Kementrian Lembaga: Kejaksaan

  • Pramono: Pembangunan di Jakarta tak boleh kendor meski ada efisiensi

    Pramono: Pembangunan di Jakarta tak boleh kendor meski ada efisiensi

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan pembangunan di Jakarta tidak boleh kendor kendati terdapat regulasi efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

    “Ekosistem pembangunan Jakarta tidak boleh kendor meski ada efisiensi,” kata Pramono di Jakarta, Sabtu.

    Menurut dia, pembangunan Jakarta tidak dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI saja, tetapi harus melibatkan pihak lainnya.

    “Kemitraan adalah kunci pembangunan Jakarta,” ujar Pramono.

    Salah satunya, dia menyebutkan rencana pembangunan Transit-Oriented Development (TOD), yaitu strategi pembangunan perkotaan yang terintegrasi dengan sistem transportasi massal.

    Dia menuturkan TOD Bundaran Hotel Indonesia antara Hotel Pullman, Hotel Mandarin dan bangunan di kawasan tersebut akan dihubungkan langsung di bawah tanah dan terkoneksi ke stasiun MRT.

    Selain itu, ada juga rencana pembangunan kawasan TOD Dukuh Atas yang akan dibangun tanpa menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.

    Pemprov DKI pun mempercayakan proses pembangunan kawasan tersebut kepada pihak MRT.

    “Dukuh Atas nanti akan dibangun melalui kerja sama secara partnership strategis. Kami akan percayakan MRT, Pemprov hanya bersifat back-up,” tutur Pramono.

    Sementara itu, pembangunan kawasan TOD Bundaran Hotel Indonesia menggunakan dana kompensasi Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang memudahkan proses pembangunan gedung bertingkat atau tower di daerah setempat.

    Pramono mengungkapkan proses pembangunan gedung bertingkat di Jakarta sebelumnya membutuhkan waktu yang lama, bahkan ada yang sampai 12 tahun tak kunjung diberikan kejelasan perizinannya.

    Namun saat ini, pihaknya mempercepat proses perizinan tersebut menjadi tidak lebih dari 15 hari, dan seluruh prosesnya dilakukan secara transparan dan terbuka.

    “Tidak ada lagi yang ditutup-tutupi dalam pemberian izin tersebut,” ungkap Pramono.

    Lebih lanjut, dia mengaku ingin melanjutkan sejumlah pekerjaan yang telah dimulai oleh gubernur-gubernur sebelumnya, di antaranya menuntaskan pembangunan monorel dan RS Sumber Waras yang segera dimulai kembali.

    Dia mengapresiasi aparat penegak hukum, terutama Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendukung program pembangunan rumah sakit tersebut.

    “Dulu kasus monorel dan RS Sumber Waras ini menghebohkan. Kami ingin menyelesaikan pembangunan kedua proyek ini,” tegas Pramono.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pram akui tak tidur nyenyak karena proyek monorel tak kunjung rampung

    Pram akui tak tidur nyenyak karena proyek monorel tak kunjung rampung

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengaku tidak dapat tidur dengan nyenyak akibat proyek pembangunan monorel yang tidak kunjung rampung sejak dimulai pada 2002 sampai dengan saat ini.

    “Saya saat itu mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri meninjau pembangunan monorel, dan hingga hari ini belum tuntas, hingga saat ini,” kata Pramono di Jakarta, Sabtu.

    Pria yang akrab disapa Pram itu mendambakan agar pembangunan moda transportasi berbasis rel itu segera dilanjutkan dan diselesaikan.

    Dia juga mengaku ingin melanjutkan pekerjaan yang telah dimulai oleh gubernur-gubernur sebelumnya.

    Selain monorel, lanjut dia, ada pula pembangunan RS Sumber Waras yang segera dimulai kembali.

    Dia turut mengapresiasi aparat penegak hukum, terutama Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mendukung program pembangunan rumah sakit tersebut.

    “Dulu kasus monorel dan RS Sumber Waras ini menghebohkan. Kami ingin menyelesaikan pembangunan kedua proyek ini,” ujar Pram.

    Kendati demikian, dia menekankan pembangunan di Jakarta tidak dapat dilakukan sendirian, sehingga harus ada kemitraan.

    “Membangun Jakarta gak sendirian, kemitraan jadi kunci,” tegas Pramono.

    Pada Senin (27/10), dia pun berencana meninjau proyek pembangunan RS Sumber Waras.

    “Saya akan meninjau jalan yang tidak rata di Penjaringan dan RS Sumber Waras,” ucap Pramono,

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 1
                    
                        Aset Sandra Dewi yang Disita Belum Mampu Tutupi Uang Pengganti Harvey Moeis Rp 420 M
                        Nasional

    1 Aset Sandra Dewi yang Disita Belum Mampu Tutupi Uang Pengganti Harvey Moeis Rp 420 M Nasional

    Aset Sandra Dewi yang Disita Belum Mampu Tutupi Uang Pengganti Harvey Moeis Rp 420 M
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Total aset dan harta yang disita dari aktris Sandra Dewi disebut belum cukup untuk membayar uang pengganti Harvey Moeis yang berjumlah Rp 420 miliar.
    Hal ini disampaikan oleh penyidik Kejaksaan Agung, Max Jefferson, saat diperiksa sebagai saksi dalam sidang keberatan terhadap penyitaan aset yang diajukan oleh Sandra.
    “Apakah jumlah harta yang disita dari pemohon (Sandra Dewi) tadi sepadan dengan uang pengganti yang dimintakan kepada Harvey Moeis?” tanya Hakim Ketua Rios Rahmanto dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025).
    Max mengatakan, aset Sandra ini belum bisa menutupi akibat dari perbuatan suami dalam kasus korupsi tata niaga timah.
    “Lebih besar kewajiban penggantinya, Rp 420 miliar,” jawab Max.
    Dalam sidang, Max tidak menyebutkan secara jelas berapa total nilai aset yang disita dari Sandra Dewi. Ia hanya mengatakan, nilai aset ini masih di bawah uang pengganti.
    “Intinya (nilai aset) masih di bawah itu (uang pengganti)?” tanya Hakim Rios lagi. “Masih di bawah itu,” jawab Max.
    Setelah suaminya dijebloskan ke penjara, Sandra masih berupaya untuk menyelamatkan aset yang disita untuk negara.
    Ia mengatakan, sejumlah aset dan harta ini didapat dari hasil kerjanya, bukan pemberian Harvey.
    Kubu Sandra bersikeras bahwa tas mewah hingga uang dalam rekening deposito ini didapat dari endorsement dan hasil syuting sebelum menikah dengan Harvey.
    Namun, penyidik menyebut aset dan harta tersebut berasal dari hasil tindak pidana sehingga patut untuk disita.
    Diketahui, Harvey dihukum 20 tahun penjara terkait kasus korupsi timah. Selain itu, aset-aset milik Sandra Dewi juga tetap disita meski ada perjanjian pisah harta antara keduanya.
    Setidaknya, ada 88 tas mewah, rekening deposito senilai Rp 33 miliar, beberapa mobil, hingga perhiasan yang disita.
    Harvey bersama terpidana lainnya dinilai telah merugikan keuangan negara hingga Rp 300 triliun.
    Dari jumlah tersebut, Rp 271,06 triliun merupakan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, sementara Rp 29 triliun merupakan kerugian keuangan negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Silfester Matutina, Bayangan di Tengah Jakarta

    Silfester Matutina, Bayangan di Tengah Jakarta

    Silfester Matutina, Bayangan di Tengah Jakarta
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
    SUDAH
    tiga kali saya menulis catatan kritis soal ini di kolom ini. Juga beberapa penulis lain menyoroti hal yang sama. Namun, seakan tak ada gema yang cukup keras untuk membuat Kejaksaan bangkit dari tidur panjangnya.
    Silfester Matutina tetap belum dieksekusi, meski putusan pengadilannya, yakni penjara 1,5 tahun, telah inkrah sejak enam tahun lalu. 
    Kasus ini seolah menjadi simbol betapa hukum di negeri ini bisa kehilangan taring ketika berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kedekatan politik tertentu.
    Menjadi cermin buram tentang bagaimana penegakan hukum bekerja dengan dua wajah: satu tajam dan cepat terhadap rakyat biasa, tapi tumpul, lamban, bahkan beku, ketika berhadapan dengan mereka yang punya jejaring kuasa.
    Silfester Matutina, pengacara yang dulu dikenal lantang membela kelompok pendukung garis keras Jokowi, divonis bersalah pada tahun 2019, karena menyebarkan fitnah terhadap Jusuf Kalla.
    Putusannya telah berkekuatan hukum tetap. Artinya tak ada lagi ruang bagi perdebatan tentang bersalah atau tidaknya. Yang tersisa hanya satu kewajiban, yaitu mengeksekusi putusan itu. Namun hingga kini, Kejaksaan belum juga melakukannya.
    Alasan yang disampaikan pun terasa janggal, bahkan melecehkan logika publik. Kejaksaan Agung berulang kali mengatakan bahwa “tim eksekutor masih berusaha mencari keberadaan yang bersangkutan.”
    Kalimat itu diucapkan berulang kali, dari satu periode kepemimpinan ke periode berikutnya, hingga terdengar seperti mantra penundaan. Enam tahun mencari seseorang yang kata pengacaranya tinggal di Jakarta.
    Artinya Silfester bukan di luar negeri, bukan di hutan pedalaman Papua tempat persembunyian OPM. Sehingga jelas ini bukan soal kemampuan, tapi soal kemauan.
    Kita sedang berbicara tentang lembaga besar dengan anggaran Rp 18,4 triliun, ribuan jaksa, dan jaringan intelijen hukum yang katanya tersebar di seluruh Indonesia.
    Namun ironisnya, untuk menemukan satu orang pengacara yang disebut-sebut masih berada di ibu kota, lembaga ini justru tampak gagap dan kehilangan arah.
    Lebih ironis lagi, hingga hari ini, Silfester belum juga ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO). Alasannya, penetapan DPO diserahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
    Dalam bahasa hukum, mungkin itu prosedural. Namun dalam nalar publik, ini hanya permainan bola oper-operan, ‘tiki-taka’ untuk membingungkan lawan main.
    Kejagung melempar ke Kejari, Kejari menunggu koordinasi dengan Kejati, dan semua pihak seolah menunggu. Waktu terus berjalan, berharap publik lupa.
    Sementara itu, pengacara Silfester, Lechumanan, berujar bahwa kasus ini sudah kedaluwarsa. Bahwa karena waktu berlalu, maka hukum otomatis gugur.
    Pernyataan semacam ini bukan hanya menyesatkan, tapi juga menghina nalar publik. Apakah satu putusan hukum bisa basi seperti nasi semalam yang telat dipanaskan?
    Kalau begitu, cukup kabur lima tahun saja, maka hukuman pun hangus dengan sendirinya. Bila logika ini diterima, maka sistem hukum kita telah berubah menjadi parodi atau kabaret yang tak lucu.
    Namun, di sinilah letak persoalan sesungguhnya. Dalam banyak kasus, hukum di Indonesia memang kerap bekerja bukan berdasarkan kejelasan aturan, tapi atas dasar selera dan keberanian.
    Untuk kasus kecil, Kejaksaan bisa bergerak cepat dan tangkas. Pedagang kecil, nelayan, atau rakyat biasa yang melakukan pelanggaran administratif bisa langsung digiring ke pengadilan dan dieksekusi dalam waktu singkat.
    Namun, untuk kasus yang menyangkut nama dengan jejaring politik yang kuat, tiba-tiba semua proses menjadi rumit, prosedural, penuh alasan, bahkan absurd.
    Kita tentu masih ingat, Kejaksaan pernah berhasil menjemput paksa buronan koruptor di luar negeri, menembus perbatasan, bahkan melibatkan interpol.
    Namun, untuk satu orang pengacara yang disebut-sebut berada di Jakarta, mereka seperti kehilangan daya jelajahnya. Seolah hukum hanya kuat di medan yang tak berisiko politik, tapi menjadi penakut ketika harus menembus wilayah kekuasaan.
    Fenomena ini menunjukkan bahwa keadilan di Indonesia masih ditentukan oleh posisi sosial dan politik seseorang. “Equality before the law” hanya isapan jempol.
    Ketika seseorang memiliki koneksi, dukungan, atau relasi dengan kekuasaan, maka hukum menjadi lentur, bisa dinegosiasikan, bahkan ditunda tanpa batas waktu. Namun, bagi mereka yang tak punya apa-apa selain kebenaran, hukum bisa hadir dengan keras dan cepat.
    Inilah ketimpangan yang membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Setiap kali lembaga hukum mengeluarkan pernyataan seperti “masih berusaha mencari keberadaannya”, publik hanya bisa menghela napas.
    Mereka sesungguhnya tahu dan mulai memaklumi, bahwa kata “berusaha” itu sebenarnya bermakna “tidak akan dilakukan dalam waktu dekat”.
    Dalam konteks ini, kasus Silfester bukan hanya tentang satu orang yang belum dieksekusi. Ini adalah potret dari betapa lemahnya wibawa hukum.
    Potret yang menyakitkan, karena menunjukkan bahwa institusi yang seharusnya menjadi pilar keadilan justru menjadi bagian dari masalah.
    Dan ketika Kejaksaan berulang kali menegaskan bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) tidak menunda eksekusi, publik bertanya: kalau begitu, apa yang menunda? Mengapa perintah pengadilan tidak dilaksanakan?
    Jawabannya, bisa jadi, atau tentu saja, karena hukum di negeri ini sering kali kalah oleh pertimbangan politik dan relasi kuasa.
    Sebagian orang mungkin menganggap kasus ini kecil. Namun sesungguhnya, dari kasus kecil seperti inilah kita bisa membaca arah besar bangsa ini.
    Bila lembaga penegak hukum tidak berani menegakkan hukum terhadap seseorang yang sudah divonis bersalah, maka bagaimana kita bisa berharap keadilan ditegakkan terhadap pelanggaran yang lebih besar?
    Bila aparat tak berani menyentuh yang punya relasi dengan kekuasaan, maka keadilan hanya akan menjadi retorika di podium-podium seminar dan diskusi publik.
    Negara ini pernah berdiri di atas janji bahwa hukum adalah panglima. Dalam praktiknya, hukum sering kali menjadi prajurit yang kehilangan komando, berjalan lambat, ragu-ragu, dan mudah dikalahkan oleh tekanan nonhukum.
    Silfester mungkin hanya satu nama, tapi di balik namanya tersimpan banyak makna. Ia adalah simbol bagaimana kekuasaan bisa melindungi, bagaimana institusi bisa menghindar, dan bagaimana keadilan bisa menunggu tanpa kepastian.
    Bayangkan, enam tahun berlalu dan Kejaksaan masih “mencari” seseorang yang kabarnya tinggal di Jakarta. Bila ini bukan kegagalan, lalu apa namanya?
    Bila lembaga penegak hukum yang begitu besar tak mampu menjalankan satu perintah pengadilan, lalu apa lagi yang bisa diharapkan dari hukum?
    Kita tidak sedang berbicara tentang sekadar menangkap seorang terpidana. Kita sedang membicarakan tentang kredibilitas negara dalam menegakkan hukum, memenuhi rasa keadilan publik.
    Tentang keberanian lembaga penegak hukum untuk menunjukkan bahwa mereka tak bisa diatur oleh kekuasaan, tak bisa diintervensi oleh kepentingan, dan tak bisa ditundukkan oleh rasa takut.
    Dalam suasana seperti ini, keadilan bukan hanya lamban, tapi kehilangan arah moralnya. Ia menjadi bayangan yang samar, seperti Silfester sendiri — ada, tapi seolah tak bisa dijangkau.
    Dan selama Kejaksaan terus berlindung di balik kalimat “masih mencari”, maka keadilan akan terus tersesat di jalan-jalan Jakarta, berjalan tanpa peta, dan tak tahu lagi di mana harus berhenti.
    Publik tidak meminta banyak. Mereka tidak ingin hukum menjadi spektakuler. Mereka hanya ingin hukum bekerja sebagaimana mestinya: tegas, adil, dan konsisten.
    Karena ketika hukum gagal menegakkan keadilan, maka seluruh sistem pemerintahan kehilangan legitimasi moralnya. Dan ketika itu terjadi, kita bukan hanya kehilangan wibawa hukum, tapi juga kehilangan kepercayaan sebagai bangsa.
    Mungkin benar, Silfester kini sudah menjadi legenda hukum. Namun bukan karena perjuangannya, melainkan karena ketidakberdayaan negara dalam menegakkan keadilan terhadap dirinya.
    Ia menjadi simbol baru dari hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, simbol dari sistem yang pandai berbicara tentang integritas, tapi miskin tindakan nyata.
    Dan seperti yang sudah-sudah, hukum pun hanya bisa pasrah, duduk di sudut ruang, menatap lorong yang gelap. Sementara publik terus berharap ada titik cahaya yang bakal memberi semangat dan membuka jalan, hukum keluar dari keterpurukan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Tegaskan Gugatan Sandra Dewi Tak Tunda Proses Lelang Aset Kasus Korupsi Timah

    Kejagung Tegaskan Gugatan Sandra Dewi Tak Tunda Proses Lelang Aset Kasus Korupsi Timah

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan gugatan keberatan Sandra Dewi atas sitaan aset dalam kasus megakorupsi tata niaga timah tak menunda proses lelang.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Anang Supriatna menegaskan bahwa jalannya sidang keberatan oleh pihak ke-3 itu akan jalan beriringan dengan proses pelelangan.

    “Keberatan itu tidak menunda [proses lelang],” ujarnya di Kejagung, Jumat (24/10/2025).

    Dia menambahkan proses lelang ini sudah ada mekanismenya. Pada intinya, seluruh hasil lelang bakal masuk ke kas negara untuk memulihkan kerugian negara atas korupsi yang ada.

    “Ya nanti setelah dieksekusi kalau memang itu untuk dilakukan lelang, lelang, pastinya, dilelang pun nanti akan ketentuan ada mekanismenya dan nanti semua akan kembali untuk negara,” imbuhnya.

    Namun yang pasti, kata Anang, pihaknya tidak terlalu mengambil pusing terkait dengan keberatan dari istri terpidana Harvey Moeis itu. Di samping itu, jaksa sendiri siap menyampaikan argumen serta barang bukti untuk merespons gugatan dari Sandra Dewi tersebut.

    “Silakan saja dan ini diatur dalam UU Tipikor pasal 19 di situ ada syarat dan mekanisme ketentuannya seperti apa. Kita tunggu hasilnya yang penting apapun keputusannya kita menghormati,” pungkasnya.

    Sebelumnya, gugatan terkait harta perampasan dalam korupsi Timah digugat Sandra Dewi dalam register perkara nomor 7/PID.SUS/KEBERATAN/TPK/2025/PN.Jkt.Pst

    Barang rampasan yang digugat oleh Sandra Dewi itu yakni sejumlah perhiasan, tas mewah, dua rumah yang berlokasi di Jakarta Barat dan Jakarta Selatan serta dua unit kondominium di Perumahan Gading Serpong.

  • 2
                    
                        Sandra Dewi Buat Rekening Pakai Nama Asisten untuk Dipakai Sendiri
                        Nasional

    2 Sandra Dewi Buat Rekening Pakai Nama Asisten untuk Dipakai Sendiri Nasional

    Sandra Dewi Buat Rekening Pakai Nama Asisten untuk Dipakai Sendiri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Penyidik Kejaksaan Agung, Max Jefferson, mengungkap bahwa aktris Sandra Dewi membuka rekening atas nama asistennya, Ratih.
    Namun, rekening ini digunakan untuk kepentingan Sandra Dewi.
    Hal ini disampaikan Max saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang keberatan atas penyitaan aset milik Sandra Dewi yang dirampas negara karena dinilai terlibat dalam kasus korupsi tata niaga timah.
    “Jadi, waktu itu Bu Sandra Dewi membuka rekening atas nama Ratih untuk dipakai oleh Bu Sandra Dewi. Ini berdasarkan keterangan Ratih di tahap penyidikan,” kata Max, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (24/10/2025).
    Dalam sidang hari ini, Max tidak menyebutkan kapan rekening ini dibuat dan berapa total transaksi yang dilakukan melalui rekening atas nama Ratih tersebut.
    Namun, ia menyebut rekening atas nama Ratih digunakan sebagai transit uang dari Harvey Moeis untuk Sandra Dewi.
    “Tapi, dalam pelaksanaan, bisa ada uang yang masuk ke Bu Sandra, bisa uang yang untuk kebutuhan Bu Sandra, tapi harus lewat Ratih. Kenapa enggak langsung Pak Harvey sendiri beli kebutuhan Bu Sandra? Kenapa harus lewat Ratih dulu?” ujar Max.
    Uang dari Harvey untuk Sandra ini digunakan untuk membeli aset dan barang-barang.
    Lalu, pada sidang pada 10 Oktober 2024, Sandra sempat memerintahkan Ratih untuk menarik seluruh uang dari rekeningnya.
    Penarikan uang ini dilakukan saat Harvey ditetapkan sebagai tersangka.
    Dalam kasus ini, kasasi Harvey diketahui telah ditolak oleh MA.
    Aset-aset milik Sandra Dewi juga tetap disita meski ada perjanjian pisah harta antara keduanya.
    Setidaknya, ada 88 tas mewah, rekening deposito senilai Rp 33 miliar, beberapa mobil, hingga perhiasan yang disita.
    Ketika dihadirkan dalam sidang di pengadilan tingkat pertama, Sandra menuturkan aset-aset ini didapatnya secara pribadi, melalui
    endorsement
    atau hasil kerja selama menjadi artis.
    Namun, aset-asetnya tetap disita untuk membayar uang pengganti senilai Rp 420 miliar yang dijatuhkan pada Harvey.
    Pada kasus ini, Harvey bersama terpidana lainnya dinilai telah merugikan keuangan negara hingga Rp 300 triliun.
    Rp 271,06 triliun merupakan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, sementara Rp 29 triliun merupakan kerugian keuangan negara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gerakan Nasional Masyarakat Berkeadilan Buka Posko Pengaduan Dugaan Kezaliman Tol CMNP Jusuf Hamka

    Gerakan Nasional Masyarakat Berkeadilan Buka Posko Pengaduan Dugaan Kezaliman Tol CMNP Jusuf Hamka

    JAKARTA – Gerakan Nasional Masyarakat Berkeadilan (GNMB) membuka Posko Pengaduan Kezaliman terhadap Masyarakat Terdampak Proyek Jalan Tol yang dikerjakan oleh PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), perusahaan tol milik Jusuf Hamka.

    Hal itu didasari sorotan tajam publik terhadap proyek Tol Harbour Road II Ancol sepanjang sekitar 9,67 kilometer, yang diharapkan mampu memperlancar arus logistik menuju Pelabuhan Tanjung Priok.

    Pasalnya, pelaksanaan proyek tersebut diduga menimbulkan berbagai bentuk ketidakadilan dan dampak sosial bagi warga yang terdampak langsung.

    “Kami membuka posko ini agar suara masyarakat terdampak dapat tersampaikan,” kata Ketua GNMB, Junaedi, dalam keterangannya kepada awak media, Jumat 24 Oktober.

    Berdasarkan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Junaed mengatakan terdapat sejumlah persoalan pada proyek pengembangan ruas tol Cawang–Tanjung Priok–Ancol Timur–Jembatan Tiga/Pluit oleh CMNP.

    Dugaan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan menjadi salah satu temuan penting yang kini tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung RI.

    Dalam proses tersebut, anak dari Jusuf Hamka, Fitria Yusuf, telah dipanggil untuk memberikan klarifikasi terkait dugaan penyimpangan dan korupsi dalam perpanjangan konsesi jalan tol itu.

    Masyarakat yang terdampak, lanjut dia, khususnya warga RW 13 Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara, mengaku mengalami berbagai kerugian akibat proyek ini.

    Para warga menyoroti kurangnya transparansi dan perhatian terhadap dampak sosial, ekonomi mikro, lingkungan, serta kegiatan anak-anak yang terganggu akibat proyek pembangunan tersebut.

    Junaedi menyebutkan, lokasi posko pengaduan menegaskan bahwa pendirian posko ini merupakan langkah nyata untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang diduga dizalimi.

    Melalui posko pengaduan ini, GNMB berharap pemerintah dan pihak terkait dapat mendengar aspirasi warga, menyelesaikan persoalan secara adil, dan memastikan pembangunan infrastruktur nasional tidak mengorbankan kepentingan rakyat kecil.

    “Banyak pelaku UMKM, warung kecil, hingga warga kecil yang kehilangan mata pencaharian. Kami ingin memastikan hak-hak mereka ditunaikan dan proyek ini berjalan dengan prinsip transparansi serta keadilan,” sambung Junaedi.

  • Bea Cukai Terima SPDP Kasus Ekspor Limbah CPO dari Kejagung

    Bea Cukai Terima SPDP Kasus Ekspor Limbah CPO dari Kejagung

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membenarkan telah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan korupsi ekspor limbah pengolahan crude palm oil (CPO) 2022. 

    Kejagung sebelumnya telah memberikan konfirmasi terkait dengan penggeledahan pada perkara tersebut. Salah satu lokasi yang digeledah adalah kantor Bea Cukai. 

    Namun demikian, Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Djaka Budhi Utama mengatakan bahwa kegiatan penyidik Kejagung bukanlah penggeledahan. Dia menyebut kegiatan Kejagung itu hanya pengumpulan data, saat perkara masih di tahap penyelidikan. 

    “Yang pasti kan kasus dugaan masalah POME [palm oil mill effluent] itu ya. Intinya nyari data aja, ngumpulin data saja dalam rangka penyelidikan,” terangnya kepada wartawan di kantor Kemenkeu, Jakarta, Jumat (24/10/2025). 

    Pihak Bea Cukai menjelaskan bahwa sebelumnya telah menjalin kerja sama dengan Kejagung. Penyidik Korps Adhyaksa disebut telah mengirimkan SPDP kepada Bea Cukai. 

    “Iya [sudah terima SPDP], kan namanya ekspor impor nanya ke bea cukai datanya. Pengumpulan data dan informasi,” tambah penjelasan dari Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto. 

    Akan tetapi, pejabat eselon II itu membantah sudah ada pegawai maupun pejabat Bea Cukai yang sudah pernah dimintai keterangan oleh Kejagung. “Belum tentulah. Kalau ekspor impor kan bea cukai yang punya data. Kalau semua ekspor impor lewat bea cukai karena bea cukai yang mengawasi,” terangnya. 

    Pada hari ini, Jumat (24/10/2025), Kejagung mengakui telah menggeledah kantor pusat Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea Cukai pada Rabu (21/10/2025). 

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna mengatakan penggeledahan itu dalam rangka penyidikan dugaan korupsi ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). 

    “Terkait dengan penggeledahan di kantor Bea Cukai, memang benar ada beberapa tindakan dan tindakan hukum, langkah-langkah hukum yang dilakukan oleh penyidik Gedung Bundar,” ujar Anang di Kejagung, Jumat (24/10/2025).

  • Tak Hanya Lakukan Penggeledahan, Kejagung Juga Periksa Sejumlah Pihak Terkait Korupsi Ekspor POME Bea Cukai – Page 3

    Tak Hanya Lakukan Penggeledahan, Kejagung Juga Periksa Sejumlah Pihak Terkait Korupsi Ekspor POME Bea Cukai – Page 3

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penggeledahan terhadap kantor pusat Direktorat Jenderal (Dirjen) Bea Cukai pada Rabu, 21 Oktober 2025. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Anang Supriatna membenarkan adanya kegiatan tersebut.

    “Terkait dengan penggeledahan di kantor Bea Cukai, memang benar ada beberapa tindakan dan tindakan hukum, langkah-langkah hukum yang dilakukan oleh penyidik Gedung Bundar,” tutur Anang di Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (24/10/2025).

    Anang menyebut, penggeledahan tersebut dilakukan penyidik Kejagung dalam rangka penyidikan kasus dugaan korupsi ekspor Palm Oil Mill Effluent (POME). Diketahui, POME merupakan limbah cair yang dihasilkan dari pabrik pengolahan kelapa sawit yang kaya akan minyak, lemak, dan bahan organik.

    Meski limbah tersebut bersifat asam dan kimia yang dapat merusak ekosistem perairan jika tidak dikelola dengan baik, POME juga memiliki potensi untuk dimanfaatkan menjadi sumber energi terbarukan seperti biogas dan biodiesel.

    Sementara itu, selain kantor Bea Cukai Pusat, penyidik juga telah menggeledah sejumlah tempat lainnya dalam pengusutan perkara tersebut. Hanya saja, Anang tidak merinci lebih jauh detail lokasi dan duduk perkara kasus dugaan korupsi ekspor POME.

    “Ya pokoknya dokumen. Bisa dokumen kan bisa alat elektronik, bisa surat,” jelas dia.

    Adapun tempus atau dugaan rentang waktu terjadinya kasus dugaan korupsi ekspor POME itu terjadi pada tahun 2022.

    “Sekitar 2022-an,” Anang menandaskan.

     

  • Jaksa Belum Siap, Sidang Kasus Pembunuhan Dua Jemaah Sholat Subuh di Bojonegoro Kembali Ditunda

    Jaksa Belum Siap, Sidang Kasus Pembunuhan Dua Jemaah Sholat Subuh di Bojonegoro Kembali Ditunda

    Bojonegoro (beritajatim.com) – Sidang kasus pembunuhan berencana terhadap dua jemaah sholat subuh di Mushola Al Manar, Desa Kedungadem, Kabupaten Bojonegoro, kembali ditunda. Penundaan ini merupakan kali ketiga lantaran Jaksa Penuntut Umum (JPU) belum merampungkan surat tuntutan, meski terdakwa dan tim pembelanya sudah hadir di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Bojonegoro.

    Awalnya, sidang dengan agenda pembacaan tuntutan terhadap terdakwa Sujito (67) dijadwalkan pada Rabu (9/10/2025). Namun, sidang perkara nomor 117/Pid.B/2025/PN Bjn itu batal digelar dan dijadwalkan ulang pada Kamis (23/10/2025). Agenda tersebut kembali urung dilaksanakan karena JPU belum siap menyampaikan tuntutannya.

    Humas PN Bojonegoro, Hario Purwo Hantoro, membenarkan penundaan tersebut. Menurutnya, majelis hakim menunda sidang hingga Kamis (6/11/2025). “Iya, penuntut umum belum siap dengan tuntutannya,” kata Hario, Jumat (24/10/2025).

    Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro, Reza Aditya Wardhana, menyampaikan bahwa tim jaksa masih membutuhkan waktu untuk menyempurnakan surat tuntutan. “Melihat bobot penanganan perkara dan banyaknya fakta yang harus dipertimbangkan, penyusunan tuntutan memang memerlukan waktu lebih agar tidak ada kekeliruan dalam penerapan pasal,” ujarnya.

    Sebelumnya, JPU Adieka Raharditiyanto telah menghadirkan sejumlah saksi kunci dan membawa barang bukti, termasuk sebilah parang yang digunakan terdakwa untuk menghabisi korban. “Agenda pembacaan tuntutan saat ini masih kami sempurnakan,” kata Adieka.

    Perkara ini bermula dari insiden berdarah pada 24 April 2025 di Mushola Al Manar. Terdakwa Sujito diduga membacok tiga orang tetangganya saat sholat subuh. Dua korban, yakni Cipto Rahayu (63) dan Abdul Aziz (63), meninggal dunia di tempat, sedangkan satu korban lainnya, Arik Wijayanti (60), mengalami luka berat.

    Dalam persidangan sebelumnya yang dipimpin Hakim Ketua Wisnu Widiastuti, majelis hakim telah mendalami kronologi kejadian serta mencocokkan keterangan saksi dengan alat bukti di lapangan.

    Sujito didakwa dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, subsider Pasal 338 KUHP tentang Pembunuhan, dan lebih subsider Pasal 351 ayat (2) dan (3) KUHP tentang Penganiayaan Berat yang Mengakibatkan Kematian.

    Penasihat hukum terdakwa, Sunaryo Abumain, mengonfirmasi penundaan tersebut dan menyatakan pihaknya akan tetap mengikuti seluruh proses hukum yang berlaku. “Ditunda karena jaksa belum siap. Kami tetap mengikuti proses sesuai hukum acara,” ujarnya. [lus/beq]