Kementrian Lembaga: Kemenkes

  • Kepala BGN Pastikan Perpres MBG Terbit Dalam Waktu Dekat

    Kepala BGN Pastikan Perpres MBG Terbit Dalam Waktu Dekat

    Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana memastikan bahwa Peraturan Presiden (Perpres) tentang Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah rampung dan segera dibagikan dalam waktu dekat.

    Hal itu dia sampaikan usai menghadiri Sidang Kabinet Paripurna 1 Tahun Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto–Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di Istana Negara, Senin (20/10/2025) malam.

    “Sudah [selesai]. Tinggal beres, tinggal dibagikan,” ujar Dadan saat ditemui di Kompleks Istana Negara.

    Menurutnya, Perpres tersebut turut memuat sanksi administratif bagi penyelenggara dapur umum MBG yang melanggar standar operasional prosedur (SOP).

    “Ada, pasti. Sekarang juga tanpa Perpres sudah ada. Kan menghentikan operasional,” jelasnya.

    Dia menambahkan, hingga kini BGN telah menghentikan sementara 106 dapur umum, dengan 12 di antaranya telah kembali beroperasi setelah memenuhi standar kelayakan yang ditetapkan.

    Langkah tersebut, kata Dadan, menjadi bagian dari pengawasan ketat agar makanan yang disajikan dalam program nasional ini aman dikonsumsi peserta didik.

    Data Keracunan Bisa Dipantau Publik

    Dadan juga mengonfirmasi bahwa data kasus kesehatan dan potensi keracunan makanan pada program MBG kini dapat dipantau publik secara real time melalui sistem terpadu antara BGN dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

    “Sekarang datanya langsung dari Kemenkes. Jadi setiap pagi dari Kemenkes kirim ke kita,” ujarnya. Ia menyebut BGN kini mulai menyiarkan data tersebut melalui portal resmi badan, yang dapat diakses masyarakat untuk memantau kondisi keamanan pangan di seluruh wilayah penerapan MBG.

    “Sudah mulai. Bisa dipantau publik di web BGN,” tambahnya. 

    Terkait target distribusi MBG bagi 82,9 juta penerima manfaat, Dadan menyatakan pemerintah tetap optimistis target itu tercapai. Namun, ia membuka kemungkinan pergeseran waktu penyelesaian hingga Februari 2026 akibat beberapa gangguan teknis.

    “Kita usahakan, ya selambat-lambatnya Februari lah. Tapi kita yakin masih bisa kejar tergantung intensitas gangguan yang terjadi, karena sekarang tidak hanya di darat, di udara pun kita sudah mulai diganggu,” ungkapnya tanpa merinci lebih jauh bentuk gangguan yang dimaksud.

    Dia menegaskan, sistem verifikasi data penerima dan distribusi pangan terus disempurnakan untuk menjamin ketepatan sasaran dan keamanan proses penyaluran.

    “Alhamdulillah sejauh ini bisa kita atasi, on track,“ tegasnya.

    Dalam kesempatan itu, Dadan juga menyampaikan hasil evaluasi program MBG di tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Presiden disebut memberikan penilaian rata-rata 8, dan meminta BGN untuk melanjutkan program dengan peningkatan kualitas di tahun kedua.

    “Kabinet ini lulus di tahun pertama dan diminta lanjut di tahun kedua dengan memberikan penilaian rata-rata 8,” ujarnya.

    BGN, kata Dadan, berkomitmen menjaga standar gizi seimbang dalam setiap menu MBG agar sesuai dengan tujuan jangka panjang program: membangun generasi cerdas, sehat, dan kuat 20 tahun mendatang.

    “Tujuan makanan BGN adalah untuk menciptakan generasi berkualitas. Makanan yang disajikan harus dengan menu seimbang, sehat, dan aman dikonsumsi sehingga bisa menghasilkan generasi yang pintar, cerdas, sehat, kuat, dan ceria,” tandas Dadan.

  • Kemenkes Akan Buka 500 RS Jadi Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Oktober 2025

    Kemenkes Akan Buka 500 RS Jadi Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis Nasional 20 Oktober 2025

    Kemenkes Akan Buka 500 RS Jadi Penyelenggara Pendidikan Dokter Spesialis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Kesehatan akan membuka 500 rumah sakit sebagai penyelenggara pendidikan utama untuk Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
    Hal ini disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam sidang uji materi Undang-Undang Kesehatan 3/2023 dengan nomor perkara 143/PUU-XXIII/2025 yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (20/10/2025).
    Pembukaan ini dilakukan, kata Menkes, untuk menambah jumlah, meratakan distribusi, dan membebaskan biaya pendidikan dokter spesialis.
    “Pertama, untuk menambah jumlah dokter spesialis dalam lima tahun ke depan, pemerintah berencana membuka 500 rumah sakit penyelenggara pendidikan utama untuk mengejar pemenuhan kebutuhan dokter spesialis,” kata Budi Gunadi, yang hadir secara virtual.
    Dia mengatakan, tujuh dokter spesialis dasar akan menjadi prioritas, seperti penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan ginekologi, anestesi, radiologi, dan patologi klinis.
    Begitu juga spesialis untuk penyakit yang menyebabkan kematian lebih dari satu juta masyarakat Indonesia, seperti kanker, jantung, stroke, ginjal, serta kesehatan ibu dan anak.
    “Upaya ini diproyeksikan akan menambah sejumlah 6.000 orang dokter spesialis baru per tahun dalam 10 tahun ke depan,” ucap dia.
    Budi berharap, pembukaan program PPDS berbasis rumah sakit ini bisa mendukung program PPDS berbasis universitas.
    “Kedua sistem ini dapat mengejar, semoga pemenuhan kebutuhan dokter spesialis 15 tahun lebih awal jika dibandingkan tanpa intervensi apapun dari pemerintah,” ucap dia.
    Dalam pemaparan ini, Budi menyebut Indonesia kekurangan 70.000 dokter spesialis.
    Sedangkan produksi dokter spesialis untuk basis universitas saja hanya 3.000 per tahun.
    Kekurangan ini tidak akan tertutupi hingga 2045 jika hanya mengandalkan PPDS berbasis universitas.
    Uji materi UU Kesehatan ini diajukan oleh dua mahasiswa sarjana ilmu kedokteran dan dua dosen kedokteran yang merupakan ahli bedah dan ahli anestesi.
    Mereka menilai, terjadi konflik kepentingan dalam penyelenggaraan PPDS dari pemberian beasiswa.
    Saat ini terdapat dua alternatif penyelenggaraan PPDS, dari Kemenkes disebut
    hospital based
    atau berbasis rumah sakit, dan dari Kemendikti disebut dengan basis universitas/kampus.
    Pemohon menyebut, dua alternatif ini menyebabkan diskriminasi karena perbedaan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk
    university based
    dan
    hospital based
    .
    “Yakni berkaitan dengan pemberian biaya gratis untuk mahasiswa
    hospital based
    , akan tetapi pada
    university based
    masih dibebani biaya pendidikan yang tinggi. Oleh karenanya, menjadi tidak adil dan menimbulkan kecemburuan apabila pemohon I dan pemohon II akan mengambil program spesialis/subspesialis nantinya di
    university based
    ,” tulis permohonan tersebut.
    Atas dasar itu, para pemohon meminta MK menghapus penyelenggaraan berbasis rumah sakit dan seluruh penyelenggaraan PPDS harus di bawah kerangka sistem pendidikan tinggi dengan kampus sebagai penyelenggara utama.
    MK diminta membatasi rumah sakit pendidikan hanya berperan sebagai mitra pelaksana klinis, bukan sebagai penyelenggara utama.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mahasiswa Koas Terlibat Bullying di Kasus Kematian Timothy, Ini Kata Kemenkes

    Mahasiswa Koas Terlibat Bullying di Kasus Kematian Timothy, Ini Kata Kemenkes

    Jakarta

    Informasi dalam artikel ini tidak ditujukan untuk menginspirasi siapa pun untuk melakukan tindakan serupa. Bila Anda merasakan gejala depresi dengan kecenderungan berupa pemikiran untuk bunuh diri, segera konsultasikan persoalan Anda ke pihak-pihak yang dapat membantu, seperti psikolog, psikiater, ataupun klinik kesehatan mental.

    Ramai laporan kasus dugaan bunuh diri mahasiswa Universitas Udayana (Unud) inisial TAS, lompat dari lantai gedung fakultas. Pasca kepergiannya, sejumlah mahasiswa lintas fakultas malah menunjukkan sikap nirempati dalam sebuah forum percakapan.

    Sejumlah tangkapan layar grup mahasiswa viral beredar di media sosial. Dalam percakapan tersebut, terlihat beberapa mahasiswa dari seperti FISIP, FKP, dan kedokteran menertawakan kematian TAS, mengolok-olok dan membandingkan fisik TAS.

    Dari sejumlah mahasiswa, sorotan juga ramai ditujukan pada mahasiswa kedokteran yang tengah menjalani koas di rumah sakit vertikal RSUP Ngoerah Rai, Bali.

    Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan RI Azhar Jaya menyesalkan tindakan tersebut, dengan memastikan yang bersangkutan kini sudah dikembalikan ke fakultas kedokteran Universitas Udayana.

    Langkah tegas ini dilakukan sebagai kepastian pemerintah memastikan lingkup RS vertikal bebas dari pelaku bullying atau perundungan.

    “Sudah ada kesepakatan antara RS Ngoerah dan FK Unud. Sementara yang bersangkutan dikembalikan ke FK Unud untuk dilakukan penelitian lebih lanjut,” ujar pria yang akrab disapa Aco, saat dihubungi detikcom Senin (20/10/2025).

    (naf/up)

  • 65 Juta Warga +62 Dibayangi Hipertensi, Pemicu Gagal Ginjal Usia Muda

    65 Juta Warga +62 Dibayangi Hipertensi, Pemicu Gagal Ginjal Usia Muda

    Jakarta

    Indonesia diestimasi mencatat 65 juta kasus hipertensi berdasarkan hasil survei kesehatan indonesia (SKI) 2023. Dari total tersebut, baru teridentifikasi 18,5 juta pasien, lantaran tidak banyak masyarakat yang aware melakukan pengecekan rutin tekanan darah.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) dr Siti Nadia Tarmizi berharap gap tersebut bisa ditemukan melalui cek kesehatan gratis (CKG).

    “Ternyata dari CKG kalau lihat angka prevalensinya sama dengan SKI, jadi memang mungkin betul 65 juta masyarakat kita mengidap hipertensi, meskipun kita baru bisa menemukan 18,5 juta,” beber dr Nadia dalam talkshow di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).

    “Harapannya tahun depan sudah ada skrining di lebih dari 100 juta, kalau di akhir tahun mungkin 60-65 juta bisa kita skrining,” lanjutnya.

    Meski temuan kasus hipertensi pada CKG relatif tinggi, tindak lanjut tata laksana dan pengobatan terpantau masih rendah. dr Nadia menggambarkan sedikitnya tiga sampel di sejumlah kota besar.

    DKI Jakarta misalnya, di Puskesmas Kembangan tercatat ada 337 pasien yang terdiagnosis hipertensi. Namun, hanya 48 pasien yang menjalani tatalaksana pengobatan, dengan 22 kasus yang terkendali.

    “Tren di tiga kota besar, DKI Jakarta, Surabaya, Semarang, kurang lebih sama, gap-nya antara yang terdiagnosis dengan melakukan pengobatan tinggi, di Surabaya cuma satu yang agak lebih baik yaitu puskesmas Sidosermo,” lanjutnya.

    Puskesmas Sidosermo mencatat 693 kasus hipertensi dan seluruhnya dilaporkan sudah mendapatkan pengobatan, dengan 651 pasien sudah terkendali kondisinya.

    Masih Banyak Hoax di Masyarakat

    Tantangan yang dihadapi pemerintah juga dilatarbelakangi maraknya hoax yang diyakini masyarakat. Tidak sedikit masyarakat yang ogah berobat karena khawatir berdampak pada masalah kesehatan ginjalnya.

    “Padahal hipertensi-nya sendiri yang merusak ginjal mereka,” tandas dr Nadia.

    “Jadi ini pekerjaan rumah bagi kita, karena faktanya 40 hingga 60 persen pasien yang terdiagnosis hipertensi tidak pernah kembali untuk pengobatan,” pungkasnya.

    Hipertensi menjadi salah satu faktor risiko terjadinya stroke hingga masalah gagal ginjal. Deputi Direksi Bidang Kebijakan Penjaminan Manfaat BPJS Kesehatan Dr dr Ari Dwi Aryani MKM menyebut total pembiayaan akibat diabetes melitus dan hipertensi mencapai Rp 35,3 triliun pada 2024.

    “Diabetes melitus dan hipertensi itu kan ibunya penyakit dia bisa kemana-mana, sehingga meningkat ke pembiayaan penyakit akibat jantung, gagal ginjal, stroke,” bebernya saat ditemui detikcom pasca talkshow.

    “Pasien yang dirawat karena jantung, karena cuci darah, naik,” tandasnya.

    Tren pasien disebutnya juga terus bergeser ke usia muda, dari semula di atas 50 tahun menjadi di rentang 30 hingga 40 tahun. Meski begitu, catatan peningkatan kasus tidak selalu menggambarkan penambahan jumlah pasien yang sakit, tetapi ia menilai ada beberapa pasien yang memang baru bisa mendapatkan akses pengobatan tercover BPJS Kesehatan.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Skrining Kanker Payudara RI Rendah, Warga Takut Periksa-Lebih Pilih Alternatif

    Skrining Kanker Payudara RI Rendah, Warga Takut Periksa-Lebih Pilih Alternatif

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan mengungkapkan skrining pemeriksaan dini adalah salah satu faktor utama dalam penanganan kanker payudara. Seringkali, pasien menjadi lebih sulit sembuh akibat kanker baru ditemukan pada stadium lanjut, padahal jika ditemukan lebih cepat, kemungkinan untuk remisi menjadi lebih besar.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan angka skrining kanker payudara di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini membuat prevalensi kasus kanker payudara di Indonesia menjadi paling tinggi dibanding jenis kanker lain.

    Dari sebanyak 41 juta perempuan Indonesia yang ditargetkan Kemenkes, hanya 10,8 persen yang akhirnya melaksanakan skrining kanker payudara.

    “Jadi masih sedikit sekali,” ujar Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

    “Nah, bayangkan dari harusnya 41 juta, kita baru ketemu sekitar, 4 jutaan perempuan Indonesia,” sambungnya.

    Menurut Nadia, ada beberapa faktor yang membuat angka skrining kanker payudara di Indonesia masih sangat rendah. Misalnya, pemeriksaan payudara yang masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat.

    Selain itu, masih ada kecenderungan masyarakat untuk mencari pengobatan alternatif untuk menangani masalah kesehatan. Jika masalah payudaranya tak kunjung sembuh, baru akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit.

    “Jadi jalan (berobat) ke mana-mana dulu, pengobatan tradisional ya. Kemudian ada denial, bahwa ‘saya ini takut kalau harus memeriksakan benjolan saya’,” ujarnya.

    “Tentunya kita dorong ya, dari program Cek Kesehatan Gratis, masyarakat terutama perempuan-perempuan, ibu-ibu, untuk melakukan skrining lagi, gratis,” tandas Nadia.

    Kapan Harus Periksa?

    Spesialis onkologi radiasi RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Prof dr Soehartati A Gondhowiardjo, SpOnkRad(K) mengungkapkan semua wanita yang memiliki faktor risiko sebaiknya mulai melakukan pemeriksaan dini. Beberapa faktor risiko yang dimaksud seperti adanya riwayat keluarga, tidak menyusui, haid dini, dan lain-lain.

    Jika memiliki faktor risiko kanker payudara, Prof Soehartati mengatakan skrining dini bisa dilakukan mulai usia 35-40 tahun di fasilitas kesehatan.

    “Pada kelompok wanita yang mempunyai faktor resiko diharapkan, dia memeriksakan payudara dengan lebih dini, itu katakanlah sekitar usia 40 tahun, 35 tahun, 45 tahun sudah mulai memeriksakan diri,” ujar Prof Soehartati.

    Untuk pemeriksaan awal di rumah, skrining bisa dilakukan dengan Sadari (pemeriksaan payudara sendiri) untuk menemukan adakah benjolan atau kondisi tidak wajar lain pada area payudara.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • 13,8 Juta Anak Ikut CKG Sekolah, Ini Masalah Kesehatan yang Banyak Ditemukan

    13,8 Juta Anak Ikut CKG Sekolah, Ini Masalah Kesehatan yang Banyak Ditemukan

    Jakarta

    Ada sekitar 50 juta anak sekolah yang disasar pemerintah untuk mengikuti cek kesehatan gratis (CKG). Dari total tersebut, baru ada 13,8 juta pendaftar dengan rata-rata layanan per hari di 200 ribu anak. Secara kumulatif, ‘hanya’ 75 persen dari total seluruhnya yang selesai mendapatkan layanan, per data 15 Oktober 2025.

    Adapun pendaftar terbanyak berada di DKI Jakarta, disusul Yogyakarta, hingga Jawa Tengah. Tertinggi di usia sekolah dasar dengan total 139.880, sekolah keagamaan, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas 26.410 siswa/siswi.

    Masalah kesehatan apa saja yang ditemukan? Berikut rangkuman data Kemenkes RI:

    1. Masalah gigi (50,3 persen)

    Masalah paling umum yang ditemukan adalah karies gigi, dialami oleh lebih dari 4,5 juta anak. Ini menunjukkan masih rendahnya kesadaran kebersihan mulut dan gigi di kalangan anak-anak sekolah.

    Padahal, masalah gigi yang tidak ditangani dapat mempengaruhi konsentrasi belajar, menyebabkan infeksi, bahkan gizi buruk karena gangguan makan.

    2. Kurang aktivitas fisik (60,1 persen)

    Lebih dari 3,5 juta anak dilaporkan memiliki gaya hidup sedentary, atau kurang bergerak. Ini menjadi kekhawatiran serius karena bisa berujung pada obesitas, gangguan metabolik, serta menurunnya kebugaran fisik dan kesehatan mental. Pola ini diperparah oleh kebiasaan penggunaan gadget dalam jangka waktu lama dan kurangnya aktivitas olahraga.

    3. Anemia (27,2 persen)

    Sekitar 248 ribu anak terdeteksi mengalami anemia menurut data CKG, mulai dari tingkat ringan hingga berat. Kondisi ini paling sering disebabkan oleh kekurangan zat besi. Anemia dapat menurunkan kemampuan belajar, konsentrasi, dan daya tahan tubuh terhadap infeksi.

    4. Risiko gangguan kesehatan reproduksi (25,3 persen)

    Sebanyak 25,3 persen anak sekolah perempuan terindikasi memiliki risiko gangguan kesehatan reproduksi. Hal ini bisa meliputi infeksi saluran reproduksi, kurangnya pengetahuan tentang kebersihan organ intim, hingga indikasi perilaku seksual berisiko. Ini menggarisbawahi pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi yang benar dan sesuai usia.

    5. Tekanan darah tinggi pada anak (15,9 persen)

    Data yang cukup mengejutkan menunjukkan lebih dari 1,3 juta anak mengalami tekanan darah tinggi. Hipertensi pada usia dini berisiko memicu masalah kesehatan lebih lanjut di masa mendatang termasuk jantung hingga stroke. Pola makan tinggi garam, kurang gerak, serta stres juga bisa menjadi faktor pemicunya.

    (naf/kna)

  • Pasien Diabetes-Hipertensi RI Naik 2 Kali Lipat, Sedot Biaya BPJS hingga Rp 35,3 T

    Pasien Diabetes-Hipertensi RI Naik 2 Kali Lipat, Sedot Biaya BPJS hingga Rp 35,3 T

    Jakarta

    Jumlah pasien diabetes melitus (DM) dan hipertensi yang terdata dari penggunaan pengobatan BPJS Kesehatan melonjak lebih dari dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.

    Data di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) menunjukkan, pada 2014 terdapat sekitar 400 ribu pasien diabetes melitus yang mendatangi FKTP, melonjak tujuh kali lipat menjadi 2,8 juta peserta yang mengakses layanan di 2024. Sementara untuk pasien hipertensi dari semula 785 ribu kunjungan ke FKTP di 2014, kini menjadi 5,6 juta peserta pada 2024.

    Bila dirinci, dalam satu dekade terakhir terdapat 20,5 juta kasus hipertensi dan 7,4 juta kasus diabetes melitus.

    Kenaikan jumlah pasien ini diikuti dengan pembengkakan pembiayaan. Sepanjang 2024, BPJS Kesehatan mengeluarkan sekitar Rp 35,3 triliun untuk menanggung pengobatan penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi, termasuk stroke, gagal ginjal, dan penyakit jantung.

    Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Itida Yasar, SH, MPsi, menilai selama ini sistem layanan kesehatan masih terlalu berfokus pada penanganan kuratif, ketimbang promotif dan preventif.

    “Kalau parameternya sudah jelas, saya paling cerewet soal anggaran, berapa penyerapannya, kegiatan apa, di dalamnya sudah ada skrining dan edukasi seperti program pengelolaan penyakit kronis (PROLANIS). Tapi yang kurang dari kita adalah kolaborasi dengan masyarakat,” beber Itida, dalam talkshow di Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).

    Ia menegaskan keberhasilan pengendalian penyakit kronis tidak bisa hanya bergantung pada fasilitas kesehatan. Edukasi, kepatuhan pasien, dan peran komunitas juga harus diperkuat. “Ini penyakit tidak menular, jadi kuncinya ada di perubahan perilaku. Harus ada kolaborasi komunikasi dengan komunitas,” tambahnya.

    Itida menyoroti sebagian peserta BPJS masih tidak rutin meminum obat atau baru datang ke rumah sakit ketika kondisinya sudah berat. Kondisi itu membuat biaya pengobatan membengkak karena pasien seringkali harus masuk IGD atau dirawat inap.

    “Orang yang nggak pernah minum obat, lalu masuk IGD, masuk rumah sakit lagi, itu kan cost-nya tinggi. Kalau semua digratiskan tanpa tanggung jawab, bisa jebol juga sistemnya. Fokus kita masih terlalu di kuratif,” tegasnya.

    Itida bahkan menyebut, skema cost sharing bisa dipertimbangkan bagi peserta dengan faktor risiko tinggi seperti perokok atau pasien yang tidak patuh pengobatan, agar ada rasa tanggung jawab bersama.

    Sementara itu, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, mengatakan pemerintah kini memperkuat pendekatan promotif dan preventif melalui program cek kesehatan gratis (CKG).

    “Kebijakan kita dorong terus promotif-preventif, salah satunya dengan skrining. Makanya kita paksa dengan program CKG. Ini betul-betul gratis dengan sejumlah jenis pemeriksaan, mulai dari EKG, profil lipid, hingga fungsi ginjal,” jelas Nadia.

    Program CKG mulai dari bayi baru lahir hingga lansia, mendapat pemeriksaan kesehatan setahun sekali. Namun, tantangan terbesar masih ada pada perubahan perilaku masyarakat.

    “Masyarakat kita biasanya datang ke fasilitas kesehatan kalau sudah sakit. Kalau belum ada keluhan, mereka merasa tidak perlu. Padahal, justru kita ingin mereka tahu kondisi sebelum jatuh sakit,” ujarnya.

    Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dan memperluas jangkauan edukasi, Kemenkes juga tengah mengembangkan agar program yang sama bisa diterapkan di tempat kerja.

    Hal ini karena banyak pekerja usia produktif kesulitan datang ke puskesmas saat jam kerja.

    “Kalau jam kerja, peserta usia perkantoran tidak mungkin datang. Jadi, kita akan coba kembangkan bisa dijalankan di klinik perusahaan. Pasien pekerja bisa dikontrol tekanan darah dan gula darahnya bersama puskesmas,” kata Nadia.

    Program ini diharapkan membantu menjaga kondisi pasien tetap terkontrol, mencegah rujukan ke rumah sakit, serta menekan pembiayaan jangka panjang.

    Nadia juga mengingatkan pasien agar tidak takut menjalani pengobatan rutin. Ia menegaskan, bahaya hipertensi yang tidak terkontrol jauh lebih besar daripada efek samping obat.

    “Kadang pasien takut minum obat, padahal yang lebih berisiko itu hipertensinya sendiri dibandingkan obatnya,” tutup Nadia.

    Simak Video “Video: Ombudsman Dukung Pemerintah soal Pemutihan Tunggakan BPJS Kesehatan”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Epidemiolog Soroti Varian Baru Virus Flu yang Picu Kekhawatiran di China

    Epidemiolog Soroti Varian Baru Virus Flu yang Picu Kekhawatiran di China

    Jakarta

    Kekhawatiran akan pandemi baru kembali merebak di China. Para ilmuwan telah mendeteksi varian baru virus flu yang menunjukkan tanda-tanda dapat menginfeksi manusia, menurut sebuah laporan. Virus ini yang dikenal sebagai Influenza D (IDV), sebagian besar ditemukan pada sapi, tetapi para peneliti kini yakin virus tersebut mungkin beradaptasi untuk menyebar di antara manusia.

    Tim peneliti dari Changchun Veterinary Research Institute di China mengidentifikasi strain baru yang disebut D/HY11, yang pertama kali muncul pada sapi di China timur laut pada tahun 2023, menurut laporan tersebut. Studi mereka menemukan strain tersebut dapat bereplikasi di sel saluran pernapasan manusia dan jaringan hewan, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa strain tersebut mungkin sudah menyebar di antara manusia.

    Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan pada dasarnya virus Influenza D (IDV) sudah dikenal sejak tahun 2011, sehingga bukan merupakan virus baru. Temuan yang tergolong baru adalah isolasi strain tertentu, yakni D/HY11, serta bukti eksperimental yang menunjukkan kemampuan virus ini untuk bereplikasi di sel manusia.

    “Inilah aspek kebaruan yang membuat para ahli meningkatkan kewaspadaan,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (20/10/2025).

    Dicky menjelaskan, IDV untuk bereplikasi dan menular pada hewan percobaan seperti ferret menjadi sinyal penting yang perlu diawasi. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya potensi risiko adaptasi virus terhadap manusia.

    Meski begitu, ia menegaskan hingga saat ini belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa IDV dapat menyebabkan penyakit berat pada manusia secara luas. Bukti yang tersedia sejauh ini justru lebih banyak mengindikasikan bahwa sapi merupakan reservoir utamanya, sementara paparan pada manusia hanya ditemukan pada kelompok yang memiliki kontak erat dengan hewan ternak.

    “Sehingga IDV adalah zoonosis potensial yang perlu diawasi. Jadi dia seperti halnya misalnya avian flu atau bahkan mungkin seperti potensi nipah misalnya atau hendra virus,” kata Dicky.

    Pada hewan, virus IDV diketahui dapat menyebabkan bovine respiratory disease complex atau kompleks penyakit pernapasan pada sapi.

    Sementara itu, pada manusia, lanjut Dicky, genom dan antibodi terhadap virus ini memang pernah dilaporkan, namun hingga kini belum ada bukti kuat mengenai munculnya penyakit klinis akibat IDV pada manusia.

    “Jadi ada potensi menjadi wabah di manusia tapi saat ini sejauh ini belum ya. Sehingga belum ada bukti epidemi atau potensi epidemi besar pada manusia yang serupa influenza A pandemik dulu 100 tahun lebih lalu,” ucapnya lagi.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video Menkes Budi Sebut Pasien Anak yang Kena HMPV Sudah Sembuh Semua”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/up)

  • Survival Rate Kanker Payudara RI Masih Kalah dari Negara Maju, Kemenkes Ungkap Penyebabnya

    Survival Rate Kanker Payudara RI Masih Kalah dari Negara Maju, Kemenkes Ungkap Penyebabnya

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkapkan kanker payudara masih menjadi jenis kanker dengan kasus tertinggi di Indonesia. Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan prevalensi kasus kanker payudara di Indonesia berada di angka 42 per 100 ribu penduduk.

    Kanker payudara lalu disusul kanker serviks dengan 23 per 100 ribu penduduk.

    “Dari data kita lihat bahwa kalau di tahun 2022, insiden kanker payudara itu 66 ribu. Diperkirakan tahun 2040 kalau kita tidak melakukan intervensi yang cukup besar, maka kasus itu akan meningkat menjadi 87 ribu di tahun 2040,” ucap Nadia ketika ditemui awak media di Jakarta Pusat, Jumat (17/10/2025).

    “Kalau angka kematian itu kematiannya 22 ribu di tahun 2022 dan nanti akan bertambah 10 ribu di tahun 2040,” sambungnya.

    Tingginya penyakit kanker, khususnya payudara, menjadi perhatian besar bagi Kemenkes. Untuk di Indonesia sendiri, sekitar 60 persen dari seluruh kasus kanker berakhir pada kematian.

    Hal ini cukup memprihatinkan mengingat sebenarnya kanker sangat mungkin ditangani dengan baik, asal ditemukan lebih dini. Bahkan, menurut Nadia kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker dengan survival rate yang lebih tinggi dibanding kanker lain.

    Ia lantas membandingkan penanganan kasus kanker payudara di luar negeri dan dalam negeri. Menurut Nadia, survival rate untuk pasien kanker payudara di negara maju bisa mencapai 90 persen karena umumnya ditemukan pada stadium awal seperti stadium 1 dan stadium 2.

    Bahkan pada perjalanannya, pasien tidak mengalami relaps lagi setelah dinyatakan bersih. Menurutnya, ini cukup berbeda situasinya dengan Indonesia.

    “Sementara di negara kita itu masih lagi 40-50 persen (survival rate),” jelas Nadia.

    “Dari sasaran kita sekitar 41 juta perempuan Indonesia (untuk melakukan skrining) itu yang melakukan screening ya pada tahun 2024 itu baru 10,8 persen. Jadi masih sedikit sekali,” sambungnya.

    Siasat Kemenkes untuk Tekan Kasus

    Oleh karena itu, Nadia mengatakan pihaknya akan terus melakukan promosi terkait pentingnya pemeriksaan dini. Menurutnya, promosi ini sudah dilakukan sejak anak usia sekolah.

    Melalui program UKS sekolah, anak-anak diajari dengan Sadari (pemeriksaan payudara sendiri). Dengan begini, anak-anak sekolah bisa mengenal tanda awal kanker payudara yang mungkin bisa muncul di tubuh mereka.

    “Sebenarnya kita mengajarkan bahkan dari anak SMP ya sejak pertama kali mereka mendapatkan menstruasi. Itu melalui program UKS, itu kita mengajarkan program Sadarinya, yaitu periksa payudara sendiri,” jelas Nadia.

    “Kalau mereka memang merasakan kayak ada benjolan atau seperti apa mereka bisa langsung ke puskesmas dengan pemeriksaan sadanis (pemeriksaan payudara klinis) itu ada dan bahkan kita sudah melengkapi puskesmas itu dengan USG,” tandas Nadia sambil mengingatkan pemeriksaan bisa dilakukan secara gratis.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Survei Poltracking: Zulkifli Hasan Masuk Top 10 Menteri dengan Kinerja Memuaskan – Page 3

    Survei Poltracking: Zulkifli Hasan Masuk Top 10 Menteri dengan Kinerja Memuaskan – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta- Survei Poltracking Indonesia mengungkap Menko Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menjadi salah satu menteri dengen kepuasan tertinggi. Dari survei Poltracking periode 3-10 Oktober 2025, Zulhas masuk 8 besar menteri dengan kinerja positif.

    “Menteri Agama, Erick Thohir, Purbaya, diapresiasi positif, kemudian ada AHY di nomor 4, Agus Subiyanto Panglima TNI, Menkes Budi Gunadi Sadikin, lalu ada Seskab Teddy Indra Wijaya dan Menko Pangan Zulkifli Hasan,” kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda Rasyid dalam paparannya bertajuk Survei Nasional Evaluasi 1 Tahun Kinerja Pemerintahan Prabowo-Gibran, di akun YouTube Poltracking TV, Minggu (19/10/2025).

    Kinerja Zulhas sebagai Menko Pangan teruji kala dia memastikan Indonesia tidak melakukan impor beras dari Thailand dan Vietnam di sepanjang tahun 2025. Zulhas mengeklaim pemerintah berhasil mencapai swasembada beras.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga November 2025, produksi beras nasional mencapai 33,19 juta ton. Angka ini meningkat 12,62 persen dibandingkan tahun 2024.

    Tidak hanya beras, hasil jagung juga meningkat, yang mencapai 14,54 juta ton atau naik 8,26 persen dibanding tahun lalu.