Kementrian Lembaga: Kemenkeu

  • Menkeu Purbaya Bantah Isu Copot Semua Dirjen Kemenkeu: Kamu Tahu Dari Mana? – Page 3

    Menkeu Purbaya Bantah Isu Copot Semua Dirjen Kemenkeu: Kamu Tahu Dari Mana? – Page 3

    11. Dirjen Stabilitas & Pengembangan Sektor Keuangan, Masyita Crystallin

    12. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Andin Hadiyanto

    13. Kepala Badan Teknologi Informasi dan Intelijen Keuangan, Suryo Utomo

    14. Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak, Iwan Djuniardi15. Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak, Nufransa Wira Sakti

    16. Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak, Yon Arsal

    17. Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara, Dwi Teguh Wibowo

    18. Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara, Sudarto

    19. Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal, Arief Wibisono

    20. Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan, Rina Widyani Wahyuningsih

    21. Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara Bukan Pajak, Mochamad Agus Rofiudin

    22. Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Parjiono.

  • Tren Penerimaan Negara Turun, Menkeu Purbaya Beri Rincian

    Tren Penerimaan Negara Turun, Menkeu Purbaya Beri Rincian

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Tren penurunan pendapatan negara terjadi hampir pada semua komponen. Kondisi tersebut disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa.

    Purbaya menyebutkan, pendapatan negara terkumpul sebesar Rp 1.638,7 triliun atau 57,2 persen dari proyeksi (outlook) APBN 2025.

    Dia menjelaskan nilai itu terkoreksi sebesar 7,8 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp1.777,3 triliun.

    Menurut Purbaya, tren penurunan ini pun terlihat pada hampir seluruh komponen

    penerimaan negara. “Serapan dari perpajakan turun sebesar 3,6 persen dengan nilai realisasi

    Rp 1.330,4 triliun atau 55,7 persen dari outlook,” kata Purbaya saat konferensi pers APBN KiTa Edisi September 2025 di Jakarta, Senin (22/9).

    Adapun perinciannya, penerimaan dari pajak terkoreksi sebesar 5,1 persen dengan nilai

    realisasi Rp1.135,4 triliun atau 54,7 persen dari outlook.

    Namun, dukungan positif terlihat dari penerimaan kepabeanan dan cukai yang tumbuh 6,4

    persen dengan realisasi Rp194,9 triliun yang setara 62,8 persen dari outlook.

    Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat mencapai Rp306,8 triliun atau

    64,3 persen dari outlook, tetapi turun signifikan sebesar 20,1 persen.

    Oleh karena itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mengalami defisit

    sebesar Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) per 31

    Agustus 2025. “Defisit APBN Rp 321,6 triliun atau 1,35 persen PDB,” ungkap Purbaya.

    Di sisi lain, tren berbeda terlihat pada penyaluran belanja negara yang rata-rata komponen

  • Pajak dari Ecommerce Lompat, Begini Analisis Kemenkeu

    Pajak dari Ecommerce Lompat, Begini Analisis Kemenkeu

    Jakarta, CNBC Indonesia – Penerimaan pajak pemerintah dari aktivitas perdagangan online tumbuh pesat. Meskipun porsinya, kecil arus penerimaan dari toko online dan platform ecommerce membuat penerimaan pajak dari sektor perdagangan tetap tumbuh.

    Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu memaparkan bahwa sektor perdagangan adalah salah satu sektor dengan kontribusi terbesar terhadap penerimaan pajak pemerintah.

    Pemerintah berhasil mengumpulkan pajak senilai Rp 333,38 triliun dari aktivitas perdagangan sepanjang Januari-Agustus 2025, atau tumbuh 3 persen dari periode yang sama pada 2024. Tiap bulannya, pemerintah mencatat penerimaan pajak rata-rata Rp 41,7 triliun.

    Kontribusi penerimaan dari subsektor perdagangan online pada periode yang sama mencapai Rp 17,4 triliun, tumbuh 65 persen dari Rp 10,5 triliun pada Januari-Agustus 2024.

    “Perdagangan online ini tumbuhnya 65 persen. Jadi ini menunjukkan betapa tingginya pertumbuhan, meski sizenya kecil,” katanya dalam pemaparan APBN Kita, Senin (22/9/2025).

    Secara keseluruhan sektor perdagangan berkontribusi terhadap 23,1 persen penerimaan pajak sepanjang Januari-Agustus 2025. Sektor dengan penyumbang penerimaan pajak terbesar adalah industri pengolahan yaitu 27,1 persen.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Tax Amnesty: Pengertian, Subjek dan Objek hingga Alasan Ditolak Menkeu Purbaya – Page 3

    Tax Amnesty: Pengertian, Subjek dan Objek hingga Alasan Ditolak Menkeu Purbaya – Page 3

    Purbaya menegaskan, pemerintah akan berfokus pada upaya memperkuat kepatuhan dan memperluas basis pajak melalui pertumbuhan ekonomi yang sehat. Melalui cara itu, penerimaan negara dapat meningkat tanpa harus memberi kelonggaran berulang.

    “Jadi, posisi saya adalah kalau untuk itu, kita optimalkan semua peraturan yang ada. Kita minimalkan penggelapan pajak. Kita memajukan ekonomi, supaya dengan tax ratio yang konsen, misalnya tax saya tumbuh saya tax dapat lebih banyak. Kita fokuskan di situ dulu,” kata.

    Purbaya khawatir jika tax amnesty kembali dijalankan dalam jangka pendek, wajib pajak justru akan memanfaatkan celah tersebut. Purbaya mengingatkan agar pemerintah menjaga konsistensi kebijakan.

    “Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah semuanya menyelundupin duit, tiga tahun lagi gue dapat tax amnesty. Kira-kira begitu. Jadi, message-nya kurang bagus untuk saya sebagai ekonom dan Menteri,” ujar dia.

    Seiring hal itu, menarik untuk diketahui mengenai tax amnesty atau pengampunan pajak. Berikut ulasannya.

     

     

     

  • Antara Tax Gap dan Langkah Menggantung Menteri Purbaya Tutup Shortfall Pajak

    Antara Tax Gap dan Langkah Menggantung Menteri Purbaya Tutup Shortfall Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Risiko pelebaran shortfall atau selisih realisasi dengan target penerimaan pajak semakin terbuka. Apalagi realisasi penerimaan pajak sampai Juli 2025 hanya sebesar Rp990,01 triliun atau masih kurang Rp1.086,89 triliun dari outlook APBN 2025 senilai Rp2.076,9 triliun. 

    Sejauh ini, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan tidak akan mengeluarkan kebijakan pajak baru untuk mengejar kekurangan penerimaan pajak. Dia cukup yakin bahwa ketika ekonomi membaik maka penerimaan pajak akan naik.

    Oleh karena itu, Purbaya memilih fokus untuk membenahi perekonomian sebagai upaya menciptakan kinerja penerimaan pajak yang berkesinambungan.

    “Kalau ekonominya bagus, misalnya jurus saya berhasil, harusnya sih ekonominya akan lebih bergaya dan pendapatan pajaknya lebih tinggi juga,” kata Purbaya, Jumat pekan lalu.

    Namun demikian, kalau menurut catatan ke belakang, kinerja penerimaan pajak tidak selalu linier dengan pertumbuhan ekonomi. Ada persoalan tax gap yang tidak melulu dipicu oleh kinerja perekonomian. Celah pajak ini bisa berasal dari kepatuhan wajib pajak hingga kebijakan yang disusun oleh pemerintah.

    Contoh tax gap yang bersumber dari kebijakan pemerintah itu antara lain penerapan baseline penghasilan tidak kena pajak (PTKP), tax exemption, hingga berbagai insentif yang digelontorkan untuk mendorong kinerja sektor-sektor perekonomian tertentu. Soal yang terakhir ini, mencakup kebijakan ‘pembebasan pajak’ dalam berbagai paket kebijakan ekonomi yang ditempuh pemerintah belum lama ini.

    Belum lagi, persoalan klasik tentang cerita-cerita mengenai pengusaha yang menghindari pembayaran pajak dengan memanfaatkan celah regulasi seperti mengakali transfer pricing hingga membentuk perusahaan-perusahaan di negara suaka pajak.

    Sejauh ini pemerintah selalu tidak optimal untuk mengejar pengusaha-pengusaha yang mengemplang pajak. Hal ini dibuktikan dengan realisasi pengampunan pajak atau tax amnesty yang dilakukan berjilid-jilid namun tidak berdampak secara signifikan terhadap kepatuhan formal wajib pajak (WP). 

    Contoh lain untuk melihat betap besarnya tax gap di Indonesia tampak dari rasio daya pungut Direktorat Jenderal Pajak alias DJP terhadap produk domestik bruto atau dalam terminologi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sering disederhanakan sebagai tax ratio dalam arti kecil. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp11.612,9 triliun hingga semester I/2025.

    Sementara berdasarkan pembukuan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan sebesar Rp831,3 triliun pada semester 1/2024. Itu artinya pemerintah hanya memungut 7,15% dari total PDB semester 1/2025. Rendahnya daya pungut pemerintah itu juga bisa ditelusuri dengan menghitung kinerja jenis-jenis pajak yang menjadi sumber utama penerimaan, salah satunya PPN. 

    Kinerja PPN adalah anomali dalam penerimaan pajak. Sekadar ilustrasi, pemerintah sampai saat ini mengkaim bahwa daya beli pemerintah masih cukup terjaga. Klaim ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang memaparkan bahwa sepanjang semester 1/2025 lalu pertumbuhan konsumsi rumah tangga berada di angka 4,96% atau lebih tinggi dibandingkan dengan semester II/2024 yang tercatat sebesar 4,92%.

    Namun demikian, tren pertumbuhan konsumsi ini tidak sejalan dengan kinerja penerimaan pajak pertambahan nilai atau PPN. Data penerimaan pajak pada Semester 1/2025 mencatat realisasi PPN sebanyak Rp267,27 triliun atau terkontraksi sebesar 19,7% dibandingkan realisasi tahun lalu yang tercatat sebesar Rp332,81 triliun.

    Artinya ada ketidakelastisan antara kinerja konsumsi rumah tangga yang merepresentasikan daya beli masyarakat dengan penerimaan PPN. Kalau merujuk data BPS, secara kumulatif konsumsi rumah tangga mencapai Rp6.317,2 triliun pada semester 1/2025. Menariknya, jumlah PPN yang dipungut otoritas pajak hanya di angka Rp267,27 triliun atau sekitar 4,2% dari total aktivitas konsumsi masyarakat.

    Tidak optimalnya penerimaan PPN itu dipicu oleh kebijakan pengecualian pajak yang diterapkan pemerintah untuk menopang konsumsi yang masih menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi.

    Boros Belanja Pajak Konsumsi 

    Bisnis mencatat bahwa, insentif untuk aktivitas konsumsi masih mendominasi struktur belanja pajak atau tax expenditure yang digelontorkan pemerintah dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, proyeksi belanja pajak tercatat sebesar Rp563,6 triliun.

    Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2025, misalnya, proyeksi belanja pajak hanya ada di kisaran angka Rp530,3 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 6,27%.

    Adapun dalam RAPBN 2026, PPN dan PPnBM mendominasi proyeksi belanja perpajakan. Besarannya mencapai Rp371,9 triliun atau 65,9% dari total belanja perpajakan tahun depan. Pada 2025 pun porsi belanja pajak untuk PPN dan PPnBM terbesar yakni diproyeksikan Rp343,3 triliun atau 64,7%. Artinya ada kenaikan secara persentase.

    Hal itu sebagaimana 2021-2024 yakni belanja perpajakan untuk PPN dan PPnBM selalu memakan porsi terbesar yakni estimasi Rp169,9 triliun atau 57,9% pada 2021, Rp190,4 triliun atau 57,9% pada 2022, Rp208,2 triliun atau 57,8% pada 2023, dan Rp227,8 triliun atau 56,9% pada 2024. 

    Tren Berburu di Kebun Binatang 

    Pemicu tax gap lainnya selain dari kebijakan juga karena rendahnya kepatuhan formal wajib pajak. Tren rasio kepatuhan formal wajib pajak yang hanya di angka 71% menunjukkan bahwa tudingan bahwa Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak masih berburu di kebun binatang bukan isapan jempol semata.

    Hal ini juga mengonfirmasi bahwa berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah melalui serangkaian reformasi pajak juga tidak sepernuhnya optimal. 

    Sekadar catatan, Direktorat Jenderal Pajak melaporkan terjadi penurunan kepatuhan formal penyampaian surat pemberitahuan tahunan (SPT Tahunan) 2024 wajib pajak orang pribadi (WP OP).

    Setiap tahunnya, SPT Tahunan dilaporkan paling lambat pada 31 Maret untuk WP OP dan 30 April untuk WP Badan. Pada tahun lalu, realisasinya penyampaian SPT Tahunan 2023 mencapai 1.048.242 atau 1,04 juta untuk WP Badan (korporasi) dan 13.159.400 atau 13,15 juta untuk WP OP.

    Sementara pada tahun ini, realisasi penyampaian SPT Tahunan 2024 sebesar 1.053.360 atau 1,05 juta untuk WP Badan dan 12.999.861 atau 12,99 juta untuk WP OP.

    Artinya, ada penurunan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada tahun ini sebesar 159.539 (-1,21%) dibandingkan tahun lalu. Padahal, penyampaian SPT Tahunan WP Badan pada tahun ini meningkat sebanyak 5.118 (+0,49%) dibandingkan tahun lalu.

    Kondisi Penerimaan 

    Adapun dengan capaian Rp990,01 triliun, realisasi setoran pajak sampai Juli 2025 itu masih di angka 47,2%. Padahal kalau mengacu kepada kinerja penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya, lazimnya sampai Juli realisasi setoran pajak sudah melebihi angka 50% dari target tahunan.

    Sekadar contoh, pada tahun Juli 2024 lalu realisasi penerimaan pajak mampu mencapai Rp1.045,3 triliun atau 52,56%. Begitupula pada bulan Juli 2023, penerimaan pajak bahkan sudah menembus angka 64,56% dan pada Juli 2022 tercatat sebesar 69,26% dari target.

    Selain persentase realisasi dengan target, pelemahan penerimaan pajak sejatinya juga dapat dilihat dari sisi pertumbuhannya. Pada juli 2025, penerimaan pajak masih terkontraksi cukup dalam. Angkanya minus 5,29% year on year, meskipun cenderung lebih baik dibandingkan dengan Juli tahun lalu yang terkontraksi sebesar 5,75%.

    Namun demikian, jika dibandingkan dengan Juli 2023 dan 2022 yang masing-masing mampu tumbuh di angka 7,84% dan 58,79%, angka itu jauh lebih buruk. Khusus tahun 2022 terjadi lonjakan signifikan karena pada Juli 2021, penerimaan pajak masih dibayang-bayangi pandemi Covid-19. Realisasi penerimannya pun hanya di angka Rp647,7 triliun.

    Adapun saat rapat di DPR pekan lalu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkap empat pemicu rendahnya penerimaan pajak pada Juli 2025.

    Pertama, dari pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp174,47 triliun atau setara 47,2% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Badan itu turun 9,1% dari periode yang sama tahun lalu. Kedua, dari PPh Orang Pribadi sebesar Rp14,98 triliun atau setara 98,9% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Orang Pribadi itu naik 37,7% dari periode yang sama tahun lalu.

    Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar Rp350,62 triliun atau setara 37,1% dari target APBN 2025. Realisasi PPN dan PPnBM itu turun 12,8% dari periode yang sama tahun lalu. Keempat, pajak bumi bangunan (PBB) sebesar Rp12,53 triliun. Realisasi itu naik 129,7% dari periode yang sama tahun lalu.

    Apa Kata Pengamat? 

    Sementara itu pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa  semua kebijakan publik, termasuk kebijakan pajak, tidak terlepas dari rasionalitas yang mendasarinya termasuk kebijakan pajak yang dirumuskan oleh Menkeu saat ini.

    Prianto mencontohkan bahwa jika dPDB = C + I + G + (X – M), maka pertumbuhan PDB disokong oleh C = konsumsi dalam negeri (DN), I atau Investasi, G (pengeluaran pemerintah), dan  X – I atau ekspor – impor. 

    Berdasarkan empat komponen PDB di atas, PPh dan PPN secara matematis akan naik jika keempat komponen tsb tumbuh. Konsumsi naik, PPN naik dan laba diharapkan naik sehingga PPh badan tumbuh. Tenaga kerja juga tumbuh sehingga PPh 21 bisa naik.

    Begitu pula, ketika investasi meningkat, otomatis PPN dan PPh 21 seharusnya meningkat. Belanja pemerintah naik, PPN dan PPh badan juga naik Ekspor meningkat, maka laba diharapkan meningkat. “Makanya, PPh badan juga dapat meningkat,” kata Prianto.

    Kendati demikian, untuk memastikan hal itu optimal, otoritas pajak harus memperhatikan dan menjaga agar paradigma service and trust terus ditingkatkan. Dari sisi pelayanan, otoritas harus meningkatkan mutu pelayanan kepada semua WP. Sementara itu, dari sisi trust, pelayanan yang berkualitas diharapkan akan dapat meningkatkan trust (kepercayaan) WP. 

    “Pada gilirannya, voluntary compliance akan terus meningkat sehingga WP patuh dan membayar pajak secara sukarela,’ lanjutnya. 

    Selain itu, Prianto juga menyarankan supaya pemerintah meminimalkan paradigma cop and rob. Di satu sisi, otoritas pajak jangan berperan sebagai polisi (cop) yang menganggap WP sebagai rob (perampok). 

    “Kondisi cop and rob akan menumbuhkan enforced compliance sehingga WP terpaksa patuh karena dianggap perampok yang mengemplang atau menggelapkan pajak.”

  • Prabowo Berencana Kurangi Subsidi Listrik Tanpa Kerek Tarif, Begini Skemanya

    Prabowo Berencana Kurangi Subsidi Listrik Tanpa Kerek Tarif, Begini Skemanya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tengah mencari cara untuk menekan subsidi listrik tanpa membebani masyarakat dengan kenaikan tarif.

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menuturkan, rencana itu didiskusikan ketika rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, Jawa Barat pada Kamis (18/9/2025).

    Dia menyebut, salah satu cara yang dipertimbangkan adalah dengan mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

    “Waktu di Hambalang kemarin, ada diskusi tentang program pengurangan subsidi listrik utamanya, dengan waktu itu dibicarakan tentang penggunaan PLTS surya ya,” jelasnya kepada wartawan di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

    Namun, menurutnya, skema tersebut masih memiliki tantangan karena biaya pembangunan PLTS masih tinggi. Untuk itu, pemerintah akan mencari teknologi baru supaya biaya produksi listrik bisa lebih murah. 

    Pemerintah menargetkan pembangunan PLTS itu bisa membuat anggaran untuk subsidi listrik menyusut, bahkan tidak diperlukan lagi. Purbaya mengatakan, pemerintah mencari teknologi PLTS yang bisa mendorong efisiensi subsidi energi listrik yang besar.

    “Saya sudah lihat presentasinya, sudah ada desain PLTS yang cukup baik, yang termasuk pembuatan baterai di sini dan pembuatan solar panel di sini sendiri yang saya lihat sih cuma menjanjikan. Tapi saya melihat hitungannya belum terlalu mantap, belum selesai lah. Masih harus dikerjakan lagi,” ujarnya.

    Selain itu, pemerintah tidak menutup kemungkinan untuk memakai sumber-sumber energi terbarukan lainnya yang lebih murah.

    Pria yang pernah menjadi Deputi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi itu memastikan upaya pengurangan subsidi itu bukan berarti akan menaikkan tarif listrik di masyarakat. Nantinya, hitung-hitungan pengurangan subsidi energi akan dilakukan oleh Kementerian ESDM.

    Tugas Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kata Purbaya, adalah dengan menyiapkan pembiayaan serta investasi. Dia menyebut, akan menghitung terlebih dahulu berapa pembiayaan dan investasi yang dibutuhkan.

    “Kita akan hitung itu. Kalau investasi besar tapi betul-betul menghasilkan, nanti begitu jadi, listrik yang lebih murah, yang bisa mengurangi subsidi dalam beberapa puluh tahun ke depan, itu saya enggak akan ragu untuk membiayainya,” terangnya.

    Adapun, anggaran subsidi listrik terus meningkat tiap tahunnya. Pada 2026, anggaran subsidi listrik dipatok senilai Rp104,6 triliun atau naik 17,5% bila dibandingkan dengan outlook tahun anggaran 2025 yang sebesar Rp89 triliun.

    Subsidi listrik tersebut mengambil porsi 49,7% dari total anggaran subsidi energi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 yang mencapai Rp210,1 triliun.

    Berdasarkan Buku II Nota Keuangan beserta RAPBN 2026, kenaikan anggaran subsidi listrik terutama dipengaruhi oleh peningkatan biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik serta peningkatan volume listrik bersubsidi.

    Kenaikan BPP listrik disebabkan, antara lain perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, peningkatan pemakaian bahan bakar biomassa untuk cofiring PLTU, dan kenaikan bauran energi BBM dalam rangka meningkatkan keandalan pasokan listrik khususnya di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). (Dany Saputra)

  • Purbaya Tolak RUU Tax Amnesty, Pilih Tarik Dolar WNI di LN Pakai Insentif

    Purbaya Tolak RUU Tax Amnesty, Pilih Tarik Dolar WNI di LN Pakai Insentif

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak setuju dengan rencana amandemen Undang-undang No.16/2016 tentang Pengampunan Pajak alias Tax Amnesty. 

    Eks Kepala Lembaga Penjamin Simpanan alias LPS itu menganggap bahwa penerapan kembali pengampunan pajak akan merusuk kredibilitas pemerintah.

    “Pandangan saya, kalau (tax amnesty) berkali-kali, gimana kredibilitas amnesty? Itu memberikan sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar. Nanti ke depan-depannya ada amnesti lagi,” katanya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Dia menambahkan, sepanjang tahun ini pemerintah juga telah menggelar tax amnesty sebanyak dua kali. Purbaya menuturkan, pengadaan tax amnesty yang dilakukan berulang kali dapat membuat wajib pajak dapat berpikir praktik penghindaran pajak akan terus ditoleransi.

    “Message yang kita ambil dari adalah begitu. Tahun ini kita sudah mengeluarkan ini sudah dua kali, nanti tiga (kali), empat, lima, dan seterusnya. Pesannya nanti kibulin aja pajaknya, nanti kita tunggu di tax amnesty, pemutihannya disitu. Itu yang enggak boleh,” jelasnya. Dia menambahkan, jika tax amnesty kembali dijalankan dalam jangka pendek, wajib pajak justru akan memanfaatkan celah tersebut.

    “Kalau tax amnesty setiap berapa tahun, yaudah semuanya menyelundupkan uang. Tiga tahun lagi dapat tax amnesty. Jadi, pesannya kurang bagus untuk saya sebagai ekonom dan Menteri,” ujar Purbaya.

    Purbaya mengatakan, saat ini pihaknya akan mengoptimalkan peraturan-peraturan yang ada untuk menggenjot penerimaan pajak. Selain itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga akan meminimalkan penggelapan pajak.

    Lebih lanjut, Purbaya mengatakan pihaknya juga akan memperluas basis pajak melalui pertumbuhan ekonomi yang sehat. Dia mengatakan, ke depannya penerimaan negara dapat tumbuh tanpa harus bergantung pada program yang memberi kelonggaran berulang seperti tax amnesty.

    “Jadi kita optimalkan semua peraturan yang ada. Minimalkan penggelapan pajak, memajukan ekonomi. Supaya dengan tax ratio yang konstan, misalnya penerimaan pajak saya tumbuh lebih banyak. Kita fokuskan di situ dulu,” ujarnya.

    Orang Suka Ngibul

    Purbaya juga mengatakan bahwa sebagai ekonom, dia memandang program itu bukan kebijakan yang tepat untuk memungut kewajiban pajak dan justru tidak memberikan sinyal yang bagus. Namun, dia tidak meyakini bisa menolak usulan tersebut. 

    “Saya lihat perkembangannya seperti apa. Cuma begini, kalau dua tahun ada tax amnesty, itu akan memberi insentif kepada orang-orang untuk kibul-kibul. Karena dia akan pikir, dua tahun lagi ada tax amnesty lagi,” jelasnya di Istana Kepresidenan, Jakarta, dikutip Sabtu (20/9/2025). 

    Namun demikian, Purbaya menyebut akan tetap memelajari proposal yang bakal diajukan menjadi rancangan UU. Dia mengatakan bahwa hal yang tepat dilakukan adalah dengan menjalankan program pemungutan pajak yang tepat, dan menerapkan sanksi bagi yang tidak mematuhinya. 

    “Tapi kita jangan meres gitu. Jadi harus perlakuan yang baik terhadap pembayar pajak. Dan kalau udah punya duit, ya dibelanjain kira-kira gitu,” ujarnya. 

    Mau Bikin Family Office?

    Meski demikian, di tengah gaduh wacana tax amnesty, Purbaya mengungkap pemerintah tengah mengkaji insentif untuk menarik investor domestik agar tidak menempatkan uangnya dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS) di luar negeri.

    Pernyataan Purbaya itu diungkapkan saat ramai pembahasan tentang amandemen UU Tax Amnesty dan riuh rendah rencana pembentukan Family Office. 

    Hal itu disampaikan Purbaya usai menghadiri rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

    Kendati demikian, Purbaya belum memerinci lebih lanjut terkait dengan rencana tersebut meski optimistis realisasinya bisa dilakukan dalam waktu satu bulan ke depan.

    “Bagaimana menarik uang-uang dolar yang orang suka taruh di luar balik ke sini. Tapi masih belum matang, masih kita matangkan lagi. Tapi kalau saya lihat rencananya cukup bagus sekali, jadi kemungkinan bisa dijalankan dalam waktu mungkin satu bulan ke depan, itu utamanya,” jelas Purbaya kepada wartawan.

    Pria yang lama bekerja di Danareksa itu memastikan hal tersebut bakal ditempuh dengan mekanisme pasar. Dia menegaskan cara yang ditempuh pemerintah untuk menarik investor itu bukan dengan paksaan.

    Purbaya menyebut pemerintah akan memikirkan insentif yang bisa membuat orang Indonesia lebih suka menaruh dolarnya di dalam negeri, dibandingkan di luar. Dia mengaku baru tahu bahwa setiap bulannya banyak investor domestik yang mengirimkan dolarnya ke luar negeri, termasuk ke kawasan Asean. 

    “Uang-uangnya utamanya ke beberapa negara di kawasan sini. Jadi kita akan menjaga itu dengan memberikan insentif yang menarik, sehingga mereka nggak usah capek-capek kirim dolarnya ke luar, itu utamanya,” ungkap Purbaya

  • Polemik MBG: Sikap Prabowo & Wacana Relokasi Anggaran

    Polemik MBG: Sikap Prabowo & Wacana Relokasi Anggaran

    Bisnis.com, JAKARTA — Wacana relokasi anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) mencuat usai terjadinya sejumlah persoalan pada pelaksanaan program tersebut seperti keracunan massal hingga rendahnya serapan anggaran.

    Rendahnya realisasi anggaran program MBG turut mendapatkan perhatian dari Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Dia mengatakan anggaran MBG berpotensi ditarik jika serapannya tidak maksimal hingga Oktober mendatang.

    Purbaya menuturkan, dirinya akan mengirim tim dari Kementerian Keuangan (Keuangan) untuk membantu percepatan penyerapan anggaran MBG. Meski demikian, jika serapan anggaran tetap tidak maksimal hingga Oktober mendatang, maka pihaknya bakal mengkaji kemungkinan untuk merelokasinya ke program pemerintah yang lain.

    “Kalau di akhir Oktober kita bisa hitung dan kita antisipasi penyerapannya hanya akan sekian, ya kita ambil juga uangnya. Kita sebar ke tempat lain atau untuk mengurangi defisit atau juga untuk mengurangi utang,” kata Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Lebih lanjut, Purbaya mengungkapkan sikap Presiden Prabowo terkait dengan masalah penyerapan anggaran MBG. Dia mengaku telah mendiskusikan rencana relokasi anggaran MBG ke program lainnya jika tidak terserap optimal.

    Menurut Purbaya, Presiden Prabowo telah merestui langkah yang disiapkan tersebut. Pasalnya, rencana ini juga merupakan bentuk kebijakan Kemenkeu untuk memotivasi Badan Gizi Nasional (BGN) serta instansi terkait lainnya dalam menggenjot penyerapan anggaran MBG.

    Meski demikian, menurut perhitungannya serapan MBG akan tetap lambat. Dia menambahkan, jika serapan anggaran MBG dapat diakselerasi, pihaknya juga membuka opsi penambahan anggaran.

    “Justru kita mau membantu MBG biar diserap lebih cepat, tapi kalau tidak ada sanksi, ya mereka santai-santai aja nanti. Ini stick and carrot namanya. Kalau bisa dilakukan lebih cepat, ditambah lagi uangnya (anggaran MBG),” jelas Purbaya.

    Sementara itu, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Muhammad Qodari mendukung rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang akan menarik anggaran MBG jika tak terserap dengan optimal.

    Qodari menyebut, rencana tersebut merupakan langkah yang tepat. Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan strategi Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menyerap anggaran secara efisien. Dia juga menyebut, rencana Menkeu Purbaya secara logika juga sudah tepat.

    “Pak Purbaya ini kan, konsep beliau adalah injak gas pertumbuhan. Kalau sudah dianggarkan lalu nggak turun, apalagi jumlahnya besar, itu kan sama saja dananya dormant juga. Makanya, harus didistribusikan kepada program-program yang lain,” jelas Qodari saat ditemui dalam acara DGVeRS: Celebrating Connectivity, Creativity, & Community di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).

    Qodari menjelaskan, anggaran yang nantinya tidak terserap dari program MBG memang sebaiknya direalokasikan pada program-program lain. Hal ini agar perekonomian RI dapat bergerak dengan optimal dan kesejahteraan masyarakat juga terpenuhi.

    Selain itu, dia juga menekankan pentingnya koordinasi antarinstansi terkait sehingga anggaran yang direalokasikan dapat digunakan dengan maksimal dan tidak tersendat penyerapannya

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi turut merespons terkait dengan rendahnya serapan anggaran MBG hingga adanya usulan agar anggaran dialihkan menjadi bantuan tunai untuk para penerima.

    Prasetyo mengatakan usulan tersebut bukanlah barang baru. Pasalnya, penggunaan uang tunai untuk program MBG sempat dibahas saat perancangan awal.

    “Kalau ide kan dari dulu banyak ya dan bukan berarti ide ini tidak baik, atau ini ide yang satu lebih baik, tidak,” ujarnya di Istana Negara, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

    Dia menekankan bahwa skema pemberian MBG saat ini merupakan mekanisme yang terbaik dari ide-ide yang sudah dibahas sebelumnya.

    Namun demikian, kata Hadi, pemerintah tentunya akan terus melakukan evaluasi atau perbaikan agar program prioritas Presiden Prabowo ini bisa maksimal.

    “Tapi kemudian konsep yang sekarang dijalankan BGN itulah yang dianggap oleh pemerintah oleh BGN itulah yang terbaik untuk saat ini dikerjakan. Bahwa masih ada catatan-catatan, ya betul kita akui,” pungkasnya.

    Respons BGN

    Terkait dengan serapan anggaran, Badan Gizi Nasional (BGN) selaku badan yang mendapat mandat untuk melaksanakan program MBG melaporkan bahwa sampai dengan 8 September 2025, realisasi anggaran mencapai Rp13,2 triliun. Realisasi tersebut baru mencapai 18,6% dari total pagu anggaran tahun ini yakni Rp71 triliun. 

    Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan bahwa penyerapan anggaran identik dengan jumlah penerima manfaat MBG. Dia mengakui adanya tantangan penyerapan anggaran pada implementasi awal proyek MBG, utamanya terkait pembangunan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). 

    “Mesin penyerapan anggaran di Badan Gizi itu adalah jumlah SPPG. Satu SPPG berdiri dalam satu hari, maka Rp1 miliar akan terserap. Kenapa kita lambat di awal? Karena kan banyak orang yang tidak yakin program ini akan jalan,” kata Dadan

    Dia lantas menjelaskan bahwa pada Januari 2025 lalu, jumlah SPPG yang berdiri hanya sebanyak 190 unit. Alhasil, anggaran yang terserap hanya sebesar Rp190 miliar sepanjang bulan pertama MBG berjalan.

    Seiring berjalannya waktu, Dadan mengungkapkan bahwa 8.344 SPPG telah dibangun sejauh ini atau setara dengan penyerapan anggaran sebesar Rp8,3 triliun. Dia pun menargetkan dapur MBG yang beroperasi dapat menembus 10.000 unit pada pengujung September ini, sehingga penyerapan anggaran setidaknya Rp10 triliun per bulan dapat berjalan mulai bulan berikutnya.

    “Kita targetkan pada bulan Oktober sudah akan ada sekitar 20.000 SPPG, sehingga pada November itu sudah Rp20 triliun sendiri [total penyerapan anggaran MBG]. Seperti itu mekanismenya. Sehingga penyerapan itu di ujung akan sangat besar, bukan diada-adakan, tetapi karena SPPG-nya bertambah,” tutur Dadan.

    Evaluasi Besar-besaran

    Lembaga riset ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperingatkan dampak program MBG apabila terus berlanjut tanpa evaluasi menyeluruh.

    Izzudin Al Farras selaku Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM Indef menyampaikan bahwa pihaknya telah mencatat sedikitnya 4.000 siswa menjadi korban keracunan makanan MBG hingga akhir Agustus 2025, meskipun belum mendata angka terbaru hingga pertengahan September ini.

    “Dampak pertama, korban keracunan akan terus bertambah dan belum ada tanda-tanda berhenti,” kata Izzudin saat dihubungi Bisnis, Minggu (21/9/2025).

    Dia melanjutkan, dampak berikutnya adalah kemungkinan akan terus munculnya berbagai permasalahan yang bersumber dari tata kelola yang buruk terhadap proyek mercusuar pemerintah ini.

    Indef telah mengidentifikasi sejumlah permasalahan, antara lain dugaan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) fiktif, pemberian bahan mentah makanan, adanya hewan hidup di makanan, hingga dugaan ompreng alias food tray MBG dari minyak babi. 

    Apabila situasi ini terus berlanjut, Izzudin bahkan memperingatkan bahwa implementasi program MBG ini dapat memicu skandal korupsi di masa yang akan datang.

    Sementara itu, dampak ketiga terkait dengan alokasi anggaran MBG pada 2026 sebesar Rp335 triliun yang diniai sangat membebani fiskal Indonesia.

    Menurutnya, program MBG ini telah memakan 29% anggaran pendidikan dan 10% anggaran kesehatan, di tengah masih banyaknya persoalan pendidikan dan kesehatan yang lebih genting untuk diatasi oleh pemerintah.

    Permasalahan itu antara lain mencakup rendahnya pendapatan guru dan tenaga kesehatan di berbagai daerah, serta serapan anggaran MBG yang sangat minim. 

    “Oleh karena itu, program MBG yang terus berlanjut berdampak pada rendahnya kinerja pemerintah, tidak beredarnya uang di masyarakat sehingga MBG tidak memberi efek pengganda terhadap perekonomian dan kesejahteraan, prioritas anggaran lain menjadi tidak dapat terlaksana, serta tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas SDM menuju Indonesia Emas 2045 tidak dapat tercapai,” tegas Izzudin.

  • Politik Tak Ada Kawan dan Lawan Abadi

    Politik Tak Ada Kawan dan Lawan Abadi

    GELORA.CO – – Presiden Prabowo Subianto telah melakukan perombakan Kabinet Merah Putih (KMP). Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk mencari formula terbaik demi menyukseskan program pemerintahan periode 2024-2029.

    Pengamat politik Agus Widjajanto, menilai reshuffle kali ini merupakan konsekuensi dari dinamika politik di awal pemerintahan, ketika Prabowo harus mengakomodir berbagai kepentingan. Namun, sebagian menteri justru gagal menjawab ekspektasi publik dan menimbulkan keresahan.

    “Mungkin Presiden Prabowo sedang mencari formasi kabinet yang tepat, di mana awal dibentuk Presiden harus mengakomodir berbagai pihak yang berkepentingan, yang tentu jauh dari keinginan Prabowo sendiri,” kata Agus dalam keterangannya, Senin (22/9).

    Agus menyinggung soal anggapan perombakan kabinet sebagai upaya ‘bersih-bersih Geng Solo’. Ia menyerahkan sepenuhnya spekulasi itu kepada Presiden Prabowo. 

    “Yang pasti dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan politik yang berkuasa,” ujarnya.

    Namun, ia menekankan para menteri yang baru bergabung lebih berhati-hati dalam membuat pernyataan publik. Agus secara khusus menyinggung Menteri Keuangan (Menkeu) baru, Purbaya Yudhi Sadewa, agar tidak mudah mengeluarkan statemen yang menimbulkan pro kontra di tengah masyarakat.

    “Sampaikan apapun yang akan dilaksanakan dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami masyarakat. Jangan gampang membuat statemen ke publik dengan bahasa yang kadang disalahtafsirkan, lebih baik fokus bekerja dan tunjukkan kinerja yang baik demi kesejahteraan rakyat,” jelasnya.

    Agus mencontohkan, polemik terkait kebijakan menggelontorkan dana Rp 200 triliun ke bank Himbara. Meski bertujuan mendorong ekonomi rakyat, kebijakan itu justru ditafsirkan berbeda oleh sebagian kalangan sehingga menimbulkan kegaduhan.

    Ia juga menyinggung apakah komposisi kabinet baru akan mampu mencapai target menuju Indonesia Emas 2045. Ia menilai hal itu sangat bergantung pada kebijakan yang diambil pemerintah. Apalagi, masyarakat terutama generasi Z semakin kritis terhadap kebijakan yang dianggap merugikan.

    Lebih lanjut, ia menekankan perlunya perbaikan sistem ketatanegaraan, termasuk mengembalikan fungsi MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dengan GBHN yang jelas, serta penegakan hukum yang bersih, adil, dan transparan.

    “Genjot lapangan kerja sebanyak-banyaknya, kurangi belanja APBN yang tidak perlu, arahkan pada program swasembada pangan agar pangan, sandang, papan murah. Kalau itu terwujud maka menuju Indonesia Emas bukan lagi keniscayaan,” pungkasnya

  • Wacana Bagi Hasil PPh Berdasarkan Domisili Karyawan, Jakarta Paling Dirugikan?

    Wacana Bagi Hasil PPh Berdasarkan Domisili Karyawan, Jakarta Paling Dirugikan?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan implementasi dana bagi hasil pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) atau pajak karyawan berdasarkan domisili pada tahun 2026.

    Jika jadi diterapkan, kondisi ini akan berdampak kepada jumlah dana bagi hasil PPh pajak penghasilan yang dibagikan ke sejumlah daerah, salah satunya Daerah Khusus Jakarta. 

    Sekadar catatan, pada tahun 2024 lalu, Provinsi Jakarta memperoleh dana bagi hasil alias DBH PPh senilai Rp15,59 triliun. Itu artinya jika rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu terealisasi, maka DBH PPh Jakarta berpotensi berkurang dari tahun sebelumnya. Pasalnya, sebagian pekerja di Jakarta berdomisili di luar daerah.

    Sebelumnya, Staf Khusus Gubernur Jakarta Pramono Anung, Yustinus Prastowo meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melibatkan pemerintah daerah (pemda) dalam mengkaji ulang skema bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) 21, alias PPh karyawan.

    Dalam pemberitaan sebelumnya, Kemenkeu tengah mengkaji perubahan skema bagi hasil pungutan PPh berdasarkan domisili karyawan. Saat ini, skema masih merujuk pada lokasi pemotong pajak.

    Saat dimintai tanggapan, Yustinus Prastowo mengaku dalam hal ini Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta belum mendapatkan ajakan untuk berdiskusi mengenai kajian tersebut.

    “Sejauh ini belum ada. Kami siap jika diajak mendiskusikannya,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (4/9/2025).

    Menurut Yustinus, kebijakan desentralisasi fiskal adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat. Daerah dipastikan tentu akan mengikuti kebijakan Pusat. Namun, apabila saat ini masih dalam tahap kajian, otoritas fiskal pusat diharapkan bisa turut mengajak keterlibatan pemerintah daerah.

    “Jika masih di tahap kajian, akan bagus jika Daerah juga dapat dilibatkan agar bisa memberikan masukan, sehingga kebijakan yang diambil bisa lebih komprehensif dan implementatif di lapangan,” terangnya.

    Rencana Implementasi

    Adapun Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan bahwa masih menyempurnakan skema baru tersebut, termasuk dampaknya ke penerimaan pemerintah daerah. Kendati demikian, kebijakan tersebut ditargetkan mulai berlaku pada tahun depan.

    “Sedang dikerjakan. Kita lagi me-mapping [memetakan] PPh 21 berbasis kepada domisili. [Targetnya] untuk 2026,” jelas Anggito di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Minggu (21/9/2025).

    Sebelumnya, wacana perubahan skema dana bagi hasil PPh 31 diungkapkan dalam rapat kerja dengan DPD awal September ini. Saat ini, mekanisme bagi hasil PPh 21 masih mengacu pada lokasi pemotong pajak (perusahaan), bukan domisili karyawan.

    Anggito meyakini bahwa skema berbasis domisili diyakini akan lebih adil serta menjawab aspirasi daerah yang selama ini meminta keadilan pembagian pajak.

    Pro-Kontra

    Kendati demikian, wacana tersebut menuai pro dan kontra. Dari sisi pro, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono meyakini wacana skema baru bagi hasil PPh 21 dimaksudkan untuk memastikan distribusi hasil pajak lebih merata.

    “Keadilan distributif itu mengatur bagaimana barang, kekayaan, hak, dan beban didistribusikan secara adil di antara anggota masyarakat. Tujuan adalah untuk menyeimbangkan kesenjangan. Jadi, asas ini berfokus pada hasil distribusi, misalnya kekayaan, dan bukan pada proses,” ujar Prianto kepada Bisnis, Minggu (7/8/2025).

    Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute ini menjelaskan, PPh 21 yang dipotong dari penghasilan pekerja dan dibagihasilkan ke pemerintah daerah sesuai domisili pekerja memungkinkan distribusi dana pajak ke daerah. Hal ini membuat dana pajak tidak lagi terpusat di kota-kota besar.

    Dia mencontohkan, jika sebuah perusahaan di Jakarta memiliki 1.000 pekerja yang domisilinya tersebar di 20 kabupaten/kota di luar Jakarta, maka dana bagi hasil PPh 21 akan mengalir ke 20 daerah tersebut.

    “Kondisi demikian akan lebih memeratakan dana bagi hasil dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota di luar Jakarta,” jelasnya.

    Prianto menilai cara ini bisa membantu mengurangi kesenjangan fiskal antarwilayah. Selama ini, perusahaan besar umumnya berlokasi di Jakarta atau kota besar lain sehingga penerimaan dana bagi hasil PPh 21 lebih banyak dinikmati daerah tersebut.

    Sementara dari sisi kontra, Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat kebijakan ini bisa menimbulkan diskriminasi perekrutan tenaga kerja karena dapat mendorong perusahaan hanya merekrut buruh yang sesuai dengan domisili tertentu.

    “Perusahaan selama ini juga mendapatkan manfaat secara tidak langsung dari fasilitas umum yang diberikan pemerintah daerah,” jelasnya, Sabtu (6/9/2025).

    Dia memberi catatan bahwa perubahan skema dana bagi hasil tidak otomatis menyelesaikan persoalan penurunan anggaran transfer ke daerah (TKD) seperti yang tercantum dalam RAPBN 2026.

    Meski demikian, dia mengakui ada potensi tambahan penerimaan bagi daerah di luar kota-kota besar/industri. Hanya saja, manfaat wacana skema baru itu diyakini hanya akan banyak dirasakan oleh daerah penyangga kota besar.

    “Saya menduga dampaknya akan terbatas, hanya antarwilayah di Pulau Jawa saja, tidak menyentuh masalah ketimpangan sebenarnya yakni antara Pulau Jawa dengan lainnya atau wilayah Barat dengan Timur,” tegasnya.