Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan, pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh koruptor.
Ketentuan itu diatur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Ini disampaikan Peneliti ICW Diky Anandya menanggapi pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang menilai pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa diberikan melalui denda damai.
“Sudah jelas sebetulnya kalau kita mengacu dalam Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, di sana disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara itu tidak menghapus tindak pidana sama sekali,” kata Diky saat dihubungi, Jumat (27/12/2024).
Diky mengatakan, Undang-Undang tentang Kejaksaan juga tak bisa dijadikan dasar pengampunan terhadap koruptor.
“Sekalipun itu diatur dalam undang-undang yang sifatnya dalam tanda petik formil, di UU Kejaksaan tentu itu tidak bisa menjadi dasar untuk memberikan pemaafan terhadap terpidana atau terdakwa kasus korupsi,” ujarnya.
Diky menilai, pernyataan pemerintah terkait denda damai koruptor tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pemidanaan untuk memberikan efek jera.
Padahal, kata dia, tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan lantaran hukuman penjara belum memberikan efek jera.
“Itulah yang kemudian perlu dan penting untuk diformulasikan terkait dengan pemidanaan yang berjalan secara pararel, artinya pidana badan masih tetap jalan dan dimaksimalkan dengan pemulihan aset negara,” ucap dia.
Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai.
Dia menjelaskan, kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran Undang-Undang tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
Adapun pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
Menurut Supratman, usulan pemberian amnesti itu sudah diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah pengampunan terhadap beberapa kategori narapidana.
“Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Kejaksaan
-
/data/photo/2023/12/13/6578b14444094.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana
-

Crazy Rich Budi Said Hadapi Vonis atas Kasus Korupsi Emas Antam Hari Ini
Jakarta, Beritasatu.com – Pengusaha yang dijuluki crazy rich Surabaya Budi Said menjalani sidang vonis dalam kasus korupsi rekayasa jual beli emas PT Antam di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).
Dikutip dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sidang Budi Said dengan agenda pembacaan putusan dari majelis hakim itu dijadwalkan berlangsung pada pukul 10.00 WIB di Ruangan Kusuma Atmadja.
Sebelumnya Budi Said dituntut 16 tahun penjara dalam kasus korupsi emas PT Antam. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1,08 triliun kepada negara.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Said dengan pidana penjara selama 16 tahun, dikurangi waktu yang telah dijalani dalam tahanan sementara, dan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan di rutan,” ucap jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2024).
Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Budi Said dengan pidana denda sebesar Rp 1 miliar. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka Budi Said harus menjalani hukuman kurungan selama 6 bulan.
Jaksa juga menuntut agar Budi Said membayar uang pengganti dengan dua komponen. Pertama, untuk emas seberat 58,135 kilogram (kg), setara dengan Rp 35 miliar, berdasarkan kelebihan emas yang diterima Budi Said saat membeli emas di BELM Surabaya 01 Antam.
Kedua, untuk emas seberat 1,136 ton (atau 1.136 kg), yang setara dengan Rp 1,07 triliun, berdasarkan gugatan perdata Budi Said terkait kekurangan serah emas dalam transaksinya dengan PT Antam.
Budi Said diwajibkan membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan hukum tetap. Apabila tidak mampu membayar, jaksa akan menyita aset Budi Said untuk menutupi kewajibannya.
Jika Budi Said tidak memiliki aset yang mencukupi, ia dapat dikenakan tambahan hukuman penjara selama delapan tahun.
Budi Said menyatakan Budi Said terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam transaksi emas di PT Antam secara bersama-sama.
Jaksa juga menuntut Budi Said dengan tindak pidana pencucian uang, berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Jaksa mencatat sejumlah hal yang memberatkan tuntutan terhadap Budi Said, antara lain merugikan keuangan negara senilai Rp 1,1 triliun lebih. Budi Said juga terlibat dalam pencucian uang dan tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas korupsi.
Namun, ada beberapa hal yang meringankan, seperti belum pernah dihukum sebelumnya dan sikap sopan selama persidangan.
-

Dugaan Azerbaijan Airlines Kena Rudal Rusia: Banyak Lubang di Pesawat
Jakarta, CNN Indonesia —
Sejumlah lubang besar ditemukan di ekor pesawat Azerbaijan Airlines, menguatkan dugaan bahwa kapal terbang itu jatuh akibat diserang.
Foto-foto dan video yang beredar luas menunjukkan lubang-lubang menganga lebar di bagian belakang pesawat jenis Embraer 190 tersebut.
Warganet pun menilai lubang itu kemungkinan disebabkan oleh serpihan rudal yang meledak tak jauh dari badan pesawat. Netizen percaya pesawat penerbangan 8243 itu telah ditembak jatuh oleh serangan udara, demikian dilaporkan Anadolu Agency.
Dugaan ini muncul setelah pesawat Azerbaijan Airlines dengan rute penerbangan Baku (Azerbaijan) ke Grozny (Rusia) gagal mendarat di ibu kota Chechnya, Rusia, pada Rabu (25/12).
Pesawat itu justru mendarat di Kota Aktau, Kazakhstan, dengan tubuh pesawat hancur usai menubruk landasan pacu dan terbakar.
Sejumlah pakar penerbangan menyatakan bahwa pesawat Azerbaijan Airlines kemungkinan telah ditembak oleh sistem pertahanan udara Rusia di atas wilayah Republik Chechnya.
Seorang pejabat AS juga mengatakan kepada Reuters bahwa ada indikasi awal sistem anti-pesawat Rusia menyerang pesawat tersebut.
Ketika dikonfirmasi oleh BBC, kantor kejaksaan di Baku menyatakan pihaknya masih menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat.
Sejumlah sumber dari pemerintah Azerbaijan sementara itu mengonfirmasi kepada Euronews bahwa rudal permukaan-ke-udara Rusia bertanggung jawab atas kecelakaan ini.
Menurut sumber-sumber pemerintah tersebut, terdapat aktivitas drone di atas Kota Grozny ketika pesawat penerbangan 8243 mengudara. Sistem pertahanan udara Rusia lantas menembak pesawat tersebut seiring dengan operasinya terhadap drone.
Rudal itu pun diduga meledak di samping pesawat dan pecahan pelurunya mengenai penumpang.
Para sumber mengatakan pilot sempat berupaya meminta pendaratan darurat ke bandara Rusia mana pun, namun tak diberikan izin.
Pesawat yang terkena pecahan proyektil rudal itu pun diperintahkan terbang melintasi Laut Kaspia menuju Kota Aktau di Kazakhstan.
Sumber-sumber pemerintah Azerbaijan mengatakan kepada outlet internasional yang berbasis di Baku AnewZ bahwa rudal itu ditembakkan dari sistem pertahanan udara Pantsir-S.
Menurut laporan BBC, komite investigasi yang terdiri dari otoritas Azerbaijan dan Kazakhstan tampaknya sudah memiliki bukti untuk ini namun menunggu Rusia untuk mengumumkannya terlebih dulu.
Azerbaijan diduga tak ingin membuat Presiden Rusia Vladimir Putin kesal dengan menyalahkan Kremlin sehingga menunggu agar Rusia yang mengakuinya.
Insiden ini menewaskan 38 orang dari total 67 penumpang termasuk awak kabin.
Pemerintah Azerbaijan telah memperingati hari berkabung nasional pada Kamis (26/12) untuk mengenang para korban kecelakaan.
(blq/bac)
-

Azerbaijan Airlines Jatuh Diduga Gegara Rudal Rusia, Moskow Buka Suara
Jakarta, CNN Indonesia —
Rusia segera buka suara menanggapi sejumlah klaim bahwa pesawat Azerbaijan Airlines jatuh pada Rabu (25/12) karena rudal dari negara itu.
Moskow membantah tegas bahwa pihaknya menembak pesawat Azerbaijan Airlines dengan rudal hingga mengakibatkan kapal terbang itu jatuh.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan Rusia tidak mungkin menembakkan rudal ke pesawat komersial yang membawa penumpang sipil.
“Kami, tentu saja, tidak akan melakukan ini dan tidak seorang pun boleh melakukan ini,” kata Peskov di Moskow.
“Mengajukan hipotesis apa pun sebelum hasil investigasi keluar adalah hal yang salah,” ucap dia.
Sejumlah pakar penerbangan sebelumnya menyatakan bahwa pesawat Azerbaijan Airlines kemungkinan telah ditembak oleh sistem pertahanan udara Rusia di atas wilayah Republik Chechnya.
Seorang pejabat AS juga mengatakan kepada Reuters bahwa ada indikasi awal sistem anti-pesawat Rusia menyerang pesawat jenis Embraer 190 itu.
Ketika ditanya oleh BBC, kantor kejaksaan di Baku menyatakan pihaknya masih menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat.
Sejumlah sumber dari pemerintah Azerbaijan sementara itu mengonfirmasi kepada Euronews bahwa rudal Rusia bertanggung jawab atas kecelakaan di Kota Aktau, Kazakhstan, ini.
Menurut sumber-sumber pemerintah tersebut, ada aktivitas drone di atas Kota Grozny ketika pesawat penerbangan 8243 mengudara. Rudal permukaan-ke-udara Rusia lantas menembak pesawat tersebut seiring dengan operasinya terhadap drone.
Rudal itu pun meledak di samping pesawat dan pecahan pelurunya mengenai penumpang.
Para sumber mengatakan pilot sempat berupaya meminta pendaratan darurat ke bandara Rusia mana pun namun tak diberikan izin.
Pesawat yang telah rusak karena terkena pecahan peluru itu pun diperintahkan terbang melintasi Laut Kaspia menuju Kota Aktau di Kazakhstan.
Sumber-sumber pemerintah Azerbaijan mengatakan kepada outlet internasional yang berbasis di Baku AnewZ bahwa rudal itu ditembakkan dari sistem pertahanan udara Pantsir-S.
Komite investigasi yang terdiri dari pejabat Azerbaijan dan Kazakhstan tampaknya sudah memiliki bukti untuk ini namun menunggu Rusia untuk mengumumkannya lebih dulu.
Azerbaijan diduga tak ingin membuat Presiden Rusia Vladimir Putin kesal dengan menyalahkan Kremlin sehingga menunggu agar Rusia yang mengakuinya, demikian dilansir dari BBC.
Pesawat Azerbaijan Airlines jatuh di Kota Aktau, Kazakhstan, pada Rabu (25/12) pagi.
Pesawat itu seharusnya terbang dari Baku ke Kota Grozny namun mengalihkan rutenya ke lepas pantai timur Laut Kaspia. Maskapai sebelumnya beralasan pesawat dialihkan karena kabut tebal.
Insiden ini menewaskan 38 orang dari total 67 penumpang termasuk awak kabin. Sekitar 28 orang selamat dari kecelakaan ini.
Pemerintah Azerbaijan telah memperingati hari berkabung nasional pada Kamis (26/12) untuk mengenang para korban kecelakaan.
(blq/bac)
-

Mahfud MD Kritik Omongan Menteri Hukum soal Wacana Denda Damai Ampuni Koruptor: Salah Beneran
loading…
Mahfud MD turut menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang membuka wacana denda damai bagi para koruptor. Foto/Achmad Al Fiqri
JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD turut menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang membuka wacana denda damai bagi para koruptor. Menurutnya, masalah tindak pidana korupsi (tipikor) tak bisa diselesaikan secara damai.
Untuk itu, Mahfud menilai, wacana denda dama yang digulirkan Supratman adalah salah. “Saya kira bukan salah kaprah, salah beneran (wacana denda damai untuk koruptor). Kalau salah kaprah itu biasanya sudah dilakukan, terbiasa meskipun salah. Ini belum pernah dilakukan kok. Mana ada korupsi diselesaikan secara damai,” ujar Mahfud saat ditemui di Kantor MMD Initiative, Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).
Bila wacana denda damai itu diterapkan, Mahfud menilai, hal itu merupakan bentuk korupsi yakni kolusi. Menurutnya, peradilan denda damai itu membuat rentan para aparat penegak hukum terjerat kolusi.
“Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai. Dan itu sudah sering terjadi kan. Diselesaikan diam-diam antar penegak hukum, penegak hukumnya yang ditangkap. Kalau diselesaikan diam-diam. Kan banyak tuh yang terjadi,” kata Mahfud.
“Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama aja,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas membuka wacana agar para koruptor bisa diberikan denda damai selain pengampunan dari Presiden. Menurutnya, kewenangan denda damai itu dimiliki oleh Kejaksaan Agung lantaran Undang-undang tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
“Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan (memberi pengampunan kepada koruptor) karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman dalam keterangan tertulis, Senin (23/12/2024).
(rca)
-

Sahroni Minta Polisi Usut Tuntas Kasus Pengejaran dan Upaya Pengeroyokan Kajari Kediri
Jakarta, Beritasatu.com – Pihak kepolisian diminta untuk mengusut tuntas kasus pengejaran dan upaya pengeroyokan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kabupaten Kediri Pradhana Probo Setyarjo.
Polres Kediri sebelumnya telah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini. Namun, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni meminta polisi untuk mengusut tuntas kasus ini, termasuk menelusuri motifnya. Dia menilai kasus pengeroyokan kajari Kediri bukan kriminal biasa.
“Saya minta pihak kepolisian segera usut motif sebenarnya dari kedua pelaku (yang sudah ditetapkan jadi tersangka), diduga kuat ini bukan aksi kriminal biasa, disuruh siapa mereka? Karena kita tahu, Kajari ini pasti meng-handle banyak kasus, bisa jadi banyak pihak yang tidak suka dengan kinerjanya,” ujar Sahroni kepada wartawan, Kamis (26/12/2024).
Sahroni menilai kasus tersebut bisa menjadi preseden buruk karena ada upaya menekan pejabat penegak hukum.
“Makanya, polisi wajib usut kasus ini hingga tuntas, jangan biarkan ada pihak yang menekan pejabat penegak hukum kita. Mereka harus dijamin 100 persen keamanannya,” tandas dia.
Sahroni juga berharap bahwa jabatan setingkat Kajari, diberi pengawalan agar kejadian serupa tak terulang kembali.
“Saya kira pejabat penegak hukum setingkat kajari sudah harus memiliki pengawalan atau ajudan dari kepolisian yang melekat. Kalau dilihat dari kejadian tersebut, kajari Kediri tidak memiliki. Ini penting agar kejadian seperti ini bisa kita antisipasi. Kita tidak ingin penegak hukum kita bekerja dalam ketakutan dan tekanan,” jelas Sahroni.
Sahroni meminta agar polisi mengusut kasus ini secara transparan dan objektif.
“Saya minta polisi usut kasus ini secara transparan, paparkan perkembangannya agar kasusnya bisa dikawal oleh publik,” pungkas Sahroni.
Diketahui, Polres Kediri Kota, melalui Kasatreskrim Polres Iptu Fathur Rozikin, Rabu (25/12/2024), menyebut pihaknya telah menetapkan dua pemotor sebagai tersangka dalam kasus viral pengejaran Kajari Kabupaten Kediri Pradhana Probo Setyarjo.
Keduanya diduga melakukan pengejaran terhadap kendaraan dinas kajari hingga terlibat aksi saling dorong dan penyerangan di Simpang Tiga Jalan Imam Bonjol, Kota Kediri, pada Senin (23/12/2024) malam. Terlihat dalam keadaan terdesak karena pengeroyokan, kajari Kediri sampai terpaksa melepaskan tembakan peringatan.
-
/data/photo/2024/12/26/676d3171aaeb3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu… Nasional
Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Eks Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam)
Mahfud
MD menyebut, menyelesaikan korupsi melalui cara damai justru menjadi korupsi baru, yakni kolusi.
Menurut Mahfud, undang-undang terkait pemberantasan korupsi maupun hukum acara pidana di Indonesia tidak membenarkan penyelesaian korupsi dengan
denda damai
.
Wacana ini sebelumnya dilontarkan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, saat berbicara mengenai pengampunan atau amnesti bagi narapidana, termasuk koruptor.
Melansir
Antara
, Andi mengungkapkan bahwa pengampunan kepada koruptor bisa dimungkinkan tanpa lewat presiden. Sebab, menurutnya, Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberikan ruang kepada jaksa agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara yang dihadapi mereka.
“Mana ada korupsi diselesaikan secara damai. Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai,” kata Mahfud saat ditemui awak media di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2024).
Mahfud pun menuturkan, praktik kolusi semacam itu sudah sering dilakukan. Misalnya, aparat penegak hukum dan pelaku, melakukan pemufakatan jahat untuk mengkondisikan agar kasus korupsi tidak diproses atau diadili diam-diam.
Ketika kasus itu diketahui dan dibongkar oleh lembaga atau aparat penegak hukum yang lain, maka terjadilah perkara rasuah yang baru.
“Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama saja,” ujar Mahfud.
Mahfud memahami keinginan pemerintah yang ingin memaafkan koruptor dengan tujuan untuk memulihkan aset negara.
Hal ini selaras dengan United Nations Convention against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pemulihan aset.
Namun, tindakan itu tidak bisa dilakukan dengan cara memaafkan secara diam-diam atau melalui mekanisme denda damai.
“Silakan asset recovery itu. Tetapi yang termudah agar tidak terjadi diam-diam penyelesaiannya,” ujar Mahfud.
Mahfud mengatakan, pada tahun 2001 ketika ia menjadi Menteri Kehakiman, ia mengusulkan untuk memaafkan koruptor namun dilakukan secara terbuka.
Usulan itu kemudian ia tulis ulang dalam bukunya yang terbit pada 2003 dengan judul Setahun Bersama Gus Dur. Mekanisme pengampunan secara terbuka ini sebelumnya telah diterapkan di Afrika.
Ia lantas mempertanyakan siapa pihak yang bertanggung jawab ketika pengampunan dilakukan secara diam-diam, siapa yang menerima laporan pengakuan koruptor, dan apakah pihak terkait bersedia namanya diumumkan ke publik.
“Dan salah kalau mengatakan undang-undang untuk mengembalikan aset itu tidak ada jalannya. Kalau mau, kalau mau ya, Undang-Undang Perampasan Aset,” ujar Mahfud.
“Diberlakukan saja Undang-Undang Perampasan Aset (tapi harus) yang sudah disetujui DPR sama Pemerintah dulu, tapi lalu (saat ini) macet di DPR. Itu saja diundangkan,” tambahnya.
Pada kesempatan tersebut, Mahfud juga menjelaskan bahwa mekanisme denda damai tidak bisa diterapkan untuk mengampuni koruptor sebagaimana disampaikan Menteri Supratman.
Mahfud menuturkan, mekanisme denda damai diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
Dalam ketentuan itu disebutkan, Jaksa Agung berwenang pada kondisi tertentu memberikan pengampunan melalui denda damai namun terbatas pada tindak pidana ekonomi.
Adapun tindak pidana ekonomi hanya menyangkut perpajakan, kepabeanan, dan bea cukai.
“Hanya itu yang boleh. Kalau korupsi lain enggak boleh. Enggak pernah ada,” tutur Mahfud.
Hal yang sama juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar. Denda damai tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi.
Denda damai hanya bisa diterapkan untuk menangani tindak pidana ekonomi yang merugikan keuangan negara.
“Klasternya beda, kalau denda damai itu hanya untuk undang-undang sektoral. Karena itu adalah turunan dari Pasal 1 Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi,” kata Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
Pada kesempatan tersebut, Mahfud mengaku heran dengan menteri hukum di Kabinet Merah Putih.
Mereka dinilai gemar mencari dalil atau pasal untuk membenarkan wacana yang digelontorkan, meskipun salah.
Terkait
transfer of prisoners
atau pemulangan terpidana asing ke negara asalnya, misalnya. Menurutnya, menteri terkait mencari-cari pembenaran, yang salah satunya dengan menyebut bahwa pemindahan terpidana cuma persoalan tactical arrangement.
“Saya heran ya, menteri terkait dengan hukum itu sukanya mencari dalil atau pasal pembenar terhadap apa yang disampaikan oleh presiden,” ujar Mahfud.
Hal yang sama, menurutnya, juga dilakukan Menteri Supratman ketika pemerintah menyampaikan keinginan mengampuni koruptor.
Menteri Hukum kemudian mencari dalil pembenar dengan menyebut pengampunan bisa dilakukan melalui denda damai yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan RI.
Padahal, kata Mahfud, sudah jelas undang-undang itu mengatur denda damai hanya untuk tindak pidana ekonomi.
“Oleh sebab itu, menyongsong tahun baru ini, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran,” tutur Mahfud.
“Itu bahaya nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan itu tidak bagus cara kita bernegara,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI Pujiyono Suwadi mengusulkan, agar koruptor mengembalikan kerugian negara berlipat, bila wacana denda damai hendak diterapkan.
Artinya, kata Pujiyono, pelaku harus mengembalikan uang korupsi dalam jumlah berkali-kali lipat.
“Kalau denda damai itu diproses dan kasus diberhentikan tanpa pengadilan, pelaku korupsi harus mengembalikan uang dengan jumlah berlipat,” kata Pujiyono kepada
Kompas.com
, Kamis.
“Untuk kasus pajak dan bea cukai ada pengembalian empat kali lipat. Ini juga harus menjadi rujukan bagi pelaku korupsi, jangan hanya mengembalikan sebesar kerugian negara,” jelasnya.
Menurutnya, pengembalian uang negara lebih penting, daripada sekedar pidana badan. Ia pun mencontohkan kasus korupsi dengan kerugian besar dalam perkara asuransi Jiwasraya dan Asabri, yang kerugiannya belum pulih meski hukumannya berat.
“Tepuk tangan untuk hukuman berat, tapi substansi pengembalian kerugian negara tidak tercapai,” kata Pujiyono.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kewenangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
loading…
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
Romli Atmasasmita
MASYARAKAT selama ini selalu fokus pada keberhasilan penuntutan Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) serta pengadilan tindak pidana korupsi dalam pemberantasan korupsi . Namun, di balik semua keberhasilan tersebut terdapat kekeliruan penerapan hukum baik dari aspek doktrin hukum pidana maupun dari aspek kewenangan penyidik/penuntut maupun hakim pengadilan tindak pidana korupsi.
Kekeliruan penerapan hukum dalam melaksanakan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) berdampak terhadap kewenangan penyidikan/penuntutan dan pengadilan tipikor . Ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat dari kekeliruan penerapan hukum dan kewenangan dimaksud adalah disebabkan hal-hal sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Pertama, bahwa sistem hukum pidana Indonesia menganut asas legalitas atau paham positivisme hukum selama 79 tahun sejak kemerdekaan Tahun 1945, dan masih tetap berlanjut baik dalam ajaran pendidikan di fakultas hukum, doktrin hukum, maupun di dalam praktik perundang-undangan yang telah berlaku berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Di dalam UU aquo dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma yang mengikat secara umum yang dibentuk oleh Lembaga pembentuk UU. Definisi tersebut menunjukkan bahwa, UU merupakan produk hukum yang mengikat secara umum dan sekaligus merupakan sumber hukum. UU sebagai sumber hukum yang mengikat secara umum tidak dapat disimpangi atau dikesampingkan kecuali oleh peraturan perundang-undangan yang setingkat derajatnya. Pelaksana UU Pidana termasuk penyidik Polri dan Kejaksaan dalam kasus korupsi serta Hakim wajib melaksanakan perintah UU tanpa kecuali. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan, suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Begitu pula dalam beracara di hadapan pengadilan sejak dimulainya proses penyidikan. Dalam UU Nomor 8 Tahun 1981-KUHAP disebutkan: peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dua sumber hukum pidana positif telah menuntut agar setiap pelaku kekuasaan kehakiman tanpa kecuali wajib mematuhi ketentuan UU. Kepatuhan terhadap ketentuann UU tidak hanya berlaku terhadap pengadilan negeri pada umumnya akan tetapi juga terhadap pengadilan khusus yang berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung RI termasuk pengadilan khusus tindak pidana korupsi yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2009. Di dalam Pasal 6 UU aquo telah ditentukan wewenang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yaitu: a) tindak pidana korupsi,b) tindak pidana pencucian uang, dan c) tindak pidana lain di dalam peraturan perundang-undangan lain selain UU Tipikor yang secara tegas disebut sebagai tindak pidana korupsi.
Bunyi ketentuan Pasal 6 huruf c identik dengan ketentuan Pasal 14 UU Tipikor yang menyatakan bahwa, setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini. Frasa “secara tegas” menyatakan…sebagai tindak pidana korupsi”; menunjukkan bahwa terhadap ketentuan UU Tipikor sebanyak 30 (tiga puluh) pasal termasuk Pasal 2 dan Pasal 3 berlaku ketentuan Pasal 14 dalam arti bahwa, penerapan ketentuan UU Tipikor termasuk Pasal 2 dan Pasal 3 tidak serta dapat diterapkan hanya karena pelanggaran UU Lain telah menimbulkan kerugian keuangan negara jika tidak disebut secara tegas sebagai tipikor.
Tafsir hukum penerapan UU TIpikor atas ketentuan Pasal 14 khususnya terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 sangat gamblang dan jelas; tidak perlu ada keraguan dalam hal tersebut. Penafsiran hukum atas ketentuan Pasal 14 juga berlaku dalam hal wewenang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diuraikan di atas. Berdasarkan uraian penafsiran hukum atas ketentuan Pasal 14 jelas bahwa sekalipun ketentuan Pasal 14 bukan merupakan norma tindak pidana melainkan norma mengenai wewenang pengadilan tipikor yang membatasi penerapan Pasal 2 dan Pasal 3; ketentuan pasal aquo adalah merupakan perintah yang bersifat imperative (mandatory) dan wajib dipatuhi oleh setiap aparatur hukum baik kejaksaan maupun pengadilan tipikor.
Dapat disimpulkan bahwa, merujuk pada ketentuan Pasal 14 maka pengadilan tindak pidana korupsi tidak berwenang memeriksa dan mengadili serta memutus perkara pelanggaran UU lain yang tidak disebut secara tegas sebagai tindak pidana korupsi seperti pelanggaran UU Lingkungan Hidup, Perbankan, Pasar Modal , dan UU mengenai Sumber Daya Alam. Jika hal tersebut tidak dipatuhi termasuk oleh pengadilan tindak pidana korupsi, maka putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum adalah cacat dan dapat dinyatakan batal demi hukum (van recht wege nieteg).
Di masa yang akan datang jika masih ada perkara pelanggaran UU lain yang tetap diajukan sebagai perkara tindak pidana korupsi maka wajib hukumnya majelis pengadilan tipikor menolak memeriksa perkara aquo alias dinyatakan niet onvankelijke verklard (NO).
(zik)
-

Wacana Denda Damai Koruptor, Mahfud: Ini Bukan Salah Kaprah tetapi Salah Beneran
Jakarta, Beritasatu.com – Mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengkritik keras wacana denda damai untuk mengampuni koruptor yang belakangan ini digaungkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.
Mahfud menilai denda damai koruptor tersebut bukanlah salah kaprah melainkan kesalahan yang sebenarnya.
“Saya kira bukan salah kaprah tetapi salah beneran. Kalau salah kaprah itu sudah biasa dilakukan terbiasa meskipun salah, nah ini belum dilakukan kok, mana ada korupsi diselesaikan secara damai,” ujar Mahfud di kantor MMD Initiative di Kawasan Senen Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024) sore.
Menurutnya, selain tidak ada penyelesaikan korupsi damai, sudah banyak penegak hukum yang menyelesaikan kasus secara diam-diam dan menjadi tersangka.
“Kalau diselesaikan secara damai itu sudah sering dilakukan antara penegak hukum. Penegak hukumnya yang ditangkap bahkan banyak tuh terjadi, jaksa, polisi, hakim kan menyelesaikan diam-diam,” lanjutnya.
Mahfud juga menjelaskan penerapan denda damai dalam Pasal 35 Undang-Undang Kejaksaan hanya berlaku untuk tindak pidana eknomi dan bukan untuk tindak pidana korupsi.
“Undang-Undang Kejaksaan dalam Pasal 35 menyatakan dalam hal-hal tertentu jaksa agung boleh menerapkan denda damai di mana sebuah kasus itu tidak diadili asalkan ada perdamaian tentang jumlah yang dibayar,” pungkas Mahfud yang menilai UU tersebut tidak berlaku untuk denda damai koruptor.
