KPK Gali Peran Sesditjen Kemenkes Terkait Kasus Korupsi RSUD Kolaka Timur
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami peran Sekretaris Ditjen Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Andi Saguni terkait Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC).
Materi tersebut didalami
KPK
saat memeriksa
Andi Saguni
sebagai saksi terkait kasus dugaan
korupsi
proyek pembangunan
RSUD Kolaka Timur
(Koltim), pada Jumat (21/11/2025).
“Penyidik mendalami saksi AS (Andi Saguni) terkait perannya sebagai Sesditjen dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Presiden ini,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Minggu (23/11/2025).
Selain itu, Budi mengatakan, KPK juga memeriksa Thian Anggy Soepaat selaku staf gudang KSO PT PCP, PT RBM, dan PT PA.
Dia mengatakan, penyidik mendalami pengetahuan Thian terkait penyerahan uang ke salah satu tersangka kasus korupsi tersebut.
“Sedangkan saksi TAS (Thian Anggy Soepaat), didalami pengetahuannya terkait penyerahan uang dari pemberi kepada salah satu tersangka dalam perkara ini,” ujar dia.
Sebelumnya, KPK menetapkan lima tersangka korupsi proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, salah satunya adalah Bupati Abdul Azis.
“KPK menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima orang sebagai tersangka,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
Berikut adalah lima orang tersangka kasus ini:
1. Abdul Azis (ABZ) selaku Bupati Kolaka Timur atau Kotim.
2. Andi Lukman Hakim (ALH) selaku Person In Charge (PIC) atau penanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk Pembangunan RSUD.
3. Ageng Dermanto (AGD) selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek RSUD Koltim.
4. Deddy Karnady (DK) selaku pihak swasta PT Pilar Cerdas Putra (PCP).
5. Arif Rahman (AR) selaku pihak swasta Kerja Sama Operasi (KSO) PT PCP.
Berdasarkan keterangan Asep Guntur Rahayu, Deddy Karnady dan Arif Rahman dari pihak swasta diduga memberi suap.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” kata Asep.
Adapun Abdul Azis dan Andi Lukman Hakim adalah pihak penerima suap.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” kata Asep.
Para tersangka ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK Gedung Merah Putih.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Kemenkes
-
/data/photo/2025/09/17/68ca76b2bae79.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Gali Peran Sesditjen Kemenkes Terkait Kasus Korupsi RSUD Kolaka Timur
-

Viral Ibu-Bayinya Meninggal usai Ditolak 4 RS di Papua, Kemenkes Buka Suara
Jakarta –
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) buka suara terkait kasus meninggalnya ibu hamil, Irene Sokoy, dan bayi dalam kandungannya setelah diduga ditolak oleh empat rumah sakit di Kabupaten dan Kota Jayapura, Papua.
Peristiwa ini memicu duka mendalam sekaligus sorotan luas terhadap mutu pelayanan kesehatan di Papua. Kemenkes memastikan akan mengusut tuntas dugaan penolakan pasien tersebut.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman menyebut pihaknya ikut berbelasungkawa dan memastikan pemerintah pusat ikut menelusuri apa yang terjadi di balik laporan kasus terkait.
“Kementerian Kesehatan turut berbelasungkawa dan sangat menyayangkan insiden yang terjadi,” beber Aji saat dihubungi detikcom Minggu (23/11/2025).
Menurut Aji, Kemenkes akan mengirimkan tim dari Direktorat Jenderal Kesehatan Lanjutan ke Papua untuk melakukan investigasi bersama dinas kesehatan daerah. Pemeriksaan mendalam akan dilakukan di seluruh rumah sakit yang disebut dalam laporan keluarga.
“Apabila ditemukan indikasi pelanggaran, pastinya akan ada sanksi tegas yang dikenakan kepada rumah sakit yang diduga menolak pasien,” kata Aji.
Ia menegaskan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin berkali-kali mengingatkan rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, bahwa tidak ada alasan untuk menolak pasien dalam kondisi gawat darurat.
“Rumah sakit harus bertindak profesional dengan mengutamakan keselamatan pasien dibanding urusan administrasi,” lanjut dia.
Aji menambahkan, penolakan pasien oleh rumah sakit bukan hanya pelanggaran etika, tetapi juga melanggar Undang-Undang terkait kesehatan dan dapat berujung pada unsur pidana.
Kemenkes menilai kasus ini sebagai peringatan serius perlunya evaluasi menyeluruh terhadap layanan kesehatan di Papua, mulai dari ketersediaan tenaga medis, kesiapan instalasi gawat darurat, hingga fungsi manajemen rumah sakit.
“Kami ingin memastikan kejadian seperti ini tidak terulang. Hak masyarakat untuk mendapatkan layanan kesehatan harus dijamin,” kata Aji.
Kemenkes juga akan berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Papua untuk memastikan tindak lanjut perbaikan berjalan secara konkret.
Sebelumnya diberitakan, Irene Sokoy, warga Kampung Hobong, Sentani, Jayapura, mengalami kondisi darurat pada Senin (17/11/2025) sekitar pukul 05.00 WIT. Keluarga membawanya menuju sejumlah rumah sakit, tetapi disebut empat fasilitas kesehatan tidak dapat memberikan layanan, yakni RS Dian Harapan, RSUD Yowari, RSUD Abepura, dan RS Bhayangkara.
Dalam proses bolak-balik mencari pertolongan medis, Irene dan bayinya dinyatakan meninggal dunia sebelum tiba di RSUD Dok II Jayapura.
Kepala Kampung Hobong, Abraham Kabey, menyebut kejadian tersebut sebagai tragedi memilukan. “Kami datang meminta pertolongan medis, tapi tidak mendapatkan pelayanan yang baik,” ujarnya, dikutip dari detikSulsel.
Suami korban, Neil Kabey, juga menyoroti absennya dokter pada saat istrinya membutuhkan penanganan segera. “Kalau saat itu di RSUD Yowari ada dokter, saya yakin istri dan anak saya masih hidup,” katanya.
-

KPK Dalami Peran Sesditjen Kemenkes pada Kasus Korupsi Pembangunan RSUD Kolaka Timur
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memeriksa dua saksi perihal kasus dugaan korupsi proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur.
Dari informasi yang dihimpun, saksi petama adalah Andi Saguni (AS) selaku Sekretaris Ditjen Pelayanan Kesehatan 2024 – 2025. Dia didalami terkait perannya di program Quick Win.
“Penyidik mendalami saksi AS terkait perannya sebagai Sesditjen dalam Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) atau Quick Win Presiden ini,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (22/11/2025).
Kemudian untuk saksi kedua Thian Anggy Soepaat (TAS) selaku Staf Gudang KSO PT PCP, PT RBM dan PT PA. Dia diperiksa perihal penyerahan uang ke salah satu tersangka.
“Sedangkan saksi TAS, didalami pengetahuannya terkait penyerahan uang dari pemberi kepada salah satu tersangka dalam perkara ini,” lanjut Budi.
Keduanya diperiksa di Gedung Merah Putih KPK Jakarta Selatan pada Jumat (21/11/2025).
Sebagai informasi, program Quick Wins di bidang kesehatan dirancang dalam akselerasi implementasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, di mana salah satu poinnya adalah menyelenggarakan pemeriksaan kesehatan gratis, menuntaskan kasus TBC, dan membangun rumah sakit lengkap berkualitas di kabupaten
Adapun dana alokasi Kemenkes 2025 untuk program peningkatan kualitas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dari tipe D menjadi tipe C mencapai Rp4,5 triliun, diantaranya untuk proyek peningkatan kualitas pada 12 RSUD dengan menggunakan dana Kemenkes dan 20 RSUD yang menggunakan dana alokasi khusus (DAK) bidang kesehatan.
Pada Kabupaten Kolaka Timur mendapatkan DAK Rp126,3 miliar. Namun terjadi kasus dugaan suap penerimaan yang melibatkan Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis karena telah mengatur penentuan perusahan yang akan menggarap proyek tersebut, sehingga dirinya menjadi tersangka
KPK pun menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yaitu: Pertama, Bupati Koltim periode 2024–2029 Abdul Azis. Kedua, ALH (Andi Lukman Hakim), PIC Kemenkes untuk pembangunan RSUD. Ketiga, AGD (Ageng Dermanto), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek RSUD Koltim. Keempat, DK (Deddy Karnady), pihak swasta dari PT Pilar Cerdas Putra (PT PCP). Kelima, AR (Arif Rahman), pihak swasta dari KSO PT PCP.
-

Sistem Baru Rujukan BPJS Kesehatan Awal 2026, Ngaruh ke Iuran Naik Nggak?
Jakarta –
Pemerintah tengah menyiapkan perubahan mekanisme rujukan BPJS Kesehatan yang wacananya diterapkan awal 2026. Hal yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah sistem baru tersebut berpengaruh kepada iuran BPJS Kesehatan.
Kepala Pusat Pembiayaan Kesehatan Kemenkes, Ahmad Irsan Moeis, menegaskan reformasi sistem rujukan hanya akan mempengaruhi pola pembayaran BPJS kepada fasilitas kesehatan, bukan iuran peserta.
“Jadi, tarif itu adalah bayaran BPJS ke rumah sakit, bukan iuran yang dibayar masyarakat,” beber Irsan di Kantor Kemenkes, Jakarta, Jumat (21/11/2025).
Menurut Irsan, perubahan sistem rujukan, yang sedang diuji coba sejak Oktober, diproyeksikan akan meningkatkan biaya klaim BPJS Kesehatan kepada rumah sakit. Berdasarkan data 2023 hingga Juni 2024, Kemenkes menghitung kenaikan pengeluaran BPJS berada di kisaran 0,64 persen hingga 1,69 persen.
“Spending diperkirakan naik. Karena itu, untuk memastikan hitung-hitungannya tepat, kami lakukan pilot project terlebih dahulu,” kata Irsan.
Meski begitu, ia memastikan kondisi Dana Jaminan Sosial (DJS) tetap berada dalam batas aman, sehingga tidak ada konsekuensi bagi besaran iuran peserta
“Angka di situ perhitungan kita Dana Jaminan Sosial (DJS)-nya belum terganggu, masih aman dalam batas kesehatan keuangannya.”
Selama ini, sistem rujukan BPJS berjalan secara berjenjang, dari rumah sakit kelas D, naik ke C, kemudian B, hingga A. Mekanisme tersebut sering dikeluhkan pasien karena waktu mendapatkan layanan spesifik menjadi lebih panjang akibat harus berpindah-pindah fasilitas.
Melalui sistem baru, rujukan tidak lagi ditentukan oleh kelas rumah sakit, melainkan kompetensi layanan yang dibutuhkan pasien. Dengan begitu, pasien bisa langsung dirujuk ke fasilitas yang memiliki kemampuan menangani kondisi medisnya, tanpa harus melewati tahapan berjenjang.
Kemenkes menilai pendekatan ini juga mengurangi antrean rujukan tidak perlu dan mempercepat penanganan pasien.
“Rasionalisasi tarif yang kami lakukan juga bertujuan meningkatkan kualitas layanan rumah sakit,” tambah Irsan.
(naf/naf)
-

Kemenkes Kecualikan Rujukan Baru bagi Peserta BPJS dengan Kondisi Ini
Jakarta –
Kementerian Kesehatan menegaskan skema rujukan baru BPJS Kesehatan berbasis kompetensi tidak akan membatasi akses layanan kesehatan masyarakat, terutama pada kondisi gawat darurat. Direktur Pelayanan Klinis Kemenkes RI, Obrin Parulian, memastikan seluruh fasilitas kesehatan tetap wajib menerima pasien tanpa melihat tingkat kompetensi rumah sakit.
“Untuk kondisi gawat darurat, masyarakat tetap bisa mengakses layanan ke fasilitas kesehatan terdekat, apa pun tipenya,” ujar Obrin dalam konferensi pers, Jumat (21/11/2025).
Obrin menjelaskan, aturan rujukan berbasis kompetensi akan berlaku hanya untuk kondisi non-gawat darurat. Pada kasus gawat darurat, pasien tidak boleh dipersulit, apalagi dengan pertanyaan soal kecocokan kompetensi fasilitas kesehatan.
“Tidak mungkin di gawat darurat kita tanya dulu kompetensi siapa yang cocok. Akses harus dibuka seluas-luasnya. Mau klinik, rumah sakit kelas A, B, C, atau D, semua wajib melayani,” tegasnya.
Menurutnya, prinsip utama layanan kegawatdaruratan adalah keselamatan pasien terlebih dahulu. Rumah sakit tetap harus menerima pasien, melakukan penanganan awal, stabilisasi, hingga asesmen kebutuhan medis.
Setelah pasien stabil, barulah dilakukan asesmen apakah rumah sakit tersebut memiliki kompetensi yang sesuai untuk melanjutkan perawatan.
“Jika kompetensinya sesuai, pasien dapat dirawat hingga selesai. Jika tidak sesuai, pasien dirujuk ke rumah sakit dengan kompetensi lebih tinggi,” kata Obrin.
Jika kondisi pasien membutuhkan kompetensi lebih rendah, RS kompetensi tinggi tetap dapat menanganinya, karena fasilitas unggulannya mencakup layanan untuk kondisi di bawahnya.
“Rumah sakit akan melakukan triase, lalu assessment. Bila membutuhkan kompetensi lebih tinggi, pasien dirujuk. Jika kompetensinya cukup, rawatan dilanjutkan,” jelas Obrin.
Obrin mengingatkan prinsip Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tetap berlaku, setiap warga negara memiliki hak memperoleh layanan kesehatan yang aman dan tepat waktu. Karena itu, rujukan berbasis kompetensi tidak boleh dipahami sebagai pembatasan, melainkan sebagai upaya agar pasien mendapat penanganan paling tepat sesuai kemampuan fasilitas kesehatan.
“Pasien tetap berhak mengakses layanan. Rujukan berbasis kompetensi ini justru memastikan terapi yang diberikan sesuai kemampuan klinis fasilitas tersebut,” pungkasnya.
Halaman 2 dari 2
(naf/kna)
/data/photo/2024/09/09/66de99ad1a6cd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/22/6921a24c1d7b3.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


