Kementrian Lembaga: Kemendag

  • Hitung-hitungan Adi Prayitno Usai Putusan Prabowo: PDIP Dukung Pemerintah, Anak-anak Tom Lembong Belum Ada Tanda

    Hitung-hitungan Adi Prayitno Usai Putusan Prabowo: PDIP Dukung Pemerintah, Anak-anak Tom Lembong Belum Ada Tanda

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Politik Adi Prayitno, ikut memberikan komentarnya mengenai abolisi yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.

    Ia pun memberikan hitung-hitungannya mengenai kemungkinan yang terjadi setelah putusan Presiden itu diberikan.

    Adi tidak menjamin setelah putusan tersebut Indonesia akan lebih harmonis dan perdebatan soal polemik yang menyangkut keduanya berhenti.

    “Tak ada jaminan apapun. Kalau PDIP jelas dukung pemerintah,” ujar Adi di pribadinya di X @Adiprayitno_20, dikutip Minggu (3/8/2025).

    Dikatakan Adi, jika pada satu sisi PDIP bakal memberikan dukungannya pada pemerintahan Prabowo, pendukung Tom Lembong belum tentu demikian.

    “Anak-anak Tom yang merupakan reinkarnasi anak-anak abah dukung pemerintah kagak? Belum ada tandanya,” tandasnya.

    Sebelumnya, Geizs Chalifah, membagikan momen kebersamaannya dengan mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, usai melaksanakan salat Jumat berjemaah, Jumat (1/8/2025).

    Nampak di Facebook pribadinya, Geizs mengunggah foto bersama Anies seraya mengungkapkan perbedaan cara pandang di antara keduanya.

    “Bada (setelah) Jumat. Anies dengan kebaikannya berfikir yang selalu positif saya tetap sinikal,” kata Geizs, Jumat (1/8/2025).

    Geizs menyinggung secara tajam soal kasus yang menimpa mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, yang baru saja mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.

    Dikatakan Geizs, meskipun Tom Lembong sudah dibebaskan melalui mekanisme abolisi, penghapusan perkara sebelum putusan inkrah bukan berarti pelaku kriminalisasi terhadapnya bisa lepas begitu saja.

  • Usut Semua yang Terlibat Kriminalisasi Tom Lembong

    Usut Semua yang Terlibat Kriminalisasi Tom Lembong

    GELORA.CO -Penggiat demokrasi Geisz Chalifah menyambut keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.

    Namun dia menegaskan bahwa langkah itu bukan pengampunan, melainkan penghapusan kesalahan hukum yang sejak awal dinilai tidak adil.

    “Yang menarik dari pengacara Pak Tom adalah, kami menerima abolisi. Tapi kalau bentuknya amnesti, kami tidak terima. Karena amnesti berarti pengampunan, dan kami tidak merasa bersalah,” kata Geisz seperti dikutip redaksi melalui kanal YouTube Indonesia Lawyer Club, Minggu, 3 Agustus 2025.

    Ia menyebut proses hukum terhadap Tom Lembong merupakan bentuk kriminalisasi terhadap sosok yang dekat dengan Anies Baswedan. Menurutnya, kasus itu seharusnya tidak pernah ada karena tidak berdasar secara hukum.

    “Ada yang aneh dalam proses hukum Tom Lembong, kasusnya 2015 Dia menteri, baru diperiksa 2023,” ujarnya.

    Geisz menambahkan bahwa selama proses hukum berjalan, pihak Tom Lembong sama sekali tidak pernah meminta keringanan atau pengampunan kepada penguasa.

    “Kami tidak pernah minta keringanan hukuman. Yang kami siapkan adalah perlawanan,” tegasnya.

    Lebih lanjut, Geisz menyebut pemberian abolisi ini merupakan koreksi dari pemerintah terhadap proses hukum yang dinilai cacat sejak awal.

    “Kalau seperti itu kejadiannya maka semua orang yang terlibat terhdap kejahatan kepada Tom Lembong, harus diusut agar tidak terjadi lagi kasus-kasus semacam ini,” katanya.

    Ia menekankan bahwa reformasi institusi hukum harus menjadi prioritas agar hukum tak lagi menjadi alat kekuasaan yang tebang pilih.

    “Institusi hukum harus ditegakkan agar yang dijalankan betul-betul adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutup Geisz

  • Soal Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong dari Prabowo, MPR: Itu Hak Prerogatif Presiden

    Soal Amnesti Hasto dan Abolisi Tom Lembong dari Prabowo, MPR: Itu Hak Prerogatif Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Ahmad Muzani menyebut pemberian amnesti dan abolisi yang dilakukan Presiden RI Prabowo Subianto adalah hak prerogatif yang dijamin UUD 1945.

    Muzani berkata demikian kala merespons soal Prabowo yang memberikan amnesti kepada Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.

    “Ya itu adalah hak prerogatif presiden seperti yang dijamin UUD 1945 sebagai Kepala Negara,” tuturnya di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu (3/8/2025).

    Muzani yakin bahwa Prabowo pastinya memiliki pertimbangan yang matang untuk memberikan amnesti ke Hasto dan abolisi ke Tom Lembong. MPR, katanya, menyambut baik keputusan Prabowo itu.

    “Saya kira presiden telah melalui pertimbangan yang matang tentang hal itu, dan ini saya kira kita sambut baik sebagai bagian dari upaya untuk meneguhkan, persatuan, kebersamaan, dan kegotongroyongan,” ucap dia.

    Sementara itu di sisi DPR, Ketua Komisi III Habiburokhman menilai keputusan Prabowo adalah hal yang tepat. Menurutnya juga, keputusan itu sudah sesuai dengan konstitusi dan hukum yang ada di Indonesia.

    Selain itu, legislator Gerindra ini menegaskan bahwa Prabowo tidak mengintervensi aparat penegak hukum dalam pemberian amnesti dan abolisi. Prabowo dianggap menyelesaikan persoalan hukum dan politik dengan cara konstitusional. 

    “Terkait kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong, kami memaknai bahwa Presiden Prabowo sama sekali tidak mengintervensi kerja aparat penegak hukum, tetapi mengambil alih penyelesaian persoalan hukum maupun politik dengan cara konstitusional,” katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (2/8/2025).

  • Perlakuan Jokowi ke Tom Lembong Tak Berperasaan

    Perlakuan Jokowi ke Tom Lembong Tak Berperasaan

    GELORA.CO -Pengamat politik senior Ikrar Nusa Bhakti menyatakan bahwa pemberian abolisi terhadap Tom Lembong merupakan langkah penting, namun belum cukup. 

    Ia menilai masih ada persoalan hukum dan moral yang harus diselesaikan secara menyeluruh.

    “Saya juga menyetujui argumen bahwa meskipun abolisi sudah dikeluarkan, proses belum selesai. Karena masih ada kasus-kasus lain yang harus diselesaikan,” ujar Ikrar seperti dikutip redaksi melalui kanal YouTube Indonesia Lawyer Club, Minggu, 3 Agustus 2025.

    Ia secara terang menyindir perlakuan Presiden ke-7 RI Joko Widodo yang dinilainya tidak berperasaan terhadap Tom Lembong yang pernah berjasa dalam pemerintahan.

    “Jokowi ini adalah seorang politisi yang kadang-kadang buat saya ini menjadi orang yang kalau melakukan sesuatu pembunuhan itu benar-benar tanpa perasaan,” jelasnya.

    Dia membeberkan, Tom Lembong pernah menjadi penasihat presiden yang membantu  menjelaskan posisi ekonomi Indonesia. Lalu  menjadi Menteri Perdagangan dan dikenal sangat jujur. 

    “Ternyata orang sudah berjasa dalam konferensi internasional tersebut dan juga sudah menjadi pimpinan BKPM yang sangat jujur dan kemudian menjadi Menteri Perdagangan juga yang menurut saya sangat jujur, tiba-tiba dimasukkan penjara,” ungkapnya.

    Menurutnya, kejanggalan muncul ketika kasus-kasus hukum terhadap tokoh-tokoh tersebut muncul jauh setelah peristiwa berlangsung, dan justru mencuat setelah mereka tak lagi berada dalam lingkar kekuasaan.

    “Tom itu menjabat antara 2015-2016, tapi kasusnya baru muncul tahun 2023. Begitu juga dengan Hasto, kasusnya dari 2014, tapi baru mencuat setelah Jokowi tidak lagi jadi Presiden di bawah PDIP,” jelasnya.

    Ikrar menyebut, Presiden Prabowo tampaknya mampu membaca bahwa ada sesuatu yang janggal dalam proses hukum tersebut. Karena itu, ia menilai abolisi dan amnesti yang dikeluarkan merupakan bentuk koreksi terhadap ketidakadilan yang sempat terjadi.

  • Tom Lembong Dapat Abolisi, Kejagung Pastikan Kasus Korupsi Impor Gula Tetap Berlanjut

    Tom Lembong Dapat Abolisi, Kejagung Pastikan Kasus Korupsi Impor Gula Tetap Berlanjut

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan proses hukum kasus korupsi importasi gula di Kemendag periode 2015-2016 masih berlanjut.

    Kepastian itu disampaikan setelah mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong resmi bebas usai mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.

    “Ya, betul. Masih lanjut seperti itu,” ujar Direktur Penuntutan (Dirtut) Jampidsus Kejagung RI, Sutikno di Kejagung, dikutip Minggu (3/8/2025).

    Sutikno mengemukakan bahwa dari seluruh pihak yang terseret, hanya Tom Lembong yang mendapatkan abolisi dari Prabowo.

    Sementara itu, sisanya masih harus menempuh proses hukum. Salah satu pihak yang terseret adalah Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) Charles Sitorus.

    Proses hukum Charles saat ini telah memasuki tahap banding usai divonis pada pengadilan tahap pertama selama empat tahun penjara dan denda Rp750 juta.

    Adapun, dalam perkara ini terdapat juga sembilan bos perusahaan swasta yang ikut terseret. Saat ini, kesembilan bos swasta itu tengah menjalani proses persidangan perkara rasuah impor gula.

    “Yang diberikan abolisi kan cuma satu orang. Yang lainnya kan proses berjalan,” pungkas Sutikno.

    Sekadar informasi, bos swasta yang masih menjalani proses persidangan yaitu Tonny Wijaya NG (TW) selaku eks Direktur Utama PT Angels Products (PT AP).

    Selanjutnya, eks Presiden Direktur PT Andalan Furnindo, Wisnu Hendraningrat (WN); Direktur Utama PT Sentra Usahatama Jaya, Hansen Setiawan (HS) selaku ; hingga eks Direktur Utama PT Permata Dunia Sukses Utama Eka Sapanca.

  • Langkah Presiden Koreksi Peradilan Sesat Harus Didukung

    Langkah Presiden Koreksi Peradilan Sesat Harus Didukung

    GELORA.CO -Politikus Partai Demokrat, Andi Arief, menanggapi pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti kepada mantan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Menurut Andi, langkah tersebut sejalan dengan semangat konstitusi yang telah mengantisipasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam proses peradilan.

    “Penyusun konstitusi kita tahun 1945 sudah tahu, suatu saat akan terjadi peradilan politik, peradilan sesat, peradilan balas dendam. Karenanya, diberikan hak khusus pada Presiden untuk mengoreksinya,” ujar Andi Arief lewat akun X miliknya, Minggu, 3 Agustus 2025.

    Ia menegaskan bahwa kewenangan Presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi harus dipandang sebagai mekanisme koreksi terhadap potensi kesalahan atau penyalahgunaan hukum yang bermuatan politis.

    “Kalau Presiden mengkoreksi peradilan yang sesat, itu harus didukung. Tapi kalau Presiden yang justru menginisiasi peradilan sesat, itu yang harus dicegah,” tegasnya.

    Pemberian amnesti dan abolis sesungguhnya i bukan hal baru dalam sejarah politik Indonesia. Sejak era awal kemerdekaan hingga pemerintahan reformasi, presiden beberapa kali menggunakan kewenangan ini.

    Tujuannya untuk meredakan ketegangan politik, mengoreksi kekeliruan hukum, atau memulihkan keadilan bagi pihak-pihak tertentu

  • Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Agustus 2025

    Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum Nasional 3 Agustus 2025

    Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    DALAM
    panggung sejarah kekuasaan, keputusan politik kerap menjadi penentu arah nasib individu, bahkan bangsa.
    Ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, publik terbelah antara lega dan gusar, antara optimisme dan skeptisisme.
    Di satu sisi, tindakan ini dibaca sebagai bentuk keberanian politik untuk memutus lingkaran balas dendam kekuasaan. Di sisi lain, keputusan ini diselubungi tanda tanya: mengapa mereka yang terkena hukuman? Mengapa bukan yang lain?
    Amnesti dan abolisi bukan sekadar tindakan administratif, melainkan simbol kebijakan negara dalam memaknai keadilan.
    Dalam pengertian hukum positif, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada individu atau kelompok atas tindakan pidana tertentu, biasanya bermuatan politik, yang menghapuskan segala akibat hukum.
    Abolisi, sebaliknya, adalah penghapusan proses hukum terhadap seseorang dan diberikan atas dasar pertimbangan politik tertentu.
    Keduanya diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi.
    Dalam kasus Hasto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang terjerat tuduhan
    obstruction of justice
    dan suap dalam perkara Harun Masiku dengan vonis 3,5 tahun penjara; amnesti menjadi pilihan untuk memulihkan martabat seorang politikus yang dianggap menjadi korban kriminalisasi.
    Sementara itu, Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan (2015-2016) terdakwa kasus impor gula dengan vonis hukuman 4,5 tahun penjara, mendapat abolisi yang menghapus semua proses dan putusan hukum.
    Kedua tindakan ini, secara hukum sah, tapi secara moral dan politik memanggil renungan lebih dalam.
    Apresiasi atas amnesti dan abolisi tak boleh membutakan kita dari ketimpangan hukum yang telah lama menjadi borok tak tersembuhkan dalam demokrasi Indonesia.
    Ketika keputusan hakim tampak seperti salinan naskah kekuasaan, dan ketika tuntutan jaksa mencerminkan atmosfer politik ketimbang asas legalitas, maka kita sedang menyaksikan bagaimana keadilan kehilangan sakralitasnya.
    Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diam pada kasus-kasus korupsi yang nilainya jauh lebih besar, bahkan seukuran gajah?
    Mengapa kejaksaan lamban dalam mengusut skandal-skandal besar yang menguapkan triliunan rupiah uang rakyat?
    Di saat yang sama, aparat penegak hukum tampak sangat aktif ketika berhadapan dengan figur-figur yang berada di luar lingkar kekuasaan.
    Pola ini mengulangi siklus gelap dalam sejarah penegakan hukum di negeri ini: selektif, transaksional, dan sarat kepentingan.
    Buku Daniel S. Lev berjudul “Legal Evolution and Political Authority in Indonesia” (Equinox Publishing, 2000) menjadi titik awal refleksi penting.
    Lev menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak pernah menjadi entitas otonom, melainkan selalu dibentuk dan dibelokkan oleh agenda kekuasaan.
    Hal ini masih relevan hingga hari ini. Ketika figur seperti Hasto dan Tom Lembong dijerat atau dibebaskan berdasarkan kalkulasi politik, bukan semata prosedur hukum, maka jelas bahwa supremasi hukum masih menjadi ideal yang jauh dari kenyataan.
    Penegakan hukum di Indonesia semakin diragukan setelah KPK dilemahkan melalui revisi Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. KPK yang dahulu independen dan progresif, kini berada di bawah kendali dewan pengawas yang berafiliasi dengan pemerintah.
    Hukum menjadi sunyi ketika pelakunya adalah kroni atau bagian dari sistem kekuasaan. Padahal, dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas bahwa setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok wajib dihukum berat.
    Namun, teks hukum kehilangan makna jika aparatnya tunduk pada perintah kekuasaan.
    Hal ini dipertegas oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan” (Kompas, 2008), bahwa hukum di Indonesia terlalu kaku pada prosedur tetapi gagal pada substansi keadilan.
    Ia menyerukan agar aparat hukum lebih berpihak kepada nilai keadilan sosial daripada sekadar teks hukum.
    Dalam konteks Prabowo, pemberian amnesti dan abolisi bisa dibaca sebagai upaya koreksi terhadap praktik hukum yang telah kehilangan arah moral.
    Sebastian Pompe (2012) juga mencatat bahwa hukum di Indonesia sangat rentan digunakan sebagai alat politik.
    Dari Mahkamah Konstitusi hingga Mahkamah Agung, Pompe menunjukkan bahwa tekanan kekuasaan menjadi bagian inheren dalam pengambilan keputusan.
    Dengan itu, maka yang dibutuhkan bukan hanya pemimpin yang berani memberikan pengampunan, tetapi sistem hukum yang berani berdiri sendiri.
    Apa arti keadilan dalam sistem hukum yang telah dibajak oleh logika kekuasaan? Ketika hukum tidak memberi perlindungan kepada yang lemah, dan justru menjadi senjata untuk menundukkan lawan politik, maka legitimasi hukum pun runtuh.
    Rakyat melihat bahwa keadilan hanyalah milik mereka yang dekat dengan kekuasaan, dan hukum adalah panggung sandiwara tanpa penonton yang percaya.
    Keputusan Presiden Prabowo memberikan amnesti dan abolisi dapat dipandang sebagai gestur moral yang melampaui prosedur teknis hukum.
    Namun, hal ini tak cukup jika tidak diikuti reformasi institusional. KPK harus dikembalikan kepada independensinya.
    Jaksa Agung harus benar-benar bebas dari kendali partai politik. Hakim harus memperoleh jaminan keamanan politik dan kesejahteraan agar tidak mudah dibeli atau ditekan. Dan yang terpenting, semua proses hukum harus terbuka untuk diawasi rakyat.
    Konstitusi memberikan ruang untuk koreksi politik terhadap kesewenang-wenangan hukum, sebagaimana Pasal 14 UUD 1945 yang menjadi dasar pemberian amnesti dan abolisi.
    Namun, koreksi itu tidak boleh menjadi pengganti dari sistem hukum yang rusak. Ia hanya boleh menjadi intervensi moral ketika hukum telah dibajak oleh tirani prosedural.
    Di sinilah refleksi penting kita: bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak gagal karena kekurangan undang-undang, melainkan karena lemahnya komitmen politik dan keberanian moral para penyelenggara negara.
    Hukum dipakai bukan untuk membangun keadilan, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan jejaring ekonomi politik para elite. Inilah yang melahirkan krisis sistem penegakan hukum kita.
    Apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo mesti diikuti oleh dorongan publik untuk terus memperjuangkan sistem hukum yang rasional, independen, dan berpihak kepada rakyat.
    Jika tidak, maka amnesti dan abolisi hanya akan dipahami sebagai strategi kompromi politik, bukan jalan menuju keadilan sejati.
    Dan selama hukum masih berpihak pada mereka yang kuat, bukan pada kebenaran, maka keadilan akan tetap menjadi angan yang dituliskan dalam pasal-pasal undang-undang, tetapi tak pernah benar-benar hidup dalam kenyataan.
    Hal ini tentu bertentangan dengan sifat dasar Indonesia yang merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemesan Kasus Hasto dan Tom Lembong Tak Nyenyak Tidur

    Pemesan Kasus Hasto dan Tom Lembong Tak Nyenyak Tidur

    GELORA.CO -Siapa pun yang mengorder kasus mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto agar masuk perangkap hukum tidak akan tenang hidupnya saat ini.

    Hal ini menyusul keptusan Presiden Prabowo Subianto yang membebaskan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dari penjara usai memperoleh abolisi dan amnesti.

    “”Pengorder” kasus Hasto dan Tom Lembong pasti tidak nyenyak tidur. Mungkin berandai-andai tentang nasibnya ke depan,” kata Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi dikutip dari akun X pribadinya, Minggu 3 Juli 2025.

    Bukan cuma itu, Islah juga menyoroti aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung) dan juga para hakim yang memutus perkara Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.

    “Bagaimana perasaanmu setelah sempat dibuat “dungu” oleh pusaran politik seperti ini?” tanya Islah.

    Pekan lalu, Hasto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait perkara korupsi Harun Masiku. 

    Sementara itu, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula kristal mentah pada 18 Juli silam.

    Presiden Prabowo kemudian melalui Surat Presiden Nomor R43/Pres/072025 tertanggal 30 Juli 2025 meminta pertimbangan DPR untuk pemberian amnesti dan abolisi terhadap 1.178 narapidana. Dalam dokumen itu terdapat nama Tom dan Hasto

  • Dendam Jokowi Dihadang Prabowo

    Dendam Jokowi Dihadang Prabowo

       

    Oleh: Tony Rosyid*

    KETIKA Nelson Mandela jadi Presiden Afrika Selatan, seorang wartawan bertanya: “Kenapa anda tidak penjarakan orang-orang yang dulu telah memenjarakan anda?”. Nelson menjawab: “27 tahun saya menderita di penjara. Saya tidak ingin menambah penderitaan saya dengan memenjarakan mereka (dendam)”.

    Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dinilai publik sebagai bentuk balas dendam Joko Widodo alias Jokowi. Tom Lembong adalah eks Menteri Perdagangan dan orang yang menyiapkan teks pidato Presiden Jokowi. Di Pilpres 2024, Tom Lembong balik arah dan mendukung Anies Baswedan. Anies adalah “musuh” dan tokoh yang paling “dikuyo-kuyo” dimasa kekuasaan Jokowi. 

    Sementara Hasto adalah Sekjen PDIP yang paling bersemangat menyerang Jokowi. Bahkan menyiapkan sejumlah dokumen dan video terkait dosa Jokowi. Meski sampai sekarang tak pernah dia bisa buktikan.

    Dalam persidangan terakhir, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara. Vonis ini membuat marah hampir seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, Tom Lembong tak terbukti menerima uang dan tak ada mens rea (niat jahat). 

    Tidak terima uang dan tak ada niat jahat, tapi divonis bersalah dan dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara. Vonis ini melukai perasaan, mengguncang nalar dan menodai rasionalitas publik. Publik marah. Vonis ini semakin menguatkan dugaan adanya faktor non hukum yang ikut menentukan keputusan.

    Soal intervensi hukum di Indonesia, ini sudah hal biasa. Yang nggak biasa itu kalau ada aparat hukum jujur dan elite anti korupsi. Ini baru barang langka.

    Presiden Prabowo Subianto membaca situasi ini. Dengan sabar dan tekun mengikuti proses persidangan Tom Lembong. Ketika Tom Lembong divonis, tak lama kemudian Presiden Prabowo memberikan abolisi. Menghapus semua keputusan hakim terkait vonis terhadap Tom Lembong. 

    Di waktu yang sama, Presiden Prabowo juga memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Amnesti itu pengampunan. Ya, semacam pengampunan dosa. Supaya tidak terlihat vulgar, amnesti untuk Hasto dikeluarkan berbarengan dengan 1.116 terpidana 

    Silahkan para ahli hukum berdebat soal substansi dari dua kasus yang diberi abolisi dan amnesti ini. Saya hanya ingin menyoroti dari sisi politik.

    Pemberian abolisi dan amnesti oleh Prabowo merupakan langkah politik yang cukup cerdas dan taktis. Saat publik sedang masif memberikan empatinya kepada Tom Lembong, Presiden Prabowo hadir. Gelombang empati akhirnya juga mengalir ke Prabowo. Abolisi seperti mata air yang muncul di saat rakyat sedang kehausan atas keadilan hukum. Prabowo hadir di saat yang paling tepat.

    Di saat yang bersamaan, Prabowo juga memberikan amnesti kepada Hasto. Ini langkah politik lainnya. Urusannya bukan kepada publik, karena publik tidak ada hubungannya dengan kasus Hasto. Tom Lembong dan Hasto adalah dua kasus yang berbeda.

    Jika kasus Tom Lembong berkaitan dengan empati dan simpati publik, sedangkan kasus Hasto berkaitan dengan kebutuhan Prabowo terhadap dukungan dari PDIP.

    Informasi yang beredar ke publik: PDIP siap bergabung dengan Prabowo dengan dua syarat. Salah satunya: Hasto dibebaskan. Benarkah?

    Yang pasti, dengan pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto, Prabowo mendapat tiga keuntungan sekaligus. 

    Pertama, Prabowo mendapatkan simpati publik. Publik mengapresiasi langkah Prabowo yang berpihak dengan amat cerdas kepada Tom Lembong. Kali ini, simpati publik tidak lagi dimonopoli oleh Tom Lembong. Tom Lembong harus berbagi dengan Prabowo. 

    Kedua, amnesti kepada Hasto menjadi ruang baru bagi rekonsiliasi Prabowo dengan Megawati. 

    Ketiga, abolisi dan amnesti menjadi pukulan telak Prabowo kepada Jokowi. Ini pukulan yang kesekian kali yang dimainkan Prabowo secara softly, sistemik dan konsisten.

    Abolisi kepada Tom Lrmbong dan terutama amnesti kepada Hasto akan membuka konstalasi baru dalam land scape perpolitikan Indonesia kedepan. Prabowo akan melangkah semakin kuat karena dukungan PDIP, seiring dengan melemahnya pengaruh Jokowi.

    Apakah dukungan PDIP kepada Parbowo, jika ini benar-benar terjadi, akan membuat Indonesia lebih stabil? Apakah bergabungnya PDIP ke koalisi Prabowo akan membuat demokrasi kita lebih hidup? Pertanyaan ketiga, dan ini paling substansial: Apakah merapatnya PDIP ke Prabowo akan membuat Indonesia lebih baik?

    Tiga pertanyaan ini seiring berjalannya waktu akan terjawab. Butuh beberapa tahun kedepan untuk kita mendapatkan jawabannya.

    Era balas dendam boleh jadi lambat laun akan menghilang. Apakah era baru akan memberi jaminan?

    Kita tunggu.

    *(Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

  • Tom Lembong Korban Peradilan Sesat, Wajar Terima Abolisi

    Tom Lembong Korban Peradilan Sesat, Wajar Terima Abolisi

    GELORA.CO -Keputusan Presiden (Keppres) Prabowo Subianto soal pemberian abolisi Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong sangat wajar.

    “Karena Tom Lembong korban peradilan sesat,” kata Presidium Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia (Aksi) Nurmadi H. Sumarta kepada RMOL, Minggu 3 Agustus 2025.

    “Filsafat hukum berbunyi, jika lembaga pengadilan tidak mampu memutuskan perkara secara benar (ontologis, epistemologis, dan axiologis), maka kebenaran yang berkeadilan akan menemukan sendiri jalannya dalam kehidupan masyarakat,” sambungnya.

    Apabila melihat dan mencermati jalannya persidangan, bukti dan saksi atas Tom Lembong, menurut Nurmadi, publik bisa menilai putusan sesat peradilan. 

    “Sudah semestinya Tom Lembong diputus bebas,” kata Nurmadi.

    Kata Nurmadi, publik sudah mengenal Tom Lembong atas profesionalisme, dedikasi, loyalitas dan integritas saat menjabat. 

    “Bahkan Tom terbukti tidak memperkaya diri dan keluarga. Tom tanpa bukti cukup saat ditetapkan tersangka,” kata Nurmadi.

    Dalam persidangan, lanjut Nurmadi, juga tidak ditemukan kerugian negara. Namun dicari-cari bukti, kemudian BPKP dengan perhitungan dan dasar yang salah hitung. 

    “Sedangkan Menteri Perdagangan lain yang impornya lebih besar sama sekali bebas tuntutan,” kata Nurmadi.

    Publik dan pengamat banyak yang meyakini kasus Tom Lembong bersifat kriminalisasi. Sampai setiap sidang banyak dukungan dari emak-emak, simpatisan dan para pejuang kebenaran demi tegaknya hukum. 

    Dengan putusan peradilan sesat tersebut, adanya abolisi merupakan langkah tepat untuk koreksi peradilan dan sudah semestinya. 

    “Berarti ada pengakuan secara politik dan hukum, nama Tom Lembong tidak bersalah dan dipulihkan,” kata Nurmadi.