Kementrian Lembaga: Kemenkeu

  • Pengangguran Bertambah, Mantan Bos OJK Sebut Indonesia Tak Bisa Dongkrak Rasio Pajak – Page 3

    Pengangguran Bertambah, Mantan Bos OJK Sebut Indonesia Tak Bisa Dongkrak Rasio Pajak – Page 3

    Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto optimistis, dengan adanya sistem pajak canggih yakni Core Tax Administration System (CTAS) bisa mendorong rasio pajak Indonesia naik di kisaran 12 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

    “Tax ratio ditargetkan dinaikkan kembali ke 12 persen dari PDB. Ya tentu kita harus kejar juga pendapatan lebih tinggi dan salah satu yang juga dipersiapkan di Kemenkeu adalah digitalisasi dengan Core tax,” kata Airlangga saat ditemui di kantor Kemenko bidang Perekonomian, Kamis (25/7/2024).

    Airlangga pun berharap sistem pajak canggih yakni Core Tax Administration System (CTAS) segera bisa diimplementasikan dengan cepat pada akhir tahun 2024.

    “Nah, sistem coretax perpajakan itu diharapkan akhir tahun ini bisa on,” ujar Airlangga Hartarto.

    Dikutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (DJP), core tax administration system adalah suatu sistem teknologi informasi dalam administrasi perpajakan. Sistem ini bertujuan memfasilitasi proses bisnis administrasi pajak dengan meningkatkan basis data perpajakan, sehingga wajib pajak dapat mengelola kewajiban perpajakannya secara daring tanpa harus mengunjungi kantor pajak.

    Coretax diciptakan untuk mengikuti perkembangan teknologi digital dan mendukung kinerja serta konektivitas layanan bagi wajib pajak.

    Implementasi Coretax System Mulai Tengah 2024

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini masih melakukan pengujian terkait sistem inti administrasi perpajakan (Coretax Administration System).

    “Coretax saat ini terus melakukan habituasi, melakukan pengujian sebagaimana disampaikan oleh Pak Dirjen bahwa penyesuaian implementasi Coretax System ini memang kita memerlukan waktu,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dwi Astuti, dalam media briefing Update Kebijakan Perpajakan Terkini, di Kantor DJP, Senin, 8 Januari 2024.

  • Polemik Kenaikan Tarif PPN 12%, Kebijakan Tepat atau Hasrat Sesaat?

    Polemik Kenaikan Tarif PPN 12%, Kebijakan Tepat atau Hasrat Sesaat?

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah memastikan tetap akan mengerek tarif PPN menjadi 12%. Tarif itu efektif mulai berlaku pada awal Januari 2025. Keputusan pemerintah untuk tetap menaikan tarif PPN 12% itu terjadi di tengah polemik penurunan daya beli dan tren stagnasi pertumbuhan ekonomi yang selalu di kisaran 5%.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, misalnya, mengemukakan bahwa keputusan pemerintah untuk tetap menaikan tarif PPN menjadi 12% telah dibahas dengan cukup matang. Pemerintah, kata dia, bahkan berencana untuk memilih dan memilah barang yang akan dikenakan PPN. Khusus bahan kebutuhan pokok alias sembako, pemerintah tidak akan bebas PPN.

    Pernyataan Sri Mulyani itu sejatinya tidak ada yang baru. Apalagi, jika mengacu kepada UU No.42/2009 tentang PPN maupun UU No.7/2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan alias HPP, barang kebutuhan pokok seperti beras dan tetek bengeknya memang tidak dikenakan tarif atau tarifnya 0%. Artinya, tanpa pernyataan tidak akan dikenakan tarif 12%, sembako sudah sepantasnya tidak kena PPN.

    Soal PPN, memang menjadi persoalan pelik dari tahun ke tahun. PPN secara prinsip dikenakan kepada barang kena pajak alias BKP dan jasa kena pajak (JKP). Jadi setiap barang atau jasa yang masuk kategori BKP atau JKP wajib dikenakan PPN. Di berbagai negara, Vietnam misalnya, hampir semua barang kena PPN. Hanya saja di Indonesia, ada kecenderungan untuk barang atau kategori tertentu, memperoleh pembebasan pajak alias tax exemption. 

    Berbagai praktik pengecualian hingga pembebasan pajak itu seperti bumerang karena memicu gap dan ketidakelastisan dalam pemungutan pajak. Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), menunjukkan bahwa selama 4 tahun terakhir, potensi kehilangan penerimaan akibat berbagai kebijakan pembebasan pajak maupun insentif perpajakan mencapai 1,59% hingga 1,73% produk domestik bruto.

    Pada tahun 2023, misalnya, pemerintah mengestimasi total belanja pajak mencapai Rp362,5 triliun atau tumbuh sekitar 6% dibandingkan dengan estimasi tahun sebelumnya yang di angka Rp341,1 triliun. Strukutur belanja pajak mayoritas juga digunakan untuk menyusubsidi kegiatan konsumsi yang tercermin dari tingginya belanja pajak PPN dan PPnBM. Porsinya mencapai 58% atau di angka Rp210,2 triliun.

    Sementara itu, stimulus fiskal yang dikeluarkan untuk kegiatan produktif seperti tax holiday, tax allowance atau insentif di jenis pajak penghasilan atau PPh hanya di angka Rp129,8 triliun atau 35,8% dari total estimasi belanja pajak tahun 2023. Menariknya, pemerintah memproyeksikan estimasi belanja pajak akan terus mengalami kenaikan di angka 1,77% – 1,83% dari PDB pada tahun 2024-2025.

    Jumlah belanja pajak yang semakin melonjak itu memiliki konsekuensi baik struktur penerimaan pajak maupun terhadap daya pungut pajak yang kian melemah. Indikasi lemahnya kinerja pemungutan pajak itu tercermin dari rendahnya tax ratio alias rasio pajak. Rasio pajak Indonesia, saat ini hanya di kisaran 10%-11% dari PDB. Angka itu akan turun cukup dramatis, jika indikator yang dihitung hanya penerimaan pajak non migas.

    Pada tahun 2023, penerimaan pajak non migas pemerintah hanya di angka 8,4% dari PDB. Angka ini sekaligus menunjukkan bahwa, pemerintah hanya mampu memungut 8,4% penerimaan pajak dari keseluruhan aktivitas ekonomi selama tahun lalu. Jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan rata-rata tax ratio negara OECD di angka 34%.  

    Soal PPN, ada sejumlah simulasi untuk mengukur apakah kebijakan yang berlaku saat ini efektif atau tidak. Tentu saja, simulasi tersebut mengesampingkan kenaikan tarif PPN 12% yang sejatinya tidak terlalu berdampak signifikan untuk memperbaiki struktur dan daya pungut penerimaan pajak.

    Daya pungut PPN bisa diukur dari VAT Ratio, skema ini dihitung berdasarkan realisasi penerimaan PPN dengan PDB. Jika pada tahun 2023 lalu PDB Rp20.892,4 triliun dan realisasi PPN di angka 3,6%. Selain itu, efektif atau tidaknya daya pungut PPN juga bisa diukur menggunakan VAT gross collection ratio. Caranya dengan membandingkan antara penerimaan PPN dengan tarif PPN yang dikalikan konsumsi rumah tangga.

    Jika tarif PPN yang berlaku pada tahun 2023 sebesar 11% dan konsumsi rumah tangga di angka Rp11.109,6 triliun, maka akan diperoleh angka estimasi ideal penerimaan PPN sebesar Rp1.222,05 triliun. Artinya jika penerimaan PPN pada tahun 2023 sebesar Rp764,34 triliun yang merepresentasikan 61,7% total potensi penerimaan PPN. Ada gap penerimaan sebesar Rp467,7 triliun.

    Simulasi lain bisa menggunakan skema atau model VAT efficiency ratio, yang dihitung dengan membandingkan penerimaan PPN dengan tarif PPN plus PDB. Penerimaan PPN pada tahun 2023 di angka Rp764,34 triliun, sementara itu jika tarif PPN 2023 yakni 11% dikenakan kepada PDB sebesar Rp20.892,4 triliun, potensi ideal penerimaan PPN di angka Rp2.298,1 triliun.

    Artinya, jika menggunakan skema ini, penerimaan PPN 2023 sebesar Rp764,34 triliun, hanya merepresentasikan 33,2% dari total potensi penerimaan PPN atau terjadi gap di kisaran Rp1.533,7 triliun. Dengan gap PPN yang sangat lebar, efektivitas kenaikan tarif PPN menjadi tanda tanya besar, apakah itu sebuah kebijakan tepat atau hanya demi hasrat mengeruk penerimaan sesaat?

  • Beras Premium Jadi Sasaran PPN 12%, Pakar: Itu Bukan Barang Mewah

    Beras Premium Jadi Sasaran PPN 12%, Pakar: Itu Bukan Barang Mewah

    Bisnis.com, JAKARTA — Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyoroti beras premium yang masuk ke dalam daftar harga barang mewah yang dikenakan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN 12% pada awal 2025.

    Seperti diketahui, pemerintah memutuskan untuk mengenakan PPN 12% untuk barang-barang mewah seperti beras premium, daging wagyu, hingga biaya sekolah standar internasional.

    “Harusnya enggak [kena PPN 12%]. Saya kaget kenapa beras premium kena, padahal beras non-premium yang dijual di pasar lebih mahal,” kata Andreas saat dihubungi Bisnis, Selasa (17/12/2024).

    Dia menyebut pengenaan pajak untuk beras di pasar akan lebih sulit dibandingkan beras premium. “Memang persoalannya, kalau kita menjual beras di pasar agak susah dipajakin, kalau beras premium kan gampang di produsen,” tuturnya.

    Andreas menyebut kenaikan PPN ini semakin memberatkan masyarakat. “Beras premium disebut barang mewah, barang mewahnya siapa? Sekarang masyarakat di desa banyak yang beli beras dalam kemasan. Beras dalam kemasan itu kan beras premium bukan medium,” ujarnya.

    Padahal, kata Andreas, saat ini beras premium atau beras dalam kemasan juga dikonsumsi masyarakat, sebab harganya yang seringkali lebih murah dibandingkan beras yang dijual di pasar atau toko kelontong kecil.

    “Kalau di toko kecil itu dijual dalam bentuk literan, Rp10.000–Rp12.000 per liter, kalau dikonversi ke per kilogram lebih mahal dibanding beras premium,” tuturnya.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pengenaan PPN 12% untuk barang-barang mewah sesuai dengan masukan dari berbagai pihak dan mengacu azas gotong royong, yang mana masyarakat yang mampu membantu dan membayar, sementara yang tidak mampu dibantu dan dilindungi.

    Ini artinya, harga barang maupun jasa yang tergolong premium yang sebelumnya tidak dikenakan PPN, mulai 2025 akan terkena tarif PPN 12%. 

    Berikut adalah Daftar Barang Mewah yang Kena PPN 12%:

    Beras premium
    Buah-buahan premium
    Daging premium (wagyu, daging kobe)
    Ikan mahal (salmon premium, tuna premium)
    Udang dan krustasea premium (king crab)
    PPN atas jasa pendidikan premium
    PPN atas jasa pelayanan kesehatan medis premium
    Pengenaan PPN untuk listrik pelanggan rumah tangga 3.500-6.600 volt ampere (va)

  • DJPPR Kemenkeu Dorong Inovasi Dalam Pendanaan Proyek Infrastruktur

    DJPPR Kemenkeu Dorong Inovasi Dalam Pendanaan Proyek Infrastruktur

    Jakarta, CNN Indonesia

    Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) membeberkan jurus jitu menggaet investor swasta dalam proyek infrastruktur RI.

    Kepala Subdirektorat Peraturan dan Pengembangan Kebijakan Pembiayaan Infrastruktur DJPPR Kemenkeu Lalu Taruna Anugerah menegaskan pembangunan infrastruktur penting untuk terus dilanjutkan. Terlebih, Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi melesat sampai 8 persen.

    “Pertama, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 8 persen perlu melanjutkan pengembangan infrastruktur. Kedua, mendorong partisipasi swasta dan innovative financing,” ungkapnya dalam Talk Show ‘Creative Financing, Jurus Jitu Infrastruktur Menembus Ekonomi 8 Persen’ di Jakarta Pusat, Rabu (18/12).

    Lalu mencatat pembiayaan infrastruktur di Indonesia mencapai Rp6.445 triliun pada 2020-2024. Sedangkan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya sanggup mendanai 37 persen, yakni sekitar Rp2.385 triliun.

    DJPPR menekankan kas pemerintah tidak cukup untuk memikul tanggung jawab itu sendirian dalam membangun infrastruktur. Oleh karena itu, sisanya bisa ditopang dari BUMN hingga investasi swasta.

    “Bagaimana caranya agar swasta bisa tertarik ikut berinvestasi? Tentunya ini akan sangat erat kaitannya dengan bagaimana kita melihat appetite swasta yang profit oriented,” beber Lalu.

    Ia lantas mencontohkan bagaimana kehadiran skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) yang ada selama ini. Menurutnya, proses yang tak kalah penting dalam rangkaian ini adalah menyiapkan proyek infrastruktur dengan matang.

    Lalu menegaskan DJPPR Kemenkeu bakal mendampingi bagaimana perencanaan proyek infrastruktur. Mulai dari aspek finansial, lahan, perizinan, hingga aspek revenue stream.

    “Artinya, bankable itu menjadi suatu perhatian kita untuk disiapkan sedemikian rupa dan didampingi konsultan yang kita hire. Sehingga pada saat nanti dilelang oleh penanggung jawab proyek kerja sama, swasta bisa dipastikan tertarik akan masuk,” tegasnya.

    Di lain sisi, Lalu menekankan pentingnya implementasi environment, social, and governance (ESG). Ia mengatakan DJPPR sudah menyediakan ESG Framework dan ESG Manual untuk mewujudkan implementasinya dalam proyek infrastruktur.

    (skt/agt)

  • Bea Cukai menambah alat pemindai peti kemas di 3 pelabuhan tahun depan

    Bea Cukai menambah alat pemindai peti kemas di 3 pelabuhan tahun depan

    Kami akan melanjutkan implementasi ini bukan hanya di Tanjung Priok, tetapi juga di Pelabuhan Tanjung Emas dan Tanjung Perak pada triwulan I-2025.

    Jakarta (ANTARA) – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menambah pemasangan alat pemindai peti kemas barang impor dan ekspor di tiga pelabuhan pada tahun depan.

    Ketiga pelabuhan itu adalah Tanjung Emas, Semarang, Jawa Tengah; Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur; dan Belawan, Medan, Sumatera Utara.

    Adapun saat ini, Bea Cukai telah memasang alat tersebut di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

    “Kami akan melanjutkan implementasi ini bukan hanya di Tanjung Priok, tetapi juga di Pelabuhan Tanjung Emas dan Tanjung Perak pada triwulan I-2025,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani kepada wartawan, usai konferensi pers Peresmian dan Pemberlakuan Alat Pemindai Peti Kemas, di Jakarta, Rabu.

    Sementara untuk Pelabuhan Belawan, pemasangan alat pemindai peti kemas akan dilakukan pada kuartal II-2025.

    Pemilihan tiga pelabuhan tersebut mempertimbangkan tingginya volume arus barang, sehingga pengawasan yang lebih kuat perlu dilakukan.

    Pemberlakuan alat pemindai peti kemas barang impor dan ekspor ini terlaksana dalam rangka mendukung Astacita ke-7 Presiden RI Prabowo Subianto, yaitu untuk memerangi segala bentuk penyelundupan barang ekspor dan impor.

    Tujuan lain adalah sebagai wujud upaya pemerintah dalam meningkatkan efisiensi, transparansi, dan keamanan arus barang, serta menjamin perbaikan tata kelola pelabuhan.

    Penyediaan alat pemindai peti kemas ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK.04/2020 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara.

    Pemberlakuan alat pemindai peti kemas ini pun dapat menjadi daya dorong dalam rangka membangun tata kelola pelabuhan yang semakin baik (good governance). Diketahui, di tahun 2024 (data hingga November 2024) dwelling time Indonesia tercatat sebesar 2,71, dengan customs clearance 0,3-0,4.

    Mulai Desember 2024, 10 alat pemindai peti kemas telah siap digunakan di lima lokasi berbeda di Pelabuhan Tanjung Priok, yaitu JICT (Jakarta International Container Terminal), TPS KOJA, NPCT-MTI (New Priok Container Terminal-Multi Terminal Indonesia), TER3-MAL (Mustika Alam Lestari), dan Graha Segara.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2024

  • Bea Cukai Ungkap Penyebab Penurunan Ekspor dan Impor 2024

    Bea Cukai Ungkap Penyebab Penurunan Ekspor dan Impor 2024

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani mengakui ekspor dan impor Indonesa pada 2024 mengalami penurunan. Hal ini disebabkan ketidakstabilan ekonomi dan perdagangan global.

    “Penurunan itu bukan disebabkan oleh domestik, tetapi lebih kepada kondisi ekonomi global, perdagangan,” ujarnya di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (18/12/2024).

    Dikatakan Askolani, banyak negara-negara maju, seperti China, Eropa, dan Amerika Serikat yang mengalami kondisi serupa, yaitu penurunan ekspor dan impor. Kondisi tersebut berimbas kepada proses ekspor dan impor dalam negeri.

    Menurutnya, Indonesia pernah mengalami masa peningkatan ekspor dan impor pada 2021-2022. Dia berharap, peningkatan ini kembali terjadi pada 2025.

    “Jadi ini bukan hanya semata-mata Indonesia ya, tetapi lingkungan global itu menjadi tantangan kita dan para pelaku usaha juga tentunya kita support untuk bisa lebih maju lagi,” tandasnya.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penurunan ekspor dan impor Indonesia pada November 2024 masing-masing 1,70% dan 10,71% dibanding bulan sebelumnya. Nilai ekspor Indonesia berada pada angka US$24,01 miliar dan impor mencapai US$ 19,59 miliar pada November 2024.

  • Anggota DPR Minta Menkeu Kaji Ulang PPN 12 Persen di Bidang Pendidikan

    Anggota DPR Minta Menkeu Kaji Ulang PPN 12 Persen di Bidang Pendidikan

    Jakarta, CNN Indonesia

    Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP Bonnie Triyana meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengkaji ulang penerapan Pajak Penambahan Nilai (PPN) 12 persen di bidang pendidikan.

    Layanan sekolah internasional direncanakan bakal dikenakan PPN 12 persen mulai Januari 2025.

    “Saya minta Menteri Keuangan mengkaji ulang penerapan PPN 12 persen untuk bidang pendidikan,” kata Bonnie saat dihubungi, Rabu (18/12).

    Menurutnya, orang tua yang mengirim anak mereka ke sekolah internasional harus dianalisis latar belakang kelasnya, apakah termasuk kelas menengah atau kelas atas.

    Bonnie mengatakan banyak warga kelas menengah yang memaksakan diri menyekolahkan anak mereka ke sekolah standar internasional bukan karena kaya, tapi karena ingin pendidikan yang berkualitas untuk anak mereka. Hal itu juga terkait dengan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia yang tidak merata.

    “Kalau untuk menyekolahkan anak supaya dapat pendidikan bermutu saja masih dipajakin, bagaimana lagi mengakses pendidikan bermutu? Intinya, sektor pendidikan sebisa mungkin jangan dipajakin terlalu tinggi apalagi sampai 12 persen,” ucap dia.

    Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDIP Novita Hardini juga mengkritik rencana pemerintah mengenakan PPN 12 persen untuk sekolah berstandar internasional.

    Menurut Novita, kenaikan itu akan menghambat masyarakat mengakses pendidikan berkualitas. Apalagi, selama ini sekolah internasional menjadi tolok ukur meningkatkan kualitas pendidikan nasional.

    “Dengan adanya sekolah internasional, sekolah nasional memiliki tolak ukur dan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Ini penting agar pendidikan di Indonesia bisa lebih kompetitif di tingkat global,” kata Novita dalam keterangannya, Rabu.

    Menurut data, kata dia, ada 198 sekolah berstandar internasional di seluruh Indonesia. Pendaftaran siswa pun menunjukkan tren kenaikan.

    Novita berpendapat banyak orang tua menyekolahkan anak mereka di sekolah internasional bukan karena berasal dari masyarakat kelas atas, melainkan ingin mendapatkan pendidikan terbaik.

    Novita pun menuturkan ada dua dampak dari kebijakan tersebut. Pertama, beban biaya operasional sekolah meningkat. Kedua, sekolah internasional berisiko kehilangan calon siswa. 

    Layanan sekolah internasional dan rumah sakit mewah bakal dikenakan PPN 12 persen. Saat ini, kedua hal itu bebas dari pungutan pajak.

    Kenaikan PPN ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan PPN 12 persen mulai 2025 dikenakan hanya untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat kelas atas.

    “Desil paling kaya, desil 9-10 kita akan berlakukan pengenaan PPN-nya,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi pada Senin (16/12).

    (yoa/tsa)

    [Gambas:Video CNN]

  • Kelas Menengah Kena Imbas, Masyarakat Kembali Dibodohi

    Kelas Menengah Kena Imbas, Masyarakat Kembali Dibodohi

    JAKARTA – Pemerintah Indonesia telah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana menilai pengumuman tersebut tidak kurang dari pembodohan publik.

    Tarif PPN 12 persen mulai tahun depan ini sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    “Sesuai dengan amanat UU HPP, ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN tahun depan akan naik sebesar 12 persen per 1 Januari,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2024).

    Dalam kesempatan itu juga Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan kenaikan tarif PPN 12 persen ini khusus untuk barang dan jasa mewah. Sejumlah barang yang akan dikenakan PPN 12 persen di antaranya adalah bahan pangan premium. Menkeu Sri Mulyani sempat menyinggung bahan pangan ini adalah daging sapi seperti wagyu, dan kobe.

    Warga memilih pakaian saat berbelanja di Mall Blok M Square, Jakarta, Jumat (15/11/2024). (ANTARA/Sulthony Hasanuddin/foc/am)

    “Yang harganya bisa di atas Rp2,5 juta bahkan Rp3 juta per kilogram-nya,” kata Sri Mulyani.

    Di sisi lain, Airlangga mengatakan tarif PPN 12 persen tidak berlaku untuk barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat atau bahan kebutuhan pokok penting.

    Sedangkan Sri Mulyani menyebutkan ada juga barang-barang yang sebenarnya terkena PPN 12 persen, namun pemerintah hanya menerapkan 11 persen. Yang masuk kategori ini adalah tepung terigu dan gula untuk industri, serta minyak goreng curah merek Minyakita.

    Pembodohan Publik

    Keputusan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah, dengan rincian seperti yang disebutkan pemerintah, menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana bahkan menilai pengumuman tersebut tidak kurang dari pembodohan publik. Pasalnya, kenaikan PPN tersebut tetap akan diterapkan kepada seluruh barang yang selama ini terkena PPN kecuali tiga jenis barang. Bahkan, jenis barang yang akan dibebankan PPN justru bertambah.

    “Faktanya kenaikan ini bukannya mengurangi daftar produk yang akan terkena kenaikan PPN, tapi nyatanya justru menambah,” ujar Andri dalam keterangan tertulis.

    Andri menambahkan, barang-barang pokok yang disebutkan bebas dari PPN, seperti beras hingga angkutan umum, nyatanya selama ini memang sudah dikategorikan sebagai barang yang tak terbebani PPN menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022.

    Dalam PP tersebut disebutkan barang-barang yang tidak terbebani PPN terbagi menjadi dua jenis, yaitu Barang Kena Pajak (BKP) tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan BKP tertentu yang tidak dipungut PPN/PPN dan PPnBM.

    Yang digolongkan sebagai BKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN antara lain adalah vaksin polio, vaksin COVID-19, buku pelajaran, kitab suci, jasa konstruksi untuk keperluan ibadah, hingga produk-produk yang berhubungan dengan bencana nasional.

    Sedangkan yang digolongkan sebagai BKP tertentu yang tidak dipungut PPN/PPN dan PPnBM antara lain adalah sembako (kecuali minyak goreng), barang hasil kelautan dan perikanan, mesin dan peralatan pabrik, hewan ternak, bibit dan pakan, rumah susun milik, perak butiran dan batangan, listrik di bawah 6.600 VA,  air bersih, barang hasil pertambangan, hingga gula konsumsi.

    “Jadi berbagai barang tersebut memang sudah dari dulu tidak dibebani PPN bahkan sebelum PP Nomor 49 Tahun 2022 diterbitkan,” ujar Andri.

    Justru dengan kebijakan baru ini, kata Andri, sebagian barang-barang tersebut yang tadinya tidak dibebani PPN tersebut kini langsung terkena tarif 12 persen.

    “Produk seperti beras premium, ikan salmon, listrik di atas 3.500 VA, rumah sakit VIP, jasa pendidikan, dan lain-lain yang dianggap premium tadinya PPN 0 persen kini dibebankan 12 persen. Produk-produk tersebut sebelumnya satu kategori dengan BKP tertentu yang tidak dibebani PPN, namun sekarang hanya yang digolongkan ‘non-premium’ yang bebas PPN. Jadi inilah yang digembar-gemborkan sebagai ‘PPN hanya untuk barang mewah’ tersebut. Padahal seluruh barang dalam kategori tersebut memang bebas PPN dari dulu,” jelas Andri.

    Menyangsikan Insentif dari Pemerintah

    Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut implementasi PPN 12 persen akan disertai berbagai stimulasi ekonomi dan insentif pajak. Seperti yang telah disinggung, pemerintah juga berkomitmen tetap memberikan fasilitas pembebasan PPN bagi barang dan jasa strategis. Selain bahan makanan pokok, ada sektor transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan yang termasuk di antara bebas PPN. 

    Ekonom senior dari Bright Institute Awalil Rizky mengatakan dengan kebijakan ini pada akhirnya PPN 12 persen tetap dinaikan, sementara pengecualian hanya diberikan kepada sedikit kelompok barang dengan skema satu persennya ditanggung pemerintah (DTP). Adapun barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN atau dikecualikan sebenarnya sama saja dengan sebelumnya, alias bukan kebijakan baru.

    “Hal ini menjadi berbeda dengan wacana pemerintah seminggu terakhir, bahkan hingga kemarin, yang menyebut hanya akan menaikan PPN bagi barang mewah,” kata Awalil ketika dihubungi VOI.

    Pemerintah juga mengatakan rumah tangga berpendapatan rendah akan mendapat insentif tambahan. Hal ini dilakukan demi menjaga daya beli masyarakat yang dalam beberapa bulan terakhir memang diklaim terus menurun.

    Tapi awalil meyakini penerapan tarif PPN 12 persen mulai tahun depan secara umum akan tetap terjadi kenaikan harga dan semakin memukul daya beli masyarakat kelompok bawah dan menengah bawah.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif & Berkelanjutan, yang digelar di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). (ANTARA/Putu Indah Savitri)

    Bahkan beberapa paket kebijakan untuk meredam kenaikan tarif tersebut hanya sedikit mengurangi beban masyarakat, dan itu pun masih ditunggu lebih jauh rincian dan pelaksanaan insentif tersebut.

    “Beberapa insentif yang telah diumumkan hanya bersifat sementara, ada yang berdurasi beberapa bulan,” jelas Awalil, merujuk pada diskon 50 persen untuk tarif listrik dengan daya 2.200 watt ke bawah.

    “Begitu pula tentang pajak ditanggung pemerintah atas beberapa barang dan jasa pada umumnya hanya memperpanjang yang sudah dilaksanakan saat ini. Dengan demikian, ini bukan insentif baru terkait kenaikan tarif,” imbuhnya.

    Alih-alih memberikan insentif, Awalil menyatakan yang lebih diharapkan dari pemerintah adalah kebijakan yang memberi stimulus langsung ke sektor riil.

    “Bisa membantu kondisi sektor riil (beberapa industri) agar PHK massal tak berlanjut. Begitu pula agar usaha mikro dan kecil makin memperoleh kemudahan dan memberi hasil usaha yang membaik bagi pelakunya,” pungkasnya.

  • Ekonom minta Pemerintah membandingkan tarif PPN dengan anggota ASEAN

    Ekonom minta Pemerintah membandingkan tarif PPN dengan anggota ASEAN

    Kalau mau adil, Pemerintah harusnya membandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, dan Indonesia adalah yang tertinggi tarif PPN-nya.

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Kebijakan Publik Center of Economics and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar meminta Pemerintah untuk membandingkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dengan negara-negara anggota ASEAN, alih-alih dengan negara seperti Kanada, China, dan Brasil.

    Menurutnya, negara-negara dengan tarif PPN yang lebih tinggi dari Indonesia memiliki pendapatan per kapita yang tinggi dan ekonomi yang stabil, sehingga daya beli masyarakat memungkinkan pemerintah setempat untuk menerapkan tarif pajak konsumsi yang lebih besar.

    “Stabilitas ekonomi di negara ini kuat, ditandai dengan inflasi rendah dan konsumsi domestik yang kuat membuat penerapan PPN tinggi lebih efektif dan tidak terlalu membebani masyarakat atau menekan pertumbuhan ekonomi,” ujar Media, dikutip di Jakarta, Rabu.

    Sementara di Indonesia, dia menilai, ekonomi masyarakat saat ini sedang dalam kondisi terpukul. Maka, membandingkan PPN Indonesia dengan negara-negara tersebut dinilai kurang tepat.

    “Kalau mau adil, Pemerintah harusnya membandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya, dan Indonesia adalah yang tertinggi tarif PPN-nya,” ujar dia.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati menilai bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia yang saat ini sebesar 11 persen masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun anggota G20.

    Hal tersebut disampaikan setelah Pemerintah resmi mengumumkan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang.

    Sebagai contoh, Brasil menetapkan tarif PPN sebesar 17 persen dengan tax ratio mencapai 24,67 persen. Afrika Selatan memberlakukan tarif PPN sebesar 15 persen dengan tax ratio 21,4 persen, sementara India memiliki tarif PPN 18 persen dengan tax ratio 17,3 persen.

    Meskipun demikian, tarif PPN Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara di kawasan ASEAN. Malaysia tercatat memiliki tarif PPN 10 persen, sementara Vietnam yang sebelumnya menerapkan PPN 10 persen telah memperpanjang insentif PPN menjadi 8 persen. Kemudian Singapura menetapkan tarif PPN 9 persen, dan Thailand 7 persen.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2024

  • 2025, Bea Cukai Akan Resmikan Pemindai Peti Kemas di 3 Pelabuhan

    2025, Bea Cukai Akan Resmikan Pemindai Peti Kemas di 3 Pelabuhan

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan PT Pelabuhan Indonesia (Persero) akan meresmikan alat pemindai peti kemas barang impor dan ekspor di tiga pelabuhan pada 2025.

    Sebelumnya, Bea Cukai dan Pelindo meresmikan 10 alat pemindai peti kemas di terminal peti kemas (TPK) Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (18/12/2024).

    “Kita akan melanjutkan implementasi ini, bukan hanya di Tanjung Priok, tetapi juga di pelabuhan Tanjung Emas dan Tanjung Perak pada kuartal  I 2025,” kata Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani di tempat penimbunan sementara TPK Koja, Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (18/12/2024).

    Kemudian pada kuartal II 2025, DJBC dan Pelindo akan meresmikan alat pemindai peti kemas lagi di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara. Nantinya, pelabuhan tersebut akan menjadi wilayah besar untuk kegiatan ekspor dan impor.

    “Tiga pelabuhan besar dengan volume signifikan, pemasukan dan pengeluaran barang ekspor di wilayah Jawa di awal kuartal I 2025, bisa kita standarisasi dari sisi pelayanan pengawasan,” ujar Askolani.

    Askolani menambahkan, kecanggihan alat ini mampu memindai isi peti kemas Bea Cukai ini tanpa perlu membuka fisik kontainer, termasuk limbah dan narkotika.

    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia (Persero) Arif Suhartono menyampaikan dukungannya atas upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengawasi keluar dan masuk barang serta memastikan pendapatan negara. “Pelindo mendukung inisiatif dari kementerian dan lembaga serta mendukung pemerintahan Presiden Prabowo,” tambahnya.

    Adapun 10 alat pemindai peti kemas milik Bea Cukai di Pelabuhan Tanjung Priok tersebar di lima lokasi, antara lain JICT, TPS Koja, NPCT-MTI, TER3-MAL, dan Graha Segara. Penyediaan alat peti kemas ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK.04/2020 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara.