Kementrian Lembaga: Kemendagri

  • Ormas Dilarang Pakai Seragam Mirip TNI-Polri, Sahroni DPR Sebut Harus Ada Sanksi Bagi yang Tak Patuh – Page 3

    Ormas Dilarang Pakai Seragam Mirip TNI-Polri, Sahroni DPR Sebut Harus Ada Sanksi Bagi yang Tak Patuh – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa organisasi kemasyarakatan (ormas) dilarang menggunakan atribut yang menyerupai TNI, Polri, atau Kejaksaan.

    Terkait hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mendukung langkah Kemendagri tersebut. Menurut dia, ormas yang mengenakan seragam bercorak mirip TNI atau Polri meresahkan masyarakat.

    “Lagian sudah lama praktik ini meresahkan masyarakat. Mereka yang bukan aparat negara, tiba-tiba hadir di ruang publik dengan seragam militeristik lengkap, memberi kesan seolah-olah mereka punya wewenang hukum. Jadinya malah seolah selevel dengan tentara dan polisi,” kata dia dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).

    “Makanya saya minta polisi harus memastikan semua ormas nurut agar tak ada lagi yang petantang petenteng sok jagoan,” sambungnya.

    Politikus NasDem juga berharap Kemendagri memberikan tenggat waktu kepada seluruh ormas yang masih mengenakan atribut menyerupai aparat, agar segera mengganti seragam mereka.

    “UU-nya sudah ada, tinggal ditegakkan. Saya harap Kemendagri kasih batas waktu, misalnya 30 hari, untuk ormas-ormas itu mengganti corak seragam. Kalau masih belum berubah atau malah beralasan, langsung saja jatuhkan sanksi, sampai pencabutan SK. Mau itu ormas kecil atau besar, gak ada urusan,” pungkasnya.

  • Prabowo Harus Perintahkan Tito Batalkan Kepmendagri soal Empat Pulau

    Prabowo Harus Perintahkan Tito Batalkan Kepmendagri soal Empat Pulau

    GELORA.CO -Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian harus bertanggung jawab atas dampak upaya pemindahan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut). 

    Terlebih pemindahan kepemilikan empat pulau itu terkesan sepihak karena tidak melibatkan Aceh. 

    Empat pulau yang dipindahkan adalah Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek.

    “Pengalihan empat pulau itu telah membuat gesekan antara warga Aceh dan Sumut. Padahal selama ini warga dua provinsi itu hidup damai,” kata pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga kepada RMOL, Senin 16 Juni 2025. 

    Atas dasar itu, Jamiluddin berpandangan, untuk mencegah konflik lebih luas, Presiden Prabowo Subianto harus segera memerintahkan Mendagri Tito Karnavian untuk membatalkan keputusannya tersebut. 

    “Hanya dengan membatalkan keputusan pengalihan empat pulau tersebut, ekskalasi amarah warga Aceh dapat diredakan,” kata Jamiluddin. 

    Bahkan, Jamiluddin menyarankan Presiden Prabowo untuk mengevaluasi Mendagri Tito dalam rangka mencegah potensi konflik horizontal terjadi. 

    “Presiden Prabowo juga harus mengevaluasi Tito sebagai Mendagri,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Nelayan dari Kabupaten Aceh Singkil, yang tergabung kedalan gerakan aliansi nelayan Aceh Singkil (Ganas) mengancam bakal melakukan patroli atau sweeping di wilayah empat pulau Aceh yang pindahkan ke Sumut. 

    Sweeping dilakukan untuk mempertahankan empat pulau Aceh yang sebelumnya masuk wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, namun saat ini sudah beralih ke wilayah Tapanuli Tengah (Tapteng), Provinsi Sumatera Utara berdasarkan keputusan menteri dalam negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138/2025.

    “Langkah ini untuk memastikan nelayan dari Tapanuli Tengah (Tapteng) Sumatera Utara tidak masuk melakukan aksi penangkapan ikan di empat pulau ini,” tegas Ketua gerakan aliansi nelayan Aceh Singkil (Ganas), Rahmi Yasir, Jumat 13 Juni 2025

  • Menteri Prabowo Siapkan SKB Turunan PP Tunas, Lindungi Anak di Ruang Digital

    Menteri Prabowo Siapkan SKB Turunan PP Tunas, Lindungi Anak di Ruang Digital

    Bisnis.com, MAKASSAR — Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan Anak dalam Ekosistem Digital (PP Tunas) akan diturunkan dalam bentuk Surat Keputusan Bersama (SKB) lintas kementerian.

    Meutya menyampaikan proses pembentukan SKB tersebut masih berlangsung dan melibatkan sejumlah kementerian yang terkait langsung dengan perlindungan anak.

    “Saya ingin tambahkan sedikit bahwa ini PP-nya akan diturunkan dalam bentuk SKB beberapa menteri. Tapi belum final [siapa sajanya], takutnya nambah,” kata Meutya dalam Kunjungan Kerja Menkomdigi di Balai Besar Pengembangan SDM dan Penelitian Komdigi Makassar pada Senin (16/6/2025). 

    Namun demikian, beberapa kementerian yang kemungkinan akan menerbitkan SKB antara lain Komdigi, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Republik Indonesia (BKKBN), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). 

    Dia menjelaskan, SKB ini akan menjadi dasar bagi masing-masing kementerian untuk mengeluarkan peraturan menteri (permen) sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas masing-masing. Tujuannya agar fokus penanganan perlindungan anak di ruang digital bisa dibagi secara lebih terstruktur antarinstansi.

    “Supaya kami bisa lebih fokus,” imbuhnya. 

    Lebih lanjut, Meutya menyoroti pentingnya peran KemenPPPA dalam menghadirkan ruang aman dan produktif bagi anak-anak, sebagai bagian dari ekosistem digital yang ramah anak.

    Meutya juga menegaskan bahwa pendekatan pemerintah tidak bersifat represif terhadap ekspresi digital masyarakat dewasa, namun menitikberatkan pada pembatasan akses bagi anak-anak terhadap konten negatif di dunia maya.

    “Betul kalau kami bisa take down semuanya, namun demikian karena memang kami sudah memilih memberikan keluangan berekspresi, maka yang dewasanya tetap boleh mengakses di dunia digital untuk memberikan macam-macam, berekspresi, mengawal pemerintahan, mengawasi, dan lain-lain. Jadi yang kita batasi adalah anak untuk masuknya dulu,” ujarnya.

    Pemerintah juga akan menerapkan dua skema dalam menindak konten negatif yang tersebar di platform digital. Skema pertama adalah penurunan konten secara langsung oleh pemerintah, dan yang kedua adalah perintah kepada platform digital untuk melakukan takedown konten sesuai aturan.

    “Kalau masuk di konten-konten yang negatif pasti pemerintahan akan take down, namun dua jalur, pemerintahan take down langsung, ada yang pemerintah memerintahkan sesuai namanya, pemerintah memerintahkan platform untuk take down,” tegas Meutya.

  • Status 4 Pulau Aceh Masuk Sumut Bukan di Masa Gubernur Bobby Nasution

    Status 4 Pulau Aceh Masuk Sumut Bukan di Masa Gubernur Bobby Nasution

    Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Safrizal ZA dalam rilis pers Puspen Kemendagri apada 11 Juni 2025, penetapan status administrasi Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang telah melalui proses verifikasi oleh Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi.

    Setelah seluruh tahapan dilalui, status 4 pulau tersebut kemudian ditetapkan secara resmi melalui Kepmendagri.

    Diceritakan Safrizal, proses verifikasi telah dilakukan sejak 2008. Saat itu, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi melakukan verifikasi pulau di Provinsi Sumut dan Aceh.

    Tim tersebut terdiri dari Kemendagri, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) – kini Badan Informasi Geospasial (BIG), Dishidros TNI AL, pakar toponimi, serta pemerintah daerah (Pemda) terkait.

    Hasil verifikasi saat itu menunjukkan bahwa di Provinsi Sumut terdapat 213 pulau, termasuk Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang. Hal ini juga dikonfirmasi oleh Gubernur Sumut saat itu melalui surat bernomor 125/8199 tertanggal 23 Oktober 2009.

  • Konflik 4 Pulau: Ujian Negara Jaga Damai Aceh

    Konflik 4 Pulau: Ujian Negara Jaga Damai Aceh

    Konflik 4 Pulau: Ujian Negara Jaga Damai Aceh
    Dosen Prodi Geografi FKIP Universitas Islam 45 (UNISMA) dan Pemerhati Sosial dan Kependudukan
    KONFLIK
    klaim atas empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara bukanlah sekadar persoalan administratif antardaerah.
    Isu ini menyentuh ranah yang jauh lebih mendalam, yakni soal identitas, rasa keadilan masyarakat, ketahanan sosial budaya dan dugaan politik penguasaan sumber daya alam.
    Jika tidak ditangani dengan pendekatan yang tepat, persoalan ini berpotensi mengusik stabilitas kawasan dan merusak semangat persatuan yang telah dibangun pascareformasi.
    Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, dan Pulau Lipan bukan titik kosong di peta. Di sana hidup komunitas masyarakat yang secara turun-temurun terikat dengan tanah Aceh, baik secara adat, sejarah, hingga jejaring sosial.
    Masyarakat di kawasan itu tidak sekadar tinggal, tapi memiliki keterhubungan batin dengan wilayah yang mereka anggap sebagai bagian dari identitas kolektifnya.
    Aceh juga bukan daerah biasa. Sebagai provinsi yang memiliki kekhususan melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), setiap kebijakan terkait dengan wilayah Aceh, terutama yang menyangkut perubahan batas harus dilakukan dengan kehati-hatian dan partisipasi bermakna dari masyarakat lokal.
    Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 dapat mengabaikan aspek fundamental bernegara, berimplikasi tidak hanya cacat prosedur, tapi juga dapat dianggap melukai semangat rekonsiliasi pascaperjanjian Helsinki.
    Sayangnya, pendekatan yang diambil oleh Kemendagri terkesan terlalu teknokratis. Sekadar mengandalkan peta dan perangkat administratif tanpa menyentuh dimensi sosial dan historis.
    Hal ini justru berpotensi memperkeruh suasana dan mengabaikan realitas sosiokultural yang hidup di tengah masyarakat.
    Berdasarkan perspektif geografi politik, sebagaimana dijelaskan R.D. Dikshit (2004), batas wilayah bukanlah sekadar garis spasial, melainkan simbol kekuasaan, identitas, dan legitimasi.
    Perubahan batas tanpa kesepahaman bersama dapat menimbulkan gejolak sosial karena adanya persepsi kehilangan ruang hidup yang bermakna secara simbolik dan historis.
    Lebih lanjut, teori
    Territoriality
    dari Robert Sack (1986) juga menegaskan bahwa wilayah merupakan ekspresi dari eksistensi kolektif suatu komunitas.
    Ketika ekspresi ini diganggu secara sepihak, respons resistensi akan muncul karena masyarakat merasa dirampas ruang simboliknya.
    Di sinilah pentingnya negara bertindak bukan hanya sebagai pemangku administratif, tapi sebagai penjaga keadilan ruang.
    Terlebih, konflik empat pulau yang disengketakan diduga tidak lepas dari kepentingan politik penguasaan wilayah, terutama karena adanya potensi cadangan migas di Blok Sibolga yang letaknya berdekatan dengan wilayah sengketa.
    Indikasi ini memperkuat asumsi bahwa sengketa wilayah bukan sekadar soal batas administratif, melainkan juga upaya menguasai sumber daya alam strategis yang bernilai ekonomi.
    Presiden Prabowo Subianto diharapkan dapat dengan bijak menyelesaikan problematika ini. Butuh kajian komprehensif yang menyentuh aspek historis, sosial, budaya, dan hukum.
    Penanganan konflik batas tidak bisa hanya berdasar pada peta baru, tetapi harus pula melihat peta sejarah dan perasaan publik.
    Proses ini penting untuk mencegah munculnya rasa ketidakadilan yang bisa menimbulkan delegitimasi terhadap institusi negara.
    Langkah berikutnya, negara mesti membentuk tim independen yang melibatkan akademisi, tokoh adat, dan masyarakat sipil dari kedua belah pihak. Dari sana dapat dirumuskan pendekatan penyelesaian yang partisipatif dan berkeadilan.
    Perlu kita refleksikan, Aceh merupakan wilayah dengan sejarah panjang perjuangan dan konflik. Perdamaian yang tercipta pascaperjanjian Helsinki adalah modal besar yang harus dirawat dengan empati dan keadilan.
    Jangan biarkan pendekatan sempit atas konflik empat pulau ini menjadi bara dalam sekam yang merusak kohesi nasional.
    Negara tidak boleh abai, apalagi diam. Negara perlu hadir sebagai pengayom yang memahami bahwa menjaga wilayah bukan hanya soal batas, tapi soal kepercayaan rakyat terhadap ujian negara dalam menjaga damai Aceh yang selama ini terjaga.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menanti Langkah Prabowo Selesaikan Polemik 4 Pulau Aceh yang Masuk Sumut…

    Menanti Langkah Prabowo Selesaikan Polemik 4 Pulau Aceh yang Masuk Sumut…

    Menanti Langkah Prabowo Selesaikan Polemik 4 Pulau Aceh yang Masuk Sumut…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Polemik empat pulau di Provinsi Aceh yang kini ditetapkan pemerintah masuk wilayah administrasi Sumatera Utara (Sumut) masih terus bergulir.
    Presiden RI Prabowo Subianto pun memutuskan untuk mengambil alih persoalan ini dan segera menentukan langkah penyelesaian dalam waktu dekat.
    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan bahwa DPR telah menjalin komunikasi dengan
    Presiden Prabowo
    mengenai sengketa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
    “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Dasco dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025) malam.
    Ketua Harian Partai Gerindra itu juga menyebutkan bahwa keputusan Presiden terkait status keempat pulau tersebut ditargetkan akan diumumkan dalam pekan ini.
    “Dalam pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” jelas Dasco.
    Publik kini menantikan langkah dan kebijakan yang akan diambil Prabowo dalam menyelesaikan persoalan sensitif ini.
    Kepala negara diharapkan tidak hanya memberi kepastian hukum, tetapi juga menjaga persatuan dan harmoni antardaerah.
    Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyambut baik langkah Presiden Prabowo yang turun tangan langsung untuk menyelesaikan persoalan.
    Dia berharap Prabowo tidak hanya mempertimbangkan aspek administratif dan yuridis, tetapi juga kesejarahan serta sosiologis masyarakat Aceh.
    “Kami meyakini kebijaksanaan dan pengalaman panjang Pak Prabowo untuk menjaga kesatuan NKRI akan beliau kedepankan, dalam konteks optik penyelesaian masalah sengketa 4 Pulau antara Aceh dan Sumatera Utara ini,” ujar Rifqinizamy kepada Kompas.com, Minggu (15/6/2025).
    Politikus Nasdem itu juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam menentukan langkah untuk menyelesaikan persoalan ini.
    Jika penanganan polemik ini tidak dilakukan secara hati-hati, kata Rifqinizamy, bisa memicu ketegangan baru antara Jakarta dan Aceh.
    “Kita sangat ingat bagaimana relasi antara Jakarta dengan Aceh. Jangan sampai sengketa empat pulau yang secara kesejarahan berada di Aceh, kemudian hari ini secara administratif berpindah ke Sumatera Utara, itu melukai masyarakat Aceh,” kata Rifqinizamy.
    Sementara itu, para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan (dapil) Aceh serta Pemerintah Provinsi Aceh, telah bersepakat untuk tetap mempertahankan empat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh.
    Kesepakatan itu diambil setelah para “Wakil Rakyat” asal Aceh bertemu Gubernur Aceh, Muzakir Manaf dan jajaran pemerintahan Provinsi Aceh pada Sabtu (14/6/2025) malam.
    “Sikap Aceh tetap mempertahankan bahwa empat pulau yang kini masuk dalam Kabupaten Tapanuli Tengah adalah milik Aceh, baik secara historis, regulasi, administrasi, dan toponimi,” ujar Anggota DPR RI dapil Aceh II Nasir Djamil kepada Kompas.com, Minggu (15/6/2025).
    Bahkan, lanjut Nasir, para anggota DPR-DPD asal Aceh telah meminta langsung kepada Presiden agar membatalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri yang mengatur soal penetapan empat pulau masuk Sumut.
    “Tanggal 29 Mei 2025 lalu, saya dan teman-teman DPR RI dan DPD RI asal Aceh sudah meminta Presiden Prabowo membatalkan SK Mendagri tentang masuknya empat pulau itu ke Sumut,” jelas Nasir.
    Di tengah memanasnya polemik, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengimbau semua pihak untuk menahan diri.
    Dia menegaskan bahwa belum ada keputusan final dari pemerintah pusat mengenai status administratif keempat pulau tersebut.
    “Saya mengajak para politisi, akademisi, para ulama, aktivis, dan tokoh-tokoh masyarakat agar menyikapi permasalahan ini dengan tenang dan penuh kesabaran agar permasalahannya dapat terselesaikan dengan baik,” kata Yusril kepada Kompas.com, Minggu (15/6/2025).
    Menurut Yusril, SK Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang telah terbit baru sebatas pemberian kode pulau dan belum menentukan batas wilayah provinsi.
    Penetapan wilayah, kata Yusril, baru bisa dilakukan melalui peraturan Menteri Dalam Negeri setelah ada kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara.
    “Memang secara geografis letak pulau-pulau tersebut lebih dekat dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dibandingkan dengan Kabupaten Singkil. Tetapi faktor kedekatan geografis bukan satu-satunya ukuran untuk menentukan pulau tersebut masuk ke wilayah kabupaten yang paling dekat,” jelasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Momen Prabowo Disambut Siswa SD hingga Mahasiswa Indonesia Begitu Tiba di Hotel Singapura

    Momen Prabowo Disambut Siswa SD hingga Mahasiswa Indonesia Begitu Tiba di Hotel Singapura

    Momen Prabowo Disambut Siswa SD hingga Mahasiswa Indonesia Begitu Tiba di Hotel Singapura
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Presiden Prabowo
    Subianto disambut sejumlah pihak setibanya di
    Singapura
    pada Minggu (15/6/2025) malam.
    Ia disambut langsung oleh Perdana Menteri Singapura,
    Lawrence Wong
    , setibanya di Pangkalan Udara Paya Lebar Air Base sekitar pukul 21.00 waktu setempat. Wong menyambutnya langsung di bawah tangga pesawat.
    Kepala Negara juga disambut oleh diaspora Indonesia, mulai dari pelajar sekolah dasar, mahasiswa, hingga masyarakat umum, setibanya ia di hotel tempatnya bermalam di Singapura.
    Dikutip dari siaran pers Sekretariat Presiden, Senin (16/6/2025), mereka tampak antusias menyambut Kepala Negara dalam rangkaian kunjungan kenegaraannya di Singapura.
    Mulanya, Presiden Prabowo tiba di hotel dan disambut oleh dua orang anak Indonesia berpakaian adat yang menyerahkan bunga.
    Sejumlah Menteri Kabinet Merah Putih yang lebih dahulu tiba di Singapura juga turut menyambut Presiden di lobi hotel.
    Mereka adalah Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto; Menko Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar; Mendagri, Tito Karnavian; Menkumham, Supratman Andi Agtas; Menteri Perumahan, Maruarar Sirait; dan Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman.
    Para pelajar yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Singapura tampak berdiri berjajar untuk menyapa langsung Prabowo saat kendaraan yang ditumpanginya memasuki area hotel.
    “Tadi sempat ketemu, kita kebetulan di baris paling ujung bareng-bareng. Jadi begitu Bapaknya buka kaca, kita lihat langsung dan
    happy
    banget. Karena mungkin kalau di Indonesia, kita nggak punya kesempatan untuk ketemu secara langsung sama Bapak,” ujar salah satu mahasiswa, Jocelyn, dikutip dari siaran pers, Senin.
    Jocelyn berharap hubungan Indonesia dan Singapura semakin erat ke depannya.
    Ia dan teman-temannya turut menyampaikan dukungan terhadap program kerja dari pemerintah Prabowo.
    “Kita semua siap mendukung program kerja dari Bapak Prabowo Subianto, terutama untuk pelajar Indonesia,” ucap Jocelyn.
    Hal serupa juga dirasakan Norbert, Shannon, dan Kelvin yang datang secara khusus untuk menyambut Presiden Prabowo.
    Mereka tidak menyangka dapat bertemu dan berbincang langsung dengan Presiden Prabowo.
    “Ditanya di sini belajar apa gitu, jurusannya apa? Rasanya senang, deg-degan, baru pertama kali ketemu kan, Presiden langsung lagi,” tutur Norbert dan kawan-kawannya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Status 4 Pulau Aceh Masuk Sumut Bukan di Masa Gubernur Bobby Nasution

    Polemik Batas 4 Pulau Aceh Masuk Sumut: Praktisi Hukum Desak Evaluasi Kepmendagri

    Liputan6.com, Jakarta – Polemik penetapan batas wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara kembali mengemuka setelah terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Keputusan ini menetapkan empat pulau—Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek ke dalam wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Penetapan tersebut mendapat keberatan dari Pemerintah Provinsi Aceh yang menilai keputusan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip hukum administrasi negara yang baik dan berpotensi mengabaikan norma konstitusional terkait kekhususan Aceh.

    Berdasarkan sejumlah dokumen resmi lintas instansi, Pemerintah Aceh menyatakan selama ini telah mengelola keempat pulau tersebut baik secara administratif maupun sosial. Bukti-bukti yang diajukan antara lain Surat Keputusan Inspeksi Agraria tahun 1965, dokumen kepemilikan lahan sejak 1980, serta Kesepakatan Bersama antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada 1992 yang disahkan oleh Menteri Dalam Negeri. Fasilitas publik seperti musala, dermaga, dan prasasti pemerintahan yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil turut memperkuat pengelolaan faktual yang berkesinambungan.

    Di sisi lain, Kemendagri mendasarkan keputusannya pada hasil verifikasi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi tahun 2008 yang menyebutkan keempat pulau tersebut tidak tercatat dalam wilayah administratif Aceh. Namun, Pemerintah Aceh menegaskan data tersebut telah dikoreksi secara resmi karena terdapat kekeliruan koordinat yang merujuk pada gugusan Pulau Banyak. Mereka menilai koreksi tersebut belum menjadi pertimbangan substansial dalam pengambilan keputusan.

    Praktisi dan konsultan hukum asal Kendari Sugihyarman Silondae pun menyoroti Permendagri tersebut. Pria yang sering menangani perkara lintas wilayah dan kewenangan ini menilai penetapan batas wilayah antarprovinsi tidak bisa semata-mata didasarkan pada pendekatan teknis dan spasial.

    “Dalam hukum administrasi negara, keputusan publik harus sah secara prosedural dan adil secara substantif. Ini menyangkut asas legalitas, kejelasan objek hukum, serta prinsip proporsionalitas,” kata Sugihyarman kepada Liputan6.com, Minggu (15/6).

    Menurutnya, jika terdapat dokumen hukum yang sah dan keberatan formal dari pemerintah daerah namun diabaikan tanpa proses uji silang, konsultasi terbuka, atau klarifikasi administratif, maka keputusan tersebut berpotensi cacat hukum.

    “Keputusan administratif terkait batas wilayah bukan sekadar masalah teknis, tetapi menyangkut hak. Dan setiap hak administratif wajib dijaga melalui mekanisme yang adil dan transparan,” tegasnya.

    Sugihyarman menekankan, status Aceh sebagai daerah otonomi khusus berdasarkan MoU Helsinki 2005 dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh membawa implikasi hukum yang mengikat, khususnya dalam pengakuan batas wilayah historis. Salah satu ketentuannya adalah pengakuan atas batas wilayah Aceh sebagaimana berlaku sebelum tahun 1956.

    Ia menilai, jika pengaturan dari kementerian mengabaikan kekhususan Aceh, maka hal itu dapat dianggap melanggar hirarki norma dalam sistem hukum nasional.

    “Dalam konteks ini, prinsip lex specialis derogat legi generali harus menjadi acuan utama. Ketika ada aturan khusus yang diatur secara eksplisit dalam undang-undang dan perjanjian politik, maka peraturan umum tidak boleh mengabaikan kekhususan tersebut,” jelasnya. 

     

  • 5
                    
                        Sengketa Empat Pulau, Bobby: Mau Diserahkan atau Kembali ke Aceh, Kami Ikut
                        Medan

    5 Sengketa Empat Pulau, Bobby: Mau Diserahkan atau Kembali ke Aceh, Kami Ikut Medan

    Sengketa Empat Pulau, Bobby: Mau Diserahkan atau Kembali ke Aceh, Kami Ikut
    Tim Redaksi
    PEMATANGSIANTAR, KOMPAS.com
    – Gubernur
    Sumatera Utara

    Bobby Nasution
    menanggapi sengketa empat pulau antara
    Aceh
    dan
    Sumut
    .
    Bobby Nasution mengatakan, penyelesaian sengketa ini tengah ditangani
    pemerintah pusat
    dan pemerintah provinsi siap mengikuti keputusan.
    Empat pulau tersebut, yakni Pulau Lipan, Pulau Panjang, Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir, kini masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
    “Kalau solusi antara empat pulau itu, kami menunggu arahan dari pemerintah pusat,” kata Bobby seusai meninjau kondisi Gedung IV Pasar Horas yang berlokasi di Jalan Merdeka, Kota Pematangsiantar, Minggu (15/6/2025) sore.
    “Ya kalau mau diserahkan, kembali ke mana pun, kembali ke Aceh, ya, kami pasti ikut,” ucapnya menambahkan.
    Menurut Bobby, Pemprov Sumut tidak punya kewenangan untuk menahan empat pulau itu, apalagi mengambilnya.
    “Enggak ada urusan kami mau menahan, mau meminta, mau mengambil, enggak ada urusan kami,” ucapnya mengakhiri.
    Sebelumnya, Kemendagri menetapkan empat pulau yang sebelumnya berada dalam wilayah Aceh kini masuk ke dalam administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
    Keputusan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemendagri Kaji Ulang Polemik Empat Pulau di Aceh, Yusril Tekankan Pendekatan Sejarah dan Budaya

    Kemendagri Kaji Ulang Polemik Empat Pulau di Aceh, Yusril Tekankan Pendekatan Sejarah dan Budaya

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tengah mengkaji ulang peralihan kepemilikan empat pulau di Aceh yang menuai polemik setelah dikaitkan dengan wilayah Sumatera Utara. Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas) Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa pengkajian dilakukan secara mendalam dengan mempertimbangkan aspek sejarah, budaya, hingga penempatan suku.

    “Gini, masalah empat pulau di Aceh itu sampai hari ini sebenarnya belum ada peraturan Mendagri yang mengatur tentang batas wilayah antara Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Singkil di Aceh. Yang ada itu adalah keputusan Menteri Dalam Negeri mengenai pengkodean pulau-pulau, itu memang sudah ada. Jadi semua pihak harap bersabar,” ujar Yusril kepada wartawan di Depok, Jawa Barat, Minggu (15/6/2025).

    Yusril menyebut, keputusan pengkodean pulau oleh Kemendagri tidak serta-merta menetapkan batas wilayah antarprovinsi atau kabupaten. Oleh sebab itu, menurutnya, masih ada ruang untuk membahas dan memusyawarahkan status pulau-pulau tersebut demi menghasilkan keputusan yang terbaik.

    “Kami berharap semua pihak bersabar menghadapi kenyataan ini karena memang keputusan tentang itu belum final. Penentuan batas wilayah itu berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diputuskan melalui peraturan Mendagri, bukan keputusan Mendagri yang ada,” ucapnya.

    Yusril menjelaskan bahwa letak geografis pulau-pulau tersebut memang lebih dekat ke Tapanuli Tengah. Namun, kedekatan geografis bukan satu-satunya dasar dalam menentukan batas wilayah. “Ingin saya katakan bahwa penentuan kode-kode pulau itu memang menunjukkan bahwa pulau-pulau itu secara geografis lebih dekat ke Tapanuli Tengah dibandingkan dengan Kabupaten Singkil. Tapi sebelumnya kita ketahui bahwa kedekatan geografis bukan satu-satunya dasar untuk menetapkan sebuah pulau itu masuk ke dalam wilayah kabupaten atau provinsi mana,” jelasnya.