Kementrian Lembaga: Kejaksaan

  • Kejagung: Bos Pertamina Patra Niaga Perintahkan Oplos Pertamax

    Kejagung: Bos Pertamina Patra Niaga Perintahkan Oplos Pertamax

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap fakta baru dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023. Kejagung menduga dua tersangka baru, yang merupakan bos PT Pertamina Patra Niaga, memerintahkan oplos Pertamax.  

    Sebelumnya, dua tersangka baru itu yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (MK) dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne (EC).

    Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan Maya dan Edward berperan melakukan pembelian bahan bakar RON 90 atau lebih rendah atas persetujuan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS), yang telah ditetapkan sebagai tersangka. 

    Hanya saja, Qohar mengatakan pembelian bahan bakar itu tidak sesuai perencanaan. Sebab, kata dia, seharusnya pembelian itu dilakukan untuk pembelian RON 92 atau sejenis Pertamax.

    “Sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang,” ujarnya di Kejagung, Rabu (26/2/2025) malam.

    Selanjutnya, Maya juga diduga telah memerintahkan Edward untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 Premium dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92.

    Kegiatan blending bahan bakar itu dilakukan di PT Orbit Terminal milik tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) atau yang dijual dengan harga RON 92.

    “Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga,” tambahnya.

    Kemudian, Maya dan Edward juga diduga melakukan pembayaran impor produk kilang yang seharusnya dapat menggunakan metode term atau pemilihan langsung. 

    Namun dalam pelaksanaannya, kedua tersangka justru menggunakan metode spot atau penunjukan langsung sehingga PT Pertamina Patra Niaga harus membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha/DMUT.

    Selain itu, Kejagung mengatakan Maya dan Edward juga mengetahui dan menyetujui soal mark up kontrak shipping Dirut PT Pertamina Internasional Shipping Yoki Firnandi (YF). 

    Perbuatan itu kemudian telah membuat PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee sebesar 13%-15% kepada PT Navigator Khatulistiwa yang diketahui melawan hukum.

    “Fee tersebut diberikan kepada Tersangka MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan Tersangka DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” pungkasnya.

    Atas perbuatan itu, Maya dan Edward disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No.31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20/2001 tentang Perubahan Atas UU RI No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

    Penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung sedang melakukan penyidikan kasus dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada tahun 2018–2023.

    Pada Senin (24/2), penyidik menetapkan tujuh orang tersangka baru dalam kasus ini, yaitu Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, dan Yoki Firnandi (YF) selaku PT Pertamina International Shipping.

    Tersangka lainnya, yakni Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

    Kejagung menjelaskan posisi kasus ini adalah pada periode tahun 2018–2023, pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

  • Kejagung Tetapkan 2 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak

    Kejagung Tetapkan 2 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Tata Kelola Minyak

    PIKIRAN RAKYAT – Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan identitas dua tersangka baru dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.

    Penetapan ini menambah daftar tersangka menjadi sembilan orang. Berikut ini dua tersangka baru yang ditahan oleh Kejagung:

    Maya Kusmaya (MK): Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.

    Edward Corne (EC): VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.

    Proses Penetapan Tersangka

    Penetapan kedua tersangka ini dilakukan setelah Kejagung melakukan penyidikan kepada keduanya, yang sebelumnya berstatus sebagai saksi.

    “Terhadap dua orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan surat perintah nomor 19/F.2/FD.2/02/2025 tanggal 26 Februari 2025. Ini untuk tersangka Maya Kusmaya. Sedangkan untuk tersangka Edward Corne berdasarkan penetapan tersangka nomor 20/F.2/FD.2/02/2025 tanggal 26 Februari 2025,” papar Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar.

    Total Tersangka

    Dengan penetapan ini, hingga Rabu, 26 Februari 2025 malam, telah ditetapkan 9 tersangka atas kasus dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang.

    Dampak dan Kerugian Negara

    Kasus korupsi ini diduga telah menyebabkan kerugian negara yang sangat signifikan. Menurut informasi yang didapat, kerugian negara mencapai angka Rp193,7 Triliun. Rincian dari kerugian tersebut antara lain:

    Kerugian dari kegiatan ekspor minyak mentah yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, dengan jumlah kerugian mencapai Rp35 Triliun.

    Kerugian dari kegiatan impor minyak mentah melalui DMUT/Broker, dengan jumlah kerugian mencapai Rp2,7 Triliun.

    Kejaksaan Agung menegaskan komitmennya untuk mengusut tuntas kasus ini dan menyeret semua pihak yang terlibat ke meja hijau. Upaya penegakan hukum ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan mencegah terjadinya kasus serupa di masa mendatang.

    Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam, khususnya di sektor energi. Masyarakat berharap agar proses hukum berjalan dengan adil dan transparan, serta memberikan hasil yang optimal bagi kepentingan negara.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • SEMMI Tolak Asas Dominus Litis Masuk RKUHAP dan Siap Turun ke Jalan

    SEMMI Tolak Asas Dominus Litis Masuk RKUHAP dan Siap Turun ke Jalan

    loading…

    Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) Sandri Rumanama menolak asas dominus litis atau pengendali perkara dimasukkan ke dalam RKUHAP. Foto/Istimewa

    JAKARTA – Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) Sandri Rumanama menolak asas dominus litis atau pengendali perkara dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( RKUHAP ). Dia mengancam akan menggerakkan masa aksi serentak memprotes penerapan asas dominus litis dalam RKUHAP.

    “Dengan asas dominus litis, kejaksaan memiliki kewenangan menentukan apakah suatu perkara pidana bisa ke pengadilan atau tidak. Ini sangat rentan terpolarisasi dan dipolitisir, kami dengan tegas menolak asas ini jika dipaksakan kami akan turun jalan,” kata Rumanama, Rabu (26/12/2025).

    Dia berpendapat bahwa asas dominus litis yang memberikan kewenangan penuh kepada Kejaksaan dalam menentukan kelanjutan suatu perkara berpotensi merusak sistem penegakan hukum selama ini dan ada mobilisasi kekuatan politik dalam mempolarisasi proses penegakan hukum.

    Menurut Rumanama, selain potensi polarisasi politik asas tersebut dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara institusi dan lembaga negara, khususnya kepolisian dan kejaksaan.

    “Masalahnya kalau sekarang jaksa diberikan kesempatan itu penyelidikan dan penyidikan itu akan sangat tumpang tindih dengan polisi. Untuk tindak pidana kriminal umum, sudah benar ada di kepolisian masa harus nunggu jaksa dulu sih,” ungkapnya.

    Lebih lanjut dia mengatakan, kewenangan kejaksaan melalui asas dominus litis tidak diperlukan karena sudah ada fungsi yang sudah berjalan selama ini. Dia berpandangan, jika ada kekurangan pada institusi kepolisian, maka yang perlu diperkuat adalah fungsi kontrol dari masyarakat.

    “Kalau polisi disebut lamban dan lambat kan ada ruang ruang kritik dan kritis ada Kompolnas, jika penyelidikan dan penyidikan dianggap lemah maka kontrolnya yang harus diperkuat, bukan memindahkan kewenangan tersebut kepada institusi lain seperti kejaksaan,” imbuhnya.

    Dia curiga ada pihak yang ingin membuat institusi kepolisian hanya berperan sebagai alat pengaman di tengah masyarakat, bukan untuk menegakkan hukum. “Ini jangan bermain membuat keruh suasana dan kondisi dan melemahkan institusi negara bagaimana bisa proses pengamanan dannl kemanan tanpa penegakan hukum kan lucu,” ucapnya.

    Dia melanjutkan, penindakan pelaku kejahatan di lapangan memerlukan peran kepolisian. Dia berpendapat, sangat berisiko bila kasus kasus kriminal harus ditangani kejaksaan.

    “Ini sangat berisiko juga untuk Kejaksaan, nanti muncul kriminal berat terus bagaimana mau menyelesaikannya. Kalau polisi kan memang untuk penegakan hukum, keamanan itu sudah benar fungsi polisi,” pungkasnya.

    (rca)

  • Simpang Siur BBM Oplosan, Kerugian Negara Kasus Minyak Mentah Bisa Menggunung

    Simpang Siur BBM Oplosan, Kerugian Negara Kasus Minyak Mentah Bisa Menggunung

    Bisnis.com, JAKARTA — Isu tentang bahan bakar minyak alias BBM oplosan mengemuka ke publik di tengah proses penyidikan perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di sub holding Pertamina. 

    Di sisi lain, penyidik tindak pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) mengemukakan bahwa kerugian negara kasus minyak mentah Pertamina bisa bertambah. Apalagi kerugian negara senilai Rp193,7 triliun hanya terjadi pada tahun 2023. Sementara penyidikan kasus tersebut di mulai dari tahun 2018.

    “[Dugaan nilai kerugian keuangan negara] Rp193,7 triliun itu pada tahun 2023,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar di Gedung Kejaksaan Agung pada Rabu (26/2/2025). 

    Dia menjelaskan kerugian tersebut terdiri atas lima komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi periode 2023 sekitar Rp126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi 2023 sekitar Rp21 triliun.

    Harli mengatakan jumlah kerugian tersebut berdasarkan perkiraan sementara penyidik Kejagung bersama ahli. Meski demikian, dia memprediksi bahwa kerugian negara bisa membengkak lantaran kasus ini terjadi pada 2018–2023.

    Oleh karena itu, penyidik Kejagung akan mendalami ada atau tidaknya kompensasi dan subsidi yang diberikan oleh negara pada tahun-tahun sebelum 2023.

    “Nanti juga kami akan melihat, mendorong penyidik apakah bisa ditelusuri mulai dari 2018 ke 2023 secara akumulasi. Kami juga mengharapkan kesiapan ahli untuk melakukan perhitungan terhadap itu,” ujarnya. 

    Simpang-siur BBM Oplosan

    Adapun dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (26/2/2025) Plh. Dirut Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra mengakui telah melakukan blending dalam BBM Pertamina.

    Namun, menurutnya, proses pencampuran BBM Pertamax dengan zat aditif itu dilakukan bertujuan untuk meningkatkan performa mesin kendaraan.

    Di sisi lain, Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar menyatakan tidak dalam kapasitas mengomentari cara kerja bisnis atau teknis dari Pertamina Patra Niaga.

    Namun demikian, Qohar menekankan bahwa pihaknya mengusut setiap perkara minyak mentah ini berdasarkan fakta dan alat bukti yang telah ditemukan penyidik.

    Menurutnya, penyidik Jampidsus menemukan bahwa ada modus pencampuran Ron 90 atau di bawahnya Ron 88.

    “Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 atau dibawahnya ya 88 diblending dengan RON 92, jadi RON dengan RON,” ujar Qohar di Kejagung, Rabu (26/2/2025) malam.

    Dia menambahkan, BBM hasil pencampuran itu kemudian dipasarkan atau dijual dengan harga yang sama seperti Ron 92 atau sejenis Pertamax.

    Di samping itu, Qohar menekankan bahwa pihaknya bakal melakukan pendalaman lebih lanjut terkait dengan temuan blending tersebut.

    “Jadi hasil penyidikan saya sudah sampaikan itu, Ron 90 atau di bawahnya itu, tadi fakta yang ada di transaksi Ron 88 diblending dengan 92 dan dipasarkan seharga 92,” tegasnya.

    Tidak Ada Pengoplosan

    Sementara itu, pihak Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading PT Pertamina (Persero), menegaskan tidak ada pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) Pertamax dan Pertalite seperti yang menjadi perbincangan publik belakangan.

    Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari mengatakan kualitas Pertamax dipastikan telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah, yakni RON 92.

    “Tidak ada pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax. Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92,” kata Heppy dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).

    Heppy menyampaikan bahwa pihaknya memang melakukan treatment terhadap BBM. Namun, treatment yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) untuk membedakan produk yang satu dengan lainnya agar lebih mudah dikenali masyarakat.

    Selain itu, ada pula injeksi additive yang berfungsi untuk meningkatkan performance produk Pertamax.

    Dikatakan Heppy, Pertamina Patra Niaga melaksanakan kegiatan Quality Control dengan pengawasan ketat dan sesuai prosedur untuk memastikan kualitas produk mereka. Distribusi BBM Pertamina, lanjutnya, juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

    Heppy menjamin spesifikasi BBM yang disalurkan ke masyarakat sejak dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah.

    “Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” tambahnya.

  • Kejagung Ungkap Peran 2 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Minyak Mentah

    Kejagung Ungkap Peran 2 Tersangka Baru di Kasus Korupsi Minyak Mentah

    loading…

    Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar dan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar (kanan) dalam jumpa pers di Kejagung. Foto/Danandaya

    JAKARTA Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 2 tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Tahun 2018-2023. Adapun dua tersangka baru ini yakni Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga Pertamina Patra Niaga dan Edward Corne selaku VP Trading Operation Pertamina Patra Niaga.

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar menjelaskan, dalam perkara ini Maya dan Edward melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 atas persetujuan tersangka RS. Sehingga, hal itu menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang.

    “Kemudian tersangka MK memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada tersangka EC untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 (premium) dengan RON 92 (pertamax) di terminal (storage) PT Orbit Terminal Merak milik tersangka MKAR dan tersangka GRJ atau yang dijual dengan harga RON 92,” kata Qohar dikutip Kamis (27/2/2025).

    “Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core business PT Pertamina Patra Niaga,” sambung dia.

    Selanjutnya, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung (harga yang berlaku saat itu). Padahal, kata dia, metode pembayaran yang seharusnya digunakan adalah term atau pemilihan langsung (waktu berjangka) sehingga diperoleh harga wajar.

    Alhasil, PT Pertamina Patra Niaga membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha atau DMUT. “Tersangka MK dan tersangka EC mengetahui dan menyetujui adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, sehingga PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee sebesar 13 persen sampai dengan 15 secara melawan hukum,” ujar dia.

    “Dan fee tersebut diberikan kepada tersangka MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan Tersangka DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa,” imbuhnya.

    Sebagai informasi, dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan 9 orang sebagai tersangka. Tujuh tersangka yang lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.

    YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shiping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International, MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, ⁠DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan ⁠YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.

    Dalam kasus ini, Kejagung menyebutkan total kerugian keuangan negara mencapai Rp193,7 triliun.

    (rca)

  • Kejagung: Kerugian Rp193,7 Triliun di Korupsi Pertamina Hanya pada 2023

    Kejagung: Kerugian Rp193,7 Triliun di Korupsi Pertamina Hanya pada 2023

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan  kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina (Persero) hanya total kerugian pada tahun 2023.

    “[Dugaan nilai kerugian keuangan negara] Rp193,7 triliun itu pada tahun 2023,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar di Gedung Kejaksaan Agung pada Rabu (26/2/2025). 

    Dia menjelaskan kerugian tersebut terdiri atas lima komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun, kerugian impor minyak mentah melalui broker sekitar Rp2,7 triliun, kerugian impor BBM melalui broker sekitar Rp9 triliun, kerugian pemberian kompensasi periode 2023 sekitar Rp126 triliun, dan kerugian pemberian subsidi 2023 sekitar Rp21 triliun.

    Harli mengatakan jumlah kerugian tersebut berdasarkan perkiraan sementara penyidik Kejagung bersama ahli. Meski demikian, dia memprediksi bahwa kerugian negara bisa membengkak lantaran kasus ini terjadi pada 2018–2023.

    Oleh karena itu, penyidik Kejagung akan mendalami ada atau tidaknya kompensasi dan subsidi yang diberikan oleh negara pada tahun-tahun sebelum 2023.

    “Nanti juga kami akan melihat, mendorong penyidik apakah bisa ditelusuri mulai dari 2018 ke 2023 secara akumulasi. Kami juga mengharapkan kesiapan ahli untuk melakukan perhitungan terhadap itu,” ujarnya. 

    Sebelumnya, Kejagung merespons soal pernyataan pihak Pertamina Patra Niaga yang menyatakan tidak mengoplos bahan bakar Pertamax.

    Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (26/2/2025). Plh. Dirut Pertamina Patra Niaga Mars Ega Legowo Putra menyatakan telah melakukan blending dalam BBM Pertamina.

    Namun, menurutnya, proses pencampuran BBM Pertamax dengan zat aditif itu dilakukan bertujuan untuk meningkatkan performa mesin kendaraan.

    Merespons hal tersebut, Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar menyatakan tidak dalam kapasitas mengomentari cara kerja bisnis atau teknis dari Pertamina Patra Niaga.

    Namun demikian, Qohar menekankan bahwa pihaknya mengusut setiap perkara minyak mentah ini berdasarkan fakta dan alat bukti yang telah ditemukan penyidik.

    Menurutnya, penyidik Jampidsus menemukan bahwa ada modus pencampuran Ron 90 atau di bawahnya Ron 88.

    “Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 atau dibawahnya ya 88 diblending dengan RON 92, jadi RON dengan RON,” ujar Qohar di Kejagung, Rabu (26/2/2025) malam.

    Dia menambahkan, BBM hasil pencampuran itu kemudian dipasarkan atau dijual dengan harga yang sama seperti Ron 92 atau sejenis Pertamax.

    Di samping itu, Qohar menekankan bahwa pihaknya bakal melakukan pendalaman lebih lanjut terkait dengan temuan blending tersebut.

    “Jadi hasil penyidikan saya sudah sampaikan itu, Ron 90 atau di bawahnya itu, tadi fakta yang ada di transaksi Ron 88 diblending dengan 92 dan dipasarkan seharga 92,” pungkasnya.

  • Pertamax Periode 2018-2023 Hasil Oplosan?

    Pertamax Periode 2018-2023 Hasil Oplosan?

    Pertamax Periode 2018-2023 Hasil Oplosan?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung menegaskan adanya temuan
    Pertamax
    yang dioplos dalam konstruksi kasus dugaan
    korupsi tata kelola minyak mentah
    dan produk kilang pada PT
    Pertamina
    Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menegaskan temuan adanya pengoplosan atau blending Pertamax ini ditemukan penyidik berdasarkan alat bukti yang terkumpul.
    Penegasan itu disampaikan Qohar untuk membantah pembelaan PT
    Pertamina Patra Niaga
    bahwa tidak ada praktik
    blending
    Pertamax dengan jenis lain yang lebih rendah.
    “Tetapi penyidik menemukan tidak seperti itu. Ada RON 90 (Pertalite) atau di bawahnya 88 di-
    blending
    dengan 92 (Pertamax). Jadi RON dengan RON sebagaimana yang sampaikan tadi,” katanya di Kantor
    Kejagung
    , Rabu (26/2/2025).
    Dia mengatakan, temuan ini juga diperkuat oleh keterangan saksi yang diperiksa penyidik.
    Bahkan, menurut Qohar, bahan bakar minyak (BBM) oplosan tersebut dijual dengan harga Pertamax.
    “Jadi hasil penyidikan, tadi saya sampaikan itu. RON 90 atau di bawahnya itu tadi fakta yang ada, dari keterangan saksi RON 88 di-
    blending
    dengan (RON) 92. Dan dipasarkan seharga (RON) 92,” ujar Qohar.
    Terkait kepastian hal ini, pihaknya akan meminta ahli untuk meneliti hal tersebut.
    “Nanti ahli yang meneliti. Tapi fakta-fakta alat bukti yang ada seperti itu. Keterangan saksi menyatakan seperti itu,” kata Qohar.
    PT Pertamina Patra Niaga sebelumnya membantah temuan Kejagung terkait adanya pengoplosan Pertamax dan Pertalite dalam pengadaan dan pendistribusian bahan bakar minyak (BBM) untuk masyarakat.
    Pelaksana Tugas Harian (Plh) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, memastikan bahwa produk BBM yang dijual di SPBU sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan untuk masing-masing produk.
    “Dengan tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan, izin kami memberikan penjelasan terkait isu yang berkembang di masyarakat, khususnya soal kualitas BBM RON 90 dan RON 92,” kata Ega dalam rapat bersama Komisi XII DPR RI di Gedung DPR RI, Rabu (26/2/2025).
    “Kami berkomitmen dan kami berusaha memastikan bahwa yang dijual di SPBU untuk RON 92 adalah sesuai dengan RON 92, yang RON 90 sesuai dengan RON 90,” ujarnya lagi.
    Ega menjelaskan bahwa Pertamina Patra Niaga memeroleh pasokan bensin dari dua sumber, yakni kilang dalam negeri dan pengadaan dari luar negeri.
    Menurut dia, baik Pertalite (RON 90) maupun Pertamax (RON 92) sudah diterima dalam bentuk akhir sesuai dengan standar masing-masing.
    “Kami menerima itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak dalam bentuk RON lainnya. Jadi, untuk Pertalite kita sudah menerima produk, baik dari kilang maupun dari luar negeri, itu adalah bentuk RON 90,” kata Ega.
    “Untuk 92 juga sudah dalam bentuk RON 92, baik dari kilang Pertamina maupun pengadaan dari luar negeri,” ujarnya lagi.
    Namun, Ega mengakui adanya proses tambahan aditif pada BBM jenis Pertamax. Hanya saja, penambahan zat tersebut bukan berarti terjadi pengoplosan dengan Pertalite.
    Sebab, BBM RON 90 dan 92 yang diterima Pertamina masih dalam kategori
    best fuel
    dan tanpa memiliki tambahan aditif apa pun.
    “Di Patra Niaga, kita terima di terminal itu sudah dalam bentuk RON 90 dan RON 92, tidak ada proses perubahan RON. Tetapi yang ada untuk Pertamax, kita tambahan aditif. Jadi di situ ada proses penambahan aditif dan proses penambahan warna,” ungkap Ega.
    Ega menekankan bahwa proses injeksi tersebut adalah proses umum dalam industri minyak untuk meningkatkan kualitas produk.
    “Proses ini adalah proses injeksi
    blending
    . Proses
    blending
    ini adalah proses yang umum dalam produksi minyak yang merupakan bahan cair. Ketika kita menambahkan proses blending ini, tujuannya adalah untuk meningkatkan nilai daripada produk tersebut,” kata Ega.
    “Jadi
    best fuel
    RON 92 ditambahkan aditif agar ada
    benefit
    -nya, penambahan
    benefit
    untuk performa dari produk-produk ini,” ujarnya lagi.
    Setelah melakukan penggeledahan dan pemeriksaan kepada para saksi, Kejagung kembali menetapkan dua orang tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi minyak mentah.
    Tak tanggung-tanggung, dua tersangka itu merupakan petinggi sekaligus anak buah Riva Siahaan, Direktur Utama PT Pertamina Niaga.
    Kedua tersangka baru ini adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.
    Maya dan Edward juga terlibat dalam proses perencanaan serta pelaksanaan
    blending
    atau pengoplosan Pertamax alias RON 92 dengan minyak mentah yang lebih rendah kualitasnya.
    “Kemudian, tersangka MK memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada EC untuk melakukan blending produk kilang pada jenis RON 88 dengan RON 90 agar dapat menghasilkan RON 92,” jelas Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kartika Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (26/2/2025).
    Pengoplosan ini terjadi di terminal PT Orbit Terminal Merak yang merupakan milik tersangka MKAR, Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka GRJ yang merupakan Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Atas persetujuan dari tersangka, Riva Siahaan (RS), Maya dan Edward melakukan pembelian RON 90 atau yang lebih rendah dengan harga RON 92.
    Minyak yang dibeli ini kemudian dioplos oleh kedua tersangka sehingga menjadi RON 92 alias Pertamax.
    “Tersangka MK dan EC atas persetujuan tersangka RS melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai dengan kualitas barang,” kata Qohar.
    Proses pembelian dan pengoplosan yang dilakukan oleh kedua tersangka ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan tata cara bisnis PT Pertamina Patra Niaga.
    Lebih lanjut, Maya dan Edward disebut melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode pemilihan penunjukan langsung. Padahal, metode pembayaran bisa dilakukan dengan term atau dalam jangka panjang yang harganya dibilang wajar.
    “Tetapi, dalam pelaksanaannya menggunakan metode spot atau penunjukan langsung harga yang berlaku saat itu sehingga PT
    Pertamina Patra niaga
    membayar impor produk kilang dengan harga yang tinggi kepada mitra usaha,” ujar Qohar.
    Tak hanya itu, Maya dan Edward juga disebut mengetahui serta menyetujui
    mark up
    atau penggelembungan harga kontrak
    shipping
    atau pengiriman yang dilakukan oleh tersangka JF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping.
    Akibatnya, PT Pertamina Patra Niaga harus mengeluarkan biaya atau fee senilai 13-15 persen secara melanggar hukum yang akhirnya memberikan keuntungan kepada tersangka MKAR dan tersangka DW.
    Atas perbuatan, Maya, Edward, dan tujuh orang tersangka lainnya, negara mengalami kerugian hingga Rp 193,7 triliun.
    Namun Kejagung meminta publik tidak panik.  Sebab, praktik pengoplosan itu diduga terjadi dalam rentang kasus dugaan korupsi ini berlangsung, yaitu antara 2018-2023.
    Artinya, Pertamax yang beredar dan dikonsumsi masyarakat di tahun 2024 ke atas sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.
    “Jadi, jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah minyak yang digunakan sekarang itu adalah minyak oplosan. Nah, itu enggak tepat,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu.
    Harli menjelaskan, berdasarkan hasil temuan sementara, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan membeli dan membayar minyak RON 92.
    Namun, minyak yang datang justru jenis RON 90 dan 88.
    “Fakta hukum yang sudah selesai (peristiwanya) bahwa RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga itu melakukan pembayaran terhadap pembelian minyak yang RON 92, berdasarkan
    price list
    -nya. Padahal, yang datang itu adalah RON 88 atau 90,” kata Harli.
    Saat ini, penyidik juga masih mendalami apakah minyak RON 88 dan RON 90 yang dibeli pada tahun 2018-2023, langsung didistribusikan kepada masyarakat atau tidak.
    “Kami kan harus mengkaji berdasarkan bantuan ahli. Misalnya, kalau yang datang RON 90, RON 90 itu kan Pertalite. Nah, apakah Pertalite ini juga sewaktu diimpor langsung didistribusi?” ujar Harli.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kecewanya Warga Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Hendak Berpaling ke SPBU Lain
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        27 Februari 2025

    Kecewanya Warga Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Hendak Berpaling ke SPBU Lain Megapolitan 27 Februari 2025

    Kecewanya Warga Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Hendak Berpaling ke SPBU Lain
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com 
    – Dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga menimbulkan kegeraman dan kekecewaan warga. 
    Bagaimana tidak, warga rela merogoh kocek lebih demi mendapatkan BBM yang lebih berkualitas. Namun, ternyata kualitasnya sama dengan BBM bersubsidi. 
    Rafi (25), warga Pancoran, Jakarta Selatan, misalnya, sengaja mengisi Pertamax untuk motornya dengan harapan mesin lebih awet.
    Selain itu, ia langganan Pertamax karena ingin membantu pemasukan negara dengan tidak pakai BBM bersubsidi.
    Oleh karenanya, Rafi merasa begitu kecewa dengan adanya dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax.
    “Sebenci-bencinya sama kebijakan negara, pasti di lubuk hati terdalam masih pengen
    support
    punya negeri sendiri. Tapi dengan kejadian kayak gini, sangat kecewa,” kata Rafi, Rabu (26/2/2025).
    Senada, Luthfa (22), warga Jakarta Timur juga menggunakan Pertamax yang dia anggap lebih berkualitas dengan harapan mesin motornya lebih awet. 
    Luthfa menyebut, ia menghabiskan Rp 50.000-Rp 60.000 setiap minggu untuk membeli Pertamax. Namun, yang ia dapat justru kekecewaan.
    “Kecewa banget sih karena kan gue bayar lebih ya, gue
    expect
    kualitas yang lebih jugalah,” kata dia.
    Merasa kecewa dan kapok, warga pun berencana beralih membeli BBM di SPBU swasta. 
    “Kayaknya kalau pengin nyari bensin dengan kualitas serupa Pertamax, mending sekalian ke SPBU lain deh yang udah pasti-pasti,” kata Luthfa.
    Terlebih, sebelum isu korupsi di lingkungan Pertamina mencuat, Luthfa sudah beberapa kali membeli BBM di SPBU swasta.
     
    “Sekarang ditambah sama berita pengoplosan ini, bikin gue makin yakin buat sepenuhnya cabut dari Pertamina,” kata dia.
    Rafi juga mengatakan hal serupa. Dia yang bertahun-tahun langganan Pertamax mulai mempertimbangkan untuk beralih.
    “Ke depan kayaknya bakal beli di swasta aja. Lebih aman dan terjamin, plus secara servis orangnya ramah ramah. Toh harganya cuman beda berapa ratus perak aja,” kata Rafi.
    Sementara, Putra (35), warga Kebagusan, Jakarta Selatan mempertanyakan moral para tersangka yang terlibat kasus dugaan pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax ini.
    “Memangnya tidak malu mengambil uang dari hasil keringat rakyat? Giliran sudah jadi tersangka, muka kalian malah lesu,” ujar Putra dengan kesal saat dihubungi
    Kompas.com,
    Rabu (26/2/2025).
    Sebagai pengguna Pertamax selama bertahun-tahun, menurut Putra, kasus pengoplosan ini mencerminkan betapa parahnya kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini.
    Oleh karena itu, Putra menyarankan agar pemerintah pusat bekerja lebih ekstra. Sebab, tanggung jawab sepenuhnya ada di pundak pemerintah.
    “Kasihan masyarakat mulu yang dirugikan. Kaum atas malah ketawa-ketiwi,” kata dia.
    Sementara, Rizky Widyanto (28), warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan sudah tujuh tahun menggunakan Pertamax untuk motor Honda PCX miliknya.
    Alasannya, dia ingin membantu negara dengan tidak menggunakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Pertalite. Namun, Rizky kecewa begitu mengetahui dugaan pengoplosan Pertalite jadi Pertamax.
    Niat baiknya menggunakan bahan bakar berkualitas justru dikhianati oleh para tersangka dalam kasus tersebut yang memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan rakyat.
    Rizky pun merasa rugi menggunakan Pertamax sejak 2018 lalu. Padahal, dalam satu pekan dia mengeluarkan uang senilai Rp 100.000 hingga Rp 200.000 untuk mengisi bahan bakar.
    “Niatnya (juga) biar lebih enak dan kencang saja nih motor, pakai Pertamax. Eh enggak tahunya sugesti doang,” kata Rizky.
    Adapun sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
    Melansir keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “di-
    blending
    ” atau dioplos menjadi Pertamax. Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).
    “Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
    Dalam perkara ini, ada enam tersangka lain yang turut ditetapkan. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
    Lalu, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Pada Rabu (26/2/2025), Kejagung menetapkan dua tersangka baru, yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya dan Edward Corner, VP trading operation PT Pertamina Patra Niaga.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Total 9 Tersangka Kasus Korupsi Pertamina Patra Niaga yang Rugikan Negara Rp193,7 Triliun

    Total 9 Tersangka Kasus Korupsi Pertamina Patra Niaga yang Rugikan Negara Rp193,7 Triliun

    loading…

    Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sebanyak sembilan tersangka dalam kasus korupsi PT Pertamina Patra Niaga. Foto/SindoNews

    Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya (MK) dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne (EC) menjadi tersangka baru kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero).

    Total, Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sebanyak sembilan tersangka dengan perannya masing-masing pada kasus tersebut.

    “Sampai dengan saat ini pascapenahanan kepada 7 tersangka telah dilakukan pemeriksaan saksi terhadap dua orang Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar, Rabu (26/2/2025).

    “Kedua, dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka Edward Corner, selaku Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga,” sambungnya.

    Berdasarkan pemeriksaan, Abdul Qohar menjelaskan kedua orang itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama tersangka lain. Sehingga, statusnya pun diubah dari saksi menjadi tersangka, dan dilakukan pemeriksaan kembali.

    “Kemudian 2 tersangka tersebut setelah dilakukan pemeriksaan secara marathon mulai jam 3 sampai saat ini, penyidik menemukan bukti yang cukup bahwa kedua tersangka melakukan tindak pidana bersama sama dengan 7 tersangka yang kemarin telah kami sampaikan,” katanya.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar mengatakan, keduanya terbukti berperan dalam melakukan tindak pidana korupsi bersama tujuh orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya.

    “Tersangka MK dan Tersangka EC atas persetujuan Tersangka RS (Riva Siahaan) melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92 sehingga menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi tidak sesuai dengan kualitas barang,” katanya.

  • Lengkap! Daftar 9 Tersangka Korupsi Pertamina, Ada 2 Nama Baru

    Lengkap! Daftar 9 Tersangka Korupsi Pertamina, Ada 2 Nama Baru

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menahan dua tersangka baru terkait perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) yang rugikan negara Rp193,7 triliun. 

    Dirdik Jampidsus Kejagung RI Abdul Qohar menjelaskan kronologi penjemputan paksa dua pejabat PT Pertamina Patra Niaga terkait perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang.

    Dua tersangka baru yang ditahan Kejagung, yakni Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya (MK) dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne (EC).

    Qohar mengatakan mulanya penyidik telah menjadwalkan bakal memeriksa Maya dan Edward pukul 10.00 WIB. Hanya saja, hingga pukul 14.00 WIB, keduanya tak kunjung hadir dalam pemeriksaan oleh penyidik Jampidsus Kejagung RI.

    “Jadi kedua tersangka itu kita panggil dengan patut jam 10.00 WIB, namun demikian sampai jam 14.00 WIB yang bersangkutan belum hadir,” ujarnya di Kejagung, Rabu (26/2/2025) malam.

    Berdasarkan hal tersebut, Qohar menyatakan bahwa pihaknya perlu melakukan upaya penjemputan paksa terhadap Maya dan Edward di kantornya.

    “Sehingga kita terpaksa menjemput yang bersangkutan di kantor, di kantor yang bersangkutan,” pungkasnya.

    Kemudian, Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar menyampaikan bahwa penyidik langsung melakukan pemeriksaan secara maraton terhadap keduanya.

    Singkatnya, setelah mengantongi keterangan dan langsung melakukan gelar perkara. Hasilnya, Maya dan Edward ditetapkan sebagai tersangka.

    “Maka penyidik berketetapan terhadap kedua orang saksi ini dinyatakan sebagai tersangka,” tutur Harli.

    Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Maya dan Edward sama-sama dijebloskan ke Rutan Salemba Kejagung selama 20 hari mulai dari  untuk keperluan penyidikan.

    Perbuatan Riva Siahaan Cs ini dikategorikan menjadi kasus mega korupsi lantaran memiliki kerugian yang ditaksir mencapai Rp193,7 triliun.

    Ratusan triliun itu dihitung berdasarkan kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sekitar Rp35 triliun dan kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.

    Kemudian, kerugian impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; Kerugian pemberian kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; dan kerugian pemberian subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

    Adapun, Kejagung hingga saat ini masih menghitung kerugian negara secara riil bersama dengan ahli dan pihak terkait lainnya seperti BPKP.

    Berikut nama 9 tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) 

    Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS)
    Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF)
    Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR)
    VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International Agus Purwono (AP)
    Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo (GRJ)
    Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS)
    Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW)
    Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya (MK)
    VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne (EC)