Kementrian Lembaga: Kemenkes

  • IKN Jadi “Sarang” Malaria

    IKN Jadi “Sarang” Malaria

    GELORA.CO – Masalah malaria di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berlokasi di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi sorotan. Untuk membebaskan IKN dari malaria, Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) berupaya membangun sistem kesehatan lingkungan yang kuat dan berkelanjutan.

    “Sejak tahap awal pembangunan IKN sudah dilakukan,” kata Direktur Pelayanan Dasar Otorita IKN, Suwito, mengenai pengendalian penyakit IKN di Sepaku, Penajam Paser Utara, Sabtu (20/12/2025).

    Menurut Suwito, membangun sistem kesehatan lingkungan salah satunya sebagai upaya pengendalian malaria yang menjadi bagian integral dalam mewujudkan IKN sebagai ibu kota masa depan yang sehat, aman, dan berdaya saing global.

    IKN sebagai calon ibu kota Indonesia, memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua, yang terbuka bagi masyarakat nasional maupun internasional, sehingga perlu upaya bersama untuk mewujudkan kota yang ekologis dan humanis.

    “Bebas dari malaria, termasuk dalam menghadapi potensi migrasi penduduk ke depan,” ujar Suwito.

    Otorita IKN harus memiliki kesiapan dalam menghadapi potensi migrasi penduduk, termasuk dari aspek kesehatan lingkungan seiring perkembangan IKN ke depan.

    Kesiapan pembangunan IKN sebagai kawasan bebas malaria sejalan dengan target tahap dua pembangunan kawasan IKN, kata dia, khususnya mengantisipasi peningkatan aktivitas dan mobilitas penduduk.

    “Pasti lebih banyak pekerja yang datang, apalagi saat ini ada pembangunan legislatif dan yudikatif, dipastikan tidak ada penularan malaria sampai nanti IKN menjadi ibu kota,” tutur Suwito.

    Langkah yang dilakukan Otorita IKN melalui kolaborasi dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Dinas Kesehatan, serta diperkuat dukungan kebijakan dan strategi yang disusun Universitas Diponegoro.

    “Upaya kolaborasi itu untuk menghasilkan kajian malaria yang menjadi dasar analisis lanjutan dalam perumusan kebijakan strategis,” kata Suwito.

    Dia menambahkan, kebijakan dan strategi pengendalian malaria selaras dengan misi IKN sebagai kawasan bebas malaria yang dapat memperkuat pengendalian malaria di IKN.

  • Cerita Wanita Surabaya Idap Diabetes di Usia 29, Inikah Pemicunya?

    Cerita Wanita Surabaya Idap Diabetes di Usia 29, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Bagi Lilla Syifa (29), perempuan asal Surabaya yang kini berdomisili di Jakarta, tahun 2025 akan menjadi tahun yang mungkin tak akan ia lupakan. Ini karena dirinya didiagnosis mengidap diabetes 1,5 atau LADA (Latent Autoimmune Diabetes in Adults) pada Juli lalu.

    Menurut perempuan yang akrab dipanggil Cipa ini, ada beberapa faktor yang menurutnya menjadi pemicu munculnya penyakit diabetes pada dirinya, seperti kebiasaan mengonsumsi dessert manis, pola tidur yang buruk, manajemen stres yang kurang baik, dan kurangnya aktivitas fisik.

    Pada saat pemeriksaan ke dokter, gula darah yang ditunjukkan adalah 356 mg/dl yang artinya ini sangat tidak normal dan merupakan kondisi hiperglikemia parah, yang mengindikasikan kemungkinan besar diabetes.

    Sementara, pemeriksaan HbA1c milik Cipa adalah 11,5 persen. Dikutip dari laman Kemenkes, jumlah HbA1c normal adalah di bawah 5,7 persen.

    FOMO Cake Manis Viral

    Cipa ini bercerita bahwa diabetes yang diidapnya salah satu faktornya berawal dari dirinya yang suka sekali makan jajanan manis viral. Menurutnya, ini adalah bentuk ‘pelarian’ dari stres akibat pekerjaan.

    “Aku nggak punya sama sekali keturunan diabetes dari keluarga. Jadi murni dari lifestyle, pola makan, pola tidur, terus juga pola mengelola stres gitu,” kata Cipa kepada detikcom, Jumat (19/12/2025).

    “Aku tuh sering banget makan dessert. Jadi aku nyarinya yang manis, yang makanan-makanan viral, yang rame-rame gitu. Entah itu brownies, donat, matcha gitu-gitu,” sambungnya.

    Setelah makan besar, seperti makan siang dan makan malam, Cipa sering sekali menutupnya dengan makanan penutup yang manis-manis.

    “Aku tuh bisa dibilang 3 kali sehari bisa kali ya. Kayak sering banget, hampir setiap hari. Dan puncaknya itu di setahunan kemarin, 2024 sampai 2025 ini,” sambungnya.

    Pola Tidur yang Buruk

    Sebelum menjadi seorang full time content creator, Cipa bekerja sebagai seorang karyawan swasta di Jakarta. Tuntutan pekerjaan membuatnya kesuliatan mendapatkan durasi tidur yang ideal.

    “Karena aku kerja, sering banget lembur kayak baru pulang itu jam 11 malam dan pasti pulang kerja nggak mungkin langsung tidur kan ya,” katanya.

    “Nah itu terjadi setiap hari. Hampir setiap hari aku tidurnya. di atas jam 2 atau 3 pagi. Dan aku jam 8 pagi udah kerja lagi,” katanya.

    Kurang Aktivitas Fisik

    Cipa mengakui bahwa sebelumnya dirinya termasuk orang yang jarang sekali berolahraga. Kalaupun ada olahraga, ia hanya melakukan sesi kardio ringan, seperti lari dan tenis.

    “Dan itu pun cuman seminggu sekali. Jadi gula yang aku makan tidak punya tempat ‘persembunyian’ yaitu otot. Aku nggak punya massa otot kan, karena nggak pernah angkat beban,” katanya.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/up)

  • Akses Kesehatan Terputus, Pasien Stroke-Hipertensi di Aceh Rawan Putus Obat

    Akses Kesehatan Terputus, Pasien Stroke-Hipertensi di Aceh Rawan Putus Obat

    Jakarta

    Pasien dengan penyakit kronis seperti stroke, hipertensi, diabetes, hingga penyakit jantung di Aceh berisiko mengalami putus obat selama berada di pengungsian akibat terputusnya akses layanan kesehatan pascabencana. Kondisi ini dinilai sangat berbahaya dan berpotensi memperburuk kondisi pasien.

    Salah seorang dokter neurologi yang tergabung dalam tim Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dr Desin Pambudi Sejahtera, SpN(K) dari RS Dr Sardjito mengatakan, saat bencana terjadi, layanan kesehatan kerap tidak dapat diakses secara optimal. Akibatnya, pasien yang membutuhkan pengobatan rutin tidak mendapatkan obat sesuai jadwal.

    “Ketika ada bencana, akses kesehatan terputus sehingga pasien-pasien dengan pengobatan rutin rawan putus obat. Contohnya pasien dengan stroke, risiko hipertensi, risiko gula, atau penyakit jantung. Maka mereka akan terputus obat rutinnya, dan itu sangat berbahaya sekali,” ujar dr Desin saat pelepasan relawan, di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Sabtu (20/12/2025).

    Ia menyampaikan, Kemenkes bergerak cepat dengan mengerahkan tenaga kesehatan ke wilayah terdampak dan daerah-daerah terisolir untuk memastikan pelayanan medis tetap berjalan, terutama bagi pasien penyakit kronis.

    “Alhamdulillah kami sangat bersyukur Kemenkes bergerak cepat mengajak kami bergabung dalam kegiatan ini untuk menuju daerah-daerah terisolir. Semoga bisa membantu saudara-saudara kita di Sumatera, khususnya Aceh,” lanjutnya.

    Upaya Tim Medis di Pengungsian

    Selain fokus pada penanganan fisik, tim relawan juga akan memberikan perhatian pada kondisi kesehatan mental penyintas bencana. Tenaga kesehatan akan melakukan edukasi serta pendataan kondisi psikologis korban di pengungsian.

    “Persiapannya, kami akan mengedukasi dan mencatat apa yang kami temukan di sana. Apakah ada kecemasan, depresi, atau bahkan halusinasi. Jika ditemukan, kami akan berkoordinasi dengan dokter spesialis untuk penanganan dan pengobatannya,” sambungnya.

    Beberapa perawat yang tergabung dalam tim akan melakukan trauma healing sebagai bagian dari penanganan awal bagi korban bencana. Upaya ini diharapkan dapat membantu pemulihan kondisi mental sekaligus mencegah dampak kesehatan jangka panjang di pengungsi.

    Halaman 2 dari 2

    (rfd/up)

  • Kemenkes Berangkatkan 126 Relawan Kesehatan ke Aceh, Ini Rinciannya

    Kemenkes Berangkatkan 126 Relawan Kesehatan ke Aceh, Ini Rinciannya

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) kembali memberangkatkan relawan tenaga kesehatan untuk membantu penanganan korban bencana di Aceh pada Sabtu (20/12/2025). Pada tahap terbaru, sebanyak 126 relawan tenaga medis dan kesehatan dikirim ke sejumlah wilayah terdampak dengan kondisi medan berat.

    Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes RI, dr Yuli Farianti, M Epid menjelaskan, pengiriman relawan kesehatan sebenarnya sudah dilakukan sejak hari ketiga pascabencana. Namun, sebelumnya belum terkoordinasi secara terpusat seperti saat ini.

    “Ini adalah tenaga medis dan tenaga kesehatan yang dengan tulus hati dan ikhlas ingin mengabdikan diri untuk melayani masyarakat, khususnya saat ini di Aceh,” ujar perwakilan Kemenkes saat pelepasan relawan, Yuli saat pelepasan relawan, di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Sabtu (20/12/2025).

    Pengiriman relawan kesehatan sebenarnya sudah dilakukan sejak hari ketiga pasca bencana. Sebelumnya, Kemenkes telah memberangkatkan 70 tenaga kesehatan yang kini sudah berada di Aceh dan Medan. Namun, sebelumnya belum terkoordinasi secara terpusat seperti saat ini.

    “Bukan hari ini saja kita mengirim. Sejak hari ketiga bencana, kita sudah mengirim banyak tenaga, hanya saja belum terkoordinir. Sekarang kita satukan agar lebih efektif,” katanya.

    Rincian Profesi Relawan yang Diberangkatkan

    Sebanyak 126 relawan yang diberangkatkan terdiri dari berbagai profesi tenaga kesehatan, mulai dari dokter hingga tenaga pendukung layanan medis.

    Adapun profesi yang tergabung dalam tim relawan ini meliputi:

    Dokter spesialis mataDokter spesialis sarafDokter spesialis bedah sarafDokter spesialis anakDokter umumPerawatBidanPsikolog klinis dan psikiater, khususnya untuk layanan trauma healingTenaga laboratoriumRadiograferTenaga kesehatan lingkunganTenaga giziEpidemiolog dan tenaga kesehatan lainnya.

    Para relawan berasal dari gabungan rumah sakit pusat, rumah sakit daerah, dan rumah sakit swasta. Beberapa di antaranya berasal dari RS Cicendo, RSUP Sardjito, RS Persahabatan, RS Marzoeki Mahdi, rumah sakit daerah, serta rumah sakit swasta seperti Siloam dan Hermina.

    Distribusi Relawan ke Daerah Terdampak

    Sebanyak 126 relawan ini akan ditempatkan di sejumlah wilayah terdampak berat dan daerah terisolir di Aceh. Beberapa lokasi penugasan bahkan hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki.

    “Ada daerah yang untuk masuk kesana harus jalan kaki sekitar 15 menit. Ini memang daerah-daerah berat,” ujarnya.

    Daerah tujuan distribusi relawan meliputi:

    Bener MeriahTakengonAceh TengahAceh UtaraAceh TimurGayo LuesAceh TamiangKota LangsaBireuenSejumlah wilayah pengungsian dan daerah terisolir lainnya

    Relawan akan ditempatkan di berbagai fasilitas layanan kesehatan, mulai dari rumah sakit, puskesmas, hingga posko pengungsian. Khusus layanan trauma healing, psikolog klinis dan psikiater akan lebih banyak bertugas di titik-titik pengungsian.

    Target Total 600 Relawan hingga 22 Desember

    Selain 126 relawan yang diberangkatkan hari ini, Kemenkes juga menyiapkan pengiriman relawan lanjutan. Pada hari berikutnya akan diberangkatkan sekitar 207 relawan, disusul 87 relawan pada tahap selanjutnya.

    “Total sampai 22 Desember nanti sekitar 600 tenaga medis dan tenaga kesehatan akan kita berangkatkan,” sambungnya.

    Distribusi relawan dilakukan secara merata sesuai kebutuhan di setiap daerah terdampak. Kemenkes memastikan tenaga medis dan obat-obatan telah disalurkan, sementara penguatan sumber daya manusia kesehatan terus dilakukan untuk mendukung layanan bagi warga terdampak bencana.

    Halaman 2 dari 3

    (rfd/up)

  • Kemenkes Kirim 126 Relawan Dokter-Psikolog, Atasi Lonjakan Penyakit dan Trauma Pascabencana di Aceh

    Kemenkes Kirim 126 Relawan Dokter-Psikolog, Atasi Lonjakan Penyakit dan Trauma Pascabencana di Aceh

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI memberangkatkan 100 relawan tenaga medis pada Sabtu (20/12/2025) ke wilayah paling terdampak di Aceh. Total ada 600 relawan tenaga medis yang dialokasikan untuk menangani lonjakan penyakit serta trauma psikologis pascabencana di wilayah Sumatera. Relawan terdiri dari dokter, perawat, psikolog, hingga tenaga kesehatan pendukung itu akan difokuskan ke daerah-daerah terdampak paling berat di Aceh.

    Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Kesehatan Kemenkes RI, dr Yuli Farianti, M Epid, mengatakan pelepasan relawan dilakukan sebagai bentuk pengabdian tenaga medis yang tergerak secara sukarela untuk membantu masyarakat terdampak bencana.

    “Bismillahirrahmanirrahim, hari ini saya melepas para relawan. Sebenarnya ini adalah tenaga medis yang terketuk hatinya, ikhlas ingin mengabdikan diri. Sudah saatnya kita melayani masyarakat, khususnya saudara-saudara kita yang terdampak bencana di Aceh,” beber Yuli saat pelepasan relawan, di Bandara Soekarno Hatta, Sabtu (20/12/2025).

    Menurut Yuli, pengiriman tenaga kesehatan sejatinya sudah dilakukan sejak tiga hari pertama bencana terjadi. Namun kali ini dilakukan lebih terkoordinasi agar penanganan jauh lebih efektif.

    “Bukan hanya hari ini. Sejak tiga hari setelah bencana, kita sudah mengirim banyak tenaga medis, tapi belum terkoordinir seperti sekarang. Ini semangat kita, semangat Pancasila, mengabdikan diri untuk saudara-saudara kita,” katanya.

    Pada tahap awal, Kemenkes telah mengerahkan sekitar 70 tenaga medis yang sudah berada di Aceh dan Medan. Selanjutnya, hari ini Sabtu (20/12) sebanyak 126 relawan diberangkatkan ke wilayah dengan tingkat kerusakan berat seperti Bener Meriah, Takengon, Aceh Utara, dan Gayo Lues.

    “Beberapa daerah ini medannya sangat berat. Ada lokasi yang harus ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 15 menit karena akses kendaraan terbatas,” ungkap Yuli.

    Pengiriman Relawan Bertahap

    Pengiriman relawan akan terus berlanjut secara bertahap. Pada hari berikutnya, Kemenkes berencana memberangkatkan 207 tenaga medis, disusul 87 orang pada hari selanjutnya. Total relawan yang akan diterjunkan hingga 22 Desember 2025 diperkirakan mencapai lebih dari 600 orang.

    Adapun tenaga medis yang dikerahkan berasal dari berbagai disiplin, mulai dari dokter spesialis mata, spesialis saraf, bedah saraf, spesialis anak, dokter umum, perawat, bidan, psikolog klinis, hingga psikiater. Fokus penanganan tidak hanya pada penyakit fisik, tetapi juga pemulihan kesehatan mental atau trauma healing bagi para penyintas.

    “Untuk trauma pascabencana, psikolog dan psikiater akan lebih banyak ditempatkan di posko pengungsian,” jelas Yuli.

    Relawan tersebut merupakan gabungan tenaga kesehatan dari berbagai rumah sakit pusat dan daerah, seperti RS Mata Cicendo, RSUP Dr Sardjito, RSUP Persahabatan, hingga RSJ Marzoeki Mahdi. Mereka akan bertugas di rumah sakit, puskesmas, serta posko-posko pengungsian sesuai kebutuhan di lapangan.

    Selain dokter, Kemenkes juga mengerahkan tenaga laboratorium, tenaga kesehatan lingkungan, ahli gizi, dan tenaga pendukung lainnya untuk memastikan pelayanan kesehatan berjalan menyeluruh.

    Dalam kesempatan yang sama, dokter spesialis mata dari RS Mata Cicendo, dr Chani Sinaro Putra, SpM, menyebut para relawan telah dibekali persiapan fisik dan mental sebelum diberangkatkan.

    “Kami juga mempelajari kondisi medan dan kemungkinan penyakit atau kondisi medis yang akan dihadapi di lokasi bencana. Obat-obatan sudah didistribusikan, dan tenaga medis diperbantukan agar bisa mendukung tenaga kesehatan yang sudah ada di daerah,” jelasnya.

    Kemenkes berharap kehadiran ratusan relawan ini dapat membantu mempercepat pemulihan kesehatan masyarakat terdampak, baik dari sisi medis maupun psikologis, serta meringankan beban tenaga kesehatan setempat yang bekerja di tengah keterbatasan pascabencana.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Sederet Cara Penanganan Trauma Pascabencana untuk Orang Dewasa”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Kemenkes Ingatkan Gejala Awal Kusta yang Kerap Diabaikan, Ini Ciri-cirinya di Kulit

    Kemenkes Ingatkan Gejala Awal Kusta yang Kerap Diabaikan, Ini Ciri-cirinya di Kulit

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap gejala kusta yang kerap tidak disadari. Peringatan ini disampaikan menyusul sorotan publik terhadap kasus kusta yang melibatkan warga negara Indonesia (WNI) di Rumania.

    Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes RI Aji Muhawarman, menegaskan kusta masih ditemukan di Indonesia dan dalam satu tahun terakhir mencapai lebih dari 10 ribu kasus.

    Kusta sering kali terlambat terdeteksi karena gejalanya dianggap ringan atau tidak mengganggu.

    “Gejala kusta sering tidak menimbulkan rasa nyeri. Padahal, deteksi dan pengobatan dini sangat menentukan keberhasilan penyembuhan,” kata Aji kepada detikcom Kamis (18/12/2025).

    Aji menekankan masyarakat perlu mengenali sejumlah tanda awal kusta pada kulit. Di antaranya bercak kulit yang mati rasa, tidak gatal, tampak mengilap atau kering bersisik. Selain itu, bisa muncul lepuh atau luka pada tangan dan kaki yang tidak terasa nyeri, disertai kesemutan hingga nyeri pada anggota gerak.

    Menurutnya, salah satu tantangan utama penanganan kusta adalah rendahnya kesadaran untuk segera memeriksakan diri. Banyak pasien baru datang ke fasilitas kesehatan setelah mengalami gangguan saraf atau kecacatan.

    Aji menekankan, kusta tidak mudah menular dan dapat sembuh total jika diobati sejak dini dan tuntas. Pemerintah juga memastikan pengobatan kusta tersedia secara gratis di Puskesmas.

    “Kalau menemukan gejala seperti itu, jangan menunda. Segera datang ke dokter atau fasilitas kesehatan terdekat. Pengobatan kusta gratis dan harus dijalani sampai selesai,” ujarnya.

    Selain aspek medis, Kemenkes juga menyoroti pentingnya menghapus stigma terhadap pengidap kusta. Diskriminasi, menurut Aji, justru membuat pasien enggan berobat dan menghambat upaya penemuan kasus di masyarakat.

    “Stigma dan diskriminasi justru memperburuk situasi. Kusta adalah penyakit yang bisa disembuhkan, bukan untuk ditakuti atau dijauhi,” tegasnya.

    Kemenkes berharap, dengan meningkatnya perhatian publik akibat kasus di Rumania, kesadaran masyarakat di dalam negeri juga ikut meningkat, sehingga kusta bisa dideteksi lebih awal dan angka penularan terus ditekan.

    (naf/kna)

  • Kemenkes Beberkan Kondisi 2 WNI di Rumania yang Tertular Kusta dari Ibunya di Bali

    Kemenkes Beberkan Kondisi 2 WNI di Rumania yang Tertular Kusta dari Ibunya di Bali

    Jakarta

    Dua warga negara indonesia (WNI) yang menjadi kasus pertama di Rumania setelah 44 tahun, rupanya tertular dari ibu mereka di Bali. Kementerian Kesehatan RI sudah melakukan penelusuran awal dan mengonfirmasi penularan tersebut dari hasil epidemiologis.

    “Kasus awal positif berasal dari ibu mereka yang berdomisili di Bali,” beber Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Aji Muhawarman saat dihubungi detikcom Kamis (18/12/2025).

    Meski begitu, pihaknya memastikan kondisi yang bersangkutan relatif baik dan sudah mendapatkan perawatan lebih lanjut.

    “Kementerian Kesehatan RI melalui International Health Regulation National Focal Point (IHR NFP) di Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menerima notifikasi kasus kusta dari IHR NFP Rumania pada awal Desember 2025. Saat ini yang bersangkutan sudah dalam perawatan dan kondisinya baik,” lanjut Aji.

    Bakal Dipulangkan ke RI

    Kemenkes menegaskan, langkah penanganan dilakukan secara lintas negara untuk memastikan pengobatan berjalan optimal serta mencegah potensi penularan lanjutan. Direktorat Penyakit Menular Kemenkes telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Bali untuk melakukan penelusuran kasus lebih lanjut, baik di Indonesia maupun Rumania.

    “Kedua WNI tersebut direncanakan akan segera dipulangkan ke Indonesia untuk mendapatkan pengobatan sesuai standar nasional,” jelas Aji.

    Selain itu, koordinasi antara IHR NFP Indonesia dan Rumania terus dilakukan guna memastikan penanganan kasus berjalan sesuai protokol kesehatan internasional.

    Aji juga menyebut bahwa secara nasional, Indonesia masih menghadapi beban kasus kusta yang cukup tinggi. Hingga 12 November 2025, tercatat 10.450 kasus baru kusta di Indonesia, dengan jumlah terbanyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

    Meski demikian, Kemenkes menegaskan kusta merupakan penyakit yang dapat disembuhkan dan risiko penularan akan menurun drastis setelah pengobatan dimulai.

    “Kami memastikan seluruh pasien mendapatkan penanganan yang tepat, serta upaya surveilans dan pengendalian penyakit terus diperkuat,” pungkas Aji.

    (naf/naf)

  • Terungkap Sumber Penularan Kusta WNI Kasus Pertama di Rumania setelah 44 Tahun

    Terungkap Sumber Penularan Kusta WNI Kasus Pertama di Rumania setelah 44 Tahun

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI mengungkap kronologi laporan dua warga negara Indonesia (WNI) yang terindentifikasi positif kusta saat bekerja di Rumania. Informasi tersebut diterima melalui mekanisme kerja sama kesehatan internasional antarnegara.

    Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Kesehatan, Aji Muhawarman, menjelaskan laporan diterima pada awal Desember 2025 melalui International Health Regulation National Focal Point (IHR NFP) Indonesia di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2).

    “Pada awal Desember 2025, IHR NFP Indonesia menerima notifikasi resmi dari IHR NFP Rumania terkait dugaan kasus kusta pada dua WNI yang bekerja di sana,” beber Aji dalam keterangannya kepada detikcom Kamis (18/12/2025).

    Dari notifikasi tersebut, diketahui kedua WNI berstatus suspek infeksi Mycobacterium leprae atau kusta dan saat ini tengah dalam pemantauan medis otoritas kesehatan setempat.

    Sumber Penularan Awal

    Berdasarkan hasil penelusuran awal, Kemenkes menyebut kasus indeks atau sumber awal penularan berasal dari ibu kedua WNI tersebut yang berdomisili di Bali.

    “Kasus awal positif berasal dari ibu kedua WNI tersebut yang tinggal di Bali. Saat ini yang bersangkutan sudah dalam perawatan dan kondisinya baik,” jelas Aji.

    Kemenkes memastikan penanganan terhadap kasus indeks telah dilakukan sesuai standar pengobatan kusta, serta dilakukan pengawasan kesehatan lanjutan untuk mencegah penularan lebih luas.

    Untuk memastikan penanganan komprehensif, Direktorat Penyakit Menular Kemenkes telah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Bali guna melakukan penelusuran kasus baik di dalam negeri maupun yang terkait dengan aktivitas kedua WNI di Rumania.

    Selain itu, Kemenkes menyebut kedua WNI direncanakan segera kembali ke Indonesia untuk menjalani pengobatan lanjutan di fasilitas kesehatan dalam negeri.

    “IHR NFP Indonesia dan Rumania terus melakukan koordinasi intensif agar penanganan kasus ini berjalan optimal, termasuk dalam proses pemulangan dan pengobatan pasien,” kata Aji.

    Situasi Kusta di Indonesia

    Secara nasional, Kemenkes mencatat hingga 12 November 2025 terdapat 10.450 kasus baru kusta di Indonesia. Kasus terbanyak ditemukan di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

    Meski begitu, Kemenkes menegaskan kusta merupakan penyakit yang dapat disembuhkan, dan dengan pengobatan yang tepat, risiko penularan dapat ditekan secara signifikan.

    “Kami mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan stigma, serta segera memeriksakan diri jika menemukan gejala yang mencurigakan. Deteksi dini dan pengobatan teratur adalah kunci,” pungkas Aji.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/naf)

  • Berencana Ngetrip saat Liburan Akhir Tahun? Ini Tips Bawa Bekal Agar Tak Mudah Basi

    Berencana Ngetrip saat Liburan Akhir Tahun? Ini Tips Bawa Bekal Agar Tak Mudah Basi

    Jakarta

    Menjelang liburan panjang, banyak orang bersiap melakukan perjalanan jauh, baik untuk mudik ke kampung halaman maupun berlibur. Membawa bekal sendiri saat perjalanan jauh seringkali menjadi solusi praktis sekaligus hemat. Namun, tidak sedikit kasus makanan cepat basi, berbau, bahkan memicu gangguan pencernaan selama perjalanan.

    Dalam standar keamanan pangan internasional, makanan yang dibawa untuk perjalanan jauh tidak diperlakukan sama dengan makanan rumahan. Codex Alimentarius, standar pengolahan pangan yang disusun oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) maupun sistem Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) menempatkan transportasi sebagai tahapan kritis dalam rantai pangan karena melibatkan kontrol suhu dan waktu yang lebih sulit.

    Selama perjalanan, makanan berisiko lebih lama berada di zona bahaya suhu 5-60 derajat Celsius, kondisi yang mempercepat pertumbuhan bakteri patogen (penyebab penyakit) dan bakteri pembusuk. Oleh karena itu, jenis makanan dan cara penyimpanannya perlu disesuaikan, terutama untuk perjalanan panjang tanpa pendingin.

    Lantas, bagaimana cara mengolah dan menyimpan makanan agar tidak cepat basi? Untuk menjawabnya, penting memahami terlebih dahulu faktor-faktor yang memengaruhi kerusakan makanan selama perjalanan jauh.

    Mengapa Makanan Mudah Basi Saat Dibawa Bepergian?

    Selama perjalanan jauh, makanan lebih rentan basi karena disimpan dalam kondisi yang kurang ideal, terutama tanpa pendingin dan terpapar suhu ruang dalam waktu lama. Tinjauan ilmiah dalam jurnal Food Bioscience oleh Mafe dan rekan-rekan (2024) menjelaskan bahwa mikroorganisme seperti bakteri, ragi, dan jamur memanfaatkan zat gizi dalam makanan sebagai sumber energi, lalu menghasilkan senyawa sisa metabolisme yang memicu bau tidak sedap, rasa berubah, hingga tekstur berlendir.

    Risiko pembusukan makin besar jika makanan disimpan dalam kemasan yang tidak kedap udara. Paparan oksigen bukan hanya mempercepat pertumbuhan mikroba, tetapi juga memicu oksidasi lemak yang menyebabkan aroma tengik, sementara enzim alami dalam bahan pangan tetap aktif merusak struktur makanan. Tak heran, kombinasi suhu hangat, waktu simpan panjang, dan kadar air tinggi menjadi alasan utama mengapa bekal perjalanan lebih mudah basi dan mengapa memilih jenis makanan yang lebih tahan simpan jadi langkah penting sebelum bepergian.

    Jenis Makanan yang Lebih Tahan Lama Dibawa Berpergian

    Tidak semua makanan mudah basi saat dibawa bepergian. Makanan yang relatif lebih tahan simpan umumnya memiliki kadar air rendah, dimasak hingga matang sempurna, serta disimpan dalam kemasan yang rapat. Contohnya antara lain ayam serundeng, abon, kering tempe, dendeng, hingga lauk berbumbu kering lainnya.
    Proses memasak yang lama, ditambah penggunaan garam, gula, serta rempah-rempah, memang dapat membantu menekan pertumbuhan mikroba dengan menurunkan water activity. Namun, efek ini baru optimal jika digunakan dalam kadar yang cukup dan dikombinasikan dengan teknik lain seperti pengeringan serta penyimpanan yang tepat-bukan sekadar membuat makanan terasa asin atau pedas.

    Sebaliknya, beberapa jenis makanan sebaiknya dihindari sebagai bekal perjalanan jauh. Makanan berkuah atau bersantan seperti opor ayam, gulai, dan sayur lodeh cenderung cepat basi karena kandungan air dan lemaknya tinggi.

    Hal serupa berlaku pada tumisan basah, olahan telur setengah matang, makanan laut, serta sambal segar yang tidak dimasak lama. Jenis makanan ini lebih mudah terkontaminasi bakteri, seperti Salmonella dan Escherichia coli, yang berisiko memicu gangguan pencernaan berupa diare, mual, muntah, hingga nyeri perut jika dikonsumsi selama perjalanan jauh.

    Oleh karena itu, selain memilih jenis makanan yang tepat, cara penyimpanan bekal juga memegang peran penting untuk menjaga makanan tetap aman hingga waktu makan.

    Dendeng vs Abon vs Serundeng: Mana yang Paling Awet?

    Berbagai teknik pengawetan makanan, baik tradisional maupun modern, pada dasarnya bekerja dengan menurunkan water activity yakni jumlah air bebas yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh sehingga makanan menjadi lebih tahan lama dan tidak cepat rusak.

    Ketiga lauk ini sama-sama dikenal awet karena diolah dengan teknik yang menurunkan water activity, yakni jumlah air bebas yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh. Namun, daya simpannya berbeda karena proses pengolahan yang tidak sama. Dendeng dibuat dari irisan daging tipis yang diasinkan, dibumbui, lalu dikeringkan dan digoreng, sehingga kadar airnya rendah, meski tetap perlu disimpan rapat agar tidak lembap. Abon menjadi yang paling tahan lama karena daging dimasak, disuwir, lalu dimasak kembali hingga sangat kering dan berserat, membuat ketersediaan air bebas sangat minim dan mikroba sulit berkembang. Sementara itu, serundeng berada di posisi tengah. Parutan kelapa dan daging dimasak lama hingga kering, tetapi kandungan minyak dari kelapa membuatnya lebih rentan tengik jika terpapar udara. Karena itu, dibandingkan dendeng dan serundeng, abon umumnya paling awet untuk bekal perjalanan jauh, asalkan disimpan dalam kemasan kedap udara.

    Selain dendeng, abon, dan serundeng, beberapa contoh makanan lain yang relatif awet untuk dibawa bepergian antara lain kering tempe, kentang mustofa, ikan asin, telur asin, sambal kering, serta lauk kemasan vakum atau kaleng. Jenis makanan ini umumnya memiliki kadar air rendah atau diolah dengan proses pengawetan tertentu sehingga lebih tahan disimpan di suhu ruang, asalkan dikemas rapat, tidak sering dibuka, serta dijauhkan dari paparan udara dan panas berlebih yang dapat mempercepat pembusukan dan ketengikan.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: Menkes Imbau Sopir Bus Cek Kesehatan Jelang Libur Nataru 2025”
    [Gambas:Video 20detik]
    (fti/up)

  • 2 WNI Terinfeksi Kusta di Rumania, Komisi IX DPR Minta KP2MI Perketat Pemeriksaan Kesehatan PMI

    2 WNI Terinfeksi Kusta di Rumania, Komisi IX DPR Minta KP2MI Perketat Pemeriksaan Kesehatan PMI

    JAKARTA – Wakil Ketua Komisi IX DPR Yahya Zaini, meminta Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) untuk memperketat pemeriksaan kesehatan pekerja migran Indonesia (PMI), menyusul ditemukannya dua warga negara Indonesia (WNI) yang terinfeksi kusta di Rumania.

    Yahya mengingatkan agar setiap PMI yang akan diberangkatkan ke luar negeri harus dipastikan sehat.

    “Saya minta kepada Kementerian P2MI untuk memperketat pemeriksaan kesehatan terhadap PMI yang akan dikirim ke luar negeri,” ujar Yahya Zaini kepada wartawan, Kamis, 18 Desember.

    “Harus dipastikan setiap PMI yang dikirim ke luar negeri tidak mengidap penyakit, apalagi penyakit menular,” sambungnya.

    Yahya menegaskan, standar pemeriksaan kesehatan PMI perlu dilakukan secara lebih komprehensif dan melibatkan dokter spesialis. Ia juga meminta KP2MI untuk meningkatkan kewaspadaan terkait pemeriksaan kesehatan calon pekerja migran.

    “Standar pemeriksaan harus dilakukan secara presisi. Tidak cukup hanya dokter umum saja yang memeriksa tapi juga diperlukan dokter spesialis. Tentu dengan resiko biaya pemeriksaannya akan membengkak,” tegas Yahya.

    “Saya minta Kementerian P2MI mempunyai SOP yang tinggi untuk pemeriksaan kesehatan ini. Jangan sampai terjadi kasus-kasus serupa terjadi di negara lain,” imbuhnya.

    Legislator Golkar dari Dapil Jawa Timur itu pun mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI untuk segera berkoordinasi dengan otoritas kesehatan Rumania, termasuk memantau kondisi dua WNI yang terinfeksi penyakit tersebut.

    “Saya minta Kemenkes melakukan kordinasi dengan Kemenkes Rumania untuk memastikan kasus tersebut. Di rumah sakit mana keduanya dirawat,” kata Yahya.

    Sebagai informasi, Rumania mengungkap temuan kasus kusta atau dikenal sebagai penyakit Hansen terkonfirmasi pada Pekerja Migran Indonesia (PMI). Penyakit yang muncul terakhir kali di Rumania pada 44 tahun lalu itu diidap dua terapis pijat asal Indonesia.

    Dilansir Independent pada Selasa, 16 Desember, kedua WNI itu bekerja di sebuah spa di kota Cluj, barat laut Rumania. Keduanya warga negara Indonesia berusia 21 dan 25 tahun. Saat ini mereka sedang menjalani perawatan, sementara ada dua orang lain yang masih menjalani pemeriksaan medis.

    Meski begitu, belum ada informasi resmi soal asal negara dua orang yang masih menjalani pemeriksaan tersebut. Pihak berwenang telah menutup spa tersebut sambil menunggu penyelidikan.