Kementrian Lembaga: Kemendag

  • Jelang Pelantikan Trump, Neraca Dagang RI Diramal US Miliar pada Kuartal I/2025

    Jelang Pelantikan Trump, Neraca Dagang RI Diramal US$7 Miliar pada Kuartal I/2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) memperkirakan neraca perdagangan Indonesia pada kuartal I/2025 mencapai US$6 miliar – US$7 miliar.

    Kendati begitu, Ekonom LPEM UI Teuku Riefky menyampaikan bahwa proyeksi tersebut masih sangat dinamis lantaran pihaknya belum mengetahui kebijakan apa yang akan dikeluarkan oleh Donald Trump usai dilantik sebagai Presiden AS.

    “Proyeksi neraca dagang di kuartal I/2025 ini mungkin kita melihat bisa mencapai US$6-7 miliar, tapi ini memang masih sangat dinamis ya angkanya,” kata Riefky kepada Bisnis, dikutip Sabtu (18/1/2025).

    Dia mengatakan, Trump dalam kampanyenya sempat menyatakan akan memberlakukan tarif impor di kisaran 60%-100% untuk barang-barang dari China serta tambahan tarif sebesar 10%-20% terhadap semua barang yang masuk ke AS.

    Menurutnya, dengan Indonesia bergabung ke dalam BRICS – aliansi negara yang dibentuk oleh Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan – hal ini dapat menjadi risiko tambahan untuk neraca perdagangan Indonesia usai kemenangan Trump. 

    “Dengan Indonesia bergabung ke BRICS, tentu ini menjadi risiko tambahan untuk neraca perdagangan Indonesia,” pungkasnya.

    Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) optimistis dapat mencapai target ekspor senilai US$294,45 miliar tahun ini, meski ada ancaman perang dagang antara AS-China pascakemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) AS.

    Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kemendag Rusmin Amin menyampaikan optimistis itu sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.

    “Kemendag optimistis dapat mencapai target nilai ekspor US$294,45 miliar dengan pertumbuhan 7,1% pada 2025,” kata Rusmin kepada Bisnis.

    Pihaknya juga berupaya menyiapkan beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi pelemahan ekspor usai kemenangan Trump.

    Di antaranya, diversifikasi pasar ekspor, memperkuat daya saing dan pengamanan pasar dalam negeri, meningkatkan akses pasar melalui perjanjian perdagangan, dan melakukan upaya untuk memanfaatkan peluang dari perang dagang.

    “Kemendag juga akan mencoba melakukan pendekatan melalui kerja sama bilateral agar tarif dapat diturunkan dan produk lokal Indonesia mampu menembus pasar AS,”  tuturnya.

    Lebih lanjut, Rusmin menyebut bahwa Indonesia juga akan meningkatkan keikutsertaan dalam Global Value Chain (GVC) dengan memberikan nilai tambah dan kemudahan dalam melakukan produksi dan berbisnis di Tanah Air. Hal ini dilakukan untuk menarik investor global brand agar dapat memindahkan basis produksinya ke Indonesia.

  • Kemendag Optimistis Capai Target Ekspor 2025 di Tengah Ancaman Perang Dagang AS-China

    Kemendag Optimistis Capai Target Ekspor 2025 di Tengah Ancaman Perang Dagang AS-China

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) optimistis dapat mencapai target ekspor senilai US$294,45 miliar tahun ini, meski ada ancaman perang dagang antara AS-China pasca kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) AS.

    Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kemendag Rusmin Amin menyampaikan, optimistis itu sejalan dengan target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.

    “Kemendag optimistis dapat mencapai target nilai ekspor US$294,45 miliar dengan pertumbuhan 7,1% pada 2025,” kata Rusmin kepada Bisnis, dikutip Sabtu (18/1/2025).

    Rusmin mengakui, kemenangan Trump memberikan tantangan tersendiri bagi Indonesia. Apalagi dalam kampanyenya, Trump mengusulkan tarif impor di kisaran 60%-100% untuk barang-barang dari China serta tambahan tarif sebesar 10%-20% terhadap semua barang yang masuk ke AS.

    Rusmin mengatakan, peningkatan tarif dan hambatan perdagangan antara kedua negara dapat mengurangi permintaan terhadap produk-produk yang diekspor oleh Indonesia ke China dan AS. 

    Secara langsung, tarif impor yang lebih tinggi di pasar AS dapat berdampak pada penurunan kinerja produk/eksportir Indonesia yang bergantung dengan pasar AS.

    Selain itu, kata dia, ketidakpastian global yang diakibatkan oleh potensi perang dagang antara kedua negara akan memicu menurunnya permintaan global. 

    “Kondisi ini dapat memengaruhi ekspor Indonesia ke negara-negara lain,” ujarnya.

    Dampak lainnya, lanjut dia, impor produk China di pasar Indonesia berpotensi melonjak, utamanya produk-produk China yang tidak dapat masuk ke pasar AS. Dengan kata lain, China akan mengalihkan pasarnya ke Indonesia.

    Kendati begitu, pemerintah meyakini bahwa tantangan tersebut tidak menghambat Indonesia dalam mencapai target ekspor di 2025. 

    Untuk mencapai target tersebut, Rusmin menuturkan bahwa pihaknya memiliki fokus program yaitu perluasan pasar ekspor dengan meningkatkan pangsa pasar produk ekspor Indonesia di pasar global dan peningkatan UMKM ‘Berani Inovasi, Siap Adaptasi (BISA) Ekspor’ untuk mendorong kontribusi ekspor UMKM terhadap ekspor nasional.

    Di sisi lain, pemerintah juga meyakini bahwa neraca perdagangan Indonesia tahun ini masih mencatatkan surplus seiring dengan target ekspor US$294,45 miliar di 2025.

    Tahun ini, Rusmin mengharapkan terjadi peningkatan permintaan terhadap produk-produk Indonesia, utamanya komoditas dan produk manufaktur serta masuknya investasi yang dapat meningkatkan kapasitas produksi dan daya saing produk dalam negeri.

  • Mengukur Sisi Positif Perang Dagang AS-China ke Ekspor RI

    Mengukur Sisi Positif Perang Dagang AS-China ke Ekspor RI

    Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) menilai perang dagang antara AS dan China kemungkinan berdampak positif terhadap kinerja ekspor Indonesia.

    Ekonom LPEM UI Teuku Riefky menyampaikan ketika terjadi perang dagang, akan ada trade diversion atau pengalihan perdagangan yang biasanya terjadi peningkatan permintaan untuk produk-produk selain produk dari AS dan China.

    “Ini ada kemungkinan bisa ada diversion atau demand terhadap produk buatan Indonesia, tapi potensinya pun kami rasa tidak akan terlalu besar,” kata Riefky kepada Bisnis, dikutip Sabtu (18/1/2025).

    Di tengah kondisi ini, Riefky menyebut pemerintah perlu mengambil langkah-langkah, meski diakuinya akan sulit untuk mengantisipasi perang dagang tersebut. Mengingat, perang dagang antar kedua negara adidaya ini tidak hanya berdampak ke Indonesia tapi negara lainnya.

    Menurutnya, beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah adalah diversifikasi pasar ekspor dan impor. Selain itu, pemerintah perlu memikirkan bagaimana arus barang impor dari China akan membanjiri negara-negara lain, termasuk Indonesia, agar tidak mengganggu produktivitas produsen dalam negeri.

    “Ini perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia tapi bukan dengan cara proteksi, tapi bagaimana kemudian arus impor ini tidak mengganggu produktivitas produsen dalam negeri,” tuturnya.

    Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya menyiapkan beberapa strategi yang dapat dilakukan guna mengantisipasi pelemahan ekspor pasca kemenangan Trump.

    Diantaranya, diversifikasi pasar ekspor, memperkuat daya saing dan pengamanan pasar dalam negeri, meningkatkan akses pasar melalui perjanjian perdagangan, dan melakukan upaya untuk memanfaatkan peluang dari perang dagang.

    “Kemendag juga akan mencoba melakukan pendekatan melalui kerja sama bilateral agar tarif dapat diturunkan dan produk lokal Indonesia mampu menembus pasar AS,”  kata Kepala Badan Kebijakan Perdagangan (BKPerdag) Kemendag Rusmin Amin kepada Bisnis, dikutip Sabtu (18/1/2025).

    Lebih lanjut, Rusmin menyebut bahwa Indonesia juga akan meningkatkan keikutsertaan dalam Global Value Chain (GVC) dengan memberikan nilai tambah dan kemudahan dalam melakukan produksi dan berbisnis di Tanah Air. Hal ini dilakukan untuk menarik investor global brand agar dapat memindahkan basis produksinya ke Indonesia.

  • Jelang 100 Hari Kinerja Prabowo, Menangkan Gugatan Sawit di WTO

    Jelang 100 Hari Kinerja Prabowo, Menangkan Gugatan Sawit di WTO

    Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia memenangkan sengketa dagang akan diskriminasi Uni Eropa terhadap kelapa sawit RI di di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Dunia atau Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO.

    Kemenangan tersebut memberi catatan manis pada 100 hari pertama Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden Indonesia. 

    Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso menyampaikan pemerintah menyambut baik Putusan Panel WTO pada 10 Januari 2025 lalu pada sengketa dagang terkait kelapa sawit yang telah diperjuangkan beberapa tahun silam.

    “Pemerintah Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim, sebagai dasar agar Uni Eropa tidak sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan yang diskriminatif,” ujarnya dalam keterangan resmi, dikutip pada Jumat (17/1/2025).

    Budi berharap negara mitra dagang lainnya tidak memberlakukan kebijakan serupa yang berpotensi menghambat arus perdagangan global, utamanya sawit.

    Secara umum, Panel WTO menyatakan bahwa Uni Eropa (UE) melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari. 

    Uni Eropa juga terbukti membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.

    Selain itu, Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk) serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II. 

    Ilustrasi sawitPerbesar

    Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO.

    “Indonesia melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk tindakan proteksionisme dengan dalih menggunakan isu kelestarian lingkungan yang sering didengungkan oleh Uni Eropa,” kata Budi Santoso.  Pada Desember 2019, Indonesia menggugat pertama kali UE di WTO dengan nomor kasus DS593: European Union-Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels. 

    Gugatan mencakup kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE, serta kebijakan Prancis yang menjadi hambatan akses pasar kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel. 

    Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan kemenangan Indonesia di World Trade Organization/WTO terkait sengketa kelapa sawit membawa titik terang terhadap penyelesian perjanjian dagang IEU CEPA.

    Saat ini, pemerintah tengah menyelesaikan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa atau Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

    “Dengan kemenangan ini, hambatan yang selama ini menghantui perundingan IEU CEPA ini bisa hilang dan kita dapat segera selesaikan EU CEPA,” ujarnya.

    Perundingan IEU-CEPA mencakup berbagai aspek, antara lain seperti tarif bea cukai, menghilangkan hambatan non-tarif, dan menyederhanakan prosedur kepabeanan untuk memudahkan aliran barang antara kedua wilayah dan lain sebagainya.

    Selain itu, Airlangga menegaskan bahwa kemenangan tersebut turut membuktikan bahwa Eropa terbukti melakukan diskriminasi terhadap produk kelapa sawit dan biodiesel Indonesia. 

    “Sehingga sekarang biodiesel yang kita ambil sebagai sebuah kebijakan, itu mau tidak mau dunia harus menerima. Tidak hanya [mengakui] biodiesel berbasis bunga matahari atau kedelain, tapi juga yang berbasis CPO,” lanjutnya. 

  • RI Menang di WTO, Uni Eropa Terbukti Diskriminasi Kelapa Sawit Indonesia – Halaman all

    RI Menang di WTO, Uni Eropa Terbukti Diskriminasi Kelapa Sawit Indonesia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Uni Eropa (UE) terbukti mendiskriminasi Indonesia dalam sengketa dagang kelapa sawit

    Sengketa terjadi di Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO).

    Bukti tersebut tertuang dalam Laporan Hasil Putusan Panel WTO (panel report) yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025.

    Secara umum, Panel WTO menyatakan, UE melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari.

    UE juga membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.

    Selain itu, Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (high ILUC-risk).

    Lalu, ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II.

    Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO.

    Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan, Indonesia melihat kebijakan tersebut sebagai bentuk tindakan proteksionisme dengan dalih menggunakan isu kelestarian lingkungan yang sering didengungkan oleh UE.

    Pemerintah Indonesia pun menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang terkait kelapa sawit ini.

    “Pemerintah Indonesia menyambut baik Putusan Panel WTO pada sengketa dagang sawit dengan Uni Eropa yang dikaitkan dengan isu perubahan iklim, sebagai dasar agar Uni Eropa tidak sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan yang diskriminatif,” kata Budi dikutip dari siaran pers pada Jumat (17/1/2025).

    “Kami harap, di masa depan, negara mitra dagang lainnya tidak memberlakukan kebijakan serupa yang berpotensi menghambat arus perdagangan global,” lanjutnya.

    Sebagai informasi, pada Desember 2019, Indonesia menggugat pertama kali UE di WTO dengan nomor kasus DS593: European Union-Certain Measures Concerning Palm Oil and Oil Palm Crop-Based Biofuels.

    Gugatan mencakup kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE, serta kebijakan Prancis yang menjadi hambatan akses pasar kelapa sawit sebagai bahan baku biofuel.

    Hambatan tersebut terkait pembatasan konsumsi biofuel berbahan baku kelapa sawit sebesar 7 persen, kriteria (high ILUC-risk), dan ketentuan penghentian penggunaan biofuel berbahan baku kelapa sawit secara bertahap (phase out).

    Langkah Pemerintah Indonesia Selanjutnya

    Berdasarkan peraturan WTO, jika tidak ada keberatan dari para pihak yang bersengketa, panel report akan diadopsi dalam kurun waktu 20-60 hari setelah disirkulasikan kepada Anggota WTO.

    Sehingga, laporan tersebut bersifat mengikat kepada Indonesia dan UE.

    UE kemudian akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mematuhi kewajibannya sesuai putusan Panel WTO.

    Budi mengatakan, Pemerintah Indonesia akan memonitor secara ketat perubahan regulasi UE.

    Hal itu agar sesuai dengan putusan dan rekomendasi DSB WTO, khususnya terkait unsur diskriminasi yang dimenangkan Indonesia.

    Jika diperlukan, Pemerintah Indonesia juga akan menilai kepatuhan (compliance panel) terhadap hal tersebut.

    Secara paralel, Pemerintah Indonesia terus
    berupaya untuk membuka akses pasar produk sawit Indonesia di pasar UE melalui berbagai forum perundingan.

    Budi memastikan keberhasilan Indonesia dalam memenangkan sengketa dagang di WTO merupakan hasil dari langkah proaktif dan koordinasi yang intensif para pemangku kepentingan di dalam negeri. 

    Para pemangku kepentingan itu meliputi kementerian dan lembaga terkait, pelaku industri, asosiasi kelapa sawit Indonesia, tim ahli, dan tim kuasa hukum Pemerintah Indonesia.  

  • AS Batasi Ekspor Chip ke Sejumlah Negara, Indonesia Termasuk?  – Halaman all

    AS Batasi Ekspor Chip ke Sejumlah Negara, Indonesia Termasuk?  – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Pemerintah AS dibawah kepemimpinan Joe Biden mengumumkan aturan baru terkait pembatasan chip komputer canggih dan teknologi kecerdasan buatan (AI) buatan pabrik AS.

    Dengan aturan tersebut distribusi global Chip AI asal AS tak bisa lagi diekspor ke sejumlah negara di dunia. Para pejabat mengatakan aturan baru tersebut dimaksudkan untuk memastikan “AI dunia berjalan sesuai rencana Amerika”.

    Adapun pemblokiran ini dilakukan di tengah melonjaknya permintaan untuk chip AI Nvidia ke dalam jajaran perusahaan paling bernilai di dunia.

    Banyak dari perusahaan menyebut langkah ini hanya akan membantu pesaing. Kendati demikian, Departemen Perdagangan AS beralasan AI mumpuni memiliki potensi memperburuk risiko keamanan nasional yang signifikan, jika ada di tangan yang salah.

    “Aturan ini menjauhkannya dari tangan “aktor jahat” yang dapat menggunakannya untuk mengancam Amerika Serikat, termasuk dengan memungkinkan pengembangan senjata pemusnah massal, mendukung operasi siber ofensif yang kuat, dan membantu pelanggaran hak asasi manusia, seperti pengawasan massal,” kata Departemen Perdagangan AS.

    Peraturan baru soal kontrol ekpor chip AI ke pasar global akan mulai berlaku 120 hari sejak diterbitkan. Dengan ini, aturan akan berlaku efektif sekitar bulan April 2025.

    Pasca kebijakan diberlakukan, hanya negara-negara sekutu dekat AS yang masih dibebaskan untuk mengimpor chip dan alat pembuat chip dari AS. Sementara pasokan chip sejumlah negara akan dibatasi sesuai dengan kelompoknya.

    Laporan TrendForce yang dikutip BBC International merinci, kontrol ekspor chip AI ini turut dibagi menjadi tiga tingkatan (tier) berdasarkan negara yang memenuhi syarat.

    Khusus negara Tier 1 yang merupakan sekutu utama AS seperti Korea Selatan, Jepang, Jerman, dan Taiwan, dan Australia dapat terus melakukan bisnis seperti biasa dan bebas mengimpor hardware AI yang dikembangkan AS.

    Perusahaan-perusahaan dari negara-negara ini diizinkan untuk memasang beberapa prosesor mereka di negara-negara Tier 2, tapi dibatasi untuk tidak melebihi 7 persen dari kapasitas mereka di negara Tier 2 mana pun.

    Bagi negara Tier 2 termasuk di Eropa Timur, Timur Tengah, dan Amerika Latin, memiliki batasan akses ke chip pengolah grafis (GPU) khusus pemrosesan kecerdasan buatan (AI) hingga 50.000 GPU untuk periode 2025-2027.

    Jika dilihat dari petanya, Indonesia dan Malaysia sejauh ini masuk dalam kelompok Tier 2 dalam aturan pembatasan ekspor chip AS beserta negara Asia Tenggara lain kecuali Kamboja.

    Sementara Tier 3 yang terdiri dari negara-negara seperti China, Rusia, Iran, dan Korea Utara sepenuhnya dilarang mengakses teknologi AI AS.

    Ambisi AS Jadi Pemimpin AI Pasar Global

    Kebijakan ini diklaim dapat membantu AS membatasi potensi penyalahgunaan chip tersebut dalam pengembangan teknologi militer atau kegiatan yang dapat mengancam keamanan nasional negara paman Sam itu.

    Sejak Oktober 2022, pemerintah AS telah memberlakukan rangkaian kontrol ekspor, yang memblokir akses semikonduktor canggih ke China untuk mencegah penggunaannya bagi aplikasi militer.

    AS percaya mereka masih unggul 6 hingga 18 bulan dalam pengembangan AI dibanding negara rival seperti China. Dengan adanya pembatasan ekspor chip AI ini, AS yakin bisa mempertahankan keunggulan tersebut serta mencegah teknologi jatuh ke tangan negara yang berisiko mengancam kepentingan AS.

    Kebijakan Trump Tuai Kritikan

    Banyak dari perusahaan menyebut langkah ini hanya akan membantu pesaing., pembatasan ini dikhawatirkan bisa menjadi hambatan bagi sejumlah negara yang berusaha memposisikan dirinya sebagai pusat data global.

    Karena aturan ini berpotensi menghentikan investasi dan pembangunan pusat data yang diperlukan untuk memenuhi permintaan pasar global.

    Salah satu perusahaan yang disebut akan terdampak aturan pembatasan ekspor chip AI ini adalah Nvidia. Menurut perusahaan, jika aturan ini diterapkan, bukan berarti mengurangi ancaman, melainkan hanya melemahkan daya saing global Amerika.

    “Dengan mencoba mengatur hasil pasar dan menekan persaingan sebagai ‘urat nadi’ inovasi aturan baru pemerintahan Biden mengancam akan menyia-nyiakan keunggulan teknologi yang diperoleh Amerika dengan susah payah,” kata perusahaan itu.

    Uni Eropa juga menyatakan keberatan, mereka menilai pembatasan ini tidak adil mengingat negara-negara Uni Eropa adalah mitra dagang dekat AS.

    Sementara itu China menentang keras kebijakan baru Biden. Kementerian Perdagangan China mengancam mengambil tindakan balasan demi melindungi kepentingan nasionalnya.

    “Aturan itu telah secara serius menyabotase regulasi pasar, tatanan ekonomi dan perdagangan internasional, mengacaukan rantai industri maupun pasokan global, serta merusak kepentingan China, AS, dan komunitas bisnis di negara-negara di seluruh dunia,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun.

     

     

  • Fokus Swasembada Pangan, Pemerintah Tetap Tutup Impor Beras dan Komoditas Lain

    Fokus Swasembada Pangan, Pemerintah Tetap Tutup Impor Beras dan Komoditas Lain

    Makassar, Beritasatu.com – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulkifli Hasan menegaskan, pemerintah akan menutup keran impor untuk empat komoditas utama, yaitu beras, jagung, garam, dan gula. Kebijakan ini diambil meskipun program makan bergizi gratis (MBG) mulai berjalan.

    Hal ini disampaikan Zulkifli seusai memimpin Rapat Koordinasi Lintas Kementerian dan Pemerintah Daerah bersama 24 kepala daerah di Sulawesi Selatan di Baruga Patingalloang, kompleks rumah dinas Gubernur Sulsel, Jumat (17/1/2025).

    “Tahun ini kita tidak impor lagi garam, gula, jagung, atau beras. Kita fokus pada produksi dalam negeri,” ujar Zulkifli.

    Rapat koordinasi yang turut dihadiri oleh Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Menteri PUPR Dody Hanggodo, dan sejumlah pejabat lainnya membahas strategi untuk mencapai swasembada pangan pada 2025.

    Zulkifli menegaskan seluruh kementerian dan perangkat daerah harus bersinergi dalam mewujudkan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.

    “Kita kerja keras, rapat koordinasi ini untuk memastikan seluruh bupati dan gubernur satu pemikiran. Swasembada pangan adalah target utama,” katanya.

    Zulkifli optimistis penutupan impor tidak akan mengganggu program makan bergizi gratis maupun kebutuhan pangan nasional. Pemerintah sedang fokus meningkatkan produksi empat komoditas utama tersebut untuk mendukung kemandirian pangan.

    “Dengan tidak perlu impor, swasembada pangan akan kita capai. Namun, kita semua perlu kerja keras,” tambahnya.

    Meski impor ditutup, pelaksanaan program makan bergizi gratia tetap berjalan lancar. Program ini dirancang untuk menyediakan makanan bergizi bagi masyarakat, terutama anak-anak sekolah, dengan memanfaatkan hasil produksi dalam negeri.

    Kebijakan ini diharapkan dapat memperkuat sektor pertanian dan mendukung petani lokal, sekaligus memastikan ketersediaan pangan yang cukup bagi seluruh rakyat Indonesia.

  • Bahlil Terima Kunjungan Menteri dari China, Bahas Kerja Sama Ekonomi hingga BRICS
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        17 Januari 2025

    Bahlil Terima Kunjungan Menteri dari China, Bahas Kerja Sama Ekonomi hingga BRICS Nasional 17 Januari 2025

    Bahlil Terima Kunjungan Menteri dari China, Bahas Kerja Sama Ekonomi hingga BRICS
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar sekaligus Menteri ESDM
    Bahlil Lahadalia
    menerima kunjungan Menteri Departemen Hubungan Internasional Komite Sentral Partai Komunis China (IDCPC)
    Liu Jianchao
    untuk membahas sejumlah peluang kerja sama.
    Pertemuan digelar tertutup di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, pada Jumat (17/1/2025). Menteri Liu turut didampingi penerjemahnya.
    Bahlil mengungkapkan bahwa pembahasan dalam pertemuan tersebut terkait kerja sama di bidang ekonomi, hilirisasi, hingga investasi.
    “Dan kami tadi berdiskusi bertukar pandang terkait dengan hilirisasi tidak hanya di sektor pertambangan, tetapi juga kita mendorong kepada sektor-sektor yang lain seperti perikanan, kehutanan, dan pertanian,” kata Bahlil usai pertemuan.
    Di samping itu, Bahlil dan Liu turut membahas soal keikutsertaan Indonesia dalam asosiasi internasional, BRICS (Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan).
    Dalam pertemuan tersebut, Bahlil dan Liu berdiskusi mengenai skema kerja sama di
    BRICS
    yang saling menguntungkan.
    “Kita diskusi sedikit tentang bagaimana keikutsertaan Indonesia dalam BRICS, dan kita ingin agar ini dimanfaatkan secara baik dalam rangka kepentingan Indonesia dan kerja sama yang saling menguntungkan antara negara-negara yang tergabung dalam BRICS,” tuturnya.
    Dalam kesempatan ini, Liu mengatakan bahwa Indonesia dan China adalah negara yang memiliki pembangunan ekonomi yang besar serta populasi yang besar.
    Menurutnya, kedua negara juga sedang bersama-sama berupaya dalam modernisasi dan meningkatkan kehidupan rakyat.
    “Kemarin malam saya juga sempat bertemu dengan Yang Mulia, Presiden Prabowo. Kami melakukan komunikasi yang baik. Saya juga mengatakan, Tiongkok mendukung Indonesia untuk membangun negara sendiri dan juga memberikan dukungan yang terkait,” tambahnya.
    Liu berharap pertemuan ini dapat semakin meningkatkan kerja sama antara kedua negara.
    “Saya berharap kami akan lebih membantu untuk meningkatkan kerja sama perdagangan investasi, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, dan untuk membantu meningkatkan perpajakannya,” ujar Liu.
    Dalam pertemuan ini, hadir juga sejumlah pejabat dari Partai Golkar, di antaranya Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, Gubernur Lemhanas Ace Syadzily Hasan, dan Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kemendag Siap Hadapi Uni Eropa jika Ajukan Banding Putusan WTO soal Sawit

    Kemendag Siap Hadapi Uni Eropa jika Ajukan Banding Putusan WTO soal Sawit

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengapresiasi keputusan Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) terkait dengan minyak sawit.

    Putusan ini memutuskan bahwa Uni Eropa (UE) terbukti melakukan diskriminasi terhadap bahan bakar nabati (biofuel) berbahan baku minyak sawit asal Indonesia.

    Keputusan ini tertuang dalam laporan hasil putusan panel WTO (panel report) yang disirkulasikan pada 10 Januari 2025. Kementerian Perdagangan Indonesia menyambut positif putusan tersebut dan berharap kebijakan serupa tidak diterapkan oleh mitra dagang lainnya.

    Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Dyah Roro Esti Widya Putri menyampaikan pihaknya mengapresiasi putusan WTO yang menyebut UE mendiskriminasi biofuel berbahan baku minyak sawit 

    “Kami berharap ini justru akan bisa berkontribusi terhadap nilai perdagangan kita secara keseluruhan otomatis dengan jumlah ekspor kita yang semakin meningkat, ketergantungan kita ke impor juga berkurang,” kata Dyah Roro di Kementerian ESDM, Jumat (17/1/2025).

    Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Djatmiko Bris Witjaksono melihat bahwa keputusan WTO soal biofuel berbahan baku minyak sawit sudah tepat.

    Apalagi, Djatmiko menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Uni Eropa dalam Renewable Energy Directive (RED) II memang diskriminatif terhadap Indonesia.

    Terkait dengan kemungkinan UE bakal melakukan banding, Djatmiko menyebut pemerintah bakal terus melawan banding tersebut.

    “Pemerintah tetap akan lakukan pembelaan kalau Uni Eropa banding,” ujar Djatmiko kepada Bisnis.

    Adapun, Secara umum, Panel WTO menyatakan bahwa Uni Eropa (UE) melakukan diskriminasi dengan memberikan perlakuan yang kurang menguntungkan terhadap biofuel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia dibandingkan dengan produk serupa yang berasal dari UE seperti rapeseed dan bunga matahari.

    Uni Eropa juga terbukti membedakan perlakuan dan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain seperti kedelai.

    Selain itu, Panel WTO menilai UE gagal meninjau data yang digunakan untuk menentukan biofuel dengan kategori alih fungsi lahan kelapa sawit berisiko tinggi (highILUC-risk) serta ada kekurangan dalam penyusunan dan penerapan kriteria serta prosedur sertifikasi low ILUC-risk dalam Renewable Energy Directive (RED) II.

    Oleh karena itu, UE diwajibkan untuk menyesuaikan kebijakan di dalam Delegated Regulation yang dipandang Panel melanggar aturan WTO.

  • China Ngamuk Besar, Beberkan Kejamnya Amerika

    China Ngamuk Besar, Beberkan Kejamnya Amerika

    Jakarta, CNBC Indonesia – China makin tertekan menghadapi sanksi dagang dari Amerika Serikat (AS). Negara kekuasaan Xi Jinping tersebut akhirnya ngamuk dan melakukan investigasi terhadap subsidi pemerintah AS di sektor semikonduktor.

    China mengklaim subsidi gila-gilaan tersebut diduga merugikan perusahaan pembuat chip node yang sudah matang (mature-node) milik China.

    Kementerian Perdagangan China menjelaskan, tidak seperti chip mutakhir yang mendukung model kecerdasan buatan (AI), chip mature-node lebih murah, lebih mudah dibuat, dan digunakan untuk tugas-tugas yang tidak terlalu rumit, termasuk peralatan rumah tangga dan sistem komunikasi.

    Penyelidikan ini merupakan tindakan terbaru dalam kebijakan Beijing untuk membalas pembatasan Washington yang makin meluas kepada industri semikonduktor China.

    “Pemerintahan Biden telah memberikan sejumlah besar subsidi kepada industri chip dan perusahaan-perusahaan AS. Dengan demikian, perusahaan AS memperoleh keunggulan kompetitif yang tidak adil dan mengekspor produk chip mature-node yang relevan ke China,” kata Kementerian Perdagangan China dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Reuters, Jumat (17/1/2025).

    “Itu telah merusak hak dan kepentingan industri domestik China yang sah,” imbuhnya.

    Segera setelah pengumuman kementerian perdagangan, Asosiasi Industri Semikonduktor China menerbitkan pernyataannya sendiri yang mendukung penyelidikan tersebut.

    Asosiasi menyatakan bahwa kebijakan CHIPS dan Science Act dari pemerintahan Biden, yang pada tahun 2022 menjanjikan subsidi sebesar US$52,7 miliar untuk produksi, penelitian, dan pengembangan tenaga kerja semikonduktor AS secara serius melanggar hukum dasar ekonomi pasar.

    Tuduhan Beijing menggemakan alasan pemerintahan Biden untuk mengumumkan kenaikan tarif pada semua impor chip China pada September, dan penyelidikan terhadap industri node chip yang sudah matang di China bulan lalu.

    Menurut Perwakilan Dagang AS Katherine Tai, tindakan tersebut telah meningkatkan kapasitas, secara artifisial menurunkan harga, dan melukai persaingan dengan menggunakan dana negara Tiongkok.

    Washington juga telah memperketat kontrol ekspor selama tiga tahun terakhir yang menargetkan penjualan chip AI canggih buatan AS ke China.

    Tidak jelas tindakan pembalasan apa yang akan muncul dari penyelidikan pemerintah China, tetapi perusahaan-perusahaan AS seperti Intel yang menjual chip mature-node ke pasar China bisa terdampak. Intel tidak segera menanggapi permintaan komentar.

    (fab/fab)