Kementrian Lembaga: Kemenkes

  • Penyeragaman Kemasan Rokok Polos Berisiko Rugikan Konsumen dan Produsen

    Penyeragaman Kemasan Rokok Polos Berisiko Rugikan Konsumen dan Produsen

    Jakarta: Upaya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam menerapkan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek (polos) melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) menuai berbagai kritik dan penolakan.
     
    Regulasi turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) tersebut ditentang, karena dinilai berisiko merugikan konsumen serta produsen.
     
    Praktisi pemasaran sekaligus Managing Partner Inventure Yuswohady menilai, wacana kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek akan menghilangkan diferensiasi yang selama ini dibangun oleh produsen di industri tembakau.
    Menurutnya, diferensiasi yang tercipta melalui merek, logo, dan identitas visual lainnya adalah bagian dari investasi yang telah dilakukan oleh produsen selama puluhan hingga ratusan tahun untuk membangun kekuatan dan reputasi merek mereka.
     
    “Tujuan merek adalah diferensiasi. Tanpa merek, konsumen akan kesulitan membedakan kualitas produk yang satu dengan yang lainnya,” ujar Yuswohady dikutip dari keterangan tertulis, Selasa, 12 November 2024.
     
    Bagi konsumen, lanjut dia, hilangnya identitas merek pada kemasan rokok bisa mengurangi hak mereka untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai kualitas dan reputasi produk.
     
    Dengan kemasan tanpa identitas merek, tambah Yuswohady, konsumen tidak akan tahu merek mana yang telah terbukti memberikan kualitas yang tinggi dan mana yang hanya merupakan produk abal-abal atau ilegal.
     
    “Kebijakan ini berisiko mengarahkan konsumen pada kebingungan di pasar. Di mana produk murah dan berisiko tinggi mungkin lebih mudah diterima karena tidak ada pembeda yang jelas,” tutur dia.
     

     

    Reputasi merek bisa hancur

    Selain itu, dari sudut pandang produsen, kebijakan ini bisa merugikan secara finansial. Investasi yang telah digelontorkan untuk membangun merek dan reputasi bisa hangus dalam sekejap.
     
    Yuswohady menegaskan kekuatan sebuah merek biasanya terletak pada nilai atau value yang dibawanya. “Ketika identitas merek dihilangkan, nilai tersebut juga hilang,” terang dia.
     
    Yuswohady menekankan dampak penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga bisa meluas pada sektor perekonomian, terutama bagi pedagang kecil yang bergantung pada penjualan rokok.
     
    Pada sisi ekonomi, kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek berisiko memunculkan brand-brand palsu atau murah yang tidak terkontrol kualitasnya.
     
    Pedagang kecil yang biasa menjual rokok dengan merek terkenal kemungkinan akan mengalami penurunan omzet, karena konsumen mungkin lebih memilih produk murah tanpa merek yang beredar di pasar gelap.
     
    Menghadapi situasi ini, Yuswohady menyarankan agar pemerintah dapat menimbang kembali kebijakan yang akan disahkan serta mengkaji lebih dalam dampak yang akan ditimbulkan.
     
    Dia menilai dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan dari rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga harus dipertimbangkan. “Pengaturan ini perlu diimbangi agar tidak merugikan banyak pihak,” tutup Yuswohady.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Kemasan Rokok Polos Berpotensi Rugikan Konsumen? Ini Penjelasannya – Page 3

    Kemasan Rokok Polos Berpotensi Rugikan Konsumen? Ini Penjelasannya – Page 3

     

    Liputan6.com, Jakarta Kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang dituangkan dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dinilai telah menabrak regulasi yang telah lebih dulu ditetapkan.

    Ketua Pakta Konsumen Nasional Ary Fatanen mengatakan, konsumen pun menjadi pihak paling dirugikan jika kebijakan dari aturan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) tersebut diterapkan.

    “Aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini menabrak regulasi lainnya. Salah satunya adalah UU Perlindungan Konsumen,” ujar Ary dikutip Selasa (12/11/2024).

    Ary melihat seharusnya konsumen mendapatkan informasi yang akurat seputar produk yang dibeli dan dikonsumsi sesuai hak yang sudah dilindungi oleh UU. Dengan munculnya rancangan untuk menyeragamkan kemasan rokok, maka konsumen terhalang mendapatkan hak atas informasi yang sudah diatur pada UU 8/1999 Pasal 4.

    Rancangan Permenkes akan membuat seluruh kemasan rokok yang dijual di pasar memiliki identitas yang sama. Poin ini juga menabrak Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang menyatakan merek dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, dan susunan warna untuk dapat dibedakan antara produk.

    Sikap ugal-ugalan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) atas usulan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek ini diklaim bertujuam untuk menurunkan angka jumlah perokok, namun Ary menyangkal anggapan tersebut. Dia malah menilai kebijakan tersebut dapat menjadi bumerang untuk tujuan yang ingin dicapai.

    Hal ini menjadi tidak sejalan dengan arahan kebijakan pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto agar tidak ada aturan yang tidak saling tumpang tindih dan bertentangan dengan aturan yang telah ada sebelumnya.

     

  • Pemerintah Siapkan Rp 1,7 T untuk Kado Ultah Skrining Kesehatan Warga RI

    Pemerintah Siapkan Rp 1,7 T untuk Kado Ultah Skrining Kesehatan Warga RI

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa program skrining gratis untuk masyarakat yang berulang tahun akan menjadi salah satu prioritas program Kementerian Kesehatan dalam waktu dekat. Rencananya skrining gratis sudah bisa dinikmati oleh masyarakat secara bertahap mulai Januari 2025.

    Untuk menjalankan program skrining kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mendapat anggaran sebanyak Rp 1,7 triliun.

    “Kita dapat tambahan Rp 13 triliun ya dari anggaran kita kan sekitar Rp 90-an triliun. Rp 8 triliun buat TBC, sekitar Rp 3 triliunan untuk rumah sakit, Rp 1,7 triliun untuk skrining,” kata Menkes Budi ketika ditemui awak media di Kantor Kemenkes, Selasa (12/11/2024).

    Menkes Budi mengatakan program skrining kesehatan gratis ini nantinya bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat di seluruh kelompok umur. Langkah ini diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mendeteksi berbagai risiko penyakit dan keparahan kondisi medis secara dini.

    “Kondisi kesehatan yang menurun ini harus bisa kita tangani cepat, sehingga bisa menghindari agar masyarakat kita harus dirawat di rumah sakit,” tandasnya.

    Program hadiah skrining kesehatan gratis untuk masyarakat yang ulang tahun rencananya akan dibagi dalam beberapa kategori usia:

    Skrining Balita: Difokuskan pada deteksi penyakit bawaan lahir seperti hipotiroid kongenital yang, jika teridentifikasi secara dini, dapat diobati untuk mencegah kematian atau kecacatan.

    Skrining Remaja (di bawah 18 tahun): Meliputi pemeriksaan obesitas, diabetes, dan kesehatan gigi. Skrining ini bertujuan mendeteksi masalah kesehatan yang sering muncul pada usia anak hingga remaja.

    Skrining Dewasa: Difokuskan pada deteksi dini kanker, termasuk kanker payudara dan serviks, yang merupakan penyebab utama kematian pada wanita di Indonesia, serta kanker prostat pada laki-laki.

    Skrining Lansia: Meliputi pemeriksaan alzheimer, osteoporosis, serta kesehatan umum terkait penuaan.

    (avk/kna)

  • Ini 3 Kandidat Vaksin TBC di RI, Ada yang dari China dan Jerman

    Ini 3 Kandidat Vaksin TBC di RI, Ada yang dari China dan Jerman

    Jakarta

    Indonesia tercatat sebagai negara dengan dengan kasus TBC nomor dua di dunia. Sebagai bagian dari upaya memperkuat program pengendalian Tuberkulosis (TB atau TBC) di Indonesia, pemerintah telah mengidentifikasi beberapa produsen vaksin di berbagai negara untuk mengembangkan vaksin TBC.

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, ada tiga kandidat vaksin TB yang tengah dijajaki oleh Pemerintah.

    “Ketiganya berasal dari negara yang berbeda,” kata Menkes di Bali, Senin (11/11).

    Kandidat vaksin pertama adalah vaksin TB yang dikembangkan oleh Yayasan Bill & Melinda Gates dan GlaxoSmithKline (GSK) dari Amerika Serikat. Vaksin ini dikembangkan dengan memanfaatkan protein rekombinan.

    Kemudian kandidat vaksin kedua dikembangkan melalui kerja sama perusahaan farmasi di China, CanSino, dan perusahaan biofarmasi asal Indonesia, Etana. Pengembangan vaksin ini menggunakan teknologi viral-vector dan sedang dalam uji klinis fase pertama.

    Kandidat vaksin ketiga ikembangkan oleh perusahaan bioteknologi asal Jerman, BioNTech, dan perusahaan farmasi asal Indonesia, Biofarma. Pengembangan vaksin ini menggunakan teknologi mRNA.

    “Kami juga akan berkontribusi untuk mengikuti proses uji klinis dari ketiga produsen vaksin TB tersebut,” ucap Menkes.

    Menkes mengatakan, vaksin yang dikembangkan ini akan diperuntukkan bagi anak-anak dan dewasa. Selain itu, vaksin juga akan diperuntukkan bagi mereka yang belum terinfeksi maupun sudah terinfeksi virus TBC.

    Di sisi lain, penanggulangan penyakit TBC menjadi salah satu program prioritas dari Presiden Prabowo Subianto setelah menjabat. Hal ini menjadi salah fokus lantaran kasus TBC di Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

    (suc/suc)

  • Menkes Siapkan Tes PCR untuk Temukan 1 Juta Kasus TBC di Indonesia

    Menkes Siapkan Tes PCR untuk Temukan 1 Juta Kasus TBC di Indonesia

    Jakarta

    Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menargetkan deteksi 1 juta kasus tuberkulosis (TB atau TBC) pada 2025. Penemuan lebih banyak kasus ini untuk mengejar target eliminasi TBC pada 2030. Menurut data terbaru, Indonesia merupakan negara dengan angka TBC nomor dua tertinggi di dunia.

    “Target kami tahun depan, kita bisa menemukan sekitar 1 juta kasus. Dari 1.060.000 yang ditemukan, saya ingin 1 jutanya kita diagnosis,” kata Menkes dalam konferensi pers Pertemuan Tingkat Tinggi Inovasi Tuberkulosis (High Level Meeting TBC Innovation) yang digelar di Bali pada Senin (11/11).

    Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah bakal meningkatkan dan mengembangkan sistem surveilans. Menkes mengatakan, ke depannya metode skrining TBC akan diperluas.

    Tak hanya menggunakan alat Tes Cepat Molekuler (TCM) yang juga digunakan untuk pemeriksaan diabetes, tetapi juga menggunakan alat PCR atau Polymerase chain reaction test yang sebelumnya dipakai untuk tes COVID-19.

    Menkes mengatakan, uji coba surveilans menggunakan tes PCR ini sedang dilakukan di Jawa Barat.

    “Di-swab bukan di hidung, tapi di tenggorokan. Jadi, nanti kita swab lalu kita tes PCR sama seperti COVID-19. Itu inovasi yang sedang kita coba,” kata Menkes.

    Selain menggunakan alat PCR, Menkes juga sedang menguji teknologi terbaru USG, yang biasanya digunakan untuk memeriksa kondisi janin dan deteksi dini kanker payudara. Teknologi ini akan dicoba untuk identifikasi pneumonia atau TBC.

    “Ternyata sekarang dengan dibantu AI, (USG) bisa untuk identifikasi pneumonia atau TBC. Ini sekarang sedang kita coba juga, karena USG kita udah banyak,” imbuhnya.

    (suc/suc)

  • Kenali Gejala Pneumonia pada Anak

    Kenali Gejala Pneumonia pada Anak

    Jakarta, Beritasatu.com – Deteksi dini dan kenali gejala pneumonia bisa mencegah anak dari kematian. Untuk itu penting bagi orang tua mendapatkan edukasi yang baik agar anak tidak terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan ketika menderita pneumonia.

    Dokter spesialis anak yang juga anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Wahyuni Indawati mengatakan jika orang tua tidak mendapatkan edukasi yang baik soal gejala pneumonia, maka bisa tidak menyadari bahwa anak sudah mengalami kesulitan bernapas.

    “Kita tahu sebagian besar pneumonia itu penyebabnya adalah infeksi sehingga tentu gejala-gejala infeksi akan muncul. Misalnya, demam, anak terlihat lemah, lesu, nafsu makannya turun,” katanya dalam konferensi pers daring peringatan Hari Pneumonia Sedunia bersama Kementerian Kesehatan, Senin (11/11/2024).

    “Jika napas cepat dan sudah ada tarikan dinding dada ke dalam saat bernapas, segara bawa ke fasilitas kesehatan (dokter atau rumah sakit) untuk mendapatkan pemeriksaan,” kata Wahyuni.

    Pneumonia adalah peradangan akut (kurang dari dua minggu) pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikoroorganisme patogen seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. “Yang terbanyak memang karena bakteri dan virus,” kata Wahyuni.

    Pada saat bayi dan anak terkena pneumonia maka yang akan terdampak adalah paru sehingga bakal terjadi gangguan pada pernapasan dengan efek terberat adalah kematian.

    Pada anak yang berusia muda, seperti bayi, gejala yang muncul lebih tidak spesifik. Contohnya, anak terlihat lemah, lesu, dan rewel. Pasalnya, semakin muda usia anak gejala infeksi memang semakin tidak khas.

    Di samping itu, gejala spesifik pneumonia dapat terlihat dari gejala respiratori mengingat penyakit ini menyerang sistem pernapasan. Contohnya, batuk, pilek, anak bernapas cepat, dan anak berusaha bernapas dengan menarik dinding dada ke dalam.

    Wahyuni menjelaskan, orang tua harus mampu mendeteksi anak yang bernapas cepat dengan menghitung jumlah tarikan napas. Pada anak usia di bawah dua bulan, napas cepat mencapai 60 kali per menit, usia dua hingga sebelas bulan mencapai 50 kali napas per menit, usia satu hingga lima tahun mencapai 40 kali napas per menit, dan usia di atas lima tahun mencapai 30 kali napas per menit.

    Sementara itu, pada anak berusia lima tahun ke atas gejala yang dialami sama, tetapi dengan tingkat keparahan yang lebih ringan. Anak usia lima tahun ke atas juga biasanya merasakan nyeri saat bernapas, nyeri kepala, dan nyeri otot.

    “Kalau pada anak yang usianya lebih besar biasanya kita menganjurkan untuk dilakukan foto rontgen karena kita khawatir kondisinya lebih berat,” tambah Wahyuni.

    Plt Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Yudhi Pramono menambahkan, data BPJS Kesehatan 2023 mencatat pneumonia menempati peringkat pertama penyakit pernapasan dengan beban pembiayaan tertinggi. Secara terperinci, pneumonia menelan biaya sekitar Rp 8,7 triliun, lebih tinggi dari beban pembiayaan tuberkulosis yaitu sekitar Rp 5,2 triliun.

    Melihat data itu, Yudhi menilai pencegahan pneumonia perlu menjadi perhatian masyarakat. Ini dapat dilakukan dengan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan, menghindari paparan asap rokok, cuci tangan secara teratur, memastikan rumah memiliki ventilasi yang cukup, hingga memberikan anak vaksin pneumococcal conjugate vaccine (PCV) sesuai jadwal.

    “Obati jika anak mengalami batuk atau kesulitan bernapas. Segera bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapat penanganan medis,” ungkap Yudhi.

  • Penyeragaman Kemasan Rokok Dinilai Melanggar UU HAKI dan Sarat Intervensi Asing

    Penyeragaman Kemasan Rokok Dinilai Melanggar UU HAKI dan Sarat Intervensi Asing

    Jakarta: Kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) dinilai telah menyalahi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), dengan ketentuan tersebut telah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek). Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga dinilai sarat akan intervensi asing.
     
    UU Merek menyatakan merek dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, dan susunan warna untuk membedakan antara satu merek dengan merek lainnya. Namun, Rancangan Permenkes yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) justru membuat seluruh kemasan rokok yang dipasarkan harus memiliki fitur kemasan yang seragam tanpa pembeda apapun.
     
    Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana mempertanyakan poin dalam Rancangan Permenkes tersebut. Sebab, menurutnya pemuatan identitas merek merupakan hak pemilik usaha untuk menjadi pembeda dengan kompetitor.
     
    “Karena ‘kan tentu pelaku usaha ingin bersaing dengan pelaku usaha lainnya dengan memunculkan apa sih perbedaan dari mereknya dengan merek pesaingnya,” ujar Hikmahanto dalam sebuah diskusi dikutip dari keterangan tertulis, Senin, 11 November 2024.
     
    Menurut dia, tekanan terhadap industri hasil tembakau, dalam hal ini termasuk penyeragaman bungkus rokok, tidak dipungkiri merupakan intervensi asing melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Bahkan, menurut peneliti hukum itu, dalam salah satu pasal FCTC menuding jika tampilan di bungkus rokok memberi sumbangsih atas kenaikan jumlah perokok.
     
    Padahal tudingan itu dinilai tidak benar dan harus dipertanyakan kembali. Sehingga Hikmahanto melihat pengaturan penyeragaman bungkus rokok yang membuat kehilangan identitas merek ini sebagai agenda pemaksaan asing terhadap pasar Indonesia.
     
    Hikmahanto menyatakan Rancangan Permenkes untuk mengatur kemasan rokok tanpa identitas merek ini menjadi paradoks di Indonesia. Ketika Australia pertama kali menjalankan aturan penghilangan identitas merek di bungkus rokok pada 2012, Indonesia menjadi salah satu negara yang melawannya.  
     
    Tapi, kini justru Indonesia berupaya menerapkan kebijakan kontradiktif dengan melakukan langkah serupa. Padahal tindakan tersebut telah memberikan gangguan yang terasa oleh tenaga kerja hingga produk ekspor Indonesia, khususnya produk hasil tembakau.
     
    Seperti diketahui, Australia tidak memiliki industri ataupun ekosistem pertembakauan yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja, hingga hilirisasi ekspor produk tembakau manufaktur seperti di Indonesia.
     
    “Negara yang mampu melakukan ekspor ke luar negeri seperti Indonesia telah memperoleh pendapatan dari sana. Kita juga pernah melawan kebijakan-kebijakan negara untuk mengenakan plain packaging itu. Tetapi sekarang mau menerapkan di Indonesia,” ujar Hikmahanto.
     

     

    Dinilai tidak berdaulat
     
    Hikmahanto juga melihat, agenda-agenda yang dibawa Kemenkes melalui PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes berkiblat pada FCTC, di mana pemerintah secara seksama telah mempelajarinya dan memilih untuk tidak meratifikasinya. Hal ini menunjukkan Indonesia seakan tidak berdaulat dalam menentukan arah kebijakan.
     
    “Kita tidak dan jangan pernah tunduk dengan FCTC. Tapi mereka memaksa lewat Kemenkes supaya ketentuan-ketentuan yang ada dalam FCTC itu diadopsi. Jadi bukan diratifikasi, diadopsi ke dalam hukum Indonesia,” ketus dia.
     
    Tindakan diam-diam mengadopsi ketentuan FCTC ke dalam kebijakan dinilai tidak sesuai dengan pandangan Presiden Prabowo Subianto.
     
    Hikmahanto mengatakan, dalam berbagai kesempatan, Prabowo telah menegaskan melawan berbagai macam bentuk intervensi dari luar negeri dan berkomitmen menjadikan Indonesia lepas dari segala intervensi asing.
     
    “Jadi jangan kita mau percaya dengan apa yang disampaikan dari luar negeri. Pak Prabowo menegakkan hal itu. Kita negara besar. Kita harus tegak mempertahankan kedaulatan. Apa yang terbaik untuk Indonesia, itulah kebijakan yang harus diambil,” tegas Hikmahanto.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (HUS)

  • Skrining Kesehatan Gratis Kemenkes Buat Peserta BPJS Kesehatan Wawas Diri

    Skrining Kesehatan Gratis Kemenkes Buat Peserta BPJS Kesehatan Wawas Diri

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Perencanaan dan Pengembangan BPJS Kesehatan Mahlil Ruby mengatakan, program skrining kesehatan gratis dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berdampak ke masyarakat agar lebih wawas diri.

    Ia menjelaskan, kemungkinan tersebut bisa terjadi karena banyak orang yang akan berobat. Sebab, masyarakat menjadi paham akan penyakit dan kebutuhan di tubuh mereka.

    “Di awal-awal mungkin meningkat, karena orang-orang udah tahu sakit jadi pergi berobat,” ungkapnya kepada media di kantor Bappenas/Kementerian PPN, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2024).

    Namun, dia melihat hal positif dalam program tersebut dalam jangka panjang. Masyarakat diyakini bisa lebih wawas diri dan mencegah penyakit-penyakit yang dihadapi.

    “Dampaknya akan jangka panjang. Jangka pendek sebaliknya, bukan mengurangi tetapi malah semakin meningkatkan pengunaan BPJS Kesehatan. Karena dia sudah tahu ada sakit. Nah di awal-awal mungkin bakal naik,” lanjutnya.

    Dalam hal itu, BPJS bisa membandingkan kemungkinan orang yang berpotensi terkena penyakit serius. Pada dampak jangka panjang, program skirining kesehatan gratis Kemenkes diperkirakan bisa mengurangi klaim BPJS.

    Menurut Mahlil, masyarakat yang punya potensi terkena kanker kemungkinan bisa terselamatkan berkat program Kemenkes itu. Artinya, langkah tersebut dipandang baik meski dalam implementasinya cukup memberatkan dalam waktu dekat.

    “Namun, nanti jangka panjang (sekitar) 15 tahun lagi. Karena sudah tahu dia tidak sakit, baru kita bisa bandingkan. Seharusnya tahun ini dia sudah jatuh ke kanker dan sekarang enggak (berkat skrining gratis) atau jatuh ke diabetes tetapi enggak, karena kemarin sudah mulai bisa jaga diri berkat periksa. Jadi, jangka pendek menaikkan dampak BPJS,” pungkasnya.

    Sebagaimana diketahui, Kemenkes akan menerapkan skrining kesehatan gratis bagi masyarakat yang tengah berulang tahun. Program ini rencananya mulai berlaku pada 2025 mendatang.

  • Bakal Ada Skrining Kesehatan Gratis

    Bakal Ada Skrining Kesehatan Gratis

    Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin mengumumkan melalui akun media sosialnya bahwa pemerintah akan memberikan skrining kesehatan gratis untuk masyarakat melalui aplikasi SatuSehat. Kapan dan seperti apa bentuk skrining kesehatan gratis yang disiapkan? Simak pernyataan Menkes Budi berikut ini…

  • Video Menkes Budi Beberkan Anggaran Skrining Kesehatan Gratis-Penanganan TBC

    Video Menkes Budi Beberkan Anggaran Skrining Kesehatan Gratis-Penanganan TBC

    Video Menkes Budi Beberkan Anggaran Skrining Kesehatan Gratis-Penanganan TBC