Kementrian Lembaga: Kemenkes

  • Ilmuwan BRIN: Mikroplastik di Udara Fenomena Global, Bahkan di Puncak Everest Juga Ada

    Ilmuwan BRIN: Mikroplastik di Udara Fenomena Global, Bahkan di Puncak Everest Juga Ada

    Jakarta

    Belakangan, mikroplastik menjadi perbincangan hangat di Tanah Air. Ini setelah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, partikel plastik berukuran sangat kecil itu ada di udara dan turun bersama air hujan di Jakarta.

    Profesor Riset BRIN di bidang oseanografi, Muhammad Reza Cordova mengatakan fenomena mikroplastik di udara bukanlah suatu kondisi yang hanya terjadi di Jakarta. Namun, ini merupakan fenomena ‘umum’ yang juga terjadi di banyak negara.

    “Ternyata, sepertinya memang seluruh kota-kota besar yang ada di dunia itu, ada mikroplastik yang ada di udara termasuk yang dideposisi nanti akan bersama air hujan,” kata Reza dalam acara detikPagi, Jumat (31/10/2025).

    “Bahkan kalau menurut informasi, Gunung Everest yang tertinggi di dunia itu bahkan sudah ada mikroplastik juga di udaranya,” sambungnya.

    Reza yang juga peneliti pada temuan mikroplastik di air hujan Jakarta tersebut mengatakan dirinya menjadi penasaran, apakah gunung-gunung yang ada di Indonesia juga mengalami hal serupa, seperti Everest.

    “Gunung yang kalau kita healing ke sana (gunung di Indonesia) seharusnya bisa membersihkan paru-paru dari berbagai macam polutan, apakah di sana juga sudah terkontaminasi,” katanya.

    “Kemungkinan iya (terkontaminasi). Tetapi kita harus lebih aware lah. Plastik yang tadinya kita sebarkan saja, kita nggak peduli, ternyata lambat laun bisa kembali ke badan kita,” tutupnya.

    Mikroplastik di Hujan Bukan Berarti Bahaya

    Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, menegaskan keberadaan mikroplastik di air hujan tidak berarti air hujan berbahaya secara langsung bagi kesehatan.

    “Fenomena ini perlu diwaspadai, bukan ditakuti. Ini sinyal bahwa partikel plastik sudah tersebar sangat luas di sekitar kita,” ujar Aji, dikutip dari laman resmi Kemenkes RI.

    Tapi, Kemenkes tidak menampik bahwa paparan dalam jangka panjang dapat memicu adanya masalah kesehatan yang serius.

    Manusia dapat terpapar mikroplastik lewat dua jalur utama, yakni melalui makanan dan minuman (seperti garam, seafood, dan air minum dalam kemasan) serta melalui udara, karena serat sintetis dari pakaian atau debu perkotaan dapat terhirup.

    Beberapa studi menunjukkan paparan jangka panjang dalam jumlah besar dapat berpotensi memicu peradangan jaringan tubuh. Bahan kimia seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates yang menempel di mikroplastik juga dapat mengganggu sistem hormon, reproduksi, dan perkembangan janin.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video Peneliti BRIN Ungkap Air Hujan Jakarta Terkontaminasi Mikroplastik”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/up)

  • Tren Diabetes RI Meningkat, Ahli Ingatkan Bahaya Penyakit Gula yang Tak Terkendali

    Tren Diabetes RI Meningkat, Ahli Ingatkan Bahaya Penyakit Gula yang Tak Terkendali

    Jakarta

    Konsumsi gula yang berlebihan berpotensi menyebabkan penyakit tidak menular. Salah satunya adalah diabetes melitus atau penyakit gula, yang pada akhirnya bisa memicu penyakit lainnya.

    Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM), Kemenkes RI, dr Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, tren dari diabetes atau penyakit gula tersebut terus meningkat di Indonesia. Saat ini, kurang lebih prevalensi dari penyakit gula di masyarakat Indonesia sekitar 11,7 persen.

    “Kalau kita bandingkan 10 tahun yang lalu, itu hanya 6 persen. Nah, bayangkan ya, kalau 11,7 persen kali penduduk kita 280 juta, jumlahnya luar biasa. Itu mencapai kurang lebih 30 juta penduduk,” kata dr Nadia dalam acara detikcom Leaders Forum, Jumat (31/10/2025).

    Jika tidak dikendalikan, maka diabetes bisa menyebabkan penyakit-penyakit lainnya. Sehingga hal ini penting untuk diperhatikan.

    “Kalau penyakit gula ini terus kita tidak kendalikan, ujung-ujungnya kita akan bisa terkena penyakit jantung, strok, ginjal, bahkan juga kanker. Nah, kita tahu itu adalah penyakit-penyakit yang biayanya besar, pengobatannya sendiri,” kata dr Nadia.

    dr Nadia mengingatkan, penyakit tidak menular adalah penyakit yang disebabkan karena perilaku. Salah satunya adalah sedentary lifestyle atau perilaku duduk atau berbaring sepanjang hari, di luar waktu tidur.

    “Apa-apa sekarang, kita cukup duduk manis, semua datang. Makanan datang, makanya itu perlu kita kendalikan pola konsumsi kita,” tutur dr Nadia.

    Pengendalian konsumsi gula sendiri bisa menurunkan penyakit jantung, stroke, dan penyakit tidak penular lainnya turun 50 persen. Angka harapan hidup di Indonesia juga terus meningkat, yaitu mencapai sekitar usia 72 tahun, tapi masih jauh dari negara-negara lain.

    “Kita pengen Indonesia seperti itu dengan angka harapan hidupnya semakin naik,” katanya.

    (elk/up)

  • Gen Z Catat! Kepala BPOM RI Ungkap Pentingnya Jaga Asupan Gula Agar Tak Berlebihan

    Gen Z Catat! Kepala BPOM RI Ungkap Pentingnya Jaga Asupan Gula Agar Tak Berlebihan

    Jakarta

    Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Taruna Ikrar menyampaikan pentingnya menjaga asupan makanan dan minuman manis. Menurutnya, ini harus menjadi perhatian serius mengingat kini tren mengonsumsi makanan dan minuman manis begitu besar di Indonesia, khususnya pada anak muda.

    Ia menjelaskan konsumsi gula tambahan, dibarengi konsumsi garam dan lemak secara berlebih dapat memicu berbagai masalah kesehatan, khususnya penyakit tidak menular.

    “Ya, tentu kita ada hal yang sangat penting kita lakukan bahwa mengatur kadar gula, mengatur kadar garam dan lemak itu sangat penting karena ini merupakan awal dari berbagai penyakit tidak menular,” ucap Taruna ketika ditemui detikcom, Jumat (31/10/2025).

    “Penyakit tidak menular itu melibatkan penyakit diabetes, penyakit degeneratif dan angka kematiannya di negeri kita sangat tinggi dibanding negara lain,” sambungnya.

    Taruna menjelaskan 80 persen penyakit non-infeksi disebabkan oleh konsumsi gula berlebihan. Konsumsi gula berlebihan dapat memicu masalah diabetes, yang dikenal sebagai ‘mother of disease’.

    Komplikasi dari diabetes jika tidak ditangani dengan baik dapat memicu berbagai masalah kesehatan lain, misalnya penyakit kardiovaskular.

    “Negeri kita sudah ada 30 juta pengidap diabetes, berarti sudah 11,8 persen penduduk kita kena diabetes. Nah, mengatur kadar gula makanan ini merupakan awal dari pencegahan penyakit ini,” ungkap Taruna.

    “Penyakit diabetes itu punya dampak yang sangat signifikan. Dia merupakan penyebab nanti penyakit kardiovaskuler, penyebab penyakit stroke, penyakit jantung, penyakit hipertensi, kidney disease, dan sebagainya,” sambungnya.

    Salah satu upaya yang dilakukan BPOM RI bersama Kemenkes adalah penerapan label nutri-level untuk minuman manis kemasan. Label ini nantinya akan membantu dalam memilih produk yang lebih sehat dan rendah gula.

    Meski rencananya penerapan label ini juga meliputi gula, garam, dan lemak, pemerintah rencananya akan berfokus pada kadar gula minuman manis dalam kemasan manis terlebih dulu.

    “Sehingga dengan harapan itu, indikatornya nanti insya Allah penyakit-penyakit non-infeksi kita menurun, dan yang kedua, penyakit diabetes di negara kita juga bisa dimitigasi supaya juga menurun jumlahnya,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • BPOM Siapkan Label ‘Nutri Level’ untuk Produk Pangan Olahan, Ada Label A-B-C-D

    BPOM Siapkan Label ‘Nutri Level’ untuk Produk Pangan Olahan, Ada Label A-B-C-D

    Jakarta

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI tengah menyiapkan penerapan label “Nutri Level” untuk produk pangan olahan. Label ini akan menandai kadar gula, garam, dan lemak dalam produk dengan sistem huruf A-D dan warna hijau hingga merah.

    Kepala BPOM Prof Taruna Ikrar mengatakan, langkah ini diambil untuk menekan tingginya angka penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia. Menurut Taruna, kebijakan ini merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 28 dan UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

    “Kondisi masyarakat kita lumayan besar ya, 30 jutaan penduduk punya peluang menderita diabetes. Itu angka yang sangat besar, enam kalinya penduduk Singapura,” ujarnya.

    Ia menyebut, 73 persen penyebab kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit tidak menular yang erat kaitannya dengan pola konsumsi masyarakat. Karena itu, Nutri Level diharapkan dapat membantu publik memilih makanan yang lebih sehat.

    Tahap awal Nutri Level akan difokuskan pada produk tinggi gula, sebelum diterapkan pula pada garam dan lemak. Aturannya kini tengah difinalisasi.

    “Draft-nya sudah rampung, kami tinggal menunggu harmonisasi dengan kementerian terkait,” tambahnya.

    Label Warna Hijau hingga Merah

    Sistem Nutri Level nantinya akan menampilkan kode warna dan huruf untuk menandai kategori produk:

    A (hijau): kandungan gula di bawah standar, tergolong sehat.B (hijau muda): masih dalam batas sehat, tetapi mendekati ambang batas.C (oranye): sudah perlu diwaspadai.D (merah): menunjukkan kandungan gula berlebihan.

    “Kalau sudah mulai dari C ke D, masyarakat diharapkan mulai waspada. Kita ingin masyarakat menjadi cerdas untuk memilih makanan mana yang tepat untuk mereka,” ujar Taruna.

    Tahap awal penerapan Nutri Level akan difokuskan pada produk dengan kandungan gula, sebelum nantinya diperluas untuk garam dan lemak.

    “Untuk sementara kita gula dulu, tentang garam dan lemak selanjutnya akan berjalan,” ucap Prof Taruna.

    Diabetes Naik Dua Kali Lipat dalam 10 Tahun

    Dari sisi kesehatan masyarakat, dr Nadia Tarmidzi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, menyoroti tren peningkatan kasus diabetes yang cukup tajam.

    “Saat ini prevalensi penyakit gula di masyarakat Indonesia 11,7 persen. Kalau dibandingkan 10 tahun lalu, itu hanya 6 persen,” ujar Nadia.

    Dengan populasi Indonesia sekitar 280 juta jiwa, artinya ada lebih dari 30 juta penduduk yang hidup dengan diabetes atau berisiko tinggi mengalaminya.

    “Kalau penyakit gula ini tidak kita kendalikan, ujung-ujungnya bisa menyebabkan penyakit jantung, stroke, ginjal, bahkan kanker. Dan itu semua penyakit yang biayanya besar,” jelasnya.

    Ia menambahkan, penyakit tidak menular umumnya dipicu oleh perilaku dan pola konsumsi.

    “Kita sekarang hidup serba duduk manis, semua datang, makanan datang. Jadi perlu kita kendalikan pola konsumsi kita,” tegas Nadia.

    Halaman 2 dari 3

    (kna/up)

  • Masyarakat Diminta Pakai Masker Cegah Polusi Mikroplastik Setelah Hujan di Jakarta

    Masyarakat Diminta Pakai Masker Cegah Polusi Mikroplastik Setelah Hujan di Jakarta

    Masyarakat Diminta Pakai Masker Cegah Polusi Mikroplastik Setelah Hujan di Jakarta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengingatkan masyarakat mengenakan masker saat beraktivitas di luar ruangan meski setelah turun hujan.
    Imbauan ini disampaikan usai adanya temuan tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menyatakan bahwa air hujan di Jakarta mengandung mikroplastik.
    “Gunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan, terutama saat udara kering atau setelah hujan. Ini bukan karena air hujannya, tapi untuk mengurangi paparan debu dan polusi yang mungkin mengandung mikroplastik,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman, dikutip dari keterangan pers, Jumat (31/10/2025).
    Aji juga mengimbau masyarakat mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menjaga kebersihan rumah, serta tidak membakar sampah plastik.
    Penggunaan botol minum isi ulang, menggunakan tas belanja non-plastik, serta ikut memilah sampah juga dapat mengurangi sampah limbah plastik yang berisiko mencemari lingkungan.
    “Langkah kecil penting untuk menekan jumlah plastik di lingkungan dan mencegah terbentuknya lebih banyak mikroplastik di masa depan,” kata Aji.
    Sebab, menurut berbagai penelitian, manusia dapat terpapar mikroplastik lewat dua jalur utama.
    “Melalui makanan dan minuman serta melalui udara, karena serat sintetis dari pakaian atau debu perkotaan dapat terhirup,” ujar dia.
    Beberapa studi menunjukkan paparan jangka panjang dalam jumlah besar dapat berpotensi memicu peradangan jaringan tubuh.
    Bahan kimia seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates yang menempel di mikroplastik juga dapat mengganggu sistem hormon, reproduksi, dan perkembangan janin.
    “Fenomena ini perlu diwaspadai, bukan ditakuti. Ini sinyal bahwa partikel plastik sudah tersebar sangat luas di sekitar kita,” ujar Aji.
    Diketahui, tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebelumnya menyatakan bahwa air hujan di Jakarta mengandung mikroplastik.
    Mikroplastik adalah potongan plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter (mm) dan berpotensi masuk ke dalam jaringan tanah atau terbawa oleh air laut.
    Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova mengatakan, mikroplastik dalam air hujan di Jakarta berasal dari degradasi limbah plastik akibat aktivitas manusia.
    Degradasi limbah plastik tersebut melayang ke udara dan terbawa angin bersama dengan debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri sebelum akhirnya turun kembali setelah diguyur hujan.
    Proses ini dikenal sebagai siklus plastik atau atmospheric microplastic deposition.
    Jika terhirup atau tertelan, partikel kecil ini bisa masuk ke dalam tubuh.
    Lama kelamaan, kondisi ini bisa membahayakan kesehatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik, Kemenkes: Ini Perlu Diwaspadai

    Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik, Kemenkes: Ini Perlu Diwaspadai

    Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik, Kemenkes: Ini Perlu Diwaspadai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengingatkan masyarakat mewaspadai dampak kesehatan dari penyebaran partikel-partikel plastik yang ikut terbawa ketika hujan turun di Jakarta.
    Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan Aji Muhawarman menuturkan, keberadaan mikroplastik di air hujan tidak berarti air hujan berbahaya langsung bagi kesehatan, tetapi tetap perlu diwaspadai.
    “Fenomena ini perlu diwaspadai, bukan ditakuti. Ini sinyal bahwa partikel plastik sudah tersebar sangat luas di sekitar kita,” ujar Aji, dikutip dalam keterangan pers, Jumat (31/10/2025).
    Aji menuturkan, menurut berbagai penelitian, manusia dapat terpapar mikroplastik lewat dua jalur utama.
    “Melalui makanan dan minuman serta melalui udara, karena serat sintetis dari pakaian atau debu perkotaan dapat terhirup,” ujar dia.
    Beberapa studi menunjukkan bahwa paparan jangka panjang dalam jumlah besar dapat berpotensi memicu peradangan jaringan tubuh.
    Bahan kimia seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates yang menempel di mikroplastik juga dapat mengganggu sistem hormon, reproduksi, dan perkembangan janin.
    “Meski begitu, para ahli menegaskan hingga kini belum ada bukti ilmiah kuat bahwa mikroplastik secara langsung menyebabkan penyakit tertentu,” sebut dia.
    Sebab, tingkat paparan plastik pada populasi umum masih rendah dan terus menjadi fokus penelitian para ahli.
    Sebagai langkah pencegahan, Aji mengimbau masyarakat untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menjaga kebersihan rumah, serta tidak membakar sampah plastik.
    “Gunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan, terutama saat udara kering atau setelah hujan. Ini bukan karena air hujannya, tapi untuk mengurangi paparan debu dan polusi yang mungkin mengandung mikroplastik,” ujar dia.
    Masyarakat juga disarankan untuk membawa botol minum isi ulang, menggunakan tas belanja non-plastik, serta ikut memilah sampah.
    Menurut Aji, langkah kecil penting untuk menekan jumlah plastik di lingkungan dan mencegah terbentuknya lebih banyak mikroplastik di masa depan.
    Diketahui, tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sebelumnya menyatakan bahwa air hujan di Jakarta mengandung mikroplastik.
    Mikroplastik adalah potongan plastik yang berukuran kurang dari 5 milimeter (mm) dan berpotensi masuk ke dalam jaringan tanah atau terbawa oleh air laut.
    Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova menjelaskan bahwa mikroplastik dalam air hujan di Jakarta berasal dari degradasi limbah plastik akibat aktivitas manusia.
    Degradasi limbah plastik tersebut melayang ke udara dan terbawa angin bersama dengan debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri sebelum akhirnya turun kembali setelah diguyur hujan.
    Proses ini dikenal sebagai siklus plastik atau atmospheric microplastic deposition.
    Jika terhirup atau tertelan, partikel kecil ini bisa masuk ke dalam tubuh.
    Lama kelamaan, kondisi ini bisa membahayakan kesehatan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Heboh Mikroplastik di Air Hujan, Kemenkes RI Ungkap Dua Jalur Utama Paparan ke Manusia

    Heboh Mikroplastik di Air Hujan, Kemenkes RI Ungkap Dua Jalur Utama Paparan ke Manusia

    Jakarta

    Mikroplastik tak hanya ditemukan di laut maupun makanan, tapi juga di air hujan. Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan, partikel plastik berukuran sangat kecil itu telah terbawa angin dan turun bersama air hujan di wilayah Jakarta.

    Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter hingga satu mikrometer. Karena ukurannya yang sangat kecil dan sulit terurai, partikel ini bisa bertahan lama di lingkungan serta berpindah dari udara ke tanah, hingga ke air.

    Adapun temuan BRIN ini menunjukkan mikroplastik sudah menjadi bagian dari siklus lingkungan. Plastik yang hancur di darat atau laut bisa terangkat angin, terbawa ke atmosfer, lalu turun kembali bersama hujan.

    Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI, Aji Muhawarman, menegaskan keberadaan mikroplastik di air hujan tidak berarti air hujan berbahaya langsung bagi kesehatan.

    “Fenomena ini perlu diwaspadai, bukan ditakuti. Ini sinyal bahwa partikel plastik sudah tersebar sangat luas di sekitar kita,” ujar Aji, dikutip dari laman resmi Kemenkes RI.

    Menurut berbagai penelitian, lanjut Aji, manusia dapat terpapar mikroplastik lewat dua jalur utama, yakni melalui makanan dan minuman (seperti garam, seafood, dan air minum dalam kemasan) serta melalui udara, karena serat sintetis dari pakaian atau debu perkotaan dapat terhirup.

    Beberapa studi menunjukkan paparan jangka panjang dalam jumlah besar dapat berpotensi memicu peradangan jaringan tubuh. Bahan kimia seperti bisphenol A (BPA) dan phthalates yang menempel di mikroplastik juga dapat mengganggu sistem hormon, reproduksi, dan perkembangan janin.

    Meski begitu, para ahli menegaskan hingga kini belum ada bukti ilmiah kuat bahwa mikroplastik secara langsung menyebabkan penyakit tertentu. Tingkat paparannya pada populasi umum masih rendah dan terus menjadi fokus penelitian.

    Sebagai langkah pencegahan, Aji mengimbau untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, menjaga kebersihan rumah, serta tidak membakar sampah plastik.

    “Gunakan masker saat beraktivitas di luar ruangan, terutama saat udara kering atau setelah hujan. Ini bukan karena air hujannya, tapi untuk mengurangi paparan debu dan polusi yang mungkin mengandung mikroplastik,” tambahnya.

    Ia juga menyarankan untuk membawa botol minum isi ulang, menggunakan tas belanja non-plastik, serta ikut memilah sampah. Langkah kecil ini penting untuk menekan jumlah plastik di lingkungan dan mencegah terbentuknya lebih banyak mikroplastik di masa depan.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/up)

  • Wamenkes Ungkap 2 Juta Anak Alami Gangguan Kesehatan Mental

    Wamenkes Ungkap 2 Juta Anak Alami Gangguan Kesehatan Mental

    Wamenkes Ungkap 2 Juta Anak Alami Gangguan Kesehatan Mental
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com-
    Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan, ada sekitar dua juta anak yang mengalami gangguan kesehatan mental dari data pemeriksaan kesehatan jiwa gratis yang dilakukan.
    “Dari laporan yang kami terima dalam pemeriksaan kesehatan jiwa gratis dan telah menjangkau sekitar 20 juta jiwa, terdapat lebih dari dua juta anak yang mengalami gangguan kesehatan mental,” kata Dante dalam acara Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Puspemkot Tangerang, Kamis (30/10/2025), dikutip dari
    Antara
    .
    Dante menyebutkan, Kementerian Kesehatan telah menyediakan layanan konseling daring yang bisa diakses kapan saja melalui healing 119.id bagi warga yang mengalami stres, depresi atau memiliki keinginan bunuh diri.
    Ia menuturkan, platform ini bisa menjadi tempat untuk berbagi keluh kesah secara anonim, difasilitasi oleh psikolog sosial dan klinis yang siap mendengarkan 24 jam.
    “Dalam waktu hanya tiga bulan,
    platform
    ini telah dikunjungi lebih dari 45 ribu pengguna. Ini adalah langkah kecil, tetapi berarti besar bagi upaya penyembuhan jiwa bangsa,” kata Dante.
    Ia menyebutkan, stres dan tantangan kesehatan jiwa adalah hal yang tidak dapat dihindari setiap hari. 
    Oleh sebab itu, Kemenkes mengajak masyarakat untuk saling mendukung dan memperkuat dukungan psikososial bagi siapa pun yang tengah berjuang dengan kesehatan jiwanya.
    Dante juga mengajak masyarakat yang sehat jiwa untuk peduli dengan warga di sekitarnya, sesederhana dengan menyapa dan mengucapkan apa kabar.
    “Sebab, kita tidak pernah tahu, sapaan kecil seperti itu mungkin menjadi sumber energi positif yang mampu menyelamatkan seseorang dari keputusasaan. Agar mereka tidak hanya pulih dari pikiran yang semrawut atau
    overthinking
    , tetapi juga dapat kembali merasakan kebahagiaan, kedamaian, dan kebersamaan dengan sesama,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat

    Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat

    Jakarta

    Diabetes, ‘ibu dari segala penyakit’ yang bisa memicu komplikasi sejumlah penyakit seperti stroke, jantung, gagal ginjal, mulai mengintai usia muda. Pola makan tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) menjadi salah satu faktor pemicu utamanya.

    Survei Kementerian Kesehatan menunjukkan sebanyak 29,7 persen penduduk Indonesia mengonsumsi pangan dengan kandungan GGL melampaui batas rekomendasi. Kondisi ini berpotensi memperburuk tren peningkatan kasus diabetes yang mulai banyak menyerang usia produktif.

    Salah satu upaya yang tengah disiapkan pemerintah adalah penerapan label informasi gizi atau rencananya ‘Nutri-level’ pada produk pangan olahan dan pangan siap saji.

    Melalui sistem Nutri Level, konsumen dapat dengan cepat mengetahui seberapa tinggi kandungan GGL pada suatu produk, dengan melihat warna serupa ‘traffic light’. Pendekatan kebijakan yang juga dipilih di beberapa negara lain, termasuk Singapura. Warna hijau menandakan kandungan rendah GGL, sementara merah sebaliknya.

    Langkah ini diharapkan bisa mendorong masyarakat untuk merubah pola makan menjadi lebih sehat.

    “Penerapan kewajiban pencantuman Nutri Level dilakukan secara bertahap. Untuk tahap pertama, ditargetkan pada minuman siap konsumsi dengan kandungan GGL level C dan D,” beber Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, Taruna Ikrar, dalam satu kesempatan.

    Kebijakan ini akan diselaraskan antara BPOM dan Kementerian Kesehatan, agar regulasi pangan olahan dan pangan siap saji berjalan seiring dan saling memperkuat.

    Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI dr Siti Nadia Tarmizi juga menekankan perubahan perilaku konsumsi perlu dilakukan sedini mungkin.

    “Anak muda sekarang rentan karena gaya hidupnya serba instan dan banyak konsumsi minuman tinggi gula. Tanpa intervensi kebijakan seperti Nutri Level, risiko diabetes akan terus meningkat di usia muda,” jelas dia.

    Upaya ini juga diharapkan dapat mendorong transparansi industri pangan dan menciptakan ekosistem yang lebih sehat, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha.

    Lebih detail tentang rencana penerapan Nutri Level di Indonesia, detikcom Leaders Forum kembali hadir dengan tema ‘Ancaman Gula Berlebih: Manis Sesaat, Diabetes Sepanjang Hayat‘. Akan hadir sebagai pembicara, Kepala BPOM Taruna Ikrar, Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan dr Siti Nadia Tarmizi, CEO Nutrifood Mardi Wu mewakili pelaku usaha pangan, dan praktisi klinis – dokter spesialis penyakit dalam Brawijaya Hospital dr Erpryta Nurdia Tetrasiwi, SpPD.

    Nantikan penayangannya, Jumat (31/10/2025) di detikcom.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Mencari Cara Menekan Angka Perokok dan Peredaran Rokok Ilegal

    Mencari Cara Menekan Angka Perokok dan Peredaran Rokok Ilegal

    Merri juga menegaskan, Kemenkes tidak memiliki kewenangan untuk mengatur standar kemasan rokok, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Pasal 435.

    “Kementerian Kesehatan tidak mempunyai tugas dan/atau kewenangan untuk mengatur standarisasi kemasan dan produk,” tegasnya.

    Kemenperin juga menyoroti potensi pelanggaran terhadap Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Merri merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang melindungi elemen merek seperti gambar, logo, warna, dan bentuk.

    Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa kebijakan plain packaging dapat menimbulkan hambatan perdagangan internasional dan berisiko memicu gugatan dari negara lain.

    Ia menekankan bahwa tidak ada yurisprudensi di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang mewajibkan negara untuk menerapkan standar kemasan seragam, baik secara keseluruhan kemasan maupun satu komponen tertentu.

    “Memaksakan kebijakan tersebut justru berisiko menciptakan hambatan perdagangan (trade barrier) dan dapat memicu gugatan dari negara lain,” jelas Merri.

    Pelaku industri juga menyampaikan kekhawatiran bahwa kebijakan ini tidak akan efektif dalam menekan jumlah perokok pemula, yang menjadi tujuan utama dari wacana plain packaging. Sebaliknya, kebijakan ini justru dinilai akan memperburuk masalah rokok ilegal di dalam negeri.

    “Kemasan yang sama hanya akan mempermudah produksi rokok ilegal dan sulit melakukan pengawasan karena warnanya sama,” kata Merri menekankan.