Kementrian Lembaga: Kemendagri

  • Bertujuan Sama dengan Menkeu, Mendagri: Dana Daerah Jangan Mengendap di Bank

    Bertujuan Sama dengan Menkeu, Mendagri: Dana Daerah Jangan Mengendap di Bank

    Bertujuan Sama dengan Menkeu, Mendagri: Dana Daerah Jangan Mengendap di Bank
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan bahwa dirinya memiliki pandangan yang sama dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa terkait dana daerah.
    Tito menegaskan bahwa dana daerah tidak boleh mengendap di bank dan harus segera digunakan untuk kepentingan masyarakat.
    “Tujuan kita sama, dana daerah jangan mengendap di bank, tapi segera dibelanjakan untuk masyarakat,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (25/10/2025), dikutip dari
    Antaranews
    .
    Saat ditanya soal perbedaan data simpanan pemerintah daerah (Pemda) antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Tito memastikan, tidak ada perbedaan prinsip melainkan hanya perbedaan teknis dalam metode pelaporan.
    Mendagri menjelaskan, selisih sekitar Rp 18 triliun antara data yang dirilis Kemenkeu dan Kemendagri bersifat wajar.
    Berdasarkan data Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) per Oktober 2025, dana simpanan Pemda tercatat Rp 215 triliun. Sementara data Bank Indonesia (BI) yang dikutip Menkeu menunjukkan angka Rp 233 triliun per Agustus 2025
    Menurut Tito, selisih dua bulan waktu pelaporan itulah yang menjelaskan perbedaan angka.
    “Sangat wajar jika berkurang. Kalau Agustus Rp 233 triliun, lalu Oktober Rp 215 triliun, artinya Rp 18 triliun itu sudah dibelanjakan,” ujarnya.
    Tito juga menegaskan bahwa semangat antara Kemenkeu dan Kemendagri tetap sejalan, yakni sama-sama ingin mempercepat penyerapan anggaran dan memastikan dana daerah memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
    Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyoroti dana pemda yang belum digunakan dan masih mengendap di bank hingga Rp 234 triliun per akhir September 2025.
    Padahal, menurut dia, pemerintah pusat sudah menyalurkan dana ke daerah dengan cepat, dengan total realisasi transfer ke daerah sepanjang 2025 mencapai Rp 644,9 triliun.
    “Realisasi belanja APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sampai dengan triwulan ketiga tahun ini masih melambat. Jadi jelas ini bukan soal uangnya tidak ada, tapi soal kecepatan eksekusi,” kata Purbaya dalam acara Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di Kantor Kemendagri, Jakarta pada 20 Oktober 2025.
    Oleh karena itu, Purbaya mengingatkan Pemda agar segera menggunakan anggaran untuk program yang produktif dan bermanfaat bagi masyarakat.
    Namun, sejumlah kepala daerah membantah data yang disampaikan Menkeu. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebut, dana yang tersimpan di rekening pemerintah provinsinya hanya sekitar Rp 2,4 triliun, bukan Rp 4,1 triliun seperti yang disebut Kemenkeu.
    “Tidak ada dana Rp 4,1 triliun yang disimpan dalam bentuk deposito. Yang ada hari ini hanya Rp 2,4 triliun dan itu tersimpan di rekening giro untuk kegiatan Pemprov Jabar,” kata Dedi di Kantor Bank Indonesia pada 22 Oktober 2025.
    Bantahan juga disampaikan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Sebab, data Kemenkeu menyebut dana mengendap di daerahnya mencapai Rp 3,1 triliun.
    Bobby menyebut, saldo Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) Sumut hanya Rp 990 miliar dan telah digunakan untuk membiayai sejumlah kegiatan pemerintah provinsi.
    “RKUD kami cuma satu, ada di Bank Sumut. Saldo hari ini Rp 990 miliar, dan itu pun untuk pembayaran beberapa kegiatan serta karena perubahan APBD,” kata Bobby di Medan pada 21 Oktober 2025.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mendagri dan Menkeu tegaskan dana daerah tidak boleh mengendap

    Mendagri dan Menkeu tegaskan dana daerah tidak boleh mengendap

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan dirinya dan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa satu suara terkait dana daerah yang tidak boleh mengendap di bank dan harus segera digunakan untuk kepentingan masyarakat.

    “Tujuan kita sama, dana daerah jangan mengendap di bank, tapi segera dibelanjakan untuk masyarakat,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.

    Kemudian saat ditanya soal perbedaan data simpanan pemda antara Kemendagri dan Kemenkeu. Menurut Tito, tidak ada perbedaan prinsip antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), melainkan hanya perbedaan teknis dalam metode pelaporan.

    Tito menjelaskan, selisih sekitar Rp18 triliun antara data yang dirilis Kemenkeu dan Kemendagri bersifat wajar.

    Berdasarkan data Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) per Oktober 2025, dana simpanan Pemda tercatat Rp215 triliun. Sementara data Bank Indonesia (BI) yang dikutip Menkeu menunjukkan angka Rp233 triliun per Agustus 2025.

    Menurut Tito, selisih dua bulan waktu pelaporan itulah yang menjelaskan perbedaan angka.

    “Sangat wajar jika berkurang. Kalau Agustus Rp233 triliun, lalu Oktober Rp215 triliun, artinya Rp18 triliun itu sudah dibelanjakan,” ujarnya.

    Tito juga menegaskan bahwa semangat antara Kemenkeu dan Kemendagri tetap sejalan, yakni sama-sama ingin mempercepat penyerapan anggaran dan memastikan dana daerah memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

    Menanggapi hal tersebut, Dosen Hukum Pemerintahan Daerah Universitas Atma Jaya Yogyakarta Hestu Cipto Handoyo juga menyatakan dirinya sepakat dengan kedua menteri tersebut soal penggunaan dana daerah.

    Menurutnya, baik Mendagri maupun Menkeu memiliki semangat yang sama, yaitu memastikan dana daerah tidak menumpuk di perbankan.

    “Baik Kemenkeu maupun Kemendagri berupaya memperkuat disiplin fiskal daerah. Perbedaan data jangan diartikan perbedaan arah, karena tujuannya tetap sama: memastikan uang daerah bekerja untuk rakyat, bukan mengendap di rekening,” kata Hestu dalam keterangannya, Sabtu

    Hestu menilai perbedaan angka Rp18 triliun tidak menunjukkan konflik atau penyimpangan, melainkan disebabkan oleh perbedaan teknis dan metodologis dalam pelaporan data.

    Menurutnya, data BI yang digunakan Menkeu menggambarkan posisi simpanan Pemda di bank pada waktu tertentu, umumnya di akhir bulan.

    Sementara data yang digunakan Mendagri melalui SIPD bersumber dari laporan administratif Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), yang bersifat dinamis dan harian, sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 70 Tahun 2019.

    “SIPD merekam kondisi kas daerah yang terus bergerak, sementara data BI bersifat posisi tetap (cut-off), jadi wajar jika angkanya berbeda,” tutur Hestu.

    Hestu menjabarkan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan selisih data, pertama perbedaan waktu pelaporan (cut-off date) antara BI dan SIPD.

    Kedua, perbedaan definisi akun, di mana rekening tertentu yang masih atas nama Pemda bisa jadi bukan kas daerah operasional.

    Ketiga, kesalahan input atau keterlambatan pelaporan di daerah karena keterbatasan SDM dan sistem.

    Menurut Hestu, semua faktor tersebut bisa diklarifikasi melalui proses rekonsiliasi administratif, tanpa harus diasumsikan sebagai pelanggaran.

    “Rekonsiliasi data antara ketiga lembaga ini sangat penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas keuangan negara,” tegas Hestu.

    Ia menyarankan agar hasil rekonsiliasi nantinya diumumkan bersama oleh BI, Kemenkeu, dan Kemendagri, sehingga publik mendapatkan data yang sudah tervalidasi dan tidak menimbulkan tafsir berbeda.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ini Langkah Cegah Idle Money Pemda

    Ini Langkah Cegah Idle Money Pemda

    Bisnis,com, JAKARTA – Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) mengusulkan pemerintah daerah wajib menyampaikan tata kelola anggaran secara berkala. 

    Seperti diketahui, sampai akhir September 2025, data Bank Indonesia menunjukkan jumlah idle money atau anggaran daerah yang mengendap di perbankan mencapai Rp234 triliun. Kondisi ini menurut Fitra, mencerminkan paradoks dalam tata kelola keuangan daerah. 

    Pada awal Oktober, sebanyak 18 kepala daerah memprotes Menteri Keuangan atas pemotongan Transfer ke Daerah (TKD). Namun, di sisi lain, hingga akhir September, anggaran daerah justru banyak mengendap di bank. Fenomena ini bukan hal baru, karena hampir terjadi setiap tahun.

    Fitra menilai ada beberapa faktor yang menyebabkan uang daerah ini mengendap di bank yakni sebagian pemerintah daerah sengaja menimbulkan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) karena pada Januari – Februari tahun berikutnya kas daerah biasanya kosong, sementara pencairan TKD baru dilakukan paling cepat pada Maret.

    Alasannya lainnya, perencanaan proyek yang menurut Fitra buruk, membuat proses lelang dan pelaksanaan proyek dilakukan di triwulan IV, sehingga dana masih menumpuk pada triwulan III. Akibatnya, banyak proyek dilaksanakan secara tergesa-gesa agar anggaran terserap tanpa memperhatikan kualitas. Idle money juga sering terjadi akibat kegagalan lelang.

    Fitra juga melihat adanya motif untuk memperoleh keuntungan pribadi dari selisih pokok dan bunga bank. Praktik klasik ini masih sering dilakukan oleh sebagian kepala daerah dengan memanfaatkan tawaran keuntungan pribadi dari pihak perbankan.

    Alasan lainnya adalah lemahnya sistem pengadaan barang dan jasa membuat pemerintah daerah sangat berhati-hati dalam proses pengadaan karena khawatir akan temuan dari lembaga pemeriksa internal (APIP) maupun eksternal (BPK). Hal ini diperparah dengan banyaknya kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa di daerah.

    “Rendahnya kapasitas sumber daya manusia di pemerintah daerah juga menjadi penyebab rendahnya realisasi anggaran,” tulis Fitra dikutip dari rilis, Sabtu (25/10/2025).

    Menurut lembaga itu, besarnya idle money di daerah berdampak langsung pada masyarakat, terutama kelompok rentan seperti perempuan miskin, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki layanan dasar dan infrastruktur justru tertahan di bank, sehingga banyak layanan publik terlambat, berkualitas rendah, atau bahkan tidak terlaksana akibat kegagalan lelang.

    Fitra pun melihat anggaran publik memiliki fungsi alokasi dan distribusi yang seharusnya mendorong efek berantai (trickle-down effect) bagi perekonomian daerah. Melalui belanja pemerintah daerah, lapangan pekerjaan terbuka, pendapatan masyarakat meningkat, konsumsi tumbuh, dan sirkulasi ekonomi menguat. Dampak akhirnya adalah peningkatan pendapatan pemerintah serta pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah maupun nasional.

    Dengan demikian, idle money yang mencapai Rp234 triliun bukan hanya mencerminkan buruknya tata kelola keuangan daerah, tetapi juga menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi masyarakat dan negara. Kondisi ini berpotensi menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2025 sebesar 5,2–5,3 persen.

    Untuk mengatasi hal tersebut, FITRA mendorong pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh pemerintah daerah menyelenggarakan konferensi pers bulanan untuk melaporkan tata kelola anggarannya. 

    Laporan tersebut mencakup tingkat serapan, capaian program, dan berbagai tantangan yang dihadapi, sebagaimana praktik yang dilakukan pemerintah pusat melalui Konferensi Pers APBN KiTA setiap bulan, mengingat permasalahan idle money bukan hal baru dan terjadi setiap tahun, Kementerian Dalam Negeri sebagai instansi pembina dan pengawas pemerintah daerah perlu membuat aturan teknis yang jelas mengenai realisasi belanja serta melakukan monitoring berkala agar anggaran dikelola secara optimal dan akuntabel.

    “Selain itu, pemerintah daerah juga perlu mempublikasikan seluruh dokumen anggarannya, termasuk dokumen realisasi anggaran tahun berjalan maupun laporan yang telah diaudit, melalui situs resmi masing-masing. Langkah ini penting agar masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dan berpartisipasi dalam pengawasan publik. Kewajiban keterbukaan ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” pungkas Fitra.

     

     

  • Dedi Mulyadi Harus Jujur Soal Duit Rp4 Triliun Mengendap di Bank

    Dedi Mulyadi Harus Jujur Soal Duit Rp4 Triliun Mengendap di Bank

    GELORA.CO -Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi didesak untuk menjelaskan kepada publik khususnya rakyat Jabar terkait dana Pemda Jabar sebesar Rp4,1 triliun yang mengendap di bank, sebagaimana diungkap Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. 

    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga  menyoroti jika  anggaran Rp4 triliun tersebut diendapkan dalam bentuk deposito berjangka tiga atau enam bulan, tentu bunganya lumayan besar. 

    “Masalahnya, bunganya itu untuk siapa dan untuk apa?” kata Jamiluddin Ritonga kepada RMOL, Sabtu, 25 Oktober 2025.  

    Ia menilai sebaiknya Dedi Mulyadi dan kepala daerah lainnya dapat menjelaskan apa motivasi mengendapkan anggaran tersebut dan apakah anggaran yang disediakan benar-benar untuk pembangunan yang dilaksanakan tepat sesuai waktu yang ditetapkan.

    “Dengan begitu, pengendapan anggaran bukan dimaksudkan untuk mendapatkan bunga untuk keuntungan pihak-pihak tertentu. Kalau ini yang terjadi, maka pengendapan anggaran sudah sengaja diselewengkan,” kata Jamiluddin.

    Mereka-mereka yang melakukan hal itu tentunya sudah menghambat pembangunan di daerah, dan karenanya harus ditindak dengan sanksi yang berat.

    “Kiranya Dedi Mulyadi perlu menuntaskan hal itu, agar tuduhan negatif terkait pengendapan anggaran daerah dapat diminimalkan. Hal itu dapat diwujudkan bukan dengan kata-kata, tapi bukti berdasarkan hasil investigasi,” pungkasnya.

    Sebelumnya, KDM, sapaan Dedi Mulyadi membantah pernyataan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menyebut ada dana Pemda Jabar sebesar Rp4,1 triliun mengendap di bank.

    “Kalau ada yang menyatakan ada uang Rp4,1 triliun tersimpan dalam bentuk deposito, serahin datanya ke saya. Soalnya saya bolak-balik ke BJB nanyain, kumpulin staf, marahin staf, ternyata tidak ada dibuka di dokumen, kasda juga tidak ada,” kata Dedi lewat unggahan video di akun Instagram pribadinya. Ia bahkan siap diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bila memang ada dana mengendap sebesar itu. 

    Meski demikian, Dedi mengakui Pemprov Jabar memang memiliki kas sebesar Rp2,3 triliun di perbankan. Dana itu, katanya, bukan diendapkan, melainkan disiapkan untuk pembayaran proyek dan kontrak kepada pihak ketiga menjelang akhir tahun.

    Sementara Menkeu Purbaya menegaskan data yang digunakan pemerintah pusat bersumber langsung dari pantauan Bank Indonesia (BI) yang dihimpun dari seluruh perbankan di Tanah Air. Karena itu, menurutnya, data tersebut sudah seharusnya akurat.

  • Pakar Hukum Unej: Konflik Bupati dan Wabup Jember Berpotensi Munculkan Buzzer Birokrasi

    Pakar Hukum Unej: Konflik Bupati dan Wabup Jember Berpotensi Munculkan Buzzer Birokrasi

    Jember (beritajatim.com) – Aries Harianto, pengajar Fakultas Hukum Universitas Jember, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, mencemaskan sekian dampak konflik antara Bupati Muhammad Fawait dan Wakil Bupati Djoko Susanto.

    Bukan rahasia lagi bahwa sejak dilantik Presiden Prabowo pada Februari 2025, Fawait dan Djoko sudah tak akur. Dalam beberapa kesempatan, Djoko melancarkan kritik terhadap kebijakan Bupati Fawait. Terakhir, Djoko mengadukan jalannya pemerintahan Jember kepada Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

    Sementara itu, Djoko hampir tidak pernah terlihat dalam sejumlah acara kenegaraan bersama DPRD Jember. Wajahnya juga tidak pernah terpampang di baliho maupun spanduk resmi pemerintah di ruang publik. Bupati Fawait justru lebih banyak tampil di baliho bersama istrinya Gyta Eka Puspita.

    Menurut Aries, birokrasi Pemkab Jember terimbas konflik itu. “Terjadi dikotomi afiliasi birokrasi, karena konflik itu membangun patron. Aparatur tidak kompak. Justru potensial menjadi buzzer afiliasinya,” katanya, Jumat (24/10/2025).

    Selain itu, lanjut Aries, pelayanan publik bisa terhambat karena bupati dan wabup tidak saling membantu. “Terjadi konflik antarsimpatisan, saling lapor dalam hirarki struktur, dan ketidakpuasan masyarakat,” katanya.

    Aries juga melihat tidak diterimanya fasilitas wakil bupati sebagaimana dilaporkan Djoko ke KPK dan Mendagri merupakan dampak konflik. Sementara itu potensi konflik di DPRD Jember pada akhirnya juga terbuka. “Terakhir, konflik memunculkan citra negatif terhadap Jember di luar daerah dan nasional,” katanya.

    Dari semua pertimbangan itu, Aries meminta agar konflik Bupati Fawait dan Wabup Djoko tidak dipandang sebagai dinamika belaka. “Seolah dinamika itu sebagai pintu sembunyi, karena tidak memiliki kemampuan melakukan aksi,” katanya.

    Aries mengingatkan, dinamika itu pada dasarnya adalah gambaran seberapa jauh proses politik yang berlangsung mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan akuntabilitas. “Demokrasi adalah ruang antusiasme publik berpartisipasi untuk dikelola dengan pertanggungjawaban,” katanya.

    “Lha, kalau Bupati dan Wabup disharmoni, maka keterlibatan publik bukan lagi aspirasi membangun dan memiliki, tapi berubah menjadi keluh kesah dan caci maki. Saya yakin, teman-teman parpol dan DPRD tidak akan diam melihat tontonan ini,” kata Aries. [wir]

  • Pakar Hukum Universitas Jember: Ketidakakuran Bupati-Wabup Tak Diatur UU

    Pakar Hukum Universitas Jember: Ketidakakuran Bupati-Wabup Tak Diatur UU

    Jember (beritajatim.com) – Penyelesaian persoalan ketidakakuran bupati dan wakil bupati tidak diatur dalam undang-undang. Pemberhentian bupati dan atau wakil bupati juga tidak mudah dilakukan.

    Hal ini dikemukakan Aries Harianto, pengajar Fakultas Hukum Universitas Jember, Jumat (24/10/2025), menanggapi ide pemakzulan Bupati Muhammad Fawait dan Wakil Bupati Djoko Susanto, dengan alasan ketidakakuran sebagaimana disampaikan Aliansi Masyarakat Jember Bersatu kepada DPRD Kabupaten Jember Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

    “Dalam peraturan perundang-undangan, tidak dikenal istilah pemakzulan. Pasal 78 ayat (1) UU Nomor 23 tahun 2014 hanya mengatur kepala daerah/wakil kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan,” kata Aries.

    Menurut Aries, tidak mudah menghentikan bupati dan wabup karena normanya sangat bias atau umum. “Kecuali jika bupati atau wabup melakukan perbuatan melawan hukum yang secara faktual bisa dibuktikan konkret,” katanya.

    Bukan rahasia lagi jika sejak dilantik Presiden Prabowo pada Februari 2025, Fawait dan Djoko sudah tak akur. Dalam beberapa kesempatan, Djoko melancarkan kritik terhadap kebijakan Bupati Fawait. Terakhir, Djoko mengadukan jalannya pemerintahan Jember kepada Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

    Sementara itu, Djoko hampir tidak pernah terlihat dalam sejumlah acara kenegaraan bersama DPRD Jember. Wajahnya juga nyaris tidak pernah terpampang di baliho maupun spanduk resmi pemerintah di ruang publik. Bupati Fawait justru lebih banyak tampil di baliho bersama istrinya Gyta Eka Puspita.

    Masalahnya, menurut Aries, solusi hukum terhadap ketidakakuran bupati dan wakil bupati tidak diatur dalam undang-undang. “Namun jika disharmoni itu menyebabkan keresahan masyarakat dan terhambatnya pembangunan serta pelayanan publik, secara normatif bisa dijadikan pertimbangan untuk memanggil bupati dan wabup,” katanya.

    “Dengan demikian perspektif publik menjadi acuan, bukan para pihak sebagai subjek yang tengah berkonflik, kecuali jika bupati atau wabup melakukan kebijakan kontroversial dan dinyatakan dilarang oleh hukum,” kata Aries.

    Aries mencontohkan pembuatan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan pribadi, golongan, maupun kelompok politik serta merugikan kepentingan umum.

    Tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) ini menilai, parlemen sebenarnya punya peran untuk mendamaikan Bupati Fawait dan Wabup Djoko Susanto.

    “DPRD memiliki otoritas untuk memanggil mereka atas dasar fungsi pengawasan terhadap eksekutif. Satu sisi DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah sebagai satu organ, sisi lain dalam rangka kinerja dan produktivitas daerah melekat fungsi pengawasan,” kata Aries.

    “DPRD pada prinsipnya, mewakili kepentingan masyarakat yang berarti apa yang dirasakan masyarakat serta-merta juga harus dirasakan DPRD,” kata Aries.

    Aries berharap konflik Bupati Fawait dan Wabup Djoko bisa segera berakhir. “Bupati dan Wakil adalah figur tuntunan, bukan tontonan,” katanya. [wir]

  • Polemik Menkeu Purbaya vs Dedi Mulyadi soal Data Rp 4,17 Triliun Milik Pemprov Jabar Mengendap di Bank – Page 3

    Polemik Menkeu Purbaya vs Dedi Mulyadi soal Data Rp 4,17 Triliun Milik Pemprov Jabar Mengendap di Bank – Page 3

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian membeberkan bukti beda data yang disampaikan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa soal dana Pemerintah Daerah yang mengendap di bank.

    Tito mengaku sudah memerintahkan Sekjen, Dirjen Keuangan Daerah, dan Dirjen Pembangunan Daerah Kemendagri untuk mengecek data dana mengendap capai Rp 233 triliun tersebut.

    “Kita tahu bahwa Pemda kan jumlahnya 562, terdiri dari 38 provinsi, 98 kota, 416 kabupaten. Beliau (Purbaya) mengambil data dari Bank Indonesia, nilainya 233 triliun,” kata Tito Karnavian saat berkunjung ke Kota Manado, Sulut, pada Kamis 23 Oktober 2025.

    Tito menjelaskan, Kemendagri memiliki SIPD atau Sistem Informasi Pemerintahan Daerah untuk monitoring anggaran daerah, baik pendapatan maupun belanja.

    Dalam sistem itu, kata Tito, ada perbedaan data dana Pemda yang mengendap bulan Oktober 2025 sebesar Rp215 triliun. Sedangkan data BI yang dikutip oleh Purbaya mencapai Rp 233 triliun pada bulan Agustus.

    “Ada perbedaan waktu, satu di bulan Agustus. Itu adalah data 31 Agustus 233. Data di kita (Kemendagri) data Oktober. Nah antara Agustus sampai Oktober itu ada 6 minggu, uang kita itu tidak statis,” tutur Tito Karnavian.

    Selanjutnya, Tito menilai wajar jika ada penurunan dana Pemda-Pemda tersebut sebesar Rp 15 triliun dari Rp 233 triliun menjadi Rp 215 triliun. Hal ini lantaran Pemda pasti membelanjakan anggaran daerah mereka. Belum lagi, ada pendapatan pajak dan retribusi.

    “Pertanyaannya ke mana Rp15 triliun itu, ya dibelanjakan. Wah besar sekali! Enggak, kalau dibagi 562 kabupaten kota dan provinsi. Sangat wajar sekali, itu jawaban saya,” tuturnya.

    Untuk itu, Tito menegaskan ada beda waktu data BI yang disampaikan Purbaya dengan Kemendagri. Data yang dipakai Purbaya merupakan data bulan Agustus, sementara, data Kemendagri sudah diperbarui pada Oktober.

    “Nah kalau metodologi kami (Kemendagri) tidak, minimal seminggu sekali. Bahkan bisa real time, berapa pendapatan belanja tiap-tiap daerah,” ujarnya.

    Menurutnya, data yang masuk diinput oleh Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD). Jika melihat ada anomali, Kemendagri langsung dilakukan cross check dengan menurunkan tim.

    Tito juga mengoreksi data daerah-daerah dengan dana mengendap tertinggi, seperti nomor satu adalah DKI Jakarta sebesar Rp 14 triliun, Jatim Rp6 triliun dan Banjarbaru. Dia menyatakan, data soal Banjarbaru tidak akurat.

    “Yang ketiga bagi saya ini kayaknya kurang pas, tidak akurat. Yang ketiga Kota Banjarbaru sebesar Rp5,1 triliun,” ujarnya.

    Tito menunjuk anak buahnya untuk mengecek ke Bank Sentral karena APBD Kota Banjarbaru itu Rp1,6 triliun. Kemendagri juga sudah mengecek langsung ke Wali Kota banjarbaru dan Kepala BKAD.

    “Itu sisa anggaran Rp862 miliar. Hampir tidak masuk logika kami yang sudah biasa tangani seperti ini. Apa mungkin simpanan melebihi APBD. Kecuali itu daerah penghasil yang luar biasa. Ini APBD Rp1,6 triliun, simpanan Rp5,1 triliun,” papar Tito.

    Tito mengatakan, sepanjang pengetahuannya tidak pernah ada gap yang demikian tinggi. Dia menduga ada human error dalam pencatatan di sistem perbankan.

    Mantan Kapolri ini juga menyoroti data Purbaya terkait dana sebesar Rp 2,6 triliun milik Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulut. Menurutnya, data tersebut janggal dan aneh.

    “Yang agak aneh bagi saya itu Kepulauan Talaud. Tercatat di situ (data Kemenkeu) Rp 2,6 triliun. Itu APBD Kabupaten Kepulauan Talaud Rp820 miliar. Masa simpan Rp2,1 triliun, dari mana uangnya,” ujar Tito.

    Padahal, menurutnya, Talaud tidak memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat. PAD Kabupaten Kepulauan Talaud sebesar Rp 20 miliar.

    “Dari mana uang yang lain, apa mungkin ada penangkapan kapal besar-besaran, atau penangkapan ikan,” tuturnya sambil menoleh ke Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud Welly Titah.

    Hal yang hampir sama juga terjadi di Jawa Barat. Data per Oktober 2025 sebesar Rp 2,6 triliun. Sebelumnya di Agustus 2025 pernah mencapai Rp 3,8 triliun, dutambah Rp300 miliar berasal dari uangnya Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang disimpan di Bank Jabar.

    “BLUD itu seperti rumah sakit, itu karena ada perputaran uang di sana. Itu kan disimpan di bank juga, kemudian diakumulasikan Rp3,8 triliun ditambah Rp300 miliar sama dengan Rp4,1 triliun di bulan Agustus,” ungkapnya.

    Uang itu sudah dibayarkan untuk belanja pegawai, operasional, kegiatan membangun jalan, sehingga sisanya Rp2,6 triliun, persis sama dengan data yang ada di Kemendagri.

    “Case yang di Jabar clear, data yang ditampilkan (Kemenkeu) data yang di bulan Agustus, 31 Agustus. Sementara data yang dipegang Pak Dedi (Gubernur Jabar Dedi Mulyadi) dan data kemendagri Rp2,6 triliun itu di bulan Oktober. Artinya sudah dibelanjakan,” ujarnya.

     

  • Legislator nilai rencana Pemprov DKI terbitkan obligasi patut dihargai

    Legislator nilai rencana Pemprov DKI terbitkan obligasi patut dihargai

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Komisi A DPRD DKI Jakarta Mujiyono menilai rencana penerbitan obligasi oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta patut dihargai di tengah keterbatasan ruang fiskal.

    “Ini menunjukkan keberanian mencari cara baru untuk membiayai pembangunan, di tengah keterbatasan ruang fiskal yang semakin nyata,” kata Mujiyono di Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, rencana Pemprov DKI untuk menerbitkan obligasi daerah pada dasarnya merupakan langkah yang patut dihargai. Namun, perlu diingat bahwa obligasi bukan sekadar utang, melainkan janji kepada publik.

    “Janji bahwa uang yang dipinjam akan kembali dalam bentuk manfaat nyata bagi warga Jakarta. Karena itu, setiap langkahnya harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan keterbukaan,” ujar Mujiyono.

    Dia mengatakan terdapat sejumlah regulasi yang mengatur obligasi daerah dengan jelas.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 87 Tahun 2024, sambung dia, penerbitan obligasi hanya diperbolehkan untuk proyek investasi publik yang produktif, misalnya transportasi publik, air bersih, atau pengelolaan limbah kota.

    “Bukan untuk proyek rutin, bukan untuk belanja seremonial, apalagi sekadar menutup defisit anggaran,” tutur Mujiyono.

    Lebih lanjut, dia menuturkan mekanisme penerbitan obligasi daerah tidak sederhana karena terdapat delapan tahapan resmi yang harus dilalui.

    Tahapan tersebut, mulai dari perencanaan proyek, persetujuan DPRD, pertimbangan dari Kementerian Dalam Negeri, penilaian dari Kementerian Keuangan, hingga proses pendaftaran dan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

    “Setiap tahap melibatkan lembaga yang berbeda agar tidak ada satu pihak pun yang bisa bertindak sepihak,” ucap Mujiyono.

    Bahkan, kata dia, dalam peraturan terbaru, yakni PMK Nomor 87 Tahun 2024 dan POJK Nomor 10 Tahun 2024, disebutkan bahwa pemerintah daerah diwajibkan memenuhi rasio kemampuan bayar minimal 2,5 kali lipat, serta memastikan total utang tidak melebihi 75 persen dari pendapatan daerah yang tidak ditentukan penggunaannya.

    “Angka-angka ini bukan sekadar formalitas. Ini batas aman agar utang daerah tetap terkendali dan tidak menjadi beban APBD di tahun-tahun berikutnya,” tegas Mujiyono.

    Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo mengungkapkan rencana penerbitan obligasi daerah saat ini memasuki tahap pembahasan, dan diharapkan segera rampung.

    “Pada waktu itu, dari Balai Kota sudah bertemu dengan direktur yang bertanggung jawab untuk menerbitkan obligasi daerah, yang memberikan approval (persetujuan). Kita sedang dalam pembahasan, dan mudah-mudahan segera terselesaikan,” kata Pramono, Kamis (16/10).

    Seperti diketahui, Pramono berencana menerbitkan obligasi atau surat utang daerah untuk menambah pemasukan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2026.

    Rencana obligasi daerah itu muncul setelah pemerintah pusat memutuskan untuk memangkas dana transfer berupa dana bagi hasil (DBH) ke Jakarta sebesar Rp15 triliun.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Tingkatkan Kompetensi Kepala Daerah, Mendagri Teken MoU dengan Lemhannas dan PYC
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 Oktober 2025

    Tingkatkan Kompetensi Kepala Daerah, Mendagri Teken MoU dengan Lemhannas dan PYC Nasional 24 Oktober 2025

    Tingkatkan Kompetensi Kepala Daerah, Mendagri Teken MoU dengan Lemhannas dan PYC
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menandatangani nota kesepahaman (
    memo of understanding
    /MoU) tentang Pelaksanaan Kursus Pemantapan Pimpinan Daerah (KPPD) Tahun 2025.
    Penandatanganan MoU tersebut dilakukan bersama Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Ace Hasan Syadzily dan Ketua Dewan Pembina Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Purnomo Yusgiantoro di Kantor Lemhannas RI, Jakarta, Jumat (24/10/2025).
    Kesepakatan ini menjadi bagian dari upaya Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk meningkatkan kompetensi kepala daerah. 
    Dalam sambutannya, Tito menjelaskan bahwa desentralisasi membuat peran kepala daerah semakin penting karena mereka mengelola sejumlah urusan pemerintahan.
    Melalui pemilihan secara demokratis, kepala daerah memiliki legitimasi kuat dari rakyat. Namun, hal ini juga menghadirkan tantangan tersendiri mengingat latar belakang dan kapasitas setiap kepala daerah sangat beragam.
    Tidak sedikit kepala daerah terpilih merupakan pejabat baru yang belum memiliki pengalaman memimpin daerah. Oleh karena itu, penguatan kapasitas kepala daerah menjadi kebutuhan mendesak. 
    Tito menekankan pentingnya peningkatan kemampuan di bidang pelayanan publik, manajerial, dan kepemimpinan.
    “Paling tidak mereka memiliki kemampuan pelayanan dasar, pelayanan publik, itu yang paling utama. Kehadiran negara, kehadiran daerah itu utamanya (ada di) pelayanan publik yang dirasakan oleh rakyat,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (24/10/2025).
    Tito menyebut, pelayanan dasar yang perlu dipahami kepala daerah terdiri dari enam standar pelayanan minimal (SPM).
    Enam SPM tersebut mencakup bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketenteraman, ketertiban umum dan perlindungan masyarakat (trantibumlinmas), serta sosial.
    Lebih lanjut, Tito menilai, pelatihan bagi kepala daerah perlu mengombinasikan materi kebangsaan, manajerial, dan praktik langsung di lapangan.
    Ia mendorong kegiatan seperti KPPD agar memberikan kesempatan bagi peserta untuk belajar dari negara lain yang telah sukses membangun sistem pemerintahan secara efisien.
    Melalui pembelajaran tersebut, Tito berharap kepala daerah dapat melahirkan banyak ide untuk membangun wilayahnya.
    “Akan bisa membuat kepala daerah ini punya inovasi (ketika) kembali ke daerah masing-masing untuk bisa terapkan apa yang bisa diaplikasikan di daerahnya,” katanya.
    Selain itu, Tito juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (
    corporate social responsibility/
    CSR) dalam mendukung pelatihan kepala daerah. 
    Ia berharap, program pelatihan kepala daerah dapat dijalankan secara berkelanjutan dan menjangkau lebih banyak peserta di masa mendatang.
    “Kami Kemendagri siap untuk selalu bersama-sama meluncurkan program ini. Kami yakin program ini akan banyak manfaatnya untuk kepala daerah dan otomatis nanti kalau mereka maju daerahnya bisa kontribusi untuk Indonesia,” jelas Tito.
    Sementara itu, Gubernur Lemhannas Ace Hasan Syadzily mengatakan bahwa kerja sama ini merupakan wujud komitmen untuk mempersiapkan para pemimpin daerah yang tangguh, berintegritas, dan berwawasan kebangsaan.
    “Sebagai pendukung dalam mengemban tugas-tugas kepemimpinan di daerahnya masing-masing,” tegasnya.
    Ace menjelaskan, pelaksanaan KPPD akan berlangsung pada 4–18 November 2025 di Jakarta dan Singapura, dengan kurikulum yang telah dirancang bersama Kemendagri dan PYC.
    Pembelajaran di Singapura akan memperdalam berbagai isu strategis terkait pelayanan publik yang perlu dikuasai oleh kepala daerah.
    “Salah satunya misalnya terkait pelayanan publik di bidang kesehatan, pendidikan,
    waste management
    atau persampahan, kemudian digitalisasi, itu menjadi hal yang nanti akan kita pelajari,” jelas Ace.
    Sebagai informasi, penandatanganan MoU tersebut juga dihadiri oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri Tomsi Tohir, Sekretaris Utama Lemhannas RI Komjen Pol Panca Putra, Ketua Umum PYC Filda Yusgiantoro, serta pejabat terkait lainnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK dan Menkeu Purbaya Sepakat Korupsi Masih jadi Masalah di Pemerintahan RI

    KPK dan Menkeu Purbaya Sepakat Korupsi Masih jadi Masalah di Pemerintahan RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Korupsi dianggap masih menjadi akar permasalahan di Indonesia yang mengakibatkan tata kelola pemerintahan dari pusat ke daerah tidak berjalan maksimal. Masyarakatpun turut terdampak atas keegoisan segelintir pihak. 

    Persoalan itu diakui oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahwa korupsi merupakan biang kerok masalah di Tanah Air. Uang yang digelontorkan pemerintah seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat justru disalahgunakan

    “Ya, sepakat dengan hal tersebut, karena memang korupsi sampai dengan saat ini masih menjadi salah satu PR utama bangsa Indonesia. Dengan adanya korupsi yang masih terus terjadi, maka anggaran-anggaran yang disiapkan menjadi tidak optimal digunakan, diserap untuk pembangunan. Dengan adanya korupsi, sebagian anggaran tersebut bocor,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, dikutip Jumat (24/10/2025).

    Budi menyampaikan bahwa korupsi menjadi hal yang ironi karena kualitas layanan masyarakat berada di bawah standar.

    Dia mencontohkan kasus penyelewengan dana hibah untuk Kelompok Kerja (Pokja) di Jawa Timur hanya terserap 50%-60% ke masyarakat. Sebab beberapa pihak melakukan pengkondisian pembagian dana tersebut.

    “Misalnya berangkat dari perkara yang ditangani oleh KPK, salah satunya hibah di Jawa Timur terkait dengan hibah untuk Kelompok Masyarakat. Dalam fakta-fakta yang ditemukan penyidik pada perkara itu, misalnya dari 100% anggaran ternyata hanya sekitar 50%-60%,” ungkap Budi.

    Budi menuturkan bahwa KPK akan memperketat supervisi ke lembaga maupun kementerian serta pihak terkait dari tingkat pusat hingga daerah guna menekan angka korupsi. KPK, katanya, juga akan bekerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menangani hal tersebut.

    Kegelisahan itu juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Purbaya. Sebagai bendahara negara, dia mengungkapkan kasus korupsi mengakibatkan anggaran pemerintah tidak terserap secara optimal. 

    Purbaya menyinggung data Survei Penilaian Integritas 2024 berada di level 71,53% atau masih di bawah target 74%. Terlebih dia mengatakan sejumlah Pemerintah Daerah (Pemda) yang masuk dalam zona merah atau zona rawan kasus korupsi, di mana rata-rata kasus terjadi di 67 provinsi dan 69 kabupaten. 

    “Data KPK juga mengingatkan kita dalam 3 tahun terakhir masih banyak kasus di daerah dari suap audit BPK di Sorong dan Meranti, jual beli jabatan di Bekasi sampai proyek BUMD di Sumatera Selatan. Artinya reformasi tata kelola ini belum selesai,” kata Purbaya pada Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di kantor Kemendagri, Jakarta, Senin (20/10/2025).  

    Korupsi juga mengakibatkan bocornya anggaran pemerintah untuk program-program strategis. Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjelaskan sejumlah pihak kerap melakukan gratifikasi dan jual-beli jabatan untuk melancarkan aksinya yang merugikan keuangan negara.

    “KPK bilang sumber risikonya yang masih itu-itu aja, jual-beli jabatan, gratifikasi, intervensi pengadaan. Padahal kalau itu kalau itu enggak diberesin semua program pembangunan bisa bocor di tengah jalan,” ujarnya.

    Dampak lainnya adalah anggaran ke daerah sulit untuk ditambahkan. Purbaya menjelaskan bahwa Presiden masih ragu menambah penyaluran dana ke daerah karena kerap disalahkan gunakan untuk kepentingan pribadi maupun pihak-pihak tertentu.

    “Saya bisa hitung berapa uang yang saya bisa tambah untuk TKD [transfer ke daerah]. Tapi dengan cara tadi tata kelolanya sudah baik, kalau jelek saya enggak bisa ajukan ke atas. Presiden kurang suka rupa-rupanya kalau itu,” ucap Purbaya.

    Baginya uang rakyat harus digunakan dengan optimal agar manfaat dirasakan langsung ke rakyat. Dia meminta kepada seluruh pihak menggunakan anggaran sebaik mungkin dan menjunjung integritas guna kebocoran dana tidak terjadi.

    Purbaya percaya jika anggaran digunakan sebagaimana mestinya mampu mendongkrak investasi di dalam negeri dan ekonomi daerah semakin tangguh.

    “Saya percaya dengan kerja disiplin, dan niat yang bersih kita bisa menjaga stabilitas dan sekaligus memperkuat pertumbuhan ekonomi di daerah maupun secara keseluruhan nasional,” terangnya