Kementrian Lembaga: Kemenkes

  • Melawan Disinformasi dan Misinformasi Imunisasi Mulai dari Orang Tersayang

    Melawan Disinformasi dan Misinformasi Imunisasi Mulai dari Orang Tersayang

    Jakarta

    Hidup sebagai orang tua, akan selalu tentang belajar dan tanggung jawab, ini berlangsung seumur hidup. Terkadang, orang tua tidak tahu, apakah keputusan yang mereka ambil demi sang buah hati tepat atau tidak. Tetapi, pada satu momen, mereka yakin bahwa itulah satu keputusan terbaik.

    Inilah yang saat ini dirasakan oleh pasangan muda, Nabila (27) dan Raditya (28). Di usia pernikahan yang baru seumur jagung, yakni kurang dari dua tahun, keduanya sudah dikaruniai satu malaikat kecil bernama Namira, yang kini berusia genap enam bulan.

    Pertama kali menjadi orang tua, keduanya menyadari bahwa hidup mereka kini akan selalu tentang belajar apapun, termasuk soal imunisasi anak. Masa depan Namira soal imunisasi kesehatan ada di ujung lidah mereka. Keputusan apapun yang diambil, itulah yang didapat oleh Namira.

    Nabila merupakan sosok yang menyadari betul betapa pentingnya imunisasi pada anak. Namun, sang suami, memiliki pandangan yang agak berbeda. Raditya, tidak sepenuhnya menganggap bahwa imunisasi ini sepenting itu, sehingga bisa saja dilewati.

    “Aku sebenarnya bukan sepenuhnya tidak setuju (imunisasi). Antara perlu atau tidaknya divaksinasi itu jadi pertanyaan gitu loh, ini perlu nggak sebenarnya? Kayaknya nggak perlu deh sampai vaksinasi, karena virus ini pun bakal hinggap ke anak atau orang, tinggal gimana cara tubuhnya melawan kan?” kata Raditya saat dihubungi detikcom, Jumat (25/4/2025).

    “Imunisasi ini kan kayak dimasukkan bakteri atau virus (yang dilemahkan) kan? Nggak setujunya saya, kenapa kok perlu dipantik dulu gitu loh?” lanjut dia.

    Merasa ragu soal imunisasi

    Tapi, Raditya menyadari bahwa ia merupakan nakhoda di sebuah kapal kecil bernama keluarga. Di satu sisi, sang istri ingin sekali anaknya mendapatkan imunisasi lengkap, namun di sisi lain, dirinya masih bertanya-tanya apakah suntikan demi suntikan itu perlu untuk anaknya?

    Umur Namira saat itu kurang dari satu minggu. Bidan yang membantu proses kelahiran sudah menjelaskan pada Raditya tentang jenis-jenis vaksin untuk imunisasinya, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), hingga keuntungan jika sang anak diimunisasi.

    Nabila juga melakukan hal yang sama. Dirinya tahu betul bagaimana sifat suaminya. Dia tidak ingin memaksa, karena bagaimanapun, selain menjadi ibu yang hebat, Nabila juga ingin menjadi istri yang baik.

    Perlahan dia juga menjelaskan kepada Raditya tentang apa-apa soal imunisasi. Dirinya tahu bahwa suaminya itu hanya butuh informasi yang lebih lengkap.

    “Itu sudah direkomendasikan oleh bidannya Namira. Kalau memang itu rekomendasi, aku juga nggak mungkin mendebat ke bidan. Daripada nanti ribet, aku adu argumen, ya sudah imunisasi saja,” kata Raditya.

    Takut KIPI

    Pasca-imunisasi, ketakutan Raditya saat itu bertambah, yakni terkait dengan KIPI. Sebagai seorang ayah, dirinya tidak ingin sang buah hati mengalami kejadian yang buruk.

    Seperti yang diketahui, KIPI dibagi menjadi dua, yakni ringan dan berat. KIPI ringan biasanya cenderung sembuh sendiri karena meliputi demam, nyeri otot, bengkak di area suntikan, dan sakit kepala. Sedangkan KIPI berat menimbulkan risiko serius pada kesehatan, seperti kejang, syok, hingga penurunan trombosit. Kondisi ini memerlukan penanganan medis segera.

    “Alhamdulillah saat itu Namira nggak kenapa-kenapa. Paling hanya agak hangat saja badannya,” katanya.

    Dari pengalaman tersebut, kini Namira sudah mendapatkan beberapa kali suntikan vaksin, seperti imunisasi BCG 1 dan 2, DPT 1 dan 2 (Difteri, Pertusis, Tetanus), Polio 1 dan 2, PCV 1 (Pneumococcal Conjugate Vaccine), dan Rotavir 1.

    Nabila dan Raditya berkomitmen untuk terus menjaga kesehatan sang anak. Terkait imunisasi lanjutan, keduanya sepakat untuk terus melakukan yang terbaik bagi Namira.

    Di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa di lingkungan mereka masih ada orang tua yang ‘termakan’ oleh disinformasi terkait imunisasi.

    “Saya sih minta ke Kemenkes (Kementerian Kesehatan) ya kayak terus sosialisasi nunjukin bahwa ini loh real data antara anak yang diimunisasi dan yang nggak, imunnya bertambah sampai berapa persen, jadi masyarakat dapat datanya gitu,” kata Raditya.

    “Kami perlu gitu bukti konkret lah bahwa imunisasi ini bener nggak sih imunnya bakal bertambah atau terbentuk gitu. Soalnya ada kasus saudara saya sendiri, dia punya anak, udah imunisasi lewat satu tahun, harusnya kan udah selesai, tapi itu dia tetap kena penyakitnya,” sambungnya.

    Pertarungan melawan narasi disinformasi

    Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan dr Prima Yosephine, menyebut bahwa salah satu tantangan terbesar dalam mengejar cakupan imunisasi bukan lagi soal distribusi vaksin atau akses fasilitas, melainkan pertarungan narasi.

    “Salah satu isu penting yang menjadi penyebab banyaknya anak Indonesia belum mendapatkan imunisasi adalah beredarnya informasi palsu atau tidak benar tentang imunisasi. Informasi yang tidak benar dan menyesatkan ini pada awalnya akan menimbulkan keraguan, ketakutan, dan pada akhirnya akan menimbulkan penolakan terhadap imunisasi,” ujar dr Prima, dikutip detikcom dari YouTube Kemenkes ‘Meningkatkan Minat Masyarakat untuk Melengkapi Imunisasi Anak’ Jumat, (25/4/2025).

    Berdasarkan data WHO tahun 2023, sebanyak 14,5 juta anak di dunia belum mendapatkan imunisasi dasar atau zero dose. Indonesia memang menunjukkan kemajuan signifikan dari 1,1 juta anak belum diimunisasi pada 2021 menjadi 662 ribu anak pada 2023.

    Namun, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah zero dose tertinggi keenam di dunia.

    “Imunisasi masih menjadi salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti sangat efektif dan efisien hingga saat ini. Melalui imunisasi, jutaan anak telah terselamatkan dari bahaya kesakitan, kecacatan, bahkan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,” kata dr Prima.

    “Imunisasi bukan sekadar memberikan perlindungan bagi individu, tapi lebih dari itu, dia menciptakan kekebalan bagi komunitas. Anak yang telah diimunisasi kini menjadi perisai bagi mereka yang tidak dapat diberikan imunisasi karena kondisi kesehatan tertentu,” tutup dr Prima.

    (dpy/kna)

  • Sejumlah Kejanggalan tentang Narasi Matahari Kembar Makin Terungkap, Benarkah Prabowo Disandera Jokowi?

    Sejumlah Kejanggalan tentang Narasi Matahari Kembar Makin Terungkap, Benarkah Prabowo Disandera Jokowi?

    GELORA.CO –  Wacana tentang adanya dua pemimpin di pemerintahan atau narasi Matahari Kembar kembali mencuat pasca sejumlah menteri sowan usai Idul Fitri.

    Pernyataan sejumlah menteri era Kabinet Indonesia Bersatu yang kembali menjabat di Kabinet Merah Putih, ditengarai menjadi pemantik lahirnya narasi Matahari Kembar.

    Sempat diucap oleh SBY saat internal Partai Demokrat tengah menjadi sorotan, istilah Matahari Kembar kemudian dikutip ulang Politisi PKS Mardani Ali Sera.

    Selain Mardani Ali Sera, narasi Matahari Kembar yang merujuk pada Presiden Ketujuh dan Kedelapan Indonesia juga sempat ditanggapi oleh Try Sutrisno.

    Menurut purnawirawan Pangab periode 1988-1993 dan Wapres periode 1993-1998, Matahari Kembar merupakan suatu hal yang tidak dibenarkan di pemerintahan.

    Terkait dengan semakin menebalkan diksi Matahari Kembar dalam ingatan publik, Feri Amsari yang juga merupakan Pakar Hukum Tata Negara memberi tanggapan.

    Feri menyebut istilah tersebut tidak jauh berbeda dengan Satu Kapal Dua Nahkoda yang pernah ditulisnya di Tempo.

    Berlatar tentang persaingan Presiden dengan Wakil Presiden yang saat itu masih menjabat, Matahari Kembar memiliki konstruksi nilai berbeda.

    Narasi Matahari Kembar yang sejak Idul Fitri lalu mulai banyak masuk dalam kesadaran publik, menurut Feri merupakan hal janggal serta bertolak belakang dengan konstitusi.

    Mengacu pada Undang-Undang Dasar Pasal 17, secara eksplisit disebutkan bahwa setiap menteri merupakan pembantu resmi presiden yang sedang menjabat.

    Selain ditetapkan atau diangkat secara langsung oleh Presiden, kewenangan Menteri sebagai Pembantu juga dapat diberhentikan oleh Presiden.

    Sehingga pernyataan sejumlah menteri era kabinet Presiden Jokowi yang kembali menjabat di era Prabowo terkait Bos, merupakan suatu kejanggalan konstitusi.

    Bukan sekadar melanggar perundang-undangan, pernyataan tersebut juga terbilang sebagai suatu hal yang kurang etis dan melanggar kesantunan dalam politik.

    “Masa ada menteri mengaku, bahwa orang yang sudah lengser ini adalah Bos, itu merusak Undang-Undang Kementerian Negara,” jelas Feri.

    Pernyataan terkait sosok Jokowi sebagai Bos, selain disampaikan oleh Budi Gunadi Sadikin selaku Menkes juga disampaikan oleh Menteri Kelautan Sakti Trenggono.

    Penggunaan diksi Bos sebagai analogi yang disampaikan oleh sejumlah Menteri, menurut Feri tidak mencerminkan sikap santun.

    Fakta adanya menteri era kabinet Jokowi dan kembali terlibat dalam pemerintahan Presiden Prabowo dengan komposisi lebih dari 50 persen, juga terbilang janggal.

    Tidak mengherankan jika kemudian banyak kalangan, dengan perspektif awam mempertanyakan soal kepemimpinan Presiden Prabowo.

    “Saya tidak ingin bilang ini benar, jangan-jangan Presiden saat ini sedang disandera?” pungkasnya.***

  • Tren Malaria di RI Meningkat, Wilayah Ini Sumbang Kasus Terbanyak

    Tren Malaria di RI Meningkat, Wilayah Ini Sumbang Kasus Terbanyak

    Jakarta

    Plt Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) Murti Utami menyebut tren kasus malaria hingga tahun 2025 ini terus mengalami peningkatan. Indonesia bagian Timur menjadi penyumbang kasus terbanyak.

    “Selama ini pencatatan dan pelaporan malaria itu secara online, jadi semakin baik, kasus-kasus ini semakin tercatat. Dari seluruh kasus malaria, 95 persen itu merupakan kontribusi dari provinsi-provinsi di wilayah Timur Indonesia,” kata Murti Utami dalam temu media daring Hari Malaria Sedunia, Jumat (25/4/2025).

    “Itu di regional Papua yang paling tinggi, lalu NTT (Nusa Tenggara Timur), salah satunya di Pulau Sumba. Lalu ada di satu Kabupaten di wilayah Kalimantan Timur, Penajam Paser Utara,” lanjutnya.

    Senada, Direktur Penyakit Menular Kemenkes RI Ina Agustina Isturini mengatakan ada sekitar 543 ribu kasus yang telah ditemukan di Indonesia pada tahun 2024.

    Angka ini membuat Indonesia menempati urutan kedua dari delapan negara anggota region Asia Tenggara WHO (SEARO), dengan kasus malaria terbanyak setelah India.

    “Meskipun kita sudah semakin tinggi, tapi masih di bawah perkiraan WHO. Jadi WHO memperkirakan 1,1 juta (kasus malaria) di Indonesia. Kita baru menemukan 54 persen,” kata Ina.

    “Dan yang terbaik kita menemukan ketika tahun 2024, kita sudah melakukan lebih dari empat juta tes, kita menemukan kasus sebanyak 543 ribu. Karena empat juta tes masih kurang, tahun ini (2025) kita menargetkan delapan juta tes malaria,” lanjutnya.

    Saat ini, sekitar 90 persen penduduk Indonesia hidup di daerah bebas malaria. Ada lima provinsi yang sudah mencapai bebas malaria tingkat provinsi, yakni Bali, Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

    Ina menambahkan, Kemenkes memperkirakan pada tahun ini bisa menemukan sekitar 947 ribu. Kemenkes berharap pada tahun 2030, Indonesia bisa bebas dari malaria.

    (dpy/naf)

  • Menkes Restui PPDS Praktik Dokter Umum demi Finansial, Nggak Jadi Digaji?

    Menkes Restui PPDS Praktik Dokter Umum demi Finansial, Nggak Jadi Digaji?

    Jakarta

    Ketentuan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang diperbolehkan mengambil praktik dokter umum untuk menambah finansial menuai pro kontra. Salah satunya muncul pertanyaan apakah Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin tidak jadi menggaji PPDS melalui program hospital based, seperti yang diwacanakan beberapa waktu lalu.

    “Waktu awal-awal jadi Menteri ngomongnya lain, (akan digaji), sekarang begini,” tutur salah satu netizen di media sosial, menyikapi usulan Menkes terbaru.

    “Kenapa akhirnya opsi ini yang dipilih? Sangat sulit ya menggaji PPDS di tengah efisiensi? Apalagi kalau yang masih university based,” beber yang lain.

    Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Aji Muhawarman menekankan ketentuan diperbolehkannya PPDS mengambil praktik dokter umum adalah pilihan alias tidak wajib. Pemerintah menurutnya juga memastikan tidak lantas menghilangkan regulasi gaji PPDS baik melalui hospital based maupun university based.

    “Gaji atau insentif bagi peserta PPDS hospital based sudah dan tetap akan diberikan, walaupun ada kebijakan untuk bisa praktik sebagai dokter umum,” tegas Aji saat dihubungi detikcom Jumat (25/4/2025).

    Skema pemberian gaji disebut juga sudah berjalan pada PPDS university based atau berbasis universitas dalam bentuk jasa medis dengan nilai yang variatif.

    Ketentuan ini berlaku sejak Maret 2025. Aji mengklaim sudah berjalan pada beberapa rumah sakit vertikal.

    “Contohnya di RS Kariadi Semarang.”

    Aji menyebut kebijakan peserta PPDS praktik dokter umum malah bisa memberikan kepastian hukum sehingga mendapatkan hasil penghasilan yang wajar tanpa mengganggu kewajiban akademik juga klinis selama PPDS.

    Terkait keluhan dan kekhawatiran terganggunya PPDS selama praktik dokter umum, Kemenkes disebut tengah mengupayakan perbaikan dan penertiban pada proses yang selama ini berjalan.

    “Kemenkes akan menertibkan dan mengawasi jam kerja dan kuliah peserta PPDS di RS vertikal Kemenkes, karena dapat berdampak pada kualitas pendidikan dan kesehatan mental peserta PPDS,” pungkasnya.

    (naf/naf)

  • Kemenkes Sebut Banyak Kasus Kematian DBD Disebabkan karena Pasien Datang Terlambat ke RS – Halaman all

    Kemenkes Sebut Banyak Kasus Kematian DBD Disebabkan karena Pasien Datang Terlambat ke RS – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA –– Ketua Tim Kerja Arbovirosis, Kementerian Kesehatan RI dr. Fadjar SM Silalahi menyebut, banyak kasus kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia diakibatkan penanganan yang terlambat.

    Pasien datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan parah seperti trombosit yang sudah sangat rendah dimana bisa meningkatkan risiko pendarahan otak.

    “Sebagian besar kematian karena keterlambatan, Artinya kondisi DBD-nya sudah parah. Rata-rata pasien datang ke RS atau fasilitas kesehatan setelah lebih dari 3-4 hari mengalami demam tidak biasa. Kondisi seperti itu sudah sulit tertolong oleh dokter,” kata dia dalam kegiatan media briefing bertajuk Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan, di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Karena itu saat mengalami demam yang tidak biasa, segera datang ke rumah sakit atau faskes untuk memastikan bahwa demam itu bukan karena Dengue.

    Sampai dengan minggu ke-14 2025, atau data per 13 April 2025, pihaknya mencatat sebanyak 38.740 kasus dengue di Indonesia dengan kematian sebanyak 182 kasus.

    “Semua harus waspada jika mengalami demam tidak biasa lebih 1 -2 hari, jangan – jangan itu dengue. Segera periksa ke dokter pastikan bukan karena DBD,” ungkap dia.

    Lebih lanjut dr Fajar menegaskan, sampai saat ini belum ada obat yang spesifik yang bisa mengobati DBD. Dengan demikian Kemenkes terus memperkuat kewaspadaan melalui edukasi dan pencegahan lintas sektor. Mendorong masyarakat untuk disiplin menerapkan 3M Plus dan mempertimbangkan penggunaan pencegahan yang inovatif seperti vaksinasi.

    Ditambahkan Spesialis Penyakit Dalam dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, FRSPH, FINASIM bahwa dengue bukan sekadar demam yang bisa sembuh dengan sendirinya.

    Masyarakat seringkali menganggap dengue sebagai penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya. Padahal, kenyataannya jauh lebih serius.

    “Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat, seperti dengue shock syndrome (DSS), perdarahan hebat, dan penurunan drastis jumlah trombosit, yang bisa berujung pada kondisi gawat darurat—terutama pada anak-anak, lansia, atau individu dengan penyakit penyerta,” ujar dia.

    Masih dalam kegiatan yang sama, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines Andreas Gutknecht, mengungkapkan, hasil studi lintas negara yang dilakukan dengan melibatkan 3.800 responden dari tujuh negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

    Studi ini menunjukkan bahwa tingkat pe

    Kemenkes Sebut Banyak Kasus Kematian DBD Disebabkan karena Pasien Datang Terlambat ke RS

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA — Ketua Tim Kerja Arbovirosis, Kementerian Kesehatan RI dr. Fadjar SM Silalahi menyebut, banyak kasus kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia diakibatkan penanganan yang terlambat.

    Pasien datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan parah seperti trombosit yang sudah sangat rendah dimana bisa meningkatkan risiko pendarahan otak.

    “Sebagian besar kematian karena keterlambatan, Artinya kondisi DBD-nya sudah parah. Rata-rata pasien datang ke RS atau fasilitas kesehatan setelah lebih dari 3-4 hari mengalami demam tidak biasa. Kondisi seperti itu sudah sulit tertolong oleh dokter,” kata dia dalam kegiatan media briefing bertajuk Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan, di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Karena itu saat mengalami demam yang tidak biasa, segera datang ke rumah sakit atau faskes untuk memastikan bahwa demam itu bukan karena Dengue.

    Sampai dengan minggu ke-14 2025, atau data per 13 April 2025, pihaknya mencatat sebanyak 38.740 kasus dengue di Indonesia dengan kematian sebanyak 182 kasus.

    “Semua harus waspada jika mengalami demam tidak biasa lebih 1 -2 hari, jangan – jangan itu dengue. Segera periksa ke dokter pastikan bukan karena DBD,” ungkap dia.

    Lebih lanjut dr Fajar menegaskan, sampai saat ini belum ada obat yang spesifik yang bisa mengobati DBD. Dengan demikian Kemenkes terus memperkuat kewaspadaan melalui edukasi dan pencegahan lintas sektor. Mendorong masyarakat untuk disiplin menerapkan 3M Plus dan mempertimbangkan penggunaan pencegahan yang inovatif seperti vaksinasi.

    Ditambahkan Spesialis Penyakit Dalam dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, FRSPH, FINASIM bahwa dengue bukan sekadar demam yang bisa sembuh dengan sendirinya.

    Masyarakat seringkali menganggap dengue sebagai penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya. Padahal, kenyataannya jauh lebih serius.

    “Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat, seperti dengue shock syndrome (DSS), perdarahan hebat, dan penurunan drastis jumlah trombosit, yang bisa berujung pada kondisi gawat darurat—terutama pada anak-anak, lansia, atau individu dengan penyakit penyerta,” ujar dia.

    Masih dalam kegiatan yang sama, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines Andreas Gutknecht, mengungkapkan, hasil studi lintas negara yang dilakukan dengan melibatkan 3.800 responden dari tujuh negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

    Studi ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat tentang dengue, termasuk vektor, pencegahan, dan vaksinasi, masih rendah—rata-rata hanya 47 persen.

    Hal ini menunjukkan perlunya upaya edukasi yang lebih konsisten dan berkesinambungan dengan memperkuat kampanye CegahDBD tahun ini melalui video edukatif terbaru, situs web interaktif, dan kanal WhatsApp yang bisa menjangkau lebih banyak keluarga di Indonesia—dengan bahasa yang mudah dipahami dan terpercaya.

     

  • Wamenkes Sebut Kasus Demam Berdarah Perlu Perhatian! Sampai April 2025, Ada 182 Kematian – Halaman all

    Wamenkes Sebut Kasus Demam Berdarah Perlu Perhatian! Sampai April 2025, Ada 182 Kematian – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA –– Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, menyebut bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia.

    Tercatat, sampai dengan minggu ke-14 2025, atau data per 13 April 2025, Kemenkes mencatat sebanyak 38.740 kasus dengue di Indonesia dengan kematian sebanyak 182 kasus.

    “Per April 2025, sudah tercatat lebih dari 38.000 kasus dan lebih dari 100 kematian akibat DBD,” tutur dia dalam media briefing di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Ia menyampaikan, sudah lebih dari setengah abad berlalu, DBD masih menyisakan kematian setiap tahunnya.

    Merujuk data Kemenkes tahun 2024, jumlah kasus dan kematian meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2023.

    “Semua menyadari penyakit DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan iklim, kepadatan penduduk, dan mobilitas masyarakat. Artinya, siapa pun bisa berisiko terkena penyakit ini,” ungkap dia.

    Oleh karena itu, pencegahan yang menyeluruh perlu menjadi perhatian bersama. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk mendukung cita-cita besar kita bersama: ‘Nol Kematian Akibat DBD pada Tahun 2030′.

    Ketua Tim Kerja Arbovirosis Kemenkes,
    dr. Fadjar SM Silalahi menegaskan, “dengue adalah penyakit yang bisa mengancam nyawa, dan tidak bisa lagi menunggu sampai puncak kasus (wabah) untuk bertindak.

    Banyak masyarakat yang masih salah menganggap bahwa dengue merupakan penyakit musiman. Padahal, faktanya tidak begitu.

    “Penyakit dengue ada dan dapat menyebar sepanjang tahun, walaupun memang pada bulan-bulan tertentu kasusnya bisa melonjak secara signifikan,” tutur dokter Fajar.

    Dengan demikian, pencegahan harus menyeluruh, dimulai dari mengendalikan vektor nyamuk dengan 3M Plus, edukasi yang berkelanjutan, dan yang tidak kalah penting adalah menambah perlindungan menggunakan metode yang inovatif seperti vaksinasi.

  • Ingat Perundungan Berakhir Kematian PDDS Undip? Kini Tersangka ZYA Dinyatakan Lulus Ujian – Halaman all

    Ingat Perundungan Berakhir Kematian PDDS Undip? Kini Tersangka ZYA Dinyatakan Lulus Ujian – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Masih ingat dengan kasus perundungan dan pemerasan terhadap mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), Aulia Risma Lestari?

    Kasus yang diduga membuat Aulia Risma Lestari kehilangan nyawanya.

    Aulia Risma diduga menyuntikkan obat penenang ke tubuhnya sendiri karena menjadi korban bully.

    Hingga kini ketiga tersangka masih bebas.

    Bahkan satu tersangka, ZYA dinyatakan lulus ujian nasional.

    ZYA, merupakan perempuan yang merupakan senior korban di program anestesi

    Diberitakan ZYA sebagai senior yang paling aktif membuat aturan, melakukan bully-ing, dan memaki korban.

    Dikutip dari TribunJateng.com nama Zara Yupita Azra masuk dalam Daftar Peserta Lulus Ujian Komprehensip Lisan Nasional Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif (KATI).

    Namanya masuk dalam daftar mahasiswa yang lulus pada 12 April 2025 lalu.

    Dalam berkas itu, tersangka ZYA dinyatakan lulus dengan nomor 64.

    PERUNDUNGAN PDDS – Dokter residen Zara Yupita Azra, satu dari tiga tersangka kasus pemerasan program PPDS Anestesi Undip Semarang, dinyatakan lulus dalam ujian komprehensif lisan nasional yang diselenggarakan oleh Kolegium Anestesiologi dan Terapi Intensif (KATI). Pengumuman kelulusan tersangka ZYA ini diumumkan di akun Instagram resmi KATI melalui akun @ kolegium.anestesiologi pada 13 April 2025. (Tangkap layar akun @ kolegium.anestesiologi)

    Padahal ZYA sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan  dr Aulia Risma Lestari oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Tengah, sejak 24 Desember 2024.

    Belakangan, hasil ujian tersebut akhirnya dibatalkan oleh KATI.

    Tribun Jateng telah menerima surat resmi pembatalan kelulusan yang ditandatangani oleh Ketua KATI, dr Reza Widianto Sudjud di Bandung, pada 18 April 2025.

    Kuasa Hukum, almarhum Aulia Risma Lestari, Misyal Achmad mengaku telah megajukan keberatan atas kelulusan tersangka.

    “Kami melayangkan protes ke Kemenkes untuk menunda kelulusan tersangka (ZYA) pada ujian tersebut sampai ada proses inkrah dari pengadilan,” jelas Misyal.

    Kelulusan tersebut tentu menyayat hati keluarga yang tengah berduka.

    Kekesalah keluarga menumpuk setelah para tersangka masih bebas dan kini justru leluasa melanjutkan pendidikan.

    “Keluarga sudah kehilangan anaknya (tersangka malah bisa bebas lulus ujian) hal itu sangat menyakitkan keluarga korban,” sambung Misyal.

    Selain ZYA, kuasa hukum keluarga almarhum meminta semua tersangka lainnya dibekukan terlebih dahulu hak-haknya sampai ada kepastian hukum.

    “Kami juga sudah protes ke Polda Jateng untuk segera menahan ketiga tersangka ini. Janji mereka bakal menahan mereka ketika berkas kasus ini sudah dinyatakan P21 (lengkap) oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jateng,” bebernya.

    Misyal memahami keputusan dari Polda Jateng yang bakal menahan para tersangka selepas berkas dinyatakan lengkap karena masa penahanan tersangka ada jangka waktunya.

    Polisi beralasan ketika menahan para tersangka saat ini tapi berkas tak kunjung dilimpahkan ke Kejaksaan sampai jangka waktu penahanan habis maka mereka bisa bebas.

    “Polisi mengkhawatirkan itu, maka Pak Kapolda Jateng (Irjen Ribut Hari Wibowo) menyatakan penahanan akan dilakukan ketika jaksa menyatakan P21,” paparnya.

    Misyal mengungkapkan kasus ini cukup berjalan alot karena kepolisian harus membuktikan proses pemerasan dilanjutkan langkah audit keuangan.

    Bahkan,  ada dugaan intimidasi yang diterima oleh para saksi sehingga keterangannya berubah-ubah.

    Kendati begitu, Misyal mendesak terhadap Kejati agar berkas kasus ini segera dinyatakan lengkap karena bekas sampai empat kali mondar-mandir dari meja polisi ke meja kejaksaan. 

    Informasi terakhir, berkas sudah dikirim oleh penyidik Ditreskrimum Polda Jateng ke Kejati pada pekan kemarin.

    “Apakah Kejati ada tekanan-tekanan dari pihak tertentu sehingga berkas kasus ini tak kunjung dinaikin statusnya ke P21, menunggu apa lagi?,” katanya mempertanyakan.

    Terpisah, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jateng Kombes Pol Artanto mengatakan,  berkas perkara kasus pemerasan Aulia Risma masih dalam penelitian Jaksa Penuntut Umum (JPU).

    Pihak penyidik beberapa waktu yang lalu telah melengkapi petunjuk JPU dalam melengkapi berkas perkara tersebut.

    “Proses penyidikan masih on the track sesuai prosedur pemberkasan perkara,” katanya kepada Tribun.

    *Perputaran Uang Sebesar Rp2 Miliar*

    Kasus pemerasan dan dugaan bullying atau perundungan terhadap dr Aulia Risma Lestari mahasiswi PPDS Anestesi Undip menemui titik terang selepas penetapan tersangka pada Selasa (24/12/2024) sore.

    Tiga tersangka kasus pemerasan mahasiswi PPDS Undip Aulia Risma meliputi TEN (pria) Ketua Program Studi (Prodi) Anestesiologi Fakultas Kedokteran UNDIP,  SM  (perempuan)  staf administrasi di prodi Anestesiologi dan ZYA (perempuan) senior korban di program anestesi.

    Polisi mengendus ada perputaran uang senilai Rp2 miliar setiap semester dalam kasus ini. Namun, polisi hanya bisa mengantongi bukti uang tunai sebesar Rp97, 7 juta.

    Meskipun tidak ditahan, ketiga tersangka dicekal pergi ke luar negeri.

    Ketiga tersangka memiliki peran yang berbeda-beda.

    Dimulai dari TEN yang memanfaatkan senioritasnya untuk meminta uang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) yang tidak diatur akademik kepada korban.

    Sementara SM juga ikut dalam meminta uang BOP dengan memintanya langsung ke bendahara PPDS.

    Lalu tersangka terakhir, ZYA sebagai senior korban yang paling aktif membuat aturan, melakukan bullying, dan memaki korban.

    Ketiga tersangka dijerat tiga pasal berlapis meliputi kasus pemerasan pasal 368 ayat 1 KUHP, penipuan pasal 378 KUHP, pasal 335 soal pengancaman atau teror terhadap orang lain.Untuk ancaman hukumannya maksimal 9 tahun. (*)

    Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJateng.com dengan judul Dokter Zara Yupita Azra Tersangka Pemerasan dan Bully Aulia Malah Dinyatakan Lulus Ujian Nasional

    (Tribunnews.com/ Siti N) (TribunJateng.com/ Iwan Arifianto)

  • Kasus DBD Meningkat, Kemenkes Gencarkan Kampanye Pencegahan Dengue

    Kasus DBD Meningkat, Kemenkes Gencarkan Kampanye Pencegahan Dengue

    JAKARTA – Peningkatan kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia menjadi perhatian serius di awal tahun 2025. Hingga saat ini, tercatat lebih dari 38 ribu kasus dengan 182 kematian, menandakan bahwa penyakit ini masih menjadi ancaman nyata bagi kesehatan masyarakat.

    Meskipun sudah dikenal sejak lama, virus dengue terus menunjukkan penyebaran yang signifikan, terutama di wilayah tropis seperti Indonesia. Balita dan anak-anak menjadi kelompok paling rentan terhadap komplikasi yang ditimbulkan penyakit ini.

    Sebagai respons terhadap situasi tersebut, Kementerian Kesehatan meluncurkan kampanye masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pencegahan DBD. Kampanye ini memanfaatkan berbagai platform seperti video edukasi, situs web interaktif, hingga pesan-pesan yang dikirimkan melalui WhatsApp. Tujuannya adalah untuk menyebarluaskan informasi yang mudah diakses dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

    “Kampanye ini menjadi awal dari gerakan nasional untuk menekan angka kejadian dan kematian akibat dengue. Harapannya, pada tahun 2030, Indonesia bisa mencapai target nol kematian karena DBD,” ujar Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, dalam pernyataannya di Jakarta.

    Dante juga menjelaskan virus dengue pertama kali muncul pada abad ke-18 dan mulai menyebar secara luas di Asia Tenggara pada tahun 1950-an, dengan Filipina menjadi negara paling terdampak saat itu. Di Indonesia, kasus pertama dilaporkan pada 1968, dimulai dari Jakarta dan Surabaya, dan sejak itu menyebar ke berbagai daerah.

    Lebih dari lima dekade berlalu, DBD masih menjadi tantangan besar di bidang kesehatan masyarakat. Penyakit ini tidak hanya berdampak pada kondisi fisik penderitanya, tetapi juga menimbulkan beban ekonomi dan psikologis bagi keluarga serta sistem kesehatan secara keseluruhan.

    Menurut Dante, mengatasi dengue bukan hanya tugas sektor kesehatan semata. “Penanganan dengue tidak bisa hanya bergantung pada penanganan medis. Pencegahan tetap menjadi strategi paling efektif,” ujarnya.

    Pemerintah terus mengampanyekan penerapan 3M Plus: menguras tempat penampungan air, menutup wadah air, dan mendaur ulang barang bekas yang bisa menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk. Tambahan dari 3M adalah langkah-langkah pencegahan lain, seperti penggunaan kelambu, obat anti-nyamuk, dan menjaga kebersihan lingkungan.

    Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, pemerintah juga mulai menjajaki penggunaan vaksin dengue. Meski saat ini vaksin tersebut masih dalam tahap uji coba di beberapa lokasi, hasil awal menunjukkan potensi besar untuk mengurangi keparahan gejala dan risiko komplikasi pada penderita.

    “Kami berharap vaksin ini ke depannya dapat digunakan lebih luas untuk membantu menekan angka kesakitan dan kematian akibat DBD,” tambah Dante.

    Melalui sinergi antara edukasi, pencegahan lingkungan, dan inovasi medis, Indonesia berupaya keras mengendalikan penyakit yang telah lama menjadi momok di wilayah tropis ini.

    Langkah kolektif dari seluruh elemen masyarakat menjadi kunci untuk mewujudkan target ambisius: Indonesia bebas kematian akibat DBD pada tahun 2030.

  • 5 Fakta Konsulen ‘Killer’ Tendang Alat Vital Dokter PPDS Unsri Palembang, Banyak yang Takut Bertemu – Halaman all

    5 Fakta Konsulen ‘Killer’ Tendang Alat Vital Dokter PPDS Unsri Palembang, Banyak yang Takut Bertemu – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Terungkap sejumlah fakta dalam kasus kekerasan fisik yang menimpa dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Sriwijaya (Unsri) berinisial S di Rumah Sakit Umum Pusat Muhammad Hoesin (RSMH), Palembang, Sumatera Selatan.

    Pelaku kekerasan fisik tersebut adalah dokter konsulen KSM Anestesiologi dan terapi intensif berinisial YS.

    Dokter YS adalah pembimbing dari S.

    YS diketahui sudah bertugas di RSMH sejak tahun 2001. 

    Peristiwa kekerasan yang dialami dokter PPDS Unsri tersebut diketahui terjadi di ruang ICU RSMH pada Minggu (20/4/2025).

    Buntut kasus kekerasan fisik tersebut kini dokter YS dinonaktifkan dari tugasnya dan pihak rumah sakit pun mengembalikan yang bersangkutan ke Kementerian Kesehatan.

    Berikut 5 fakta kasus kekerasan yang menimpa dokter PPDS Unsri berdasarkan hasil investigasi pihak RSMH, Palembang.

    1. Alat Vital Dokter PPDS Alami Hematom

    Dirut Rumah Sakit Umum Pusat Muhammad Hoesin, dr Siti Khalimah mengatakan dokter YS diketahui menendang selangkangan korban.

    “Insiden kekerasan fisik di ruang ICU ini dilakukan Konsulen berinisial dr YS diduga melakukan kekerasan terhadap seorang peserta PPDS dengan menendang ke arah selangkangan,” ujar Siti Khalimah, Rabu (23/4/2025).

    Akibat kekerasan tersebut area vital korban mengalami hematom (penumpukan darah) hingga memar. 

    “Korban mengalami hematom pada testis kiri, yang dikonfirmasi melalui pemeriksaan ultrasonografi (USG). Kejadian ini terekam dalam rekaman CCTV dan menjadi bukti penting dalam proses investigasi,” katanya.

    Korban saat ini dalam kondisi stabil dan telah kembali mengikuti kegiatan kuliah dan praktik sejak Senin, 21 April 2025.

    2. Alasan YS Aniaya Dokter PPDS

    Direktur Utama RSMH, dr Siti Khalimah mengatakan berdasarkan hasil investigasi internal, penganiayaan terjadi karena dokter YS tak puas dengan kinerja dokter PPDS.

    “Dari hasil investigasi yang kami dapat tindakan kekerasan itu dilakukan karena tidak puas dengan kinerja PPDS-nya,” ujar Siti Khalimah.

    Setelah mengumpulkan bukti yang cukup dan memanggil saksi-saksi, pihaknya memanggil YS dan membuat beberapa keputusan salah satunya menonaktifkan YS sebagai dokter konsulen RSMH.

    “Sekarang dia kami serahkan ke Kementerian Kesehatan, karena dia ASN Kemenkes,” katanya.

    3. Dokter YS sosok Emosional

    Direktur Utama RSMH, dr Siti Khalimah mengakui kalau YS adalah seorang yang emosional dan tidak sabaran.

    Sehingga, kalau ada PPDS yang menjalankan tugas tidak sesuai kriterianya ia tak segan-segan melakukan tindakan bullying ataupun kekerasan.

    Baik kekerasan secara verbal maupun kekerasan fisik.

    “Sehingga banyak PPDS maupun perawat yang takut bertemu dengan yang bersangkutan ini. Tetapi terlepas dari orangnya yang emosional, YS ini kinerjanya sangat baik dan perfeksionis dalam menjalankan pekerjaan,” katanya.

    4. Dokter YS Pernah 2 Kali Diberi Sanksi

    Direktur Utama RSMH dr Siti Khalimah pun mengungkap sejumlah catatan hasil investigasi yang dilakukan pihaknya.

    Tercatat Dokter YS pernah melakukan kekerasan pada tahun 2019 dan tahun 2023.

    “Saya jelaskan ada beberapa kejadian pernah dilakukan dr Ys, di tahun 2019 oknum konsulen ini melakukan pelanggaran kode etik akademik kepada PPDS. Adapun sanksi yang diberikan kala itu yakni beliau dilarang mengajar selama 2 tahun,” ujar dr Siti Khalimah.

    Kemudian setelah kembali aktif mengajar, di tahun 2023 dr Ys juga pernah menerima sanksi disiplin dari RSMH.

    Dari hasil penelusuran oknum konsulen tersebut melakukan perundungan secara fisik dan verbal.

    “Tahun 2023 kami sendiri pernah berikan sanksi disiplin kepada yang bersangkutan. Hasil penelusuran konsulen tersebut melakukan 3 jenis perundungan yakni secara verbal dengan berkata kasar, fisik, melempar, dan tempeleng sampai PPDS tidak mau bertemu,” katanya.

    Siti Khalimah juga menegaskan kalau tindakan perundungan tersebut bukan mencerminkan pengajaran di RSMH.

    “Tindakan perundungan yang terjadi bersifat personal, bukan merupakan cerminan budaya pengajaran di Program PPDS Anestesi FK UNSRI RSMH Palembang,” katanya.

    5. Tujuh Korban Dokter YS Buka Suara

    Kepala Satuan Pengawas Internal RSMH Palembang, Wijaya mengungkapkan, perundungan ataupun kekerasan yang dilakukan dokter YS meliputi tiga macam yakni verbal, nonverbal, dan fisik.

    Tim investigasi yang dibentuk mendapat keterangan dari 6 hingga 7 PPDS dan perawat yang pernah menerima perundungan.

    “Dokter YS ini sering marah-marah. Tapi dengan kejadian ini akhirnya ada yang buka suara 6-7 orang,” kata Wijaya, Rabu (23/4/2025).

    Peserta PPDS dan perawat yang mendapatkan perundungan ini banyak yang tidak mau buka suara sehingga sedikit kesulitan untuk menggali informasi. 

    “Selama ini belum pernah ada yang melapor. Kebanyakan peserta PPDS dan perawat yang menerima tindak kekerasan dan perundungan ini tidak mau buka suara,” katanya.

    Wijaya menyebut kenapa para korban tidak mau buka suara karena sehari-hari peserta PPDS dan perawat bekerja dengan beliau. 

    “Jika dr YS dilaporkan dia akan marah dengan korban, jadi para korban ini takut,” ucapnya. 

    (Tribunsumsel.com/ Rachmad Kurniawan)

  • Cak Imin Minta Kemenkes Usut Penyebab KLB Cianjur Diduga Keracunan MBG
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 April 2025

    Cak Imin Minta Kemenkes Usut Penyebab KLB Cianjur Diduga Keracunan MBG Nasional 23 April 2025

    Cak Imin Minta Kemenkes Usut Penyebab KLB Cianjur Diduga Keracunan MBG
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat
    Muhaimin Iskandar
    alias Cak Imin meminta Kementerian Kesehatan (
    Kemenkes
    ) turut menyelidiki penyebab keracunan puluhan siswa di
    Cianjur
    , Jawa Barat, usai menyantap makanan dari program
    Makan Bergizi Gratis
    (
    MBG
    ).
    “Itu yang harus dicek sumber utamanya ya. Tolong kepada Kementerian Kesehatan mengecek sumber utama keracunan itu,” ujar Muhaimin saat ditemui di Gedung DPR RI, Rabu (23/4/2025).
    Pria yang akrab disapa Cak Imin itu menegaskan bahwa pengecekan sumber keracunan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh.
    Selain itu, Cak Imin juga meminta pihak Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) untuk segera memeriksakan dan menguji sampel makanan yang diberikan kepada para siswa.
    “Apakah dari dapurnya, apakah dari proses angkutannya, apakah dari tempat lain-lain. Nanti kita tunggu aja investigasinya. Laboratorium Kesehatan Daerah harus cepat ya mengambil langkah-langkah supaya kita tenang,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, sebanyak 78 siswa mengalami keracunan setelah menyantap hidangan MBG di Cianjur.

    Dari jumlah itu, 55 siswa berasal dari MAN 1 Cianjur, sedangkan 23 lainnya dari SMP PGRI 1 Cianjur.
    “Sebagian besar siswa yang mengalami gejala sempat menjalani perawatan di rumah sakit dan sudah pulang. Namun, masih ada beberapa siswa yang masih dirawat,” ujar Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas MAN 1 Cianjur, Rahman Jaenudi, Selasa (22/4) kemarin.
    Pihak sekolah juga mendata siswa yang dirawat di puskesmas dan terus berkoordinasi dengan orang tua. Kini otoritas setempat menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB).
    Kejadian ini bukan yang pertama kali. Insiden serupa tercatat setidaknya telah terjadi tiga masalah serupa di wilayah yang berbeda.
    Di Sukoharjo, Jawa Tengah, puluhan siswa SDN Dukuh 03 pernah keracunan setelah mengonsumsi ayam krispi dari MBG.
    Kasus keracunan dari MBG juga terjadi di Nunukan Selatan, Kalimantan Utara.
    Kasus ini dialami oleh siswa-siswi di SDN 03 Nunukan dan SMAN 2 Nunukan Selatan.
    Selain itu, kasus ini juga pernah terjadi di Batang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.
    Sebanyak 60 siswa TK hingga SMP dilarikan ke puskesmas setelah menyantap menu MBG yang diduga basi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.