Kementrian Lembaga: Kemendagri

  • Sri Mulyani: Transfer daerah turun karena dialihkan ke belanja K/L

    Sri Mulyani: Transfer daerah turun karena dialihkan ke belanja K/L

    Kalau TKD mengalami penurunan, kenaikan dari belanja pemerintah pusat di daerah itu naiknya jauh lebih besar

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan anggaran transfer ke daerah (TKD) yang mengalami penurunan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 disebabkan oleh peralihan anggaran ke belanja pemerintah pusat.

    Dalam RAPBN 2026, anggaran TKD ditetapkan sebesar Rp650 triliun, terkoreksi sebesar 24,8 persen dari proyeksi TKD 2025 sebesar Rp864,1 triliun.

    “Kalau TKD mengalami penurunan, kenaikan dari belanja pemerintah pusat di daerah itu naiknya jauh lebih besar,” kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers RAPBN dan Nota Keuangan 2026 di Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, manfaat dari program belanja pemerintah pusat juga dirasakan oleh masyarakat di daerah.

    Sebagai contoh, program perlindungan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) dan Kartu Sembako, program pendidikan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda, Makan Bergizi Gratis (MBG), subsidi energi dan non-energi, hingga program ketahanan pangan seperti lumbung pangan dan cadangan pangan oleh Bulog.

    Menkeu menyebut program-program itu, dan program lain yang manfaatnya langsung dirasakan masyarakat, memakan alokasi sebesar Rp1.376,9 triliun dari belanja pemerintah pusat dalam RAPBN 2026.

    “Untuk TKD, saya rasa tadi kompensasi dari kementerian/lembaga yang belanjanya di masing-masing daerah harus makin dikoordinasikan dengan pemerintah daerah, sehingga baik pemerintah maupun rakyat memahami program-programnya,” ujar dia.

    Dia pun mengatakan hal itu selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.

    “Itu yang diharapkan Bapak Presiden, para menteri harus rajin untuk menyampaikan kepada masing-masing daerah,” tambahnya.

    Menkeu mengaku juga akan terus berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengatasi masalah pelayanan yang terjadi di daerah.

    Sebagai catatan, TKD 2026 sebesar Rp650 triliun terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH) Rp45,1 triliun, Dana Alokasi Umum (DAU) Rp373,8 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp155,5 triliun, Dana Otonomi Khusus (Otsus) Rp13,1 triliun, Dana Keistimewaan (Dais) Daerah Istimewa Yogyakarta Rp500 miliar, Dana Desa Rp60,6 triliun, serta insentif fiskal Rp1,8 triliun.

    Pewarta: Imamatul Silfia
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Transfer ke Daerah 2026 Menurun, Sri Mulyani dan Tito Karnavian Sebut karena Ada Pengalihan ke Belanja Pusat

    Transfer ke Daerah 2026 Menurun, Sri Mulyani dan Tito Karnavian Sebut karena Ada Pengalihan ke Belanja Pusat

    Bisnis.com, JAKARTA — Dana transfer ke daerah pada belanja negara yang tertuang di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 turun menjadi hanya Rp650 triliun.

    Pemerintah menyebut penurunan itu lantaran banyak pos anggaran di dalam transfer ke daerah yang langsung disalurkan melalui anggaran kementerian/lembaga pusat.

    Untuk diketahui, RAPBN 2026 yang dibacakan oleh Presiden Prabowo Subianto Jumat (15/8/2025) siang di gedung DPR menunjukkan bahwa anggaran transfer ke daerah hanya Rp650 triliun. Nilainya lebih rendah dari APBN 2025 yakni Rp919 triliun.

    Padahal, outlook dari realisasi belanja transfer ke daerah pada 2025 sudah mencapai Rp864,1 triliun.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, anggaran transfer ke daerah atau TKD yang menurun itu sudah dikompensasi dengan kementerian/lembaga (K/L) yang langsung diterima dan dirasakan oleh masyarakat. Nilainya mencapai Rp1.376,9 triliun.

    “Jadi kalau TKDD tadi mungkin mengalami penurunan, kenaikan dari belanja pemerintah pusat di daerah tadi naiknya jauh, jauh lebih besar, dan itu yang makanya diharapkan sesuai dengan arahan bapak Presiden, para menteri harus rajin untuk menyampaikan ke masing-masing daerah,” tuturnya di konferensi pers RAPBN 2026 di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jumat (15/8/2025).

    Di samping itu, Bendahara Negara tersebut mengakui bahwa ada sejumlah daerah dengan kapasitas fiskal yang berbeda-beda, sebagaimana pemetaan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Oleh karena itu, pemerintah akan memastikan pelayanan dasar di daerah dengan kapasitas fiskal rendah tetap terpenuhi bagi masyarakat.

    Pada kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan harapannya agar alokasi anggaran itu tepat sasaran dan sesuai dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

    Tito menjelaskan, daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal kuat lantaran kepemilikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Sementara itu, ada daerah juga yang masih sangat bergantung dengan transfer dari pemerintah pusat.

    Menurut Tito, standar minimum kapasitas fiskal daerah ditentukan dengan kemampuan masing-masing pemerintah daerah untuk memenuhi pelayanan minimal mereka. Misalnya, belanja operasional, pegawai, maupun belanja-belanja standar pelayanan minimal (SPM) yang meliputi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perumahan, kawasan dan permukiman serta perlindungan sosial (perlinsos).

    “Nanti mungkin kita akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan [Dasar dan Menengah], Kementerian Pekerjaan Umum terutama untuk meng-cover problem-problem di tiga bidang yang sangat dasar itu di daerah-daerah sehingga ada pengalihan anggaran ke pusat ke kementerian/lembaga, tapi pemerintahan tetap berjalan dan dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat karena langsung dikerjakan pemerintah pusat,” terang mantan Kapolri itu.

  • Prabowo Pangkas TKDD, Sri Mulyani Siapkan Kompensasi Rp1.376,9 Triliun

    Prabowo Pangkas TKDD, Sri Mulyani Siapkan Kompensasi Rp1.376,9 Triliun

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menyiapkan kompensasi senilai Rp1.376,9 triliun imbas kebijakan pemangkasan pagu anggaran tranfer ke daerah (TKD) di RAPBN 2026.

    Namun demikian, kompensasi itu diberikan bukan dalam bentuk alokasi anggaran yang langsung ke kas kabupaten atau provinsi melainkan program pemerintah pusat di daerah.

    Sekadar catatan, pagu dana transfer ke daerah di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 turun menjadi Rp650 triliun. Pemerintah menyebut penurunan itu lantaran banyak pos anggaran di dalam transfer ke daerah yang langsung disalurkan melalui anggaran kementerian/lembaga pusat.

    Untuk diketahui, RAPBN 2026 yang dibacakan oleh Presiden Prabowo Subianto siang ini di DPR menunjukkan bahwa anggaran transfer ke daerah hanya Rp650 triliun. Nilainya lebih rendah dari APBN 2025 yakni Rp919 triliun.

    Sementara itu, outlook dari realisasi belanja transfer ke daerah di 2025 sudah mencapai Rp864,1 triliun.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, anggaran transfer ke daerah atau TKD yang menurun itu sudah dikompensasi dengan kementerian/lembaga (K/L) yang langsung diterima dan dirasakan oleh masyarakat. Nilainya mencapai Rp1.376,9 triliun.

    “Jadi kalau TKDD tadi mungkin mengalami penurunan, kenaikan dari belanja pemerintah pusat di daerah tadi naiknya jauh, jauh lebih besar, dan itu yang makanya diharapkan sesuai dengan arahan bapak Presiden, para menteri harus rajin untuk menyampaikan ke masing-masing daerah,” tuturnya di konferensi pers RAPBN 2026 di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jumat (15/8/2025).

    Di samping itu, Bendahara Negara mengakui bahwa ada beberapa daerah yang memiliki kapasitas fiskal sebagaimana pemetaan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Oleh sebab itu, lanjutnya, pemerintah akan mengatasi agar pelayanan minimal daerah-daerah tersebut bisa tetap dilakukan untuk publik.

    Pada kesempatan yang sama, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan harapannya agar alokasi anggaran itu tepat sasaran dan sesuai dengan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

    Tito menjelaskan, daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal kuat lantaran kepemilikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Sementara itu, ada daerah juga yang masih sangat bergantung dengan transfer dari pemerintah pusat.

    Menurut Tito, standar minimum kapasitas fiskal daerah ditentukan dengan kemampuan masing-masing pemerintah daerah untuk memenuhi pelayanan minimal mereka. Misalnya, belanja operasional, pegawai, maupun belanja-belanja standar pelayanan minimal (SPM) yang meliputi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perumahan, kawasan dan permukiman serta perlindungan sosial (perlinsos).

    “Nanti mungkin kita akan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan [Dasar dan Menengah], Kementerian Pekerjaan Umum terutama untuk meng-cover problem-problem di tiga bidang yang sangat dasar itu di daerah-daerah sehingga ada pengalihan anggaran ke pusat ke kementerian/lembaga, tapi pemerintahan tetap berjalan dan dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat karena langsung dikerjakan pemerintah pusat,” terang mantan Kapolri itu.

  • Mendagri Tito Surati Semua Kepala Daerah, Minta Kreatif Cari Penerimaan Bukan cuma Pajak

    Mendagri Tito Surati Semua Kepala Daerah, Minta Kreatif Cari Penerimaan Bukan cuma Pajak

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian menerbitkan surat edaran kepada seluruh kepala daerah terkait kenaikan pajak, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan (P2) yang belakangan menuai sorotan publik.

    Tito menegaskan, pemerintah daerah harus kreatif meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa membebani masyarakat.

    “Di Bali misalnya sektor usaha, PAD-nya tinggi karena mereka kreatif, ada sektor lain misalnya kendaraan bermotor yang masih mungkin belum ter-collect dengan baik, itu bisa diatur untuk dioptimalkan,” ujar Tito pada Jumat (15/8/2025).

    Dia mencontohkan, Bali sukses mengandalkan sektor usaha, sementara Yogyakarta mengoptimalkan sektor UMKM. Menurut Tito, daerah juga bisa menggarap potensi pajak kendaraan bermotor atau retribusi restoran, namun perizinan harus dipermudah terlebih dahulu sebelum memungut pajak.

    Terkait kenaikan PBB, Tito menjelaskan bahwa kewenangan tersebut diatur dalam UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta PP Nomor 35/2023. Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dapat dilakukan setiap tiga tahun, namun wajib mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan melibatkan partisipasi publik.

    Kemendagri mencatat, terdapat 20 daerah yang menaikkan PBB secara signifikan, bahkan di atas 100%. Dari jumlah itu, dua daerah yakni Pati dan Jepara sudah membatalkan kenaikan. Tiga daerah baru menetapkan peraturan kepala daerah (Perkada) pada 2025, sementara 15 daerah lainnya menetapkan pada 2022—2024.

    “Surat edaran ini menegaskan dua hal. Pertama, faktor sosial ekonomi harus diperhatikan. Jika memberatkan, aturan dapat ditunda atau dibatalkan. Kedua, usulan kenaikan pajak, termasuk NJOP, wajib disampaikan ke Kemendagri untuk kami review dan beri masukan,” tegas Tito.

    Sebagaimana diketahui, demo besar-besaran terjadi di Pati yang merupakan imbas rencana kenaikan PBB hingga 250%.

    Sebagaimana diketahui, isu tentang akan adanya demo besar di Pati sudah merebak sejak beberapa hari belakangan. Bahkan Kepolisian Resor Kota Pati, Jawa Tengah telah menyiapkan skema pengamanan ketat untuk mengamankan jalannya unjuk rasa terkait kebijakan tarif PBB pada Rabu (13/8/2025).

    Disebutkan di laman BPK RI, Pemerintah Kabupaten Pati memutuskan untuk menyesuaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250% pada tahun 2025.

    Keputusan ini diambil setelah rapat intensifikasi PBB-P2 bersama para camat dan anggota Pasopati di Kantor Bupati Pati.

    Dilansir dari laman resmi Humas Kabupaten Pati, Bupati Pati tersebut menjelaskan bahwa penyesuaian ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah guna mendukung berbagai program pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.

    Sebab dibandingkan dengan Kabupaten Jepara, Kudus, dan Rembang, penerimaan PBB di Kabupaten Pati hanya sebesar Rp29 miliar, padahal wilayah Pati secara geografis dan potensi lebih besar.

    “Kami saat ini sedang berkoordinasi dengan para camat dan PASOPATI untuk membicarakan soal penyesuaian Pajak Bumi Bangunan (PBB). Telah disepakati bersama bahwa kesepakatannya itu sebesar ±250% karena PBB sudah lama tidak dinaikkan, 14 tahun tidak naik,” ujar Sudewo.

    Dia juga menyoroti bahwa penerimaan PBB Kabupaten Pati saat ini hanya sebesar Rp29 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Kabupaten Jepara yang mencapai Rp75 miliar, Kabupaten Rembang dan Kudus masing-masing Rp 50 miliar, padahal secara geografis dan potensi, Kabupaten Pati lebih besar dari ketiga kabupaten tersebut.

  • Top 3 News: Modus Licik Kakek di Tambora, Raup Uang Tanpa Keringat Setetes Pun! – Page 3

    Top 3 News: Modus Licik Kakek di Tambora, Raup Uang Tanpa Keringat Setetes Pun! – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Siang itu terik matahari menyinari kawasan Jembatan 2, Tambora. Di pinggir jalan, seorang kakek mondar-mandir, matanya menatap ke arah mobil yang lalu-lalang. Itulah top 3 news hari ini.

    Bukan untuk meminta tumpangan, melainkan mencari pengemudi yang akan menjadi targetnya. Kakek itu berinisial A (65). Aksinya berakhir di tangan polisi yang sudah mengintai gerak-geriknya saat hendak beraksi.

    Menurut Kanit Reskrim Polsek Tambora Polres Metro Jakarta Barat AKP Sudrajat Djumantara, modusnya terbilang licik. A sengaja menabrakkan diri ke mobil yang sedang lewat. Begitu pengemudi panik, ia pura-pura kesakitan lalu meminta sejumlah uang dengan dalih uang pengobatan.

    Sementara itu, polisi memeriksa istri pelaku pembunuhan pegawai BPS berinisial AFM di Halmahera Timur, Maluku Utara. Terduga pelaku diketahui atas nama inisial AH (27). Pemeriksaan itu dilakukan pada Selasa 12 Agustus 2025.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan itu, AFM mengaku tidak pernah mengetahui dengan rencana pembunuhan yang telah dilakukan oleh terduga pelaku.

    Berita terpopuler lainnya di kanal News Liputan6.com adalah terkait Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian langsung mengajak seluruh kepala daerah, mulai dari bupati, wali kota, hingga gubernur untuk melakukan rapat virtual usai terjadinya unjuk rasa terhadap Bupati Pati Sudewo.

    Salah satu poin yang akan ditekankan adalah pentingnya kepala daerah memperhatikan kemaslahatan rakyat sebelum mengeluarkan kebijakan. Sementara urusan pajak dan retribusi daerah mesti melalui sosialisasi yang tidak sebentar.

    Berikut deretan berita terpopuler di kanal News Liputan6.com sepanjang Kamis 14 Agustus 2025:

    Sebuah video yang menampilkan tentara Ukraina sedang menyiapkan cara licik untuk menghadapi tentara Chechnya viral di media sosial. Dalam video yang tersebar, terlihat tentara Ukraina menyiapkan peluru yang sudah diolesi oleh minyak babi.

  • Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Agustus 2025

    Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik Nasional 15 Agustus 2025

    Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    SETELAH
    kasus Bupati Pati Sudewo mencuat, akhirnya diketahui bahwa tidak hanya Kabupten Pati yang menaikkan PBB P2.
    Bahkan ada beberapa daerah yang menaikkan tarif PBB lebih dari 10 kali atau 1000 persenan, seperti Kabupaten Jombang dan Cirebon.
    Kedua daerah ini kini sedang dihantui penolakan masif dari warganya. Boleh jadi aspirasi “lengser” juga muncul kemudian, layaknya kepada Bupati Pati.
    Sementara daerah seperti Bone Selatan dan Semarang, juga terpantau menaikkan PBB P2 sekitar 300 dan 400-an persen.
    Malang memang bagi Bupati Pati, kenaikan PBB di Pati jauh lebih cepat ditanggapi warga dan mendadak mencuat menjadi masalah nasional.
    Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Banyak faktor tentunya. Tak semua faktor ada di daerah, beberapa faktor juga ada di pusat.
    Pertama, dalam hemat saya, berdasarkan perkembangan belakangan, faktor kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat yang digaungkan sejak awal tahun, juga turut menjadi penyebab utama.
    Kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat nyatanya tidak saja menyisir belanja kementerian dan lembaga nondepartemental di tingkat nasional, tapi juga menyasar berbagai macam mata anggaran di daerah, yang berujung pada pengecilan nominal total APBD.
    Kondisi ini, mau tak mau, membuat daerah harus memutar “otak” untuk mendapatkan tambahan pendapatan baru, terutama yang masuk ke dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk bisa membiayai berbagai rencana kebijakan dan program yang telah terlanjur dijanjikan kepada rakyat di daerah selama masa kampanye Pilkada.
    Boleh jadi dalam hal ini termasuk juga janji-janji “ilegal” kepala daerah terpilih kepada “klien-klien” politiknya atau bohir kaya yang telah ikut membantu pembiayaan politik pada Pilkada sebelumnya.
    Nah, terkait dengan kasus Pati, sebagaimana diatur di dalam UU yang terkait dengan relasi fiskal pusat dan daerah, yakni UU No. 1 tahun 2022, juga UU No. 28 2009 tentang pajak daerah, dan UU No. 33 tahun 2009 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memang sudah menjadi salah satu objek pajak yang dipungut oleh daerah.
    Sehingga, secara legal konstitusional, naik atau turunnya PBB di daerah akan berada di bawah wewenang pemerintah daerah, termasuk oleh kepala daerah baru tentunya.
    Namun, pertanyaan pentingnya tentu bukan masalah legalitas konstitusional dari kasus Pati dan beberapa daerah lainnya.
    Pertanyaan pentingnya adalah mengapa daerah ramai-ramai menaikkan tarif PBB? Nah, dalam konteks ini kita bisa kembali kepada masalah kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat tadi.
    Daerah-daerah pada akhirnya harus menaikkan tarif pajak untuk objek-objek pajak yang masuk ke dalam ranah “hak” pemerintah daerah, salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bagunan (PBB).
    Penyebab kedua adalah konstelasi hubungan keuangan pusat dan daerah yang selama ini sama sekali tidak menggambarkan status daerah sebagai daerah otonom.
    Kebijakan otonomi daerah selama ini hanya berlangsung di ranah politik dan administratif, tidak pada ranah fiskal.
    Jadi meskipun dipilih secara demokratis di daerah, setelah terpilih kepala daerah tetap tidak memiliki keleluasaan atas keberlangsungan pemerintahan di daerah dan keberlanjutan pembangunan di daerahnya, jika kepastian pembiayaan dari pusat tidak ada.
    Sehingga risikonya, setelah kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah resmi, untuk urusan pendapatan dan belanja daerah, mereka harus lebih sering berurusan dengan para pihak yang ada di Jakarta ketimbang di daerah.
    Tak pelak, relasi tak sehat pun terbentuk antara kepala daerah dengan wakil-wakil daerah yang ada di Senayan di satu sisi dan Kementerian Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri di sisi lain, untuk memastikan bahwa R-APBD yang telah disepakti di daerah diberi lampu hijau oleh Jakarta.
    Relasi keuangan pusat dan daerah semacam ini sangat tidak sehat dan kurang produktif. Dikatakan tidak sehat karena daerah-daerah menjadi sangat bergantung kepada pusat, terutama untuk mendapatkan proyek-proyek infrastruktur nasional di daerah.
    Relasi ini, diakui atau tidak, memberikan diskresi kepada pusat untuk menghukum daerah secara fiskal, jika daerah tidak sejalan dengan pemerintahan pusat di ranah politik.
    Di era Jokowi, misalnya, bahkan beberapa daerah yang tidak masuk kategori sebagai “daerah pemilih Jokowi”, mengalami pemangkasan anggaran yang cukup signifikan atau menjadi korban politik fiskal pemerintah pusat.
    Dan dikatakan tidak produktif karena daerah-daerah merasa tidak memiliki insentif untuk membangun daerahnya akibat perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang kurang adil.
    Di China, misalnya, sekalipun dikenal secara politik sebagai negara komunis, tapi dalam praktik relasi fiskal pusat dan daerah, China masuk ke dalam negara yang paling desentralistis di dunia.
    Daerah-daerah mendapatkan bagian dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh), yang dibagi secara proporsional antara pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, kota, dan perfektur.
    Dengan konstelasi hubungan fiskal seperti di China, daerah-daerah menjadi sangat termotivasi untuk membangun daerahnya dengan cara mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan mendorong seluas-luasnya pembukaan lapangan pekerjaan baru.
    Pasalnya, setiap kenaikan produktifitas di daerah (karena produksi dari investasi baru), akan ada pendapatan tambahan dari pembagian PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk daerah.
    Di sisi lain, kenaikan produktifitas tersebut akan berjalan simetris dengan pertambahan lapangan pekerjaan baru, di mana daerah pun kembali akan mendapatkan bagian pajak dari pajak pendapatan atas lapangan pekerjaan baru yang terbentuk.
    Dalam banyak kajian tentang ekonomi di China, relasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah yang demikian ternyata terbukti menjadi salah satu sebab mengapa para kepala daerah sangat bersemangat untuk memajukan daerahnya dengan mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan membuka selebar-lebarnya lapangan kerja baru di daerah, selain karena faktor prospek karier politik di dalam Partai Komunis China bagi kepala daerah yang berhasil membangun daerahnya.
    Dan secara nasional, praktik semacam ini ikut berkontribusi secara signifikan kepada kemajuan yang sangat dinamis di China di dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir.
    Sementara di Indonesia, konstelasi fiskal semacam itu masih menjadi mimpi “di siang bolong” hingga hari ini. Daerah-daerah sangat tergantung kepada pusat secara fiskal, sekalipun secara politik daerah-daerah dibiarkan berpesta pora atas nama demokrasi semu.
    Pola ini kemudian secara politik memunculkan kesan bahwa pemimpin daerah yang berhasil adalah pemimpin yang bisa membawa sebanyak-banyaknya anggaran dari pusat ke daerah dalam berbagai bentuk, mulai dari pembesaran anggaran untuk APBD, penetapan daerah sebagai lokasi proyek strategis nasional, sampai pada penggiringan investasi BUMN ke daerah di berbagai sektor.
    Semuanya, lagi-lagi, sayangnya terkait dengan “kuasa” yang ada di Jakarta, bukan di daerah.
    Dan terakhir, masalah ketiga, adalah rendahnya moralitas politik dan sensitifitas sosial kepemimpinan baru di daerah.
    Akibat sumbatan keuangan dari pusat, baik karena konstelasi fiskal antara pusat dan daerah maupun karena kebijakan efisiensi nasional, kepala-kepala daerah justru mengembalikan bebannya kepada rakyat di daerah dengan menaikkan berbagai jenis pajak yang menjadi hak daerah.
    Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa keadaan ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja sejak dua tahun terakhir.
    Sikap beberapa kepala daerah ini mirip dengan sikap “para kapitalis” nasional di saat pajak barang dan jasa naik. Seketika harga barang dan jasa dinaikkan oleh produsennya alias dibebankan kembali kepada konsumen.
    Pemerintah pusat boleh saja berharap, atau tepatnya bermimpi, bahwa pemerintahan daerah akan berkreasi secara fiskal saat kebijakan efisiensi diberlakukan di awal tahun.
    Namun untuk Indonesia, harapan dan mimpi itu terlalu muluk. Bagi daerah yang takut kepada rakyatnya atau khawatir ditegur oleh pusat, kebijakan efisiensi ditanggapi dengan “aksi kembali ke rutinitas” di mana anggaran untuk pembangunan dipangkas sedemikian rupa, sementara anggaran rutin semakin membesar.
    Walhasil, pemerintah daerah hanya berjalan berdasarkan rutinitas yang sudah berlangsung selama ini. Tak ada pembangunan berarti, pun tak ada investasi baru yang diperjuangkan karena tidak ada anggaran untuk memperjuangkannya. Ujung-ujungnya juga “nol” alias “nihil”.
    Sementara bagi kepala daerah yang merasa terlalu banyak “utang” yang harus dibayar dengan berbagai macam proyek daerah yang dibiayai dari APBD, mau tak mau sumber pendapatan baru harus diraih, agar beberapa “proyek” atau “rencana” yang telah disepakati dengan “pihak ketiga” semasa Pilkada tetap bisa dibiayai di tahun depan.
    Jika PAD meningkat, plus realisasi belanja di tahun ini bisa maksimum, maka di tahun depan ajuan APBD yang akan disepakati oleh pusat dipastikan juga akan membesar. Bagi kepala daerah semacam ini, rakyat tak berada pada barisan prioritas.
    Jika rakyat masih bisa dibebani dengan kenaikan pajak-pajak daerah demi ambisi fiskal kepala daerah terpilih, maka tanpa malu dan ragu, rakyat di daerah akan terus dibebani.
    Namun, yang lupa dimasukkan ke dalam ekuasi politik fiskal kepala daerah jenis ini adalah bahwa potensi resistensi dan perlawanan dari rakyat daerah bisa meledak secara tak terduga.
    Dan itulah yang terjadi di Pati, mungkin juga nanti di Cirebon atau Jombang, jika kepala daerahnya tak segera merevisi aturan kenaikan PBB di daerahnya.
    Boleh jadi kali ini kepala-kepala daerah ini akan selamat secara politik, setidaknya sampai 2029. Namun sejatinya, dukungan sebenarnya sudah hilang.

    If you once forfeit the confidence of your fellow citizen, you can never regain their respect and esteem
    ,” kata Abraham Lincoln di tahun 1854.
    Sekali rakyat merasa benar-benar telah tersakiti, jangan harap kepercayaan itu akan kembali seperti semula.
    Dan dalam hemat saya, pernyataan Lincoln ini harus menjadi catatan untuk semua pemimpin di Indonesia, tidak hanya kepala daerah, tapi juga Presiden Prabowo Subianto, bahkan Jokowi sekalipun, yang bayang-bayangnya masih menghantui ruang publik kita sampai hari ini. Semoga!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah

    Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ekonom: Pemda perlu kreatif cari cara tingkatkan penerimaan daerah
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 14 Agustus 2025 – 20:23 WIB

    Elshinta.com – Ekonom UPN Veteran Jakarta Ferry Irawan mengatakan pemerintah daerah (pemda) perlu mencari cara kreatif untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), alih-alih menaikkan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang membebani masyarakat.

    Ia menyoroti keresahan warga di sejumlah daerah akibat lonjakan tarif PBB-P2, seperti di Kabupaten Pati, Jateng, yang sempat naik hingga 250 persen sebelum dibatalkan, sampai Kabupaten Jombang yang bahkan menembus 1.000 persen.

    “Mungkin, bagi yang memiliki sumber daya alam, bisa dioptimalisasi sumber daya alamnya atau misalkan ada industri pariwisata di daerah tersebut yang bisa digali, bisa diintensifikasi, selain meningkatkan atau menaikkan tarif PBB,” ujar Ferry kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

    Ferry menjelaskan sebenarnya dasar hukum pengenaan PBB-P2 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yang menetapkan tarif maksimal sebesar 0,5 persen dari nilai jual objek pajak (NJOP) kena pajak.

    Penentuan tarif di bawah batas tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota.

    “Memang, kalau dari sisi kewajaran, melihat perkembangan perekonomian saat ini saya kira kurang tepat ya pengenaan (kenaikan) PBB yang sampai ratusan persen,” ungkapnya.

    Saat ditanya apakah kebijakan kenaikan PBB berkaitan dengan efisiensi pemerintah pusat, Ferry menilai hal itu bisa menjadi salah satu kemungkinan.

    Pemda memang menerima dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dari pemerintah pusat.

    Namun, dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran di tingkat pusat, daya ungkit pembangunan daerah dapat terdampak, sehingga pemda mencari sumber pendanaan tambahan.

    “Kita tahu bahwa saat ini pemerintah di pusat sedang melakukan efisiensi anggaran, sehingga mungkin daya ungkit untuk pembangunan di daerah menjadi terdampak. Dan, pemerintah harus mengambil tindakan di daerah, apa yang harus dilakukan untuk pembiayaan di daerah melalui APBD,” katanya.

    Maka, untuk mengatasi tantangan fiskal, Ferry menyarankan pemda mengoptimalkan potensi PAD lain.

    Ia juga menekankan perlunya koordinasi antara pemda dan pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri serta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan di Kementerian Keuangan.

    Sumber : Antara

  • Mendagri ungkap tegur langsung Bupati Pati soal kenaikan PBB

    Mendagri ungkap tegur langsung Bupati Pati soal kenaikan PBB

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian berbicara dengan awak media di kawasan Jakarta Utara, Kamis (14/8/2025). ANTARA/Nadia Putri Rahmani.

    Mendagri ungkap tegur langsung Bupati Pati soal kenaikan PBB
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 14 Agustus 2025 – 16:10 WIB

    Elshinta.com – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengungkapkan telah menegur langsung Bupati Pati Sudewo terkait kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen.

    “Saya langsung telepon Pak Bupati Pati (Sudewo), Pak Gubernur Jawa Tengah (Ahmad Luthfi). Saya tanyakan kenapa mekanismenya seperti itu,” katanya saat ditemui di Jakarta Utara, Kamis.

    Dia mengaku juga menanyakan apakah kebijakan tersebut telah diperhitungkan atau tidak. Pada akhirnya, kebijakan tersebut dicabut oleh Bupati Pati. Mantan Kapolri itu mengungkapkan, pihaknya tengah meneliti kenaikan PBB tersebut lantaran peraturan dari bupati mengenai nilai jual objek pajak (NJOP) dan PBB tidak sampai pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

    “Jadi peraturan daerahnya memang dibuat oleh DPRD, tapi bersifat umum dan penentuan tarifnya oleh kabupaten dan kota. Penentuan angka NJOP dan PBB itu ditentukan oleh bupati dan wali kota dengan konsultasi. Yang me-review adalah gubernur. Makanya, tidak sampai ke saya, tapi ke gubernur,” katanya.

    Maka dari itu, ujar Tito, pada siang ini pihaknya akan melaksanakan pertemuan secara daring bersama seluruh kepala daerah untuk mengidentifikasi daerah mana saja yang mengalami kenaikan PBB.

    “Ini harus betul-betul melihat salah satu klausul dari Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) itu bahwa setiap kebijakan daerah yang bersifat anggaran, misalnya pajak dan retribusi, itu harus ada proses sosialisasi. Kedua, mempertimbangkan betul dampak serta kemampuan ekonomi masyarakat. Ini yang kami nilai,” ujarnya.

    Diketahui, Pada Rabu (13/8), warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, melakukan unjuk rasa menuntut Bupati Pati Sudewo mengundurkan diri dari jabatannya buntut dari polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).

    Aksi unjuk rasa warga tersebut digelar di kawasan Alun-alun Kota Pati, tepatnya di depan pintu masuk Pendopo Kabupaten Pati. Massa dalam aksi tersebut mendesak Bupati Pati Sudewo mundur dari jabatannya karena dinilai bersikap arogan. Aksi itu pun berujung kericuhan dan bentrokan hingga polisi mengambil tindakan represif.

     

     

     

    Sumber : Antara

  • Mendagri Tito Bela Bupati Pati Jangan Dimakzulkan, Netizen: Rakyat yang Suruh Mundur!

    Mendagri Tito Bela Bupati Pati Jangan Dimakzulkan, Netizen: Rakyat yang Suruh Mundur!

    GELORA.CO – Pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian soal pemakzulan Bupati Pati, Sudewo semakin memicu amarah publik.

    Sebab Tito Karnavian dalam komentarnya justru menyoroti status Sudewo sebagai Bupati Pati yang terpilih secara demokratis.

    Karena itu, Mendagri mengimbau agar proses yang berjalan tidak mengganggu stabilitas, mengingat Bupati Pati Sudewo ini adalah pilihan langsung masyarakat.

    Lebih lanjut, Tito menilai bahwa isu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang menjadi pemicu utama kemarahan warga hingga lahirnya Panitia Khusus (Pansus) Angket Pemakzulan, kemungkinan bukanlah akar masalah sesungguhnya.

    Menurutnya, kebijakan PBB itu sudah dibatalkan, sehingga ia menduga ada motif politis lain di balik gerakan ini.

    Namun, pembelaan Mendagri yang mengatasnamakan “pilihan rakyat” ini seolah menjadi bumerang.

    Warganet dengan cepat membanjiri kolom komentar akun X @BosPurwa yang mengunggah artikel soal pernyataan Tito Karnavian terkait pemakzulan Bupati Pati Sudewo tersebut.

    Bagi netizen, jika rakyat yang memilih, maka rakyat jugalah yang berhak mencabut mandat jika kecewa.

    Komentar-komentar pedas pun tak terhindarkan, mereka menyuarakan kekecewaan atas pernyataan yang dinilai tidak berpihak pada aspirasi publik yang sedang bergejolak.

    “Jika Bupati beneran dipilih rakyat, maka hak rakyat untuk melengserkan jika Bupatinya minus gak bermanfaat bagi rakyatnya. Logika sehat itu hanya dipahami oleh rakyat, pejabat negara sdh terlalu nyaman makan Pajak Rakyat sampe nalarnya nyungsep,” tulis akun @abas**.

    “Rakyat sudah muak alasan demi rakyat or dipilih rakyat, jika rakyat berkehendak dapat disebut kedaulatan rakyat telah mencabut mandatnya,” timpal @suharto***.

    “Terus yang demo dan yang minta mundur siapa? Kan rakyat juga! Berarti sah kan? Otak di mana otak?” kata @fadh**.

    “Tolonglah, rakyat yg minta dia mundur, ngerti pak Mendagri ???” sahut @relaxa***.

  • PBB di Kota Cirebon Naik 1.000% Bikin Warga Emosi, Walkot Effendi: Kebijakan Era Sebelumnya!

    PBB di Kota Cirebon Naik 1.000% Bikin Warga Emosi, Walkot Effendi: Kebijakan Era Sebelumnya!

    GELORA.CO – Wali Kota Cirebon, Effendi Edo angkat bicara soal kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kota Cirebon yang mencapai 1.000 persen. Menurutnya, informasi tersebut tidak sepenuhnya benar.

    “Artinya 1.000 persen itu tidak benar. Kalau kenaikan ada, tapi tidak sampai 1.000 persen,” ujar Edo saat ditemui di Balai Kota, Kamis (14/8/2025).

    Edo menjelaskan, kebijakan kenaikan PBB tersebut sebenarnya telah ditetapkan sejak satu tahun lalu, sebelum ia menjabat sebagai wali kota.

    Sejak memimpin lima bulan lalu, ia mengaku sudah membahas persoalan ini secara internal selama sebulan terakhir untuk mencari solusi.

    “Mudah-mudahan minggu ini kita sudah tahu formulasi yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Artinya ada perubahan, Insya Allah,” ucapnya.

    Dijelaskannya, formula kenaikan PBB berasal dari delapan opsi yang diberikan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), lalu dipadukan oleh Pemkot Cirebon sehingga tarifnya bervariasi.

    Landasan hukumnya adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024, yang disahkan saat Kota Cirebon masih dipimpin Penjabat (Pj) Wali Kota.

    “Soal warga yang punya bukti PBB 2023 kemudian naik drastis di tahun berikutnya, monggo, itu semuanya dari Kemdagri,” jelasnya.

    Namun demikian, Edo tidak menutup kemungkinan melakukan revisi perda jika hasil kajian dan evaluasi menyatakan perlu perubahan.

    “Saya terbuka sekali melakukan audiensi dengan masyarakat yang merasa terdampak,” tutup Effendi Edo.

    Sementara itu, sejumlah warga menilai kenaikan PBB di Kota Cirebon sangat memberatkan. Salah satunya, Surya Pranata, yang mengaku tagihan PBB miliknya melonjak drastis dari Rp6,2 juta pada 2023 menjadi Rp65 juta pada 2024.

    “Tagihan ini sangat tidak masuk akal. Cara menghitungnya bermasalah. Kalau wajar, saya nggak ada di sini. Makanya kita lawan, kita tolak, minta dicabut,” tegas Surya.