) 2025–2029.

    Langkah ini menandai kembalinya wacana pemangkasan angka nol pada mata uang nasional setelah lebih dari satu dekade mengendap.

    Rencana tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Renstra Kementerian Keuangan 2025–2029.

    Regulasi ini diterbitkan pada 10 Oktober 2025 dan mulai berlaku sejak diundangkan.

    Dalam beleid itu disebutkan, redenominasi dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian dan memperkuat daya saing nasional.

    “Urgensi pembentukan, efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional,” tertulis dalam dokumen tersebut.

    Kementerian Keuangan menilai kebijakan redenominasi penting untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, menstabilkan nilai rupiah, dan melindungi daya beli masyarakat.

    Rencana ini juga diharapkan memperkuat kredibilitas rupiah di mata pelaku ekonomi.

    RUU tentang Perubahan Harga Rupiah akan disusun di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dan ditargetkan selesai pada 2027.

    Meski belum ada rincian lebih lanjut, pemerintah memperkirakan tahapan persiapan dan konsultasi akan berlangsung bertahap. Gagasan redenominasi sejatinya bukan hal baru.

    Pemerintah pernah mengajukan RUU serupa ke DPR pada 2013, dengan usulan pemangkasan tiga angka nol dari uang kertas rupiah.

     Rancangan tersebut tertunda karena pertimbangan situasi ekonomi saat itu.

     Pemerintah belum menyebut berapa angka nol yang akan dihapus dalam rencana terbaru ini.

    Namun, dengan masuknya ke Renstra 2025–2029, wacana redenominasi rupiah kini resmi kembali menjadi agenda ekonomi nasional.

    Pandangan Ekonom: Implementasi Tidak Bisa Tergesa 

    Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai langkah redenominasi tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

    Menurut dia, banyak negara gagal menerapkan kebijakan serupa karena memicu inflasi dan penyesuaian harga yang tidak terkendali.

     “Persiapan tidak bisa 2–3 tahun tapi 8–10 tahun yang berarti 2035 adalah waktu minimum implementasi redenominasi,” kata Bhima ketika dihubungi Kompas.com pada Sabtu (8/11/2025).

    Bhima menjelaskan, salah satu risiko utama adalah pembulatan harga barang ke nominal lebih tinggi.

    Sebagai contoh, harga Rp 9.000 tidak otomatis berubah menjadi Rp 9 setelah redenominasi, melainkan berpotensi dibulatkan menjadi Rp 10 oleh pelaku usaha.

    Ia juga menekankan pentingnya literasi dan penyesuaian administrasi di sektor ritel.

    “Gap sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administrasi terutama di pelaku usaha ritel karena ribuan jenis barang perlu disesuaikan pembukuannya,” ujarnya.

    Dengan mayoritas transaksi masih dilakukan secara tunai, Bhima menilai kesiapan masyarakat menjadi faktor penentu keberhasilan redenominasi.

    Manfaat Redenominasi Rupiah

    Manfaat redenominasi rupiah sebenarnya serupa dengan dampak positif yang dihasilkan apabila kebijakan ini benar-benar diterapkan.

    Seperti diungkap dalam publikasi ‘Rencana Redenominasi Rupiah’ oleh Achmad Sani Alhusain, bahwa salah satu manfaat terbesar redenominasi rupiah adalah sebagai upaya untuk memperkuat kurs rupiah terhadap mata uang asing.

    Tidak hanya itu saja, redenominasi juga diperlukan oleh negara yang berada dalam proses menuju level negara maju.

    Terlebih lagi apabila kebijakan tersebut dilakukan saat kondisi makro ekonomi cenderung stabil, tumbuh, dan inflasi dapat dikendalikan dengan baik.

    Manfaat redenominasi juga akan terasa pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

    Dikatakan bahwa dengan adanya redenominasi, proses settlement perdagangan saham di BEI akan berlangsung lebih cepat.

    Ini dikarenakan kebijakan tersebut memperkecil angka dari setiap transaksi yang telah dilakukan oleh para investor. Tidak hanya investor domestik saja, tetapi juga asing.

    Dampak Redenominasi Rupiah

    Terdapat dampak positif dan negatif yang menyertai kebijakan redenominasi rupiah. 

    Seperti diungkap dalam buku ‘Bonus Demografi sebagai Peluang Indonesia dalam Percepatan Pembangunan Ekonomi’ karya Agus Yulistiyono, dkk., bahwa dampak positif redenominasi rupiah yaitu adanya efisiensi dalam perekonomian dan kaitannya dengan kegiatan usaha.

    Kemudian dampak redenominasi rupiah lainnya juga dapat mengatasi kendala teknis dalam operasional bisnis.

     Bahkan kebijakan ini juga dapat memberikan dampak terkait meningkatkan derajat rupiah dan juga Indonesia di mata internasional, terutama berkaitan dengan kerja sama ekonomi internasional.

    Namun, di sisi lain terdapat dampak negatif redenominasi rupiah yang bisa terjadi. Misalnya saja terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat kecil.

    Terlebih lagi saat mereka belum memahami terkait redenominasi apabila benar-benar diterapkan oleh BI.

    Dampak negatif redenominasi rupiah lainnya yang bisa muncul adalah peluang kenaikan harga yang berasal dari pembulatan nilai suatu barang. Misalnya saja sebuah barang seharga Rp 5.800 setelah mengalami redenominasi, maka akan menjadi Rp 5,8.

    Dikhawatirkan dengan adanya redenominasi, harga barang tersebut justru dibulatkan menjadi Rp 6 agar lebih mudah.

    Biaya penerapan kebijakan redenominasi yang tidak sedikit juga termasuk dalam dampak negatif.

    Hal ini berkaitan dengan biaya sosialisasi kebijakan, biaya pencetakan uang baru, hingga biaya-biaya lainnya yang kemungkinan tidak sedikit.

  • Bukan Salah Orang Pajak Target Tak Tercapai, karena Ekonomi Turun

    Bukan Salah Orang Pajak Target Tak Tercapai, karena Ekonomi Turun

    Jakarta

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan optimismenya terhadap target penerimaan pajak tahun 2025. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan pajak tahun ini ditargetkan bisa mencapai Rp 2.189,3 triliun.

    “Teman pajak jangan putus asa, target pasti tercapai. Kita tetap usahakan seoptimal mungkin penerimaan pajak,” ujar Purbaya dalam unggahan di Instagramnya @menkeuri, Sabtu (8/11/2025).

    Purbaya mengingatkan pegawai pajak tetap menjaga integritas dalam menjalankan tugasnya. Pegawai pajak juga diminta menebar senyuman kepada para wajib pajak.

    “Tetap jaga integritas. Jangan lupa berikan senyum kepada wajib pajak agar wajib pajak tersenyum ketika membayar pajak,” tambah Bendahara Negara.

    Purbaya menambahkan, selama ini target penerimaan pajak sulit tercapai karena ekonomi yang tertekan. Meskipun, hal ini jarang diketahui oleh masyarakat secara luas.

    “Makanya target Anda susah dicapai. Saya pernah bilang kan di meeting besar, bahwa bukan salah orang pajak itu nggak tercapai, karena ekonomi turun. Tapi, orang-orang kan nggak peduli orang di luar,” tutur Purbaya.

    Meski begitu, Purbaya percaya kondisinya akan berbalik pada akhir tahun. Dengan begitu target penerimaan pajak ke negara akan sesuai dengan yang tercantum di APBN.

    Eks Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu juga yakin kondisi di tahun depan akan lebih baik. Pasalnya, pemerintah akan mendorong ekonomi untuk tumbuh ke 6% sehingga berdampak pada setoran pajak sektor swasta.

    “Jadi kita tetap usahakan seoptimal mungkin yang mungkin. Kita udah balikin ekonomi di sejak September minggu ke dua ke sini. Mudah-mudahan nanti pajaknya agak membaik sedikit. Saya harapkan targetnya bisa tercapai lah,” tuturnya.

    “Tapi untuk tahun depan saya pikir akan lebih bagus karena ekonomi kita harusnya udah mulai balik. Kita akan dorong tumbuhnya ke 6%. Itu harusnya kalau rasionya kita betul privat sector-nya bisa jalan,” tutup Purbaya.

    (ily/hns)

  • Bukan Salah Orang Pajak Target Tak Tercapai, karena Ekonomi Turun

    Bukan Salah Orang Pajak Target Tak Tercapai, karena Ekonomi Turun

    Jakarta

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan optimismenya terhadap target penerimaan pajak tahun 2025. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan pajak tahun ini ditargetkan bisa mencapai Rp 2.189,3 triliun.

    “Teman pajak jangan putus asa, target pasti tercapai. Kita tetap usahakan seoptimal mungkin penerimaan pajak,” ujar Purbaya dalam unggahan di Instagramnya @menkeuri, Sabtu (8/11/2025).

    Purbaya mengingatkan pegawai pajak tetap menjaga integritas dalam menjalankan tugasnya. Pegawai pajak juga diminta menebar senyuman kepada para wajib pajak.

    “Tetap jaga integritas. Jangan lupa berikan senyum kepada wajib pajak agar wajib pajak tersenyum ketika membayar pajak,” tambah Bendahara Negara.

    Purbaya menambahkan, selama ini target penerimaan pajak sulit tercapai karena ekonomi yang tertekan. Meskipun, hal ini jarang diketahui oleh masyarakat secara luas.

    “Makanya target Anda susah dicapai. Saya pernah bilang kan di meeting besar, bahwa bukan salah orang pajak itu nggak tercapai, karena ekonomi turun. Tapi, orang-orang kan nggak peduli orang di luar,” tutur Purbaya.

    Meski begitu, Purbaya percaya kondisinya akan berbalik pada akhir tahun. Dengan begitu target penerimaan pajak ke negara akan sesuai dengan yang tercantum di APBN.

    Eks Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu juga yakin kondisi di tahun depan akan lebih baik. Pasalnya, pemerintah akan mendorong ekonomi untuk tumbuh ke 6% sehingga berdampak pada setoran pajak sektor swasta.

    “Jadi kita tetap usahakan seoptimal mungkin yang mungkin. Kita udah balikin ekonomi di sejak September minggu ke dua ke sini. Mudah-mudahan nanti pajaknya agak membaik sedikit. Saya harapkan targetnya bisa tercapai lah,” tuturnya.

    “Tapi untuk tahun depan saya pikir akan lebih bagus karena ekonomi kita harusnya udah mulai balik. Kita akan dorong tumbuhnya ke 6%. Itu harusnya kalau rasionya kita betul privat sector-nya bisa jalan,” tutup Purbaya.

    (ily/hns)

  • Kholid Syeirazi Ungkap Bank Dunia Pernah Bersurat Larang Indonesia Bangun Kilang Minyak

    Kholid Syeirazi Ungkap Bank Dunia Pernah Bersurat Larang Indonesia Bangun Kilang Minyak

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang sempat menyebut Pertamina malas karena tidak bangun kilang minyak hingga kini masih jadi pembahasan.

    Salah satunya dibahas oleh Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, M. Kholid Syeirazi.

    Melalui tayangan Program TO THE POINT AJA! di akun YouTube SINDOnews, Kholid Syeirazi mengungkapkan bahwa Singapura memiliki kapasitas kilang minyak yang sangat besar, sekitar 1,3 juta barel per hari.

    Padahal, kata Kholid, kebutuhan konsumsi dalam negerinya hanya sekitar 300 ribu barel per hari.

    “Siapa off taker-nya itu kalau bukan kita (Indonesia), 1 juta barel. Jadi Singapura sangat mengandalkan market share dari Indonesia,” ujarnya.

    Menurut Kholid Syeirazi, situasi tersebut juga menjadi salah satu penyebab Indonesia tidak membangun kilang baru. Ada faktor geopolitik yang melatarbelakanginya.

    “Bahkan World Bank menulis surat kepada Menteri Keuangan, yang intinya pemerintah nggak usah membangun kilang,” bebernya.

    Sebelumnya, pada awal Oktober 2025 lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa meluapkan kekesalannya kepada PT Pertamina (Persero), perihal persoalan pembangunan kilang.

    Pasalnya, perusahaan minyak pelat merah ini tak memiliki kilang baru, sebagai cara Indonesia memenuhi kebutuhan Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri.

    Purbaya menjabarkan, bahwa sampai sekarang Indonesia tidak memiliki kilang baru. Padahal, di tahun 2018, ia sempat meminta Pertamina untuk membangun kilang baru.

    “Mereka (Pertamina) janji akan bangun 7 kilang baru dalam waktu 5 tahun. Tapi sampai sekarang kan tidak ada satu pun. Jadi bapak (Komisi XI DPR) tolong kontrol mereka juga. Dari saya kontrol, dari bapak-bapak kontrol,” katanya.

  • Pesan Purbaya ke Pegawai Pajak: Jangan Lupa Senyum!

    Pesan Purbaya ke Pegawai Pajak: Jangan Lupa Senyum!

    Jakarta

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengunjungi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) – Wajib Pajak Besar (LTO). Dalam kesempatan itu Purbaya memberi wejangan ke pegawai DJP terkait target penerimaan pajak.

    Purbaya percaya DJP bisa mengejar target penerimaan pajak tahun 2025. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penerimaan pajak tahun 2025 ditargetkan bisa mencapai Rp 2.189,3 triliun.

    “Teman pajak jangan putus asa, target pasti tercapai. Kita tetap usahakan seoptimal mungkin penerimaan pajak,” ujar Purbaya dalam unggahan di Instagramnya @menkeuri, Sabtu (8/11/2025).

    Purbaya mengingatkan pegawai pajak tetap menjaga integritas dalam menjalankan tugasnya. Pegawai pajak juga diminta menebar senyuman kepada para wajib pajak.

    “Tetap jaga integritas. Jangan lupa berikan senyum kepada wajib pajak agar wajib pajak tersenyum ketika membayar pajak,” tambah Bendahara Negara.

    Purbaya menambahkan, selama ini target penerimaan pajak sulit tercapai karena ekonomi yang tertekan. Meskipun, hal ini jarang diketahui oleh masyarakat secara luas.

    “Makanya target Anda susah dicapai. Saya pernah bilang kan di meeting besar, bahwa bukan salah orang pajak itu nggak tercapai, karena ekonomi turun. Tapi, orang-orang kan nggak peduli orang di luar,” tutur Purbaya.

    Meski begitu, Purbaya percaya kondisinya akan berbalik pada akhir tahun. Dengan begitu target penerimaan pajak ke negara akan sesuai dengan yang tercantum di APBN.

    Eks Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu juga yakin kondisi di tahun depan akan lebih baik. Pasalnya, pemerintah akan mendorong ekonomi untuk tumbuh ke 6% sehingga berdampak pada setoran pajak sektor swasta.

    “Jadi kita tetap usahakan seoptimal mungkin yang mungkin. Kita udah balikin ekonomi di sejak September minggu ke dua ke sini. Mudah-mudahan nanti pajaknya agak membaik sedikit. Saya harapkan targetnya bisa tercapai lah,” tuturnya.

    “Tapi untuk tahun depan saya pikir akan lebih bagus karena ekonomi kita harusnya udah mulai balik. Kita akan dorong tumbuhnya ke 6%. Itu harusnya kalau rasionya kita betul privat sector-nya bisa jalan,” tutup Purbaya.

    (ily/hns)