Kementrian Lembaga: Kemendag

  • Negara-Negara di Asia Berlomba Rayu Trump, Lobi Agar Pangkas Tarif Baru AS – Halaman all

    Negara-Negara di Asia Berlomba Rayu Trump, Lobi Agar Pangkas Tarif Baru AS – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pemerintah Indonesia tengah mengirimkan tim lobi tingkat tinggi untuk bertandang ke Gedung Putih, usai Presiden AS Donald Trump menjatuhkan tarif impor tinggi sebesar 32 persen kepada barang-barang Indonesia.

    Hal tersebut diungkap langsung oleh Head of Presidential Communication Office (PCO), Hasan Nasbi.

    Dalam keterangan resminya ia menyampaikan bahwa pemerintah berupaya semaksimal mungkin soal menyikapi kebijakan pembaharuan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Trump.

    Sebagai respons awal, saat ini pemerintah sedang menghitung dampak dari penerapan tarif resiprokal (timbal balik) yang dikenakan pemerintah AS. 

    Pemerintah juga turut mengkaji penyederhanaan regulasi agar produk Indonesia bisa lebih kompetitif, serta memperluas mitra dagang Indonesia, mempercepat hilirisasi sumber daya alam, dan memperkuat resiliensi konsumsi dalam negeri. 

    Lebih lanjut untuk mengurangi dampak negatif bagi perekonomian Indonesia, pemerintah turut mengirimkan tim lobi ke Amerika Serikat untuk bernegosiasi dengan pemerintah US.

    “Pemerintah mengirimkan tim lobi tingkat tinggi untuk bernegosiasi dengan pemerintah US (United States),” kata Hasan Nasbi dalam keterangan tertulis pada Jumat (4/4/2025).

    Melalui cara ini pemerintah berharap agar kebijakan tarif Trump tidak berdampak banyak bagi ekspor Indonesia.

    Mengingat total ekspor Indonesia ke AS mencapai 2,35 miliar dolar pada periode Februari 2025.

    Mengutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah ekspor tersebut tercatat lebih tinggi jika dibanding Februari 2024 yang hanya dipatok 2,10 miliar dolar dan Januari 2025 sebesar 2,33 miliar dolar.

    India Hingga Vietnam Rayu Trump

    Tak hanya Indonesia, sejumlah negara di Asia Tenggara termasuk India yang terkena tarif baru Trump juga berupaya keras melobi AS agar memangkas kebijakannya.

    Kementerian Perdagangan dan Perindustrian India mengatakan dalam sebuah pernyataan pada bahwa mereka sedang melangsungkan penyelesaian cepat lewat Perjanjian Perdagangan Bilateral multi-sektoral yang saling menguntungkan dengan AS.

    Pembicaraan digelar pasca Trump memberlakukan tarif impor 26 persen kepada New Delhi.

    Meski Trump memberlakukan tarif impor 26 persen, namun Kementerian Perdagangan dan Perindustrian India menegaskan bahwa negaranya akan “tetap berhubungan” dengan AS terkait tarif terbaru Trump.

    Langkah serupa juga dilakukan pemerintah Vietnam, pasca Trump menghantam ekonomi Vietnam dengan tarif 46 persen pemimpin Vietnam mulai Gerak cepat, melobi Donald Trump untuk mengurangi tarif.

    Dikonfirmasi langsung oleh Presiden Trump, ia mengatakan bahwa Sekjen Partai Komunis Vietnam, To Lam baru saja melakukan panggilan telepon yang sangat produktif dengan dirinya pada Jumat (4/4/2025).

    Adapun panggilan telepon ini dilakukan Sekjen Partai Komunis Vietnam, To Lam untuk melobi Trump agar presiden AS itu mengurangi tarif impor. 

    Sebagai tawaran Vietnam siap memangkas tarif barang dari AS menjadi nol jika bisa mendapat kesepakatan yang bagus dengan AS.

    “Baru saja melakukan panggilan telepon yang sangat produktif dengan To Lam, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Vietnam, yang mengatakan kepada saya bahwa Vietnam ingin memangkas Tarif mereka hingga nol jika mereka dapat membuat kesepakatan dengan AS,” kata Trump di Truth Social, mengutip dari The Guardian.

    Trump tak menjelaskan secara rinci kesepakatan apa yang telah ia buat dengan pemerintah Vietnam, dalam cuitannya ia hanya menyampaikan terima kasih kepada To Lam. Dia mengaku menantikan pertemuan dengan To Lam.

    “Saya mengucapkan terima kasih kepadanya atas nama Negara kita, dan mengatakan saya menantikan pertemuan dalam waktu dekat,” ujarnya.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • Gapmmi Waspadai Kenaikan Biaya Produksi Efek Kebijakan Tarif Trump – Halaman all

    Gapmmi Waspadai Kenaikan Biaya Produksi Efek Kebijakan Tarif Trump – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) mewaspadai kenaikan biaya produksi dan penurunan ekspor dampak dari kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Ketua Umum GAPMMI, Adhi Lukman, menyatakan, Indonesia dan Amerika telah menjalin kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan dan melengkapi kedua belah pihak.

    Amerika merupakan pasar ekspor prioritas untuk beberapa produk unggulan makanan dan minuman dari Indonesia seperti produk kopi, kelapa, kakao, minyak sawit, lemak nabati, produk perikanan dan turunannya.

    “Di sisi lain, industri makanan dan minuman Indonesia mengimpor berbagai bahan baku industri dari Amerika, beberapa diantaranya gandum, kedelai dan susu,” ujar Adhi saat dikonfirmasi wartawan, Sabtu (5/4/2025).

    Adhi menambahkan hubungan perdagangan ini mendukung pertumbuhan ekonomi kedua negara. Oleh karena itu, menjaga stabilitas dan kelancaran hubungan perdagangan antara Indonesia dan Amerika adalah hal yang sangat penting bagi kedua negara.

    Adhi memaparkan, bahwa Gapmmi mengidentifikasi beberapa dampak utama dari tarif ini.

    “Tarif impor akan meningkatkan biaya produksi industri nasional yang menggunakan bahan baku dari Amerika dan mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional, serta meningkatkan harga jual produk di Indonesia,” tuturnya.

    Selain itu, diperkirakan tarif yang tinggi dapat menyebabkan penurunan volume ekspor produk makanan dan minuman Indonesia ke Amerika serta negara tujuan ekspor lainnya,  yang berdampak negatif pada kinerja dan pertumbuhan industri nasional.

    Kemudian, penurunan ekspor dapat mengancam lapangan kerja di sektor makanan dan minuman di Indonesia, di saat situasi ekonomi yang sedang lesu.

    Pemerintah diminta melakukan negosiasi dengan pemerintah Amerika. Termasuk, menganalisa dampak penerapan tarif secara menyeluruh.

    Adhi berujar, pemerintah harus menciptakan stabilitas perekonomian nasional dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Melakukan penguatan industri nasional, serta mempertahankan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri.

    “Kami mendorong diversifikasi pasar ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat,” ucap Adhi.

    Sebelumnya, besaran tarif yang dikenakan Trump terhadap Indonesia hanya berbeda 2 persen dari China, “lawan berat” AS, yaitu 34 persen. Dua negara ASEAN, yakni Thailand dan Vietnam, juga mendapat “tekanan” tarif yang cukup besar, masing-masing 36 persen dan 46 persen.

    Merujuk laman resmi Kementerian Perdagangan RI, AS memang merupakan penyumbang surplus perdagangan nonmigas nasional tahun 2024. Angka surplus perdagangan Indonesia-AS sebesar 16,08 miliar dollar AS dari total surplus perdagangan nonmigas 2024, yaitu sebesar 31,04 miliar dollar AS. Ekspor nonmigas Indonesia ke AS antara lain berupa garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati.

  • Pengusaha Usul 4 Strategi Ini buat Respons Tarif Trump

    Pengusaha Usul 4 Strategi Ini buat Respons Tarif Trump

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan tarif resiprokal atau balasan untuk produk-produk yang diekspor ke AS. Indonesia juga dikenakan tarif sebesar 32%.

    Merespons hal tersebut, pengusaha yang tergabung dalam Indonesian Business Council (IBC) mengusulkan strategis yang dapat dilakukan pemerintah dalam merespon kebijakan pemerintah AS.

    “IBC mengusulkan langkah-langkah langkah yang mencakup upaya mitigasi untuk menjaga dampak kebijakan tarif terhadap kinerja perekonomian dan perdagangan nasional. Lalu kami juga meminta pemerintah untuk melakukan renegosiasi tarif dan memperluas perjanjian dagang (FTA) dengan negara dan kawasan mitra baru,” kata CEO IBC Sofyan Djalil, dalam keterangannya, Sabtu (5/4/2025).

    Secara rinci, IBC menyampaikan empat usul sebagai langkah strategis yang dapat diambil pemerintah. Pertama, fokus pada upaya untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan memberikan dukungan kepada industri yang terdampak, termasuk didalamnya kelompok UMKM yang merupakan bagian dari mata rantai industri ekspor.

    Sofyan menerangkan upaya ini perlu didukung dengan kebijakan yang kondusif, kepastian regulasi, dan reformasi struktural dalam kemudahan berbisnis. Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan produktivitas nasional dan daya saing ekspor.

    Kedua, IBC mengusulkan agar pemerintah mengambil langkah renegosiasi dengan pemerintah AS dan mengkaji kembali kerangka perjanjian dagang antara kedua negara, untuk mengupayakan penerapan tarif yang lebih adil dan berimbang.

    “Hal ini tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan hubungan dagang yang telah berlangsung, tapi juga memperluas potensi penguatan perdagangan melalui penguatan diplomasi dagang yang aktif,” terang keterangan IBC.

    Ketiga, meminta pemerintah untuk mengambil langkah negosiasi multilateral bersama negara- negara ASEAN untuk mendorong tatanan perdagangan internasional yang lebih adil dan setara.

    ASEAN merupakan mitra dagang yang sangat besar dan penting, sehingga baik AS maupun ASEAN akan sama-sama diuntungkan melalui upaya negosiasi daan diplomasi dagang ketimbang penerapan kebijakan yang sepihak.

    Keempat, IBC mendorong perluasan perjanjian kerjasama perdagangan bilateral dan multilateral serta mempercepat penyelesaian perundingan dagang (FTA) yang saat ini sedang berlangsung. Perjanjian kerjasama dengan negara-negara dan kawasan-kawasan akan memperluas akses pasar baru untuk Indonesia.

    Ketua Dewan Pengawas IBC Arsjad Rasjid menyatakan momen ini harus dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai destinasi investasi dan mitra dagang strategis di tengah pergeseran rantai pasok global.

    “Kami melihat tantangan ini sebagai peluang untuk mempercepat reformasi struktural, mendorong diversifikasi pasar ekspor, serta mengembangkan industri bernilai tambah. Kemudahan berusaha juga perlu terus ditingkatkan agar Indonesia lebih kompetitif secara global,” ujarnya.

    Kebijakan tarif dari pemerintah AS berpotensi memperburuk tensi dagang global dan mengganggu stabilitas ekonomi lintas negara, termasuk Indonesia. Kementerian Perdagangan mengungkapkan, AS merupakan penyumbang surplus perdagangan nonmigas Indonesia pada 2024.

    Nilai surplus perdagangan Indonesia-AS sebesar US$ 16,08 miliar dari total surplus perdagangan nonmigas 2024, yaitu sebesar US$ 31,04 miliar. Ekspor nonmigas Indonesia ke AS terutama adalah garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati.

    (ada/ara)

  • Serikat Pekerja Waswas 50.000 Buruh Berpotensi Kena PHK Imbas Tarif Trump

    Serikat Pekerja Waswas 50.000 Buruh Berpotensi Kena PHK Imbas Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Sebanyak lebih dari 50.000 buruh diprediksi berpotensi terkena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam kurun waktu 3 bulan ke depan. Gelombang PHK ini terjadi imbas kebijakan tarif impor resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

    Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, puluhan ribu buruh yang berpotensi terkena PHK ini dapat menggulung pasca-tarif Trump mulai berlaku pada 9 April 2025.

    “Dalam kalkulasi sementara setelah mendengarkan fakta-fakta yang disampaikan oleh serikat pekerja, kalkulasi sementara Litbang KSPI dan Partai Buruh, badai PHK gelombang kedua ini bisa tembus di angka lebih dari 50.000 [buruh] dalam kurun waktu 3 bulan pascaditetapkannya tarif berjalan,” kata Said dalam konferensi pers daring bertajuk ‘Ancaman PHK Besar-Besaran di Indonesia Akibat Kebijakan Tarif Donald Trump’, Sabtu (5/4/2025).

    Said menyebut, sederet industri yang berpotensi terkena gelombang PHK imbas kebijakan tarif Donald Trump, di antaranya industri tekstil, garmen, sepatu, makanan dan minuman (mamin), sawit, karet hingga pertambangan.

    “Sampai 3 bulan ke depan, dalam hitungan kami, runtuh itu lebih dari 50.000 orang akan ter-PHK [imbas kebijakan tarif Trump sebesar 32% untuk Indonesia],” ujarnya.

    Said menuturkan, potensi gelombang PHK tersebut dapat terjadi lantaran kebijakan tarif impor tinggi Trump dapat menyebabkan harga barang Indonesia yang dijual di pasar AS menjadi mahal dan tak kompetitif. Bila permintaan barang Indonesia turun,  produktivitas industri dalam negeri akan berkurang sehingga pengurangan tenaga kerja tak terelakkan.

    “Jadi pembeli rakyat Amerika menurun untuk membeli barang Indonesia karena mahal. Karena pembeli rakyat Amerika menurun, otomatis produksi di Indonesia yang ke Amerika diturunkan,” tuturnya.

    Dalam skenario yang lebih parah, tak hanya PHK, perusahaan di Indonesia juga berpotensi dapat tutup. 

    “Atau kalau enggak mampu sampai sekali, angkos produksi sudah lebih mahal daripada pendapatan, tutup perusahaan,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Djatmiko Bris Witjaksono mengatakan, pemerintah akan terus berdiskusi dengan AS untuk mencari solusi yang menguntungkan untuk kedua belah pihak terkait pengenaan tarif.

    “Pemerintah masih akan membahas dengan AS berbagai hal yang menjadi isu bilateral termasuk tarif dan nontarif untuk mencari solusi yang terbaik bagi kedua pihak,” kata Djatmiko kepada Bisnis, Sabtu (5/4/2025).

    Djatmiko menyampaikan bahwa saat ini pemerintah masih mengkaji kebijakan tarif Trump dengan melibatkan banyak kementerian/lembaga, termasuk dengan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan dan Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono.

    “Pemerintah, termasuk Kemendag di dalamnya sedang mengkaji berbagai opsi solusi kedua belah pihak di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian dan Kemlu,” ungkapnya.

    Menurutnya, kenaikan tarif, baik secara sektoral, resiprokal, dan new baseline (tarif dasar) sebesar 10% pasti akan menjadi persoalan untuk siapapun yang berdagang dengan AS, termasuk Indonesia.

    Meski demikian, Djatmiko menjelaskan bahwa sejak 2 dekade sebelumnya, Indonesia sudah memulai program diversifikasi pasar.

    Kemendag juga menyampaikan selama 10 tahun terakhir semakin intensif yang terbukti ada berbagai perjanjian bilateral ataupun regional yang berhasil dicapai.

    Perinciannya, seperti Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA), Indonesia-EFTA CEPA, Indonesia-Chila CEPA, Indonesia-UAE CEPA, Indonesia-Canada CEPA, dan Indonesia-Korea CEPA.

    Kemudian, juga ada Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), ASEAN HK, ASEAN China FTA, ASEAN Korea FTA, ASEAN Japan CEP, Indonesia-Pakistan PTA, Indonesia-Iran PTA, dan Indonesia-Mozambique PTA.

    “Akan ditandatangani segera Indonesia-Tunisia PTA, dan dituntaskan EAEU FTA, Peru CEPA, GCC, Turki, Srilanka,” pungkasnya.

  • Kebijakan Tarif Trump Bisa Hambat Cloud hingga 5G Indonesia

    Kebijakan Tarif Trump Bisa Hambat Cloud hingga 5G Indonesia

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Internet of Things Indonesia (Asioti) memandang kebijakan tarif timbal balik atau reciprocal tariff Presiden Amerika Serika Donald Trump berpotensi menghambat pembangunan infrastruktur digital nasional dan memperlambat percepatan transformasi digital Indonesia secara menyeluruh.

    Dengan lebih dari 210 juta pengguna internet, Indonesia kini sangat bergantung pada jaringan konektivitas yang luas dan berkualitas.

    Infrastruktur digital seperti jaringan 5G, FWA (Fixed Wireless Access), dan sistem komunikasi satelit memainkan peran vital dalam mendorong pemerataan ekonomi digital di seluruh wilayah, termasuk daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).

    Kebijakan tarif tersebut berdampak langsung terhadap ketersediaan perangkat keras dan komponen teknologi yang mayoritas masih tergantung pada rantai pasok global, termasuk dari Amerika Serikat dan mitra yang terpengaruh.

    Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, Indonesia mengalami surplus perdagangan US$14,34 miliar pada Januari-Desember 2024. Pada 2024, mesin dan perlengkapan elektronik menjadi produk yang paling banyak diekspor dari Indonesia ke AS. Nilai ekspor produk mencapai US$4,18 miliar.

    Ketua Umum Asioti, Teguh Prasetya, menyampaikan kebijakan proteksionis ini tidak hanya mempengaruhi pelaku industri, tetapi juga memperlambat pengembangan teknologi seperti IoT, Cloud Computing, Big Data, AI, hingga jaringan 5G yang menjadi tulang punggung transformasi digital Indonesia.

    “Jika tidak diantisipasi, kita berisiko mengalami penurunan posisi dalam indeks broadband global yang saat ini sudah berada di bawah rata-rata negara Asean,” kata Teguh dalam keteranganya, Sabtu (5/4/2025).

    Menurut data terakhir Speedtest Global Index, posisi Indonesia dalam Global Broadband Index untuk kecepatan internet mobile masih tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia. 

    Indonesia berada di peringkat 103 dengan kecepatan rerata 20,17 Mbps, jauh dibandingkan dengan Brunei di peringkat 16, Singapura peringkat 22, Malaysia peringkat 46, Vietnam peringkat 52, Thailand peringkat 54,  Laos peringkat 68, Myanmar peringkat 75, dan Filipina serta Kamboja yang masing-masing di peringkat 80 dan 96 dunia.

    Tanpa penguatan infrastruktur digital, Indonesia akan semakin sulit mengejar ketertinggalan dan mewujudkan visi sebagai kekuatan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara.

    Selain itu, tensi geopolitik antara AS dan China bakal mempersulit akses terhadap teknologi canggih dari kedua belah pihak. Padahal sebagian besar solusi digital dan IoT di Indonesia sangat bergantung pada produk dari dua negara tersebut.

    “Hal ini menambah tantangan bagi Indonesia untuk menjaga kestabilan pembangunan teknologi nasional,” ucap Teguh.

    Sehingga, Asioti tidak merekomendasikan penutupan impor dari Amerika Serikat sebagai solusi, mengingat pentingnya tetap menjaga akses terhadap teknologi global demi mendukung inovasi dan efisiensi nasional.

    Sebaliknya, Asioti mendorong pendekatan strategis melalui, lokalisasi produksi teknologi kunci, diversifikasi mitra teknologi global, dan perlindungan terhadap proyek infrastruktur 5G dan satelit.

    Serta, dukungan terhadap startup dan R&D teknologi nasional. Kemudian perlunya regulasi inklusif dan adaptif terhadap perkembangan digital.

    “Kita harus melihat krisis ini sebagai momentum untuk membangun ketahanan digital nasional. Kemandirian bukan berarti isolasi, melainkan kemampuan untuk tetap terhubung dengan dunia sambil memperkuat fondasi teknologi kita sendiri,” tutur Teguh.

  • Medan tempur baru Prabowo: tarif Trump dan tekanan asimetris

    Medan tempur baru Prabowo: tarif Trump dan tekanan asimetris

    Indonesia, yang selama ini mengambil posisi netral-aktif, kini menghadapi pertanyaan yang tidak lagi bisa dihindari: ‘bersama siapa kamu berdiri?’

    Jakarta (ANTARA) – Dunia hari ini tidak lagi memberikan ruang bagi kenyamanan semu. Krisis demi krisis, dari pandemi global hingga perang tarif antarnegara besar, telah menjungkirbalikkan tatanan yang selama ini kita kenal.

    Medan yang kita hadapi bukan lagi sekadar persoalan pembangunan atau pertumbuhan, melainkan palagan geopolitik yang kian brutal dan tanpa ampun. Dalam lanskap ini, ekonomi bukan lagi sekadar urusan angka atau pasar, melainkan bagian integral dari strategi pertahanan nasional.

    Kebijakan tarif baru dari Amerika Serikat, yang menjatuhkan beban 32 persen kepada ekspor Indonesia, memberi sinyal jelas bahwa dunia telah bergeser. Ekonomi menjadi instrumen tekanan, simbol pemihakan, dan alat dalam perebutan dominasi global.

    Dalam konteks ini, ekonomi Indonesia tak bisa lagi hanya ditopang oleh hitungan neraca dan target makro. Ia harus dibangun sebagai sistem pertahanan, sebagai resiliensi strategis.

    Tantangan Geopolitik dan Perang Ekonomi

    Tarif tinggi ini adalah bagian dari strategi decoupling atau de-risking Amerika Serikat dari China, tapi dengan efek domino ke negara-negara lain yang dianggap terlalu dekat dengan orbit ekonomi Beijing. Indonesia, yang selama ini menjadi tujuan relokasi industri dari China, mulai dipersepsikan sebagai bagian dari “proksi dan rantai pasok China”. Akibatnya, kita ikut terkena imbas.

    Kita juga sedang terlibat dalam perang ekonomi global. Tarif yang dulu digunakan untuk melindungi industri dalam negeri, kini menjadi alat untuk membatasi pertumbuhan negara-negara yang dianggap mengancam posisi AS.

    Indonesia, dengan posisi bebas-aktifnya, justru terseret dalam tarik-menarik antara dua kekuatan besar. Bahkan negara-negara kecil seperti Kamboja dan Laos pun turut dikenai penalti.

    Sebagai pemerhati isu strategis dan pertahanan, saya melihat bahwa kebijakan tarif ini merupakan bagian dari kompetisi kekuatan global yang tak lagi mengenal batas antara sipil dan militer. Ekonomi kini adalah front terdepan dari perang hibrida, perang tanpa peluru, namun berdampak langsung pada stabilitas dan kedaulatan negara. Kita tidak bisa lagi memisahkan perdagangan dari politik luar negeri, atau investasi dari orientasi keamanan nasional.

    Lebih dari itu, kebijakan tarif semacam ini dapat digunakan sebagai alat bargaining atau bahkan tekanan untuk menentukan arah aliansi. Bukan tidak mungkin, dalam waktu dekat, negara-negara berkembang akan dihadapkan pada dilema geopolitik yang lebih tajam: apakah tetap berpegang pada prinsip non-blok, atau bersiap memilih blok kekuatan baru.

    Respons strategis Indonesia

    Era Prabowo dimulai di tengah perubahan lanskap global yang cepat dan penuh tekanan. Dunia bergerak dari multilateralisme menuju proteksionisme bersenjata.

    Posisi Indonesia sebagai negara besar di Asia Tenggara menjadikannya medan rebutan pengaruh dua kekuatan utama dunia. Tapi terlalu lama kita hanya menjadi objek, bukan aktor.

    Kini saatnya berubah. Sejak awal, pemerintahan Prabowo tidak hendak membiarkan ekonomi kita hanya menjadi penyangga pertumbuhan global. Sektor strategis hendak ditransformasi menjadi pilar ketahanan nasional: dari industri pertahanan, pangan, energi, hingga teknologi. Kebijakan ekonomi harus dijalankan tidak hanya untuk mengejar angka, tetapi untuk membangun daya tahan dan daya saing.

    Tarif tinggi dari AS menjadi pengingat bahwa dalam kompetisi global, kekuatan ekonomi adalah cermin dari kekuatan negara. Maka, kebijakan ekonomi Indonesia ke depan harus didesain sebagai strategi geopolitik: bukan hanya untuk tumbuh, tapi untuk bertahan dan memimpin. Diplomasi perdagangan harus diperkuat, tak hanya untuk membuka pasar, tetapi untuk menegosiasikan posisi Indonesia secara strategis dalam rantai nilai global.

    Prabowo tidak sedang bermaksud membangun ekonomi yang sekadar kompetitif secara pasar, melainkan ekonomi yang berdaulat secara strategis. Dari hilirisasi hingga digitalisasi, dari pertanian modern hingga penguatan industri pertahanan, semuanya adalah bagian dari sistem pertahanan nasional yang holistik. Visi ini memerlukan konsistensi, ketegasan birokrasi, dan dukungan kolektif dari seluruh elemen bangsa.

    Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa ekspor nonmigas Indonesia ke AS dalam lima tahun terakhir mengalami fluktuasi, dari 18,62 miliar dolar AS pada 2020 hingga 26,31 miliar dolar AS pada 2024. Produk padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur kini terancam kehilangan daya saing akibat beban tarif yang tinggi.

    Inilah ujian nyata atas kapasitas kita menjaga keberlanjutan sektor industri di tengah turbulensi global. Dan ini juga menjadi ujian bagi kemampuan negara melindungi dan memperkuat tulang punggung ekonominya sendiri.

    Ekonomi sebagai sistem pertahanan nasional

    Kemandirian ekonomi bukan lagi sekadar jargon pembangunan. Ia adalah inti dari statecraft, kemampuan negara untuk mengelola kekuatan nasional demi kepentingan strategis. Dalam doktrin geopolitik, ekonomi adalah barikade pertama. Negara yang tidak menguasai pangan, energi, dan industrinya sendiri, akan tumbang tanpa tembakan.

    Langkah-langkah seperti hilirisasi industri strategis, pembangunan lumbung pangan, transisi energi, dan insentif industri nasional tidak boleh dipandang sebagai proyek sektoral semata. Mereka adalah bangunan awal dari benteng ketahanan nasional yang akan menentukan nasib Indonesia dalam puluhan tahun ke depan.

    Presiden Prabowo sudah berpikir jauh ke depan untuk menjadikan ekonomi sebagai fondasi pertahanan nirmiliter yang menyatu dengan sistem keamanan nasional. Sinergi antara kementerian ekonomi, pertahanan, luar negeri, dan BUMN harus dipercepat, agar kebijakan tidak berjalan dalam silo dan fragmentasi. Di tengah dunia yang makin saling bergantung, justru ketergantungan yang tidak seimbang akan menjadi kerentanan baru.

    Tantangan ini memang tidak bisa dijawab hanya dengan retorika. Dibutuhkan keberanian politik, strategi lintas sektor, dan konsistensi kebijakan yang menjadikan ekonomi sebagai instrumen pertahanan.

    Nah, Presiden Prabowo memiliki modal visi dan legitimasi publik yang cukup untuk menyatukan pelaku industri, petani, buruh, teknokrat, dan militer dalam satu misi besar: membangun kemandirian strategis.

    Tarif tinggi dari AS adalah tamparan, tapi juga peluang. Ia membangunkan kita dari mimpi panjang globalisasi tanpa kendali. Inilah waktunya menjadikan ekonomi sebagai palagan strategis: medan tempur, dan sekaligus medan penempaan kekuatan nasional.

    Dalam konteks ini, kita perlu menyadari bahwa tarif bukan hanya instrumen perdagangan, tapi juga bagian dari ancaman asimetris yang kini menjadi wajah baru konflik antarnegara. Tidak ada kapal perang yang berlayar, tidak ada peluru yang ditembakkan, namun efeknya bisa melumpuhkan industri strategis, memicu PHK massal, hingga melemahkan posisi tawar politik sebuah negara.

    Ini adalah bagian dari perang zona abu-abu (grey zone warfare), di mana instrumen ekonomi digunakan untuk melemahkan lawan tanpa deklarasi perang. Dan jika kita tidak waspada, tekanan semacam ini akan terus menjadi senjata ampuh untuk menguji dan menggoyahkan kedaulatan negara.

    Saatnya berdiri bersama

    Langkah Amerika menerapkan tarif tinggi terhadap produk Indonesia sebetulnya bukan sebuah strategic surprise bagi pemerintahan Prabowo. Gejalanya telah terlihat sejak lama, ketika Washington semakin agresif mendorong decoupling dari China dan memandang Indonesia sebagai bagian dari rantai pasok baru yang berpotensi memperkuat posisi Beijing secara tidak langsung.

    Maka, kebijakan tarif pemerintahan Trump ini lebih tepat dibaca sebagai bentuk strategic pressure yang dirancang untuk menekan, menguji, dan menundukkan arah kebijakan ekonomi Indonesia.

    Dalam situasi seperti ini, pilihan kita hanya dua: mempertegas arah strategis dengan memperkuat ketahanan ekonomi nasional dan konsolidasi politik luar negeri, atau menjadi bulan-bulanan tekanan dari berbagai kekuatan besar.

    Maka sewajarnya jika Pemerintahan Prabowo menjadikan tekanan ini sebagai momen untuk menyatukan arah diplomasi dan membangun blok kekuatan sendiri, sembari tetap cermat menjaga keseimbangan.

    Apalagi, arah kebijakan ekonomi dan diplomasi yang ditempuh Presiden Prabowo sejauh ini justru tampak relevan dalam menjawab tekanan semacam ini. Strategi hilirisasi, keterlibatan aktif Indonesia dalam forum-forum global seperti G20 di satu sisi, dan BRICS+ di sisi lain, serta langkah memperkuat kapasitas pembiayaan domestik melalui sumber daya dalam negeri, termasuk inisiatif pendanaan strategis seperti Danantara, adalah upaya membangun kemandirian yang mengurangi ketergantungan pada investasi asing.

    Dengan fondasi seperti ini, ketika sinyal keras bahwa dunia sedang mengalami realignment –dan Indonesia didorong untuk menunjukkan secara jelas di mana berpijak karena langkah konkretnya justru dibaca sebagai posisi strategis yang cenderung tak netral bahkan ambigu– Indonesia justru tidak hanya sedang menyiapkan kemampuan untuk bertahan, tetapi juga untuk menciptakan ruang manuver lebih luas dalam menghadapi tekanan global yang terus meningkat.

    Kebijakan tarif Trump ini pada dasarnya merupakan bentuk tekanan geopolitik. Melalui kebijakan ekonomi yang tampak teknokratis, Amerika Serikat sejatinya tengah menguji posisi negara-negara yang dianggap terlalu dekat dengan orbit kekuatan lain, terutama China.

    Indonesia, yang selama ini mengambil posisi netral-aktif, kini menghadapi pertanyaan yang tidak lagi bisa dihindari: “bersama siapa kamu berdiri?”

    Pertanyaan itu tidak hanya relevan di kancah internasional. Di dalam negeri pun, Presiden Prabowo layak untuk mengajukan pertanyaan yang sama kepada seluruh komponen bangsa: “bersama siapa kalian berdiri?”

    Apakah kita bersedia berdiri bersama agenda kemandirian dan ketahanan nasional? Apakah kita siap membangun ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga tangguh dan berdaulat? Di tengah dunia yang semakin tidak pasti, hanya bangsa yang mampu menyatukan visi strategis dan keberanian politik yang akan bertahan dan menang.

    Inilah saatnya kita menjadikan ekonomi bukan hanya sebagai alat pencapaian kemakmuran, tapi juga sebagai landasan ketahanan nasional yang sejati. Bukan hanya agar kita tidak dijatuhkan, tetapi agar kita mampu berdiri tegak dengan kepala terangkat dan harga diri sebagai bangsa merdeka.

    *) Khairul Fahmi adalah Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)

    Copyright © ANTARA 2025

  • Respons Kebijakan Trump, Pengusaha RI Sarankan Pemerintah Kenakan Produk AS Tarif 0 Persen – Halaman all

    Respons Kebijakan Trump, Pengusaha RI Sarankan Pemerintah Kenakan Produk AS Tarif 0 Persen – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman mendorong Pemerintah Indonesia merespons perang tarif Amerika Serikat (AS) dengan tarif juga.

    Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif timbal balik, yaitu bea masuk tambahan sebesar 10 persen untuk produk yang masuk ke negara mereka. Ini berlaku pada 5 April 2025.

    Kemudian, ada tarif tambahan spesifik per negara yang berlaku 9 April 2025. Indonesia terkena tarif sebesar 32 persen. Bila ditotal, produk RI yang masuk AS akan terkena tarif 42 persen.

    Menurut Daniel, bea masuk impor AS ini tidak ada kaitannya dengan Non-Tariff Measure (NTM) atau Non-Tariff Barrier (NTB).

    Sebab, NTM atau NTB adalah instrumen penting pemerintah yang sudah umum dilakukan oleh negara manapun guna mengamankan pasar dalam negerinya.

    Daniel menekankan bahwa penerapan NTM atau NTB itu tidak perlu dipicu oleh kebijakan negara lain.

    Ia pun menyarankan agar produk manufaktur AS dikenakan tarif masuk nol persen.

    Hal itu tak perlu menjadi sebuah kekhawatiran karena daya saing produk manufaktur AS dinilai tidak terlalu kompetitif.

    “Kalau perlu, Pemerintah RI beri tarif masuk nol persen pada produk manufaktur AS karena pada dasarnya daya saing produk AS tidak terlalu kompetitif dengan produk manufaktur dalam negeri atau produk manufaktur negara saingan AS,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/4/2025).

    Adapun imbas dari kebijakan ini, Indonesia disebut akan menjadi sasaran ekspor negara-negara yang juga terkena tarif impor Donald Trump.

    Menurut Daniel, hal itu karena Indonesia merupakan pasar yang sangat besar dan potensial.

    “Dengan daya beli yang tinggi, pasti akan menjadi sasaran ekspor bagi negara-negara yang produksinya terdampak dari tarif impor baru AS tersebut,” katanya.

    Ia pun meminta agar Pemerintah RI mempercepat untuk mengeluarkan berbagai kebijakan NTM atau NTB.

    Kebijakan itu antara lain revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, pemberlakuan pelabuhan entry point, dan memperluas kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

    Kebijakan-kebijakan itu disebut sebagai bentuk manajemen risiko yang sangat penting untuk dapat mengamankan pasar dalam negeri.

    “Kebijakan-kebijakan itu juga yang selama ini sudah kami minta, dan untuk segera dilaksanakan,” ujar Daniel. 

    Melalui kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah diminta untuk melindungi industri dalam negeri agar pasar domestik tidak dibanjiri barang-barang impor.

    Lalu, sekaligus juga dapat melindungi produsen dalam negeri yang melakukan ekspor ke AS.

    Kemudian, Daniel meminta agar kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tetap dipertahankan dan tidak dilonggarkan guna merespons kebijakan kenaikan bea masuk impor AS.

    Kebijakan TKDN dinilai ampuh meningkatkan permintaan produk manufaktur dalam negeri, terutama dari belanja pemerintah.

    Lebih lanjut, kebijakan TKDN telah memberi jaminan kepastian investasi dan juga menarik investasi baru ke Indonesia.

    “Banyak tenaga kerja Indonesia bekerja pada industri yang produknya dibeli setiap tahun oleh pemerintah karena dari kebijakan TKDN ini,” ucap Daniel.

    “Pelonggaran kebijakan TKDN akan berakibat hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya jaminan investasi di Indonesia,” katanya. 

  • Mitigasi Tarif Trump, Industri Elektronik RI Usul Revisi Aturan Impor

    Mitigasi Tarif Trump, Industri Elektronik RI Usul Revisi Aturan Impor

    Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) mendesak revisi aturan relaksasi impor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8/2024. Pasalnya, aturan tersebut dapat menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk dampak kebijakan tarif AS. 

    Apalagi, Indonesia masih minim hambatan perdagangan. Aturan relaksasi impor tersebut memudahkan berbagai produk jadi yang diimpor masuk ke pasar domestik tanpa pertimbangan teknis (Pertek) pemerintah.

    Sekjen Gabel Daniel Suhardiman mengatakan dengan kebijakan tarif 32% ke Indonesia yang diterapkan Presiden AS Donald Trump, maka pihaknya mendesak agar pemerintah mempercepat mengeluarkan kebijakan perlindungan industri lokal.

    “Pemerintah RI perlu mempercepat mengeluarkan berbagai NTM [non tariff measures] atau NTB [non tariff barriers] yang telah beberapa kali diminta, seperti revisi Permendag 8/2024, pelabuhan entry point, memperluas kewajiban TKDN, dan lainnya,” ujar Daniel, dikutip Sabtu (5/4/2025).

    Hal tersebut dinilai dapat menjadi salah satu bentuk manajemen risiko yang sangat penting untuk mengamankan pasar dalam negeri. Menurut dia, pasar RI dengan pangsa pasar besar dan dengan daya beli tinggi pasti akan menjadi sasaran ekspor negara-negara yang produksinya terdampak kebijakan tarif Trump.

    Pelaku usaha elektronik meminta pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri agar pasar domestik tidak dibanjiri barang-barang impor, sekaligus melindungi produsen dalam negeri yang melakukan ekspor ke AS.

    Dalam hal ini, dia juga secara spesifik mendorong agar kebijakan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) tetap dipertahankan dan tidak dilonggarkan guna merespons kebijakan kenaikan BMI AS.

    “Kebijakan TKDN telah terbukti ampuh meningkatkan demand produk manufaktur dalam negeri terutama dari belanja Pemerintah,” tuturnya.

    Kebijakan TKDN juga diklaim memberi jaminan kepastian investasi dan juga menarik investasi baru ke Indonesia. Banyak tenaga kerja Indonesia bekerja pada industri yang produknya dibeli setiap tahun oleh Pemerintah karena kebijakan TKDN ini.

    “Pelonggaran kebijakan TKDN akan berakibat hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya jaminan investasi di Indonesia,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, Daniel berharap agar Pemerintah Indonesia merespons perang tarif dengan tarif juga. Menurut dia, kebijakan tarif AS ini tidak ada kaitannya dengan NTM (Non Tariff Measure) atau NTB (Non Tariff Barrier).

    Pasalnya, NTM atau NTB adalah instrumen penting pemerintah yang umum dilakukan oleh negara manapun guna mengamankan pasar dalam negerinya.

    “Jadi, tidak perlu di-trigger oleh kebijakan negara lain. Kalau perlu, pemerintah RI beri tarif masuk 0% pada produk manufaktur AS karena pada dasarnya daya saing produk AS tidak terlalu kompetitif dengan produk manufaktur dalam negeri atau produk manufaktur negara saingan AS,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Peneliti Ekonomi dari Institute of Development of Economic and Finance (Indef) Ariyo DP Irhamna mengatakan produk elektronik dan komponen juga dapat dikenakan tarif tinggi ekspor ke AS, jika negara tersebut memperluas tarif untuk produk teknologi.

    Menurut Ariyo, industri elektronik RI yang sedang berkembang bisa terdampak. Adapun, nilai ekspor produk elektronik (HS 85) sebesar US$4,18 miliar pada 2024 atau meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai US$3,45 miliar.

  • Tarif Trump Ancam RI, DPR Desak Pemerintah Perkuat Industri Lokal!

    Tarif Trump Ancam RI, DPR Desak Pemerintah Perkuat Industri Lokal!

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah harus memperkuat industri lokal sebagai respons terhadap kebijakan tarif impor yang diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump pada Rabu (2/4/2025) lalu.

    Diketahui, Indonesia terkena tarif timbal balik AS sebesar 32%. Besaran tarif itu terkait dengan defisit perdagangan AS ke RI yang menurut data mencapai US$ 14,34 miliar pada tahun 2024.

    “Sebaiknya pemerintah fokus dengan kondisi dalam negeri, penguatan industri kita, sebab sekarang semua negara akan mencari pasar besar untuk ekspor produk mereka dan Indonesia menjadi salah satu tujuan utama. Itu concern kita,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty kepada wartawan, Sabtu (5/4/2025).

    “Industri kita akan semakin tertekan dan taruhannya tenaga kerja,” tambahnya.

    Evita menilai bahwa memperkuat industri dalam negeri bisa dilakukan dengan terus mendorong peningkatan daya saing produk lokal, salah satunya lewat pemberian insentif bagi sektor industri yang terdampak kebijakan tarif.

    Menurutnya, langkah ini penting agar industri yang terkena imbas tarif Trump tetap mampu bersaing.

    Evita menuturkan, penting untuk meningkatkan kualitas produk ekspor dan mendorong hilirisasi industri guna menghasilkan ekspor bernilai tambah tinggi.

    Ia juga menekankan perlunya konsistensi dalam mengembangkan substitusi impor agar ketergantungan terhadap bahan baku atau barang impor dapat dikurangi.

    Lebih lanjut, Evita turut menyoroti pentingnya kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang dinilai mampu memperkuat industri nasional, meningkatkan daya saing, serta membuka peluang terciptanya lapangan kerja.

    Di samping itu, ia menekankan perlunya langkah cepat dan strategis dari pemerintah, seperti melakukan negosiasi dan diplomasi perdagangan dengan AS guna mencari solusi terbaik, termasuk kemungkinan perundingan ulang tarif.

    “Kita meminta komunikasi terus dilakukan dengan pemerintah AS di berbagai tingkatan, melakukan negosiasi langsung dan menyiapkan langkah untuk menjawab permasalahan yang diangkat oleh pemerintah AS,” tegasnya.

    Ia menekankan bahwa kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) memiliki peran penting dalam memperkuat industri nasional.

    Dengan mendorong penggunaan komponen lokal, TKDN diyakini dapat meningkatkan daya saing industri dalam negeri serta membuka lebih banyak peluang kerja bagi masyarakat.

    Ia menegaskan, penting bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS dengan memperluas tujuan ekspor ke negara-negara lain, seperti Uni Eropa, Timur Tengah dan Afrika.

    Ia juga menekankan perlunya percepatan perjanjian dagang dengan negara mitra guna membuka peluang ekspor baru.

    Saat ini, produk ekspor Indonesia masih sangat bergantung pada pasar AS, terutama untuk komoditas seperti elektronik, pakaian, alas kaki dan hasil perikanan.

    Selain AS, China dan India juga menjadi pasar utama. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemendag), ketiganya menyumbang 42,94% dari total ekspor nonmigas Indonesia pada 2024.

    Evita menekankan bahwa meskipun hubungan dagang Indonesia dengan China dan India relatif baik, langkah diversifikasi pasar tetap diperlukan.

    Anggota DPR dari fraksi PDIP itu menegaskan pentingnya mencari pasar ekspor baru sebagai upaya antisipasi agar Indonesia tetap aman jika terjadi gangguan seperti dampak dari kebijakan tarif Trump terhadap produk ekspor.

  • Indonesia Kena 32 Persen, Ekspor Terancam Lesu?

    Indonesia Kena 32 Persen, Ekspor Terancam Lesu?

    PIKIRAN RAKYAT – Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah resmi menerapkan tarif impor baru mulai dari tarif timbal balik dan tarif universal untuk barang masuk. Diketahui, untuk tarif universal akan mulai berlaku pada 5 April 2025 dan tarif timbal balik 9 April 2025.

    Berdasarkan tarif impor baru ini, Indonesia kena 32 persen, sedangkan untuk negara ASEAN lainnya yakni Vietnam 46 persen, Malaysia 24 persen, Kamboja 49 persen, Singapura 10 persen, Filipina 7 persen, Laos 48 persen, Brunei 24 persen, Timor Leste 10 persen, Thailand 36 persen, dan Myanmar 44 persen.

    Sebagai informasi, tarif universal 10 persen untuk semua negara dan tarif timbal balik dihitung dari separuh persentase surplus dagang terhadap AS.

    Dampak dari pengenaan tarif impor pada Indonesia adalah daya saing produk ekspor menurun di pasar karena harganya naik.

    Lalu, perlambatan atau penurunan hasil produksi komoditas ekspor akibat penurunan permintaan. Selanjutnya, menurunnya pertumbuhan ekonomi, khususnya pada kuartal mendatang.

    Menurut data Badan Pusat Statistik perdagangan Indonesia-AS pada 2020-2024, angka ekspor terjadi kenaikan dan kestabilan pada 2020 angka menunjukkan 8,25, 2021 11,25, 2022 11,61, 2023 11,28, dan 11,97 pada 2024.

    Sedangkan, untuk angka impor pada 2020 mencapai 18,62, 2021 25,79, 2022 28,18, 2023 23,25, dan 2024 26,31.

    Komoditas ekspor terbesar di Indonesia ke AS menurut data Kementerian Perdagangan per 4 April 2025 adalah 62 kakao dan olahannya, 67 mesin dan perlengkapan, 60 alas kaki pelindung sejenisnya, 58 perangkat semikonduktor, dan 52 telepon dan perangkat telekomunikasi.

    Sebagai informasi, angka ekspor Januari 2025 merupakan hasil pembulatan dalam juta dolar AS.

    Selain itu, sebelumnya telah dikabarkan ada empat negara yang dikecualikan oleh Donald Trump termasuk Rusia dan Korea Utara.

    Atas keputusannya itu, Gedung Putih pun membela keputusan Presiden AS tersebut dari kebijakan tarif impor baru.

    “Kuba, Belarus, Korea Utara, dan Rusia tidak termasuk dalam Pemerintah Eksekutif Tarif Resiprokal karena mereka sudah menghadapi tarif yang sangat tinggi dan sanksi yang telah kami jatuhkan sebelumnya menghalangi perdagangan dengan negara-negara itu,” ucap pejabat Gedung Putih.

    Ia juga mengatakan bahwa Trump baru-baru ini telah mengancam akan menjatuhkan sanksi berat kepada Rusia.

    Pengecualian terhadap Rusia ini pun menyulut kecaman di media sosial setelah Trump mengumumkan kebijakan tarif baru dan banyak pihak menuduh bahwa ia telah tunduk pada Presiden Rusia Vladimir Putin.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News