Kementrian Lembaga: Kemendagri

  • Wamendagri minta kepala daerah bangun ekosistem inovasi berbasis riset

    Wamendagri minta kepala daerah bangun ekosistem inovasi berbasis riset

    Semua penemuan di negara-negara maju, kota-kota yang advance, itu pasti didorong oleh riset yang serius

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto meminta kepala daerah di seluruh Indonesia untuk membangun ekosistem inovasi yang berbasis riset berkelanjutan sebagai fondasi tata kelola pemerintah daerah (Pemda) yang sehat.

    “Ekosistem ini harus dibangun. Inovasi ini bukan sebatas pertarungan, persaingan untuk mendapatkan award, penghargaan, atau insentif saja,” kata Bima dalam kegiatan Penilaian dan Pemberian Penghargaan Innovative Government Award (IGA) Tahun 2025 di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Selasa.

    Bima menilai suksesi kepemimpinan di daerah sering kali tidak diiringi kesinambungan inovasi.

    Menurutnya, banyak inovasi masih sekadar mengincar penghargaan dan insentif dibanding memperkuat ekosistem inovasi secara jangka panjang.

    “Nah, tantangannya Bapak dan Ibu sekalian, terutama rekan-rekan kepala daerah, ekosistem ini harus dibangun,” ujarnya.

    Bima menjelaskan, ekosistem inovasi merupakan proses berkelanjutan yang ditopang riset mendalam. Tanpa dasar riset yang serius, inovasi sulit memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

    “Semua penemuan di negara-negara maju, kota-kota yang advance, itu pasti didorong oleh riset yang serius,” kata Bima.

    Ia mendorong kepala daerah untuk menggandeng lembaga penelitian seperti Badan Penelitian dan Pengembangan, think tank, hingga perguruan tinggi guna menghasilkan inovasi berkualitas.

    Bima juga mengingatkan pentingnya memperkuat landasan hukum agar inovasi dapat terimplementasi sebagai program resmi daerah.

    Untuk itu, Bima meminta kepala daerah menyusun payung hukum melalui Peraturan Kepala Daerah (Perkada) atau Peraturan Daerah (Perda).

    “Nonsense inovasi bisa berdiri sendiri berkelanjutan tanpa adanya pengaturan kelembagaan,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Bima menekankan bahwa inovasi sejati tercermin dari solusi yang konkret, nilai tambah yang jelas, integrasi yang kuat dalam sistem pemerintahan, serta bukti manfaat yang nyata, bukan hanya narasi atau pengakuan sepihak.

    “Jadi, sayang sekali kalau inovasi itu hanya untuk prestise, hanya untuk kebanggaan semu atau bahkan untuk popularitas kepala daerah,” kata Bima.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mendagri: Pemda Terlalu Banyak Perjalanan Dinas dan Rapat-rapat

    Mendagri: Pemda Terlalu Banyak Perjalanan Dinas dan Rapat-rapat

    Mendagri: Pemda Terlalu Banyak Perjalanan Dinas dan Rapat-rapat

  • Mendagri: Rp210 triliun capex Kopdeskel hidupkan ekonomi desa-daerah

    Mendagri: Rp210 triliun capex Kopdeskel hidupkan ekonomi desa-daerah

    “Ini luar biasa karena biasanya awal tahun belanja daerah lamban. Dana belum turun, kegiatan baru lelang, dan belanja baru meningkat di akhir tahun. Dengan Rp210 triliun yang turun di awal, akan ada kompensasi untuk menggerakkan ekonomi daerah sejak

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai anggaran belanja modal (capital expenditure/capex) Koperasi Desa dan Kelurahan (Kopdeskel) Merah Putih yang mencapai sekitar Rp210 triliun akan memberikan dampak besar sebagai motor penggerak keuangan daerah.

    “Ini luar biasa karena biasanya awal tahun belanja daerah lamban. Dana belum turun, kegiatan baru lelang, dan belanja baru meningkat di akhir tahun. Dengan Rp210 triliun yang turun di awal, akan ada kompensasi untuk menggerakkan ekonomi daerah sejak awal tahun,” kata Tito dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

    Tito mengungkapkan anggaran tersebut akan dikucurkan untuk pembangunan gerai dan fasilitas Kopdeskel Merah Putih di seluruh Indonesia. Pembangunan dilakukan dengan sistem padat karya dan memanfaatkan tenaga kerja dan sumber daya lokal.

    “Ini memberi efek berganda bagi daerah, terutama yang tengah menyesuaikan diri dengan pengalihan Transfer ke Daerah (TKD) dan masih mengandalkan PAD,” ujarnya.

    Tito menyebut, program Kopdeskel Merah Putih akan menjadi salah satu motor penggerak ekonomi di tingkat desa dan kelurahan. Dampaknya akan langsung dirasakan oleh masyarakat sekaligus membantu kepala daerah mencapai indikator kinerja utama (KPI).

    “Program ini akan membantu menurunkan kemiskinan, mengurangi pengangguran, memperbaiki gini ratio, dan menjaga inflasi. Pemerintah bisa lebih mudah melakukan intervensi ekonomi melalui koperasi yang hadir di desa,” kata Tito.

    Selain itu, keberadaan Kopdeskel Merah Putih juga akan menekan peran tengkulak dan rentenir, memperkuat ketahanan pangan, serta membuka peluang pertumbuhan ekonomi lokal secara merata.

    “Ini bukan hanya soal pembangunan fisik, tapi tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat desa. Setiap kepala daerah akan diuntungkan jika program ini berjalan karena berdampak langsung pada kesejahteraan warga,” tuturnya.

    Untuk merealisasikan program ini, Kemendagri meminta pemerintah daerah kabupaten/kota segera mendata aset lahan atau bangunan yang dapat digunakan untuk pembangunan Kopdeskel Merah Putih.

    Dari 75.266 desa, baru 5.339 desa (7 persen) yang memiliki data aset lahan atau bangunan, sedangkan dari 514 kabupaten/kota, baru 15 daerah (3 persen) yang melaporkan asetnya.

    Oleh karena itu, Tito meminta kepala daerah mempercepat proses ini karena menjadi prasyarat utama penyaluran dana Rp210 triliun tersebut.

    “Pendataan ini harus jadi prioritas. Kami minta kepala daerah membentuk satgas, berkoordinasi dengan sekda, dinas pemerintahan desa, dan dinas koperasi,” kata Mendagri.

    Kemendagri juga menyiapkan tim supervisi yang dipimpin Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto untuk memantau progres setiap dua hari sekali dan melakukan evaluasi mingguan.

    Daerah dengan kinerja terbaik akan menerima insentif tambahan sebesar Rp5 miliar pada Februari 2026.

    Tito menekankan, lahan yang digunakan untuk Kopdeskel Merah Putih harus memenuhi empat kriteria utama: pertama status hukum jelas, seperti aset desa, pemda, atau hibah. Kedua, luas minimal 1.000 meter persegi. Ketiga, lokasi strategis dan mudah diakses publik.Keempat, bebas dari risiko bencana alam.

    Beberapa daerah mulai menunjukkan dukungannya. Pemkab Aceh Barat, misalnya, tengah menyiapkan lahan untuk 16 Kopdeskel prioritas tahap awal. Sementara di Kabupaten Mappi, Papua Selatan, pemerintah daerah berencana membangun 7 hingga 8 Kopdeskel Merah Putih setelah proses pemetaan aset selesai.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Wamendagri minta pemda percepat pendataan lahan Koperasi Merah Putih

    Wamendagri minta pemda percepat pendataan lahan Koperasi Merah Putih

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto meminta pemerintah daerah (Pemda) untuk melakukan percepatan pendataan penyediaan lahan untuk pembangunan gerai Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdeskel) Merah Putih.

    “Tugas kita sekarang adalah mempercepat pendataannya, karena ini bukan hal yang mudah mempercepat pendataan tadi. Kementerian Dalam Negeri berdasarkan arahan dari Pak Mendagri telah menyusun satu tim yang secara khusus bertugas untuk melakukan percepatan,” kata Bima di Jakarta, Senin.

    Hal ini disampaikannya pada Rapat Koordinasi (Rakor) Kopdeskel Merah Putih yang digelar secara hybrid dari Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Senin.

    Bima menjelaskan, Kemendagri memiliki mandat untuk melakukan percepatan pendataan lahan. Tahapan ini sangat penting karena setelah badan hukum selesai, akan dilanjutkan dengan pembangunan gerai Kopdeskel di seluruh Indonesia. Pemerintah menargetkan pembangunan 80 ribu gerai pada awal tahun depan.

    Bima memaparkan empat kriteria utama lahan yang perlu dipenuhi sebelum diinput ke portal PT Agrinas Pangan Nusantara.

    Pertama, lahan harus memiliki alas hak yang jelas, yakni kepemilikan yang sah dan tercatat sebagai aset Pemda ataupun kementerian/lembaga. Kedua, luas lahan memadai, sekurang-kurangnya seribu meter persegi untuk mendukung pembangunan gedung dan sarana penunjang.

    Ketiga, lokasi berada di titik strategis, mudah dijangkau, dekat fasilitas umum, dan memiliki akses jalan yang baik. Keempat, kondisi lahan siap dibangun, tidak berada di area rawan bencana, serta bebas dari jaringan listrik Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET).

    “Jadi, lahannya ini adalah lahan yang matang, Bapak-Ibu sekalian. Nah, ini empat kriteria lahan tadi. Nah, di lapangan kami ingin menajamkan bagaimana mekanisme koordinasi untuk pendataan,” ujarnya.

    Hingga sore ini, Bima menyampaikan bahwa portal Agrinas baru merekam 5.981 data lahan, jumlah yang dinilai masih jauh dari target. Ia menekankan perlunya verifikasi secara ketat, terutama di sejumlah daerah, untuk memastikan kesesuaian data dengan kriteria.

    Bima turut menyoroti masih ditemukannya data tidak wajar, seperti luas lahan hanya satu meter persegi atau keterangan yang tidak akurat.

    Selain itu, Pemda diminta berkoordinasi dengan danramil, dandim, dan babinsa di wilayah masing-masing.

    “Kemudian apabila di lapangan ini cocok dan sesuai, maka Koramil dan Babinsa ini melaporkan hasil pendataan kepada Pak Dandim. Pak Dandim kemudian meng-input lahan tersebut melalui portal command center untuk diverifikasi. Nanti di sana akan diverifikasi lagi apakah sesuai dengan kriteria, luasan, lokasi, dan kesiapan lahan, dan lain-lain,” kata Bima.

    Selanjutnya, Bima meminta Pemda untuk fokus melakukan pendataan aset yang memenuhi kriteria gerai kopdeskel, baik yang telah memiliki bangunan maupun yang masih berupa lahan. Pemda juga diminta mengambil langkah taktis sesuai kondisi lapangan, serta memastikan proses pendataan dilakukan secara menyeluruh dan sesuai ketentuan.

    “Bapak-Ibu diminta untuk lebih memfokuskan langsung kepada aset-aset, mendata aset yang betul-betul sesuai dengan kriteria pembangunan gerai kopdes,” jelasnya.

    Pada kesempatan tersebut, Bima turut memperkenalkan para ketua tim wilayah yang bertugas dalam pendataan dan pembangunan gerai kopdeskel, yakni: Edi Mardianto untuk wilayah Sumatra; Wahyu Bintono Hari Bawono untuk wilayah Jawa; Hoiruddin Hasibuan untuk Kalimantan dan Sulawesi; serta La Ode Ahmad untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Ia juga mendorong Pemda untuk berkoordinasi dengan narahubung (person in charge/PIC) masing-masing wilayah apabila diperlukan.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPD RI minta Purbaya evaluasi mekanisme TKD agar sesuai kebutuhan riil

    DPD RI minta Purbaya evaluasi mekanisme TKD agar sesuai kebutuhan riil

    Jakarta (ANTARA) – Komite IV DPD RI meminta kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengevaluasi menyeluruh terhadap formula dan mekanisme alokasi Transfer ke Daerah (TKD) agar mencerminkan kebutuhan riil daerah, serta berorientasi pada pemerataan fiskal antar wilayah.

    Hal itu menjadi salah satu kesimpulan Rapat Kerja Komite IV DPD RI bersama Purbaya yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPD RI Tamsil Linrung di kompleks parlemen, Jakarta, Senin. Kesimpulan itu pun dibacakan oleh Wakil Ketua Komite IV Novita Anakotta.

    “Kementerian Keuangan agar mencermati dan memperhatikan masukan-masukan dari Anggota DPD RI,” kata Novita.

    Menurut dia, DPD RI juga meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan simplifikasi regulasi dan syarat salur dalam penyaluran TKD (DAK, Dana Otsus, dan TKD lainnya) agar penyaluran lebih cepat dalam mendukung realisasi proyek infrastruktur dasar seperti sekolah, puskesmas, dan jalan.

    “Reformasi atas penyaluran harus diarahkan agar lebih fleksibel, memiliki hasil guna tinggi, dan selaras dengan prioritas daerah,” kata dia.

    Selain itu, dia mengatakan Kemenkeu juga perlu memperkuat koordinasi lintas Kementerian/Lembaga (terutama Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri) agar kebijakan fiskal pusat tidak berdampak kontraktif terhadap daerah. Sinergi itu penting untuk memastikan TKD tetap berfungsi sebagai instrumen stabilisasi ekonomi.

    “Komite IV DPD RI meminta Kementerian Keuangan untuk meningkatkan transparansi alokasi, guna menjaga stabilitas fiskal daerah serta efektivitas desentralisasi,” katanya.

    Untuk itu, dia meminta Kemenkeu melibatkan DPD RI selaku representasi daerah dalam menyusun berbagai kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan daerah agar DPD RI dapat memastikan bahwa kepentingan daerah telah terakomodir dengan baik.

    Dia pun menyampaikan bahwa DPD RI dan Kemenkeu sepakat untuk memperkuat sinergi kebijakan fiskal pusat-daerah, terutama dalam meningkatkan efektivitas TKD dan PAD, mempercepat belanja produktif, menjaga keseimbangan fiskal vertikal dan horisontal, serta meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah sesuai amanat undang-undang.

    “Komite IV DPD RI meminta agar Inpres Nomor 1 Tahun 2025 serta penurunan anggaran TKD di tahun 2026, terus dipantau dampaknya terhadap daerah,” katanya.

    Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan bahwa pihaknya terus berupaya meminimumkan ketimpangan vertikal dan horisontal dalam rangka penguatan fiskal daerah, peningkatan kualitas belanja, serta sinergi pusat dan daerah.

    Kemudian pihaknya juga terus memperkuat sistem perpajakan daerah, meningkatkan kualitas belanja daerah, dan mengharmonisasikan belanja pusat dan daerah.

    Dia pun memaparkan dalam grafis bahwa mayoritas wilayah-wilayah di Indonesia masih lebih memiliki anggaran belanja yang lebih besar dibandingkan anggaran pendapatan.

    Dari grafis tersebut, wilayah yang memiliki anggaran pendapatan yang lebih besar dibandingkan anggaran belanja yakni wilayah Jawa. Namun hal itu, kata dia, bukan berarti daerah-daerah memiliki kondisi keuangan yang kurang baik.

    “Nanti (daerah) yang miskin yang income-nya rendah, kalau bisa dikasih lebih banyak sedikit, kalau nggak nanti kita bikin yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya. Saya akan minta mereka melakukan revisi DAU dan DAK-nya,” kata Purbaya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kanal Wadul Gus’e Pemkab Jember Sudah Tindak Lanjuti 8.372 Laporan Warga

    Kanal Wadul Gus’e Pemkab Jember Sudah Tindak Lanjuti 8.372 Laporan Warga

    Jakarta

    Wadul Gus’e Jadi Inovasi Jember Perkuat Transparansi Pelayanan Publik Pemkab Jember di bawah Bupati Muhammad Fawait (Gus Fawait) meluncurkan program ‘Wadul Gus’e’ sebagai kanal aspirasi dan pengaduan langsung masyarakat. Inovasi ini memperkuat transparansi dan respons cepat pemerintah dalam pelayanan publik.

    Program yang merupakan singkatan dari Wadah Aspirasi dan Pengaduan Langsung untuk Gus Fawait ini menjadi wujud komitmen Pemkab Jember dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan, responsif, dan terbuka terhadap aspirasi warga.

    Lewat kanal ini, masyarakat bisa menyampaikan aspirasi dan keluhan via WhatsApp di nomor 0811-3111-1108, media sosial Pemkab, atau layanan di kantor kecamatan. Semua laporan diproses digital dan ditindaklanjuti OPD sesuai bidangnya.

    “Wadul Gus’e bukan sekadar layanan aduan. Ini ruang dialog antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah tidak boleh menunggu, tapi harus hadir mendengar,” ujar Gus Fawait dalam keterangan tertulis, Senin (3/11/2025).

    Hingga Oktober 2025, Wadul Gus’e telah menindaklanjuti 8.372 laporan dengan tingkat penyelesaian 88 persen yang menjadi bukti nyata kehadiran pemerintah di tengah masyarakat.

    Gus Fawait menekankan pentingnya keterbukaan informasi sebagai dasar pemerintahan modern. Ia ingin birokrasi yang transparan dan responsif terhadap setiap aduan masyarakat.

    Wadul Gus’e kini terhubung dengan SP4N-Lapor, sistem nasional pengaduan publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB), sehingga laporan warga bisa dipantau lintas instansi dengan indikator penyelesaian yang jelas dan transparan.

    Sepanjang 2025, Wadul Gus’e meraih sejumlah penghargaan bergengsi, termasuk IMPACT Award dari MarkPlus Institute, Beritajatim Award, dan Apresiasi 100 Hari Inovasi oleh JTV yang menobatkan Gus Fawait sebagai Kepala Daerah Inovatif.

    Kementerian Dalam Negeri melalui BSKDN juga mengapresiasi Wadul Gus’e sebagai praktik pemerintahan yang responsif dan inovatif, menegaskan komitmen Jember terhadap pelayanan publik yang cepat, transparan, dan berkualitas.

    Inovasi ini meneguhkan posisi Pemkab Jember sebagai pelopor keterbukaan informasi dan layanan partisipatif berbasis teknologi di level kabupaten.

    “Transparansi bukan hanya kewajiban hukum, tapi kebutuhan moral. Ketika rakyat bisa bicara dan didengar, kepercayaan terhadap pemerintah akan tumbuh,” pungkas Gus Fawait.

    (anl/ega)

  • Sampaikan Orasi Ilmiah di Unsri, Mendagri Uraikan Peran Pendidikan Tinggi Songsong Indonesia Emas 2045

    Sampaikan Orasi Ilmiah di Unsri, Mendagri Uraikan Peran Pendidikan Tinggi Songsong Indonesia Emas 2045

    Sampaikan Orasi Ilmiah di Unsri, Mendagri Uraikan Peran Pendidikan Tinggi Songsong Indonesia Emas 2045
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menyampaikan orasi ilmiah pada acara Dies Natalis ke-65 Universitas Sriwijaya (Unsri) di Auditorium Unsri Kampus Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel), Senin (3/11/2025).
    Dalam kesempatan tersebut, Tito selaku Ketua Majelis Wali Amanat (MWA) Unsri memaparkan peran penting pendidikan tinggi dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
    Menurutnya, Indonesia Emas 2045 bukan sekadar momentum seratus tahun kemerdekaan RI, melainkan sebuah harapan, target, sekaligus proyeksi bahwa Indonesia akan sejajar dengan negara-negara maju pada 2045.
    Keyakinan tersebut juga sejalan dengan berbagai prediksi lembaga internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), McKinsey, dan World Bank.
    “Dengan
    trajectory
    pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik yang baik, Indonesia akan melompat. Tahun 2040 sampai 2045 menjadi kekuatan ekonomi dominan nomor empat atau nomor lima terbesar di dunia,” ujar Tito dalam keterangan resminya, Senin.
    Ia optimistis, proyeksi tersebut dapat diwujudkan. Keyakinan ini dilandasi oleh banyaknya potensi Indonesia, salah satunya pertumbuhan ekonomi yang kuat.
    Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi dari sisi struktur sosial-ekonomi, khususnya tumbuhnya kelas menengah.
    Tito menilai, dominasi kelas menengah yang terdidik dan terlatih akan menjadi pendorong utama Indonesia menuju negara maju.
    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tercatat 17,13 persen penduduk Indonesia merupakan kelas menengah, sedangkan 49,22 persen merupakan masyarakat menuju kelas menengah.
    “Artinya, ada harapan untuk kita menjadi negara maju yang didominasi kelas menengah,” ungkap Tito.
    Ia menambahkan, keyakinan lain terhadap terwujudnya Indonesia sebagai negara maju didasarkan pada dua hal, yakni perubahan paradigma pertarungan dunia dari realisme ke liberalisme dan konstruktivisme, serta studi empiris personal.
    Pada aspek
    pertama
    , Tito menjelaskan bahwa paradigma realisme melihat negara sebagai aktor utama dalam politik global.
    Pandangan tersebut kemudian bergeser ke paradigma liberalisme yang menekankan peran aktor non-negara sebagai tokoh sentral.
    Saat ini, dinamika itu berkembang ke paradigma konstruktivisme yang memuat norma-norma yang mengatur negara maupun aktor non-negara.
    Pada aspek
    kedua
    , Tito menceritakan pengalamannya menyaksikan sejumlah negara yang mengalami kemajuan pesat.
    Ia mencontohkan transformasi China, yang semula negara berkembang, namun kini menjadi kekuatan ekonomi dunia berkat optimalisasi sumber daya manusia (SDM).
    “Kalau sumber daya manusianya hebat, sumber daya alamnya juga hebat, dikelola baik (kita akan) melompat ke negara (maju). Kunci (kita) adalah pendidikan, untuk menjadi tenaga kerja yang unggul, maka angkatan kerja kita harus terdidik dan terlatih, serta sehat,” tegas Tito.
    Sebagai informasi, kegiatan tersebut juga dihadiri Gubernur Sumsel Herman Deru, Rektor Unsri Taufiq Marwa, Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Keuangan Daerah (Keuda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Agus Fatoni, Wali Kota Palembang Ratu Dewa, Bupati Ogan Ilir Panca Wijaya Akbar, dan Bupati Musi Banyuasin M Toha Tohet.
    Hadir pula para sivitas akademika Unsri, forum koordinasi pimpinan daerah (forkopimda) Provinsi Sumsel, serta pejabat terkait lainnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • BPS Mau Bikin Indikator Situasi Ekonomi per Bulan, Beda dengan Data PDB

    BPS Mau Bikin Indikator Situasi Ekonomi per Bulan, Beda dengan Data PDB

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) sedang mengembangkan indikator proxy untuk melihat situasi dan kondisi perekonomian secara komprehensif dalam periode setiap satu bulan sekali. 

    Kepala BPS Amalia Adininggar Widyansanti menjelaskan bahwa indikator proxy yang sedang dikembangkan lembaganya itu disusun dari berbagai indikator perekonomian yang telah diperoleh sebelumnya seperti di antaranya inflasi, neraca dagang, hingga jumlah wisatawan nusantara maupun mancanegara. 

    Amalia juga menyebut pihaknya juga akan menambahkan sejumlah data indikator yang akan menggambarkan perekonomian setiap bulannya, tetapi enggan diperinci lebih lanjut. 

    “Jadi, BPS mengembangkan indikator proxy, yang berbasis kepada indikator bulanan yang diperoleh oleh BPS. Itu kayak kami mengeluarkan indeks perkembangan harga saja, karena kan inflasi setiap bulan, setiap minggunya kami mengeluarkan indeks perkembangan harga,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip pada Senin (3/11/2025). 

    Namun demikian, Amalia memastikan bahwa indikator proxy yang nantinya menggambarkan kinerja perekonomian setiap bulannya itu, bukan terkait dengan data PDB atau pertumbuhan ekonomi. 

    Dia menyebut pertumbuhan ekonomi akan tetap dirilis setiap tiga bulan sekali atau secara kuartalan.

    “Ini bukan [data] pertumbuhan ekonomi. Saya tidak akan rilis pertumbuhan ekonomi tiap bulan, enggak bisa itu,” ujar perempuan yang pernah menjabat Deputi Kementerian PPN/Bappenas itu.

    Indikator proxy itu, lanjut Amalia, juga akan menyertakan data-data dari pemerintah. Misalnya, data penerimaan maupun belanja pemerintah pusat (APBN) atau daerah (APBD).

    Saat ditanya apabila indikator proxy yang dimaksud olehnya itu akan dirilis ke publik, Amalia menyebut pihaknya belum memiliki keputusan. Proses penyusunan indikator-indikator itu juga masih berlangsung. 

    Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian sempat menyinggung telah meminta BPS mencari rumus untuk menghitung pertumbuhan ekonomi setiap bulannya. Tito menyebut telah berkomunikasi dengan Amalia.

    Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah meminta BPS mencarikan rumus penghitungan kondisi inflasi setiap pekan. Data itu kini sudah dibahas oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) setiap minggunya. 

    “Nah, ini pertumbuhan ekonomi per triwulan, saya minta ada indikator yang silakan Ibu [Kepala BPS] cari rumusnya, bisa paham sebulan sekali. Jadi kami sudah keluar sekarang rumusnya per sebulan sekali, kami akan bisa petakan,” terang Tito pada acara Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia X Indonesia Fintech Summit Indonesia (FEKDI X IFSE) 2025, Jakarta, Jumat (31/10/2025).

    Dengan adanya data tersebut, mantan Kapolri itu menyebut kini capaian pertumbuhan ekonomi bisa disampaikan ke setiap daerah. Dia mendorong agar seluruh pemerintah daerah (pemda) diajak untuk membahas data tersebut.

    “Jadi, kami bisa tahu pertumbuhan daerah yang tinggi, yang minus. Yang minus kami genjot,” terang Tito yang menjabat Mendagri sejak 2019 itu.

  • 9
                    
                        Dapat Perhatian Prabowo, Ujian ASN Bidan yang Diduga Jadi Korban Pungli Diulang
                        Medan

    9 Dapat Perhatian Prabowo, Ujian ASN Bidan yang Diduga Jadi Korban Pungli Diulang Medan

    Dapat Perhatian Prabowo, Ujian ASN Bidan yang Diduga Jadi Korban Pungli Diulang
    Tim Redaksi
    MEDAN, KOMPAS.com
    – Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution merespons video viral Aparatur Sipil Negara (ASN) bidan Farida Purba yang mengaku menjadi korban pungutan liar (pungli) saat ujian kenaikan pangkat.
    Bobby langsung memanggil Bupati
    Deli Serdang

    Asri Ludin Tambunan
    ke rumah dinasnya pada Minggu (2/11/2025) untuk menindaklanjuti persoalan tersebut.
    Dalam pertemuan itu, Bobby mengatakan kepada Asri Ludin bahwa kasus tersebut telah mendapat perhatian langsung dari Presiden
    Prabowo Subianto
    .
    “Saya mendapat perintah langsung dari Mendagri atas atensi Presiden terkait permasalahan video ini. Kami harapkan permasalahan ini dapat diselesaikan dengan baik dan akan diberikan solusi terbaik oleh bupati,” ujar Bobby dalam keterangan tertulisnya.
    Bobby kemudian memberi masukan agar
    ASN
    yang akan memasuki masa pensiun diberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat. Ia juga menyarankan agar ujian Farida, yang sebelumnya tidak lulus, diulang kembali.
    “Remedial (tes ulang) bisa kembali dijadwalkan oleh bupati dan diprioritaskan bagi pegawai yang akan pensiun. Kami harapkan permasalahan ini dapat diselesaikan dengan baik dan diberikan solusi terbaik,” katanya.
    Menanggapi arahan tersebut, Bupati Deli Serdang Asri Ludin menyatakan setuju. Ia memastikan pihaknya akan segera menyelenggarakan remedial test bagi 58 ASN yang sebelumnya tidak lulus, termasuk Farida.
    “Kita akan melaksanakan remedial kembali bagi 58 ASN yang tidak lulus, dan pelaksanaannya akan diselenggarakan oleh
    BKN Medan
    ,” kata Asri Ludin.
    Sebelumnya, video curahan hati Farida Deliana Purba viral di media sosial. Dalam unggahan akun Instagram @medanadaaja, tampak Farida mendatangi Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Deli Serdang untuk menyampaikan keluhannya terkait kenaikan pangkat.
    “Izin lapor Pak Presiden Prabowo Subianto, saya lagi di kantor BKD Deli Serdang Pak, saya terkendala dengan kepangkatan saya Pak, karena apa Pak? Saya terus dipungli, saya sudah ujian dinas, saya sudah memasukkan semua berkas saya, tapi saya tidak naik pangkat,” kata Farida dalam video itu.
    Farida mengaku merasa dizalimi karena tidak kunjung naik pangkat meski masa pensiunnya semakin dekat.
    “(Saya) sudah mau pensiun Pak tahun depan, jadi lah ini Kabupaten Deli Serdang, BKD-nya Pak, saya merasa teraniaya, saya merasa dizalimi, saya sudah mau pensiun tapi tetap golongan dua. Tapi kenapa naik pangkat di Deli Serdang ini sangat sulit,” ujarnya.
    Ia kemudian meminta bantuan Presiden Prabowo untuk menolongnya.
    “Jadi tolong Pak Presiden sebagai pembina tertinggi ASN, tolong saya dizalimi, tolong saya Pak, saya sudah mau pensiun ini, pejabat tidak peduli. Tolong saya Pak Presiden bantu saya, saya merasa teraniaya Pak, tidak naik pangkat sudah mau pensiun,” harapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Belanja APBD yang Selalu Menumpuk di Akhir Tahun

    Belanja APBD yang Selalu Menumpuk di Akhir Tahun

    Belanja APBD yang Selalu Menumpuk di Akhir Tahun
    Praktisi Pemerintahan
    SEKARANG
    ini, siapa pun bisa dengan mudah memantau kinerja belanja APBD setiap pemerintah daerah. Tidak perlu akses khusus, tidak butuh data dari orang dalam. Cukup buka Google, ketik portal APBD DJPK, lalu klik tautan yang muncul di hasil pencarian. Dalam hitungan detik, kita bisa melihat bagaimana kinerja belanja daerah di seluruh Indonesia, mulai dari tingkat nasional hingga ke kabupaten dan kota.
    Transparansi fiskal kini betul-betul ada di ujung jari. Itulah yang saya lakukan beberapa waktu lalu. Saya penasaran: bagaimana sebenarnya kinerja belanja APBD sampai dengan triwulan III tahun ini?
    Ketika saya memilih tampilan nasional di portal tersebut, datanya cukup menggelitik. Realisasi belanja daerah secara nasional baru mencapai 52,38%. Jika diuraikan, komposisinya adalah belanja pegawai 61,81%, belanja barang 49,85%, belanja modal 29,13%, dan belanja lainnya 56,49%.
    Kalau kita bandingkan dengan waktu yang sudah berjalan—tiga perempat tahun—angka tersebut jelas rendah. Idealnya, realisasi belanja daerah pada triwulan III sudah mencapai 70% dari total pagu anggaran. Artinya, pemerintah daerah baru menghabiskan separuh dari anggaran yang mereka miliki.
    Yang paling mengkhawatirkan adalah belanja modal—komponen yang paling berdampak langsung pada pembangunan fisik dan ekonomi masyarakat—karena realisasinya hanya 29,13%.
    Lambatnya realisasi belanja modal ini bukan sekadar angka di laporan. Ia mencerminkan lambatnya perputaran ekonomi di daerah, tertundanya pembangunan infrastruktur, dan berkurangnya peluang kerja. Uang publik yang seharusnya mendorong aktivitas ekonomi, justru mengendap di kas daerah.
    Rasa penasaran saya tidak berhenti di situ. Saya ingin tahu, provinsi mana yang paling cepat dan mana yang paling lambat menyerap anggaran. Apakah ada yang sudah mencapai target 70% itu? Syukurlah, portal DJPK tidak hanya menampilkan data nasional, tetapi juga menyediakan pilihan untuk melihat realisasi belanja per provinsi, bahkan sampai ke level kabupaten dan kota.
    Saya pun membuka satu per satu data per provinsi. Hasilnya cukup menarik, meski sekaligus memprihatinkan. Provinsi dengan kinerja belanja APBD tertinggi hanya mencapai 61,86%, dan itu satu-satunya yang berhasil menembus angka di atas 60%. Sementara yang terendah hanya 40,24%. Dari 38 provinsi, lebih dari separonya—tepatnya 23 provinsi—mencatat kinerja di bawah rata-rata nasional (52,38%). Bahkan, 16 provinsi masih di bawah 50%.
    Artinya, sebagian besar daerah belum menunjukkan progres yang menggembirakan dalam pelaksanaan anggaran. Padahal, pada triwulan III, seharusnya mesin belanja pemerintah daerah sudah bekerja lebih cepat.
    Kalau ditelisik lebih dalam lagi berdasarkan jenis belanja, situasinya makin jelas. Secara nasional, belanja modal—yang digunakan untuk membangun jalan, jembatan, fasilitas publik, dan sarana ekonomi lainnya—hanya 29,13%.
    Di tingkat provinsi, angka tertinggi 40,96%, dan hanya satu provinsi yang bisa menembus angka 40%. Yang paling rendah bahkan hanya 15,87%. Dari 38 provinsi itu, sebanyak 25 provinsi memiliki kinerja belanja modal di bawah rata-rata nasional.
    Jadi, apa maknanya? Satu kesimpulan sederhana: belanja daerah masih menumpuk di akhir tahun. Fenomena ini bukan hal baru. Setiap tahun, pola yang sama berulang. Awal tahun sibuk dengan perencanaan, pertengahan tahun lamban dalam pelaksanaan, dan menjelang akhir tahun baru dikejar-kejar realisasi.
    Proyek-proyek baru digarap di bulan November atau Desember, dikebut agar anggaran terserap. Tak jarang, hasilnya jauh dari optimal—entah karena kualitas pekerjaan menurun, atau karena pelaksanaan yang terburu-buru.
    Ada banyak penyebab mengapa hal ini terus terjadi. Pertama, proses perencanaan yang tidak matang. Banyak daerah yang terlambat menyelesaikan dokumen pelaksanaan anggaran (DPA), bahkan setelah tahun anggaran berjalan. Akibatnya, kegiatan baru bisa dimulai di pertengahan tahun.
    Kedua, proses pengadaan barang dan jasa yang lambat dan birokratis. Meski sistem
    e-procurement
    sudah diterapkan, tahapan administrasi tetap panjang. Tak jarang, lelang gagal karena peserta tidak memenuhi syarat, dan prosesnya harus diulang.
    Ketiga, faktor kehati-hatian yang berlebihan. Setelah berbagai kasus hukum menjerat pejabat daerah karena persoalan administrasi keuangan, banyak pejabat kini lebih memilih “aman” daripada “cepat”. Akibatnya, belanja ditunda-tunda, dan realisasi tertahan di akhir tahun.
    Padahal, dari sisi ekonomi, penyerapan anggaran pemerintah adalah salah satu motor penggerak utama. Ketika belanja daerah rendah, perputaran uang di masyarakat ikut melemah. Proyek tidak jalan, pekerja tidak terserap, konsumsi masyarakat turun.
    Belanja publik seharusnya bisa menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi daerah, bukan justru menjadi angka statis di laporan keuangan.
    Pemerintah pusat sebenarnya sudah berulang kali mengingatkan soal ini. Setiap tahun, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri mendorong percepatan realisasi APBD. Namun, tampaknya imbauan itu belum cukup menggugah perubahan di lapangan.
    Maka, jika melihat data realisasi hingga triwulan III tahun ini, kita tidak bisa menutup mata: mayoritas daerah masih belum efisien dalam mengelola belanja publiknya. Transparansi data di portal DJPK memang membuka akses bagi publik untuk melihat kinerjanya, tetapi transparansi tanpa akuntabilitas hanya akan melahirkan keterbukaan tanpa perubahan.
    Selama pola ini tidak berubah, cerita klasiknya akan terus berulang: realisasi rendah di awal tahun, menumpuk di akhir tahun, lalu semua berpacu dengan waktu demi mengejar angka serapan. Anggaran terserap, ya. Tapi efektivitasnya? Belum tentu. Dan pada akhirnya, publik pun kembali bisa menebak akhir ceritanya: belanja APBD masih menumpuk di penghujung tahun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.