Kementrian Lembaga: Kejaksaan

  • RKUHAP, Pakar Hukum Tekankan Ada Keseimbangan dalam Sistem Peradilan Pidana

    RKUHAP, Pakar Hukum Tekankan Ada Keseimbangan dalam Sistem Peradilan Pidana

    loading…

    FGD Membedah RKUHAP: Implikasi dan Tantangan dalam Penegakan Hukum di Indonesia yang diselenggarakan Koalisi Indonesia Anti Korupsi di Jakarta, Jumat (21/3/2025). Foto/Dok. SindoNews

    JAKARTA – Adanya tumpang tindih kewenangan dalam RKUHAP menjadi sorotan banyak pihak. Integritas sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai dapat terganggu.

    Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra mengatakan, di dalam RKUHAP belum ada keserasian dan keseimbangan wewenang antar aparat penegak hukum. Dengan demikian, seharusnya memang RKUHAP ada sedikit pembaharuan.

    Menurutnya, KUHAP baru mengandung banyak perbaikan, namun hal-hal esensial yang harus disikapi dan diperhatikan. Misalnya terkait prosedur dan batasan koordinasi penyidik dan jaksa penuntut umum. Karena selama ini yang terjadi hanya koordinasi formal.

    ”Misalnya, pada kasus salah satu pimpinan KPK, sudah ditetapkan tersangka oleh kepolisian, namun kasusnya tertahan d kejaksaan dan tidak pernah digelar persidangan,” katanya dalam acara focus group discussion dengan tema Membedah RKUHAP: Implikasi dan Tantangan dalam Penegakan Hukum di Indonesia yang diselenggarakan Koalisi Indonesia Anti Korupsi di Jakarta, Jumat (21/3/2025).

    Azmi menjelaskan, sistem peradilan pidana yang mau dituju diletakkan atas prinsip difrensiasi fungsional. Alasannya, sebenarnya maksud UU adalah gabungan fungsi untuk menegakkan fungsi, menjalankan, dan memutuskan hukum pidana.

    “Jadi dalam RKUHAP harus ada keseimbangan, jangan sampai terjadi rebut merebut dan tumpang tindih kewenangan akibat tidak klik dan tidak terpadunya RKUHAP sebagai satu kesatuan Sistem Peradilan Pidana,” ujarnya.

    Dalam forum yang sama, Guru Besar Universitas Djuanda Henny Nuraeny juga menyoroti dalam RKUHAP terdapat kedudukan yang tidak sejajar antarlembaga penegak hukum . Bahkan mengarah pada dominasi aparat penegak hukum tertentu.

    Henny mengatakan, reformasi perubahan KUHAP dalam perjalanannya memunculkan kritik dari berbagai pihak terutama dalam proses penyidikan. Adanya perbedaan penafsiran seolah-olah aparat penegak hukum dalam RKUHAP kedudukannya tidak sejajar, tidak seimbang, tidak sebanding.

    ”Padahal, seyogyanya aparat penegak hukum itu harus selaras, serasi, dan berimbang kalau menurut hukum. Jadi, tidak boleh kalau satu mengatakan satu lebih dan satu di bawah,” terangnya.

    Acara tersebut juga dihadiri Direktur Eksekutif Koalisi Indonesia Anti Korupsi Rizki Abdul Rahman Wahid, Korpresnas Koalisi Indonesia Muda Onky Fachrur Rozie serta para akademisi, pakar hukum, dan mahasiswa lintas perguruan tinggi di Jakarta.

    (poe)

  • Kementerian PKP Serahkan Hasil Pemeriksaan Dugaan Penyimpangan Proyek Perumahan Eks Timor Timur

    Kementerian PKP Serahkan Hasil Pemeriksaan Dugaan Penyimpangan Proyek Perumahan Eks Timor Timur

    Beberapa temuan teknis yang menjadi perhatian utama meliputi, fondasi bangunan yang tidak kokoh, penggunaan alat sondir yang tidak optimal, pemaksaan pembangunan di atas tanah labil tanpa perkuatan yang memadai.

    “Secara struktural, tidak hanya material bangunan yang menjadi perhatian, tetapi juga keseluruhan desain konstruksi,” bebernya.

    Ia mengatakan analisis dari tim Universitas Nusa Cendana menunjukkan adanya kelemahan dalam konstruksi yang berpotensi menimbulkan risiko jangka panjang bagi penghuni.

    Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan komitmennya untuk menyediakan hunian yang layak bagi masyarakat. Namun, permasalahan teknis dan dugaan penyimpangan yang ditemukan di lapangan menjadi dasar bagi kementerian untuk menyerahkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi NTT.

    “Proses hukum harus dilakukan secara cermat berdasarkan bukti yang cukup. Evaluasi lebih lanjut akan menentukan apakah kasus ini memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti secara hukum,” katanya.

    Pemerintah menegaskan bahwa proyek pembangunan perumahan harus memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, dengan tetap memastikan kualitas konstruksi yang sesuai dengan standar.

    Ke depannya, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman akan memperketat pengawasan serta meningkatkan standar kualitas guna mencegah permasalahan serupa di proyek-proyek p

  • Kementerian PKP Serahkan Hasil Pemeriksaan Dugaan Penyimpangan Proyek Perumahan Eks Timor Timur

    Kementerian PKP Serahkan Hasil Pemeriksaan Dugaan Penyimpangan Proyek Perumahan Eks Timor Timur

    Beberapa temuan teknis yang menjadi perhatian utama meliputi, fondasi bangunan yang tidak kokoh, penggunaan alat sondir yang tidak optimal, pemaksaan pembangunan di atas tanah labil tanpa perkuatan yang memadai.

    “Secara struktural, tidak hanya material bangunan yang menjadi perhatian, tetapi juga keseluruhan desain konstruksi,” bebernya.

    Ia mengatakan analisis dari tim Universitas Nusa Cendana menunjukkan adanya kelemahan dalam konstruksi yang berpotensi menimbulkan risiko jangka panjang bagi penghuni.

    Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menegaskan komitmennya untuk menyediakan hunian yang layak bagi masyarakat. Namun, permasalahan teknis dan dugaan penyimpangan yang ditemukan di lapangan menjadi dasar bagi kementerian untuk menyerahkan kasus ini ke Kejaksaan Tinggi NTT.

    “Proses hukum harus dilakukan secara cermat berdasarkan bukti yang cukup. Evaluasi lebih lanjut akan menentukan apakah kasus ini memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti secara hukum,” katanya.

    Pemerintah menegaskan bahwa proyek pembangunan perumahan harus memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, dengan tetap memastikan kualitas konstruksi yang sesuai dengan standar.

    Ke depannya, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman akan memperketat pengawasan serta meningkatkan standar kualitas guna mencegah permasalahan serupa di proyek-proyek p

  • Sejumlah Pakar Soroti Isu yang Mengarah pada Upaya Pelemahan Kejagung, Singgung soal ‘Pembegalan’ – Halaman all

    Sejumlah Pakar Soroti Isu yang Mengarah pada Upaya Pelemahan Kejagung, Singgung soal ‘Pembegalan’ – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sejumlah pakar menyoroti isu-isu yang mengarah pada upaya pelemahan Kejaksaan Agung (Kejagung), khususnya dalam menangani tindak pidana korupsi.

    Isu tersebut mulai dari framing berita atau opini yang menyudutkan Kejagung, pembunuhan karakter Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jampidsus termasuk isu revisi UU KUHAP yang disebut menghapus kewenangan jaksa dalam menyidik perkara korupsi.

    “Terkejut, ini memprihatinkan di tengah kerja Kejagung yang produktif menangani kasus korupsi. Tentu banyak yang resah, ini harus diperjuangkan agar kewenangan Kejaksaan sidik tipikor tidak dipreteli,” kata pakar hukum pidana Universitas Nasional Ismail Rumadan melalui pernyataannya, Jumat (21/3/2025).

    Menurut peneliti pada Pusat Hukum BRIN ini, keresahan publik cukup berasalan mengingat saat ini Kejagung jadi tumpuan harapan penegakan hukum.

    Kejagung, kata dia, dipercaya publik serta dinilai berprestasi karena berhasil mengungkap kasus-kasus megakorupsi.

    “Karena itu publik tidak ingin Kejagung bernasib sama seperti KPK yang dilemahkan melalui revisi UU, pintu revisi itu efektif lemahkan lembaga,” ujarnya.

    Dalam draf RUU KUHAP Pasal 6 tentang penyidik berikut penjelasannya, jaksa menjadi “Penyidik Tertentu” yang kewenangannya terbatas menyidik kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat. 

    Jaksa tidak lagi berwenang menyidik kasus tindak pidana korupsi.

    Meski belakangan Komisi III DPR RI selaku inisiator revisi UU meluruskan informasi yang beredar bahwa draf tersebut bukanlah draf hasil akhir, upaya membatasi atau menghapus kewenangan jaksa tetap saja tidak bisa diabaikan begitu saja.

    Apalagi sejauh ini ada dua draf dengan subtansi berbeda serta membuat publik bingung draf mana yang dibahas oleh DPR.

    “Saya kira prosesnya perlu lebih transparan di mana publik bisa akses dan terlibat secara partisipatif. Mungkin saja pikiran untuk membatasi kewenangan jaksa memang ada sehingga memicu reaksi dari banyak kalangan,” ucapnya.

    Ismail mengatakan, jika draf yang membatasi kewenangan jaksa benar adanya, ia minta agar sebaiknya dikaji kembali. Bahkan dia meminta agar ini ditolak.

    “Sebaiknya rumusan tersebut dikaji kembali. Karena korupsi masih menjadi musuh bersama, sehingga perlu banyak energi untuk memberantasnya. Untuk itu, penyidik kejaksaan masih sangat diperlukan untuk menyidik tipikor,” katanya.

    Mantan Dekan Fakultas Hukum Unas ini tidak setuju bila kewenangan kejaksaan dihapus dalam revisi KUHAP.

    “Penyidik kejaksaan dalam tipikor sangat produktif. Rumusan KUHAP hendaknya memperbaiki kelemahan dalam penyidikan tipikor. Bukan mengurangi kewenangan lembaga,” katanya.

    Penghapusan Kewenangan Kejaksaan sebagai Bentuk Pembegalan

    Terpisah pakar pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menyebut penghapusan kewenangan kejaksaan sebagai bentuk pembegalan.

    “Undang-Undang yang bersangkutan itu, misalnya UU Kejaksaan memberi kewenangan menyidik dan menuntut perkara korupsi dan HAM. Tapi kenapa dalam penjelasan (RUU KUHAP) malah dihilangkan? Itu kan ada begal. Pembegalan itu namanya,” katanya.

    Menurut Hibnu, dengan pertimbangan dominis litis ataupun redistribusi kewenangan, tidak mungkin kejaksaan hanya berada di kewenangan penuntutan saja.

    Dalam pandangannya, hal demikian itu merupakan bagian dari politik hukum.

    “Sudah ada dasar putusan Mahkamah Konstitusi, karena jaksa itu merupakan cermin penegakan hukum. Kalau itu dicabut, rontok itu penegakan hukum korupsi,” paparnya.

    Hibnu mengatakan, ada pemahaman yang keliru dalam draf penjelasan revisi KUHAP, yang menghapus kewenangan kejaksaan untuk menyidik perkara korupsi. 

    Dijelaskannya, selama ini penyidik itu ada yang berasal dari polisi, jaksa, KPK, bahkan penyidik yang berasal dari PPNS.

    Lagipula, lanjutnya, masalah kewenangan jaksa menjadi penyidik sudah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebanyak empat kali. 

    Hasilnya MK selalu menolak gugatan itu. 

    “Artinya, sebetulnya ada keputusan pembuat undang-undang waktu itu merespon putusan MK yang sudah ada, putusan MK yang memenangkan kejaksaan dalam penyidik tertentu. Jadi terminologi penyidik tertentu adalah penyidik yang diberikan oleh UU yang sudah sebelumnya. Misalnya UU KPK, UU Kejaksaan, UU AL,” ujar Hibnu.

  • Dukung Instruksi Prabowo, Hercules Larang GRIB Jaya Minta THR Lebaran

    Dukung Instruksi Prabowo, Hercules Larang GRIB Jaya Minta THR Lebaran

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya, Hercules Rosario Marshal mendukung instruksi Presiden Prabowo Subianto agar organisasi masyarakat (ormas) tidak melakukan pungutan liar (pungli) berkedok THR lebaran. Apalagi, kata Hercules, GRIB Jaya merupakan salah organisasi pendukung Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka.

    “Saya bilang, ormas ini termasuk salah satu pendukung pemenang Pilpres 2024, Bapak Presiden kita. Pak Prabowo dan Pak Gibran menjadi wakil dan presidennya Pak Prabowo. Jadi tolong dijaga Ormas ini dengan baik-baik,” ujar Hercules di sela-sela acara Pramilad GRIB Jaya di Hotel Acacia, Kramat Raya, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).

    Karena itu, Hercules melarang kader GRIB Jaya meminta tunjangan hari raya (THR) jelang Lebaran Idulfitri 2025 ke tempat usaha atau industri. Menurut dia, jika membutuhkan dana, maka sebaiknya komunikasikan dengan teman-teman dalam organisasi.

    “Saya larang keras untuk bikin proposal. Saya larang keras GRIB untuk meminta-minta (THR). Tetapi kalau memang kamu mau minta, teman kamu sendiri, sahabat kamu sendiri pengusaha, kamu datang, ‘brother, aku mau bikin kegiatan ini, aku minta di-support’,” tandas Hercules.

    Lebih lanjut, Hercules mengatakan pihaknya akan bertindak tegas terhadap kader yang tetap mengajukan proposal permohonan THR atas nama organisasi. Dia bahkan memastikan akan mencopot pimpinan daerah yang melanggar aturan tersebut.

    “Saya larang keras untuk bikin proposal. Kalau ketua DPD, ketua DPC bikin proposal, aku minta langsung dipecat,” tegas Hercules.

    Hercules kembali menekankan bahwa GRIB Jaya merupakan salah satu organisasi masyarakat yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024. Dia meminta seluruh kader menjaga nama baik organisasi serta citra Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

    “Tetapi saya menjamin, saya ketua umum ormas GRIB, dan ormas ini juga pak presiden tahu. Pak presiden tahu, dan kalau bahasa saya, saya katakan ormas ini berbau nama presiden. Artinya Pak Prabowo tahu. Jadi saya mohon ke anggota saya, anak buah saya, tolong dijaga,” imbuh dia.

    Dalam kesempatan yang sama, Hercules mengumumkan bahwa GRIB Jaya akan menggelar perayaan hari jadi atau milad pada April mendatang. Acara tersebut akan digelar di Arena Gelora Senayan, Jakarta Pusat, dengan perkiraan kehadiran sekitar 20.000 anggota. Hercules juga mengatakan pihaknya akan mengundang Presiden Prabowo hadir di acara milad GRIB Jaya tersebut.

    “Beliau (Prabowo) itu kan presiden dan sangat sibuk. Baru menjadi presiden, belum ada 7 bulan. Tetapi kita akan coba, kita kirim undangan. Mudah-mudahan beliau tidak ada halangan, biar datang,” pungkas Hercules.

    Diketahui, Presiden Prabowo Subianto sudah memerintahkan TNI, Polri hingga kejaksaan untuk memberantas organisasi kemasyarakatan (ormas) yang melakukan pungutan liar (pungli), termasuk di kawasan industri. Perintah Prabowo itu disampaikan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan.

    “Presiden perintahkan untuk tadi perintahkan TNI, Polri dan Kejaksaan untuk melihat seperti itu,” ujar Luhut di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (19/3/2025).

    Luhut memastikan pemerintah akan bertindak tegas terkait pungli, termasuk dengan modus meminta THR lebaran yang dilakukan Ormas. Ia mengatakan bakal dipelajari dengan baik. “Pokoknya harus tertib,” kata Luhut.

  • Gelombang Demo di Turki Usai Rival Erdogan Ditahan

    Gelombang Demo di Turki Usai Rival Erdogan Ditahan

    Jakarta

    Penahanan Wali Kota Istanbul, Ekrem Imamoglu, yang merupakan rival politik utama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memicu gelombang demo. Penahanan Imamoglu dikecam sebagai ‘kudeta’ oleh kubu oposisi.

    Aparat kepolisian Turki melakukan penggerebekan di rumah Imamoglu pada hari Rabu (19/3). Polisi menahannya atas penyelidikan kasus dugaan korupsi, dalam sebuah tindakan yang dikecam oleh partai oposisi utama CHP sebagai ‘kudeta’.

    Penggerebekan polisi ini terjadi beberapa jam setelah Universitas Istanbul mencabut gelar sarjananya, di tengah klaim bahwa gelar tersebut palsu. Pencabutan tersebut merupakan langkah berisiko tinggi karena kandidat presiden di Turki perlu memiliki kualifikasi pendidikan tinggi.

    “Dia (Imamoglu) ditahan dan sekarang berada di markas polisi,” kata seorang staf pers, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena ia tidak berwenang berbicara kepada pers, dilansir kantor berita AFP, Rabu (19/3/2025).

    Sebuah pernyataan dari kantor kejaksaan umum Istanbul menyebut sejumlah tuduhan termasuk penyuapan dan pemerasan. Disebutkan juga Imamoglu merupakan pemimpin sebuah ‘organisasi kriminal’ dan 100 tersangka telah ditangkap.

    Kantor berita Turki, Anadolu, mengatakan penahanan Imamoglu juga terkait dengan penyelidikan terpisah atas dugaan membantu kelompok Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dilarang, dengan mengaku dia merupakan salah satu dari tujuh orang yang telah ditahan.

    Pemimpin CHP, Ozgur Ozel mengutuk penahanan tersebut dan menyebutnya sebagai ‘upaya kudeta terhadap presiden kita berikutnya,’. Dia mengatakan aparat menggunakan kekerasan untuk menggantikan keinginan rakyat.

    “Membuat keputusan atas nama rakyat, menggunakan kekerasan untuk menggantikan keinginan rakyat atau menghalanginya adalah kudeta. Kami tidak akan menyerah. Pada akhirnya, keinginan rakyat akan menang dan Turki akan menang,” tambahnya.

    Tak lama setelah penggerebekan polisi, kantor gubernur Istanbul mengeluarkan larangan semua aksi protes hingga 23 Maret.

    Larangan Berkumpul 4 Hari

    Foto: Reuters/Dilara Senkaya

    Ribuan demonstran turun ke jalanan dan menggelar aksi protes di kampus-kampus yang ada di berbagai kota, termasuk Istanbul dan Ankara. Para demonstran meneriakkan slogan-slogan anti-pemerintah.

    “Mereka dengan terburu-buru menahan Wali Kota kami, yang kami pilih dengan suara kami. Saya tidak menganggap ini praktik yang demokratis, dan saya mengutuknya,” ucap salah satu pendukung oposisi, Ali Izar.

    Aksi protes tetap digelar meskipun larangan berkumpul selama empat hari diberlakukan setelah penahanan Imamoglu. Dalam upaya meredam aksi protes, otoritas Turki melakukan penindakan keras terhadap akun-akun media sosial yang dinilai provokatif.

    Menteri Dalam Negeri Turki, Ali Yerlikaya, dalam pernyataan via media sosial X mengumumkan bahwa otoritas Ankara mengidentifikasi 261 akun media sosial, termasuk 62 akun yang berbasis di luar negeri, yang dianggap memberikan “postingan provokatif yang memicu kejahatan dan kebencian”.

    Yerlikaya menegaskan pemerintah terus berupaya melacak para tersangka lainnya. Dia menambahkan 18,6 juta postingan tentang Imamoglu dibagikan di media sosial X dalam waktu 24 jam setelah penahanannnya.

    Tidak hanya melarang unjuk rasa dan menahan pemilik akun media sosial yang dianggap provokatif. otoritas Turki juga menutup akses ke beberapa media sosial.

    Kantor kepala Kejaksaan Umum Istanbul mengumumkan bahwa otoritas berwenang juga menyita sebuah perusahaan konstruksi yang dimiliki bersama oleh Imamoglu. Disebutkan kantor jaksa bahwa kendali atas Imamoglu Construction, Trade and Industri diambil alih oleh pengadilan.

    Massa Demo Dibubarkan

    Warga Turki Protes Soal Penahanan Wali Kota Istanbul. (Foto: AP Photo/Emrah Gurel)

    Kepolisian antihuru-hara Turki menembakkan peluru karet dan gas air mata dalam upaya membubarkan ribuan demonstran yang berkumpul di dekat Balai Kota Istanbul. Para demonstran, seperti dilansir AFP, Jumat (21/3/2025), berusaha bergerak ke Alun-alun Taksim, lokasi ikonik yang menjadi lokasi banyak demo besar-besaran di Turki.

    Alun-alun itu dipasangi barikade sejak Imamoglu ditangkap pada Rabu (19/3) pagi. Akibatnya, bentrokan pun terjadi antara para demonstran dengan personel kepolisian yang disiagakan di alun-alun itu untuk mencegah unjuk rasa digelar.

    Tembakan peluru karet dilepaskan oleh polisi saat bentrokan terjadi. Salah satu koresponden AFP yang ada di lokasi melaporkan dirinya melihat langsung senjata ditembakkan dan mendengar suara tembakan, serta mencium bau peluru karet yang khas.

    Koresponden AFP lainnya yang juga ada di lokasi melaporkan bahwa polisi “menggunakan peluru karet dan banyak gas air mata”.

    Dalam aksi protes ini, ribuan demonstran yang sebagian besar mahasiswa ini meneriakkan “Tayyip, mundur!” dalam pesan yang ditujukan untuk Erdogan.

    Halaman 2 dari 3

    (idn/lir)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kejagung Berbagi Takjil, Kapuspen: Bukan soal Profesi, tapi Niat Baik di Bulan Suci Ramadan – Page 3

    Kejagung Berbagi Takjil, Kapuspen: Bukan soal Profesi, tapi Niat Baik di Bulan Suci Ramadan – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Kejaksaan Agung (Kejagung) menggelar kegiatan berbagi takjil untuk para pejalan kali dan pengendara di sekitaran Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Jumat (21/3/2025). Momen tersebut turut disertai para jurnalis yang biasa melakukan peliputan di lingkungan Adhyaksa.

    Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar turun langsung ke jalan bersama sejumlah jajaran. Dia memberikan dukungan penuh dalam rangka berbagi di Bulan Suci Ramadan.

    “Berbagi itu bukan soal profesi atau jabatan tetapi soal niat. Hal ini ditunjukkan teman-teman jurnalis secara gotong royong bersama Puspenkum Kejagung, menyisihkan rezeki untuk berbagi dengan masyarakat pengguna jalan, khususnya pengemudi ojol di bulan suci yang penuh berkah,” tutur Harli di sela momen berbagi takjil.

    Harli mengatakan, berbagi tentu tidak harus Bulan Ramadan atau pun momen tertentu. Dia pun mengapresiasi awak media yang ikut mendukung terwujudnya kegiatan tersebut.

    “Indahnya berbagi tidak mempersoalkan nilai pemberian, tetapi lebih pada makna kebersamaan. Jangan pernah berhenti bersyukur sampai kita lupa mengeluh,” jelas dia.

     

  • Pakar Hukum Soroti Potensi Bahaya Penambahan Kewenangan Intelijen dalam Revisi UU Kejaksaan – Halaman all

    Pakar Hukum Soroti Potensi Bahaya Penambahan Kewenangan Intelijen dalam Revisi UU Kejaksaan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan) menuai kritikan keras dari para pakar dan praktisi hukum terkait penambahan kewenangan intelijen di dalamnya. Banyak yang menganggap perubahan ini berpotensi membahayakan penegakan hukum dan mengancam prinsip demokrasi.

    Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Valerianus Beatae Jehanu, menilai penambahan kewenangan jaksa dalam mengawasi media sebagai langkah yang keliru.

    Ia menegaskan bahwa fungsi intelijen Kejaksaan seharusnya terbatas pada konteks pro justicia, yaitu hanya terkait dengan penegakan hukum yang sah, dan bukan untuk mengawasi ruang media secara bebas.

    Jika tidak diatur dengan ketat, maka kewenangan intelijen ini membuka celah untuk penyalahgunaan kekuasaan.

    “Fungsi intelijen Kejaksaan dalam penegakan hukum ini keliru karena harusnya hanya bisa dalam hal pro justicia,” ujar Valerianus dalam diskusi publik di Jakarta pada Kamis (20/3/2025).

    Selain itu, ia juga mengkritik lemahnya kontrol terhadap Korps Adhyaksa dalam revisi ini.

    Menurutnya, ketentuan yang memungkinkan jaksa dipanggil atau diperiksa hanya dengan izin Jaksa Agung berpotensi menciptakan impunitas dan mengurangi akuntabilitas lembaga tersebut.

    “Kontrol Kejaksaan semakin lemah karena jaksa hanya bisa dipanggil dan diperiksa atas izin Jaksa Agung,” tegasnya.

    Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure, Awan Puryadi, menyebut penambahan kewenangan intelijen ini sebagai ancaman serius bagi sistem hukum dan demokrasi. 

    Ia mengkhawatirkan penyalahgunaan kewenangan tersebut, seperti memanggil pihak-pihak tertentu tanpa dasar penyelidikan yang jelas, yang tidak bisa digugat melalui praperadilan.

    Awan menceritakan contoh kasus di Padang Sidempuan, di mana 43 guru honorer yang baru diangkat jadi PNS dipanggil oleh kejaksaan hanya berdasarkan informasi yang diduga terkait korupsi.

    “Pernah kejadian, sebanyak 43 guru honorer yang jadi PNS diundang oleh kejaksaan Padang Sidempuan karena diduga ada informasi korupsi. Bupati, tiba-tiba dipanggil hanya berdasarkan informasi. Bisa jadi seperti itu,” jelasnya.

    Awan juga menyoroti kewenangan penghentian kasus di luar proses pengadilan atau melalui mekanisme Restorative Justice (RJ) yang sangat rentan disalahgunakan.

    Ia khawatir, dengan kewenangan tersebut, kejaksaan bisa menghentikan kasus-kasus besar, seperti illegal mining, dengan alasan RJ yang tidak jelas.

    “Bisa jadi, Kejaksaan mengulik kasus, kemudian dengan alasan tertentu diberhentikan dengan alasan RJ. Lalu bagaimana dengan kasus illegal mining, misalnya, kemudian dihentikan dengan alasan RJ,” tuturnya. 

    REVISI UU KEJAKSAAN – Pakar dan praktisi hukum menyampaikan pandangannya terkait revisi Undang-undang Kejaksaan dalam diskusi publik di Jakarta, Kamis (20/3/2025). Salah satu yang disorot mereka yakni penambahan kewenangan intelijen kejaksaan. (Tribunnews.com/HO)

    Di sisi lain, Awan mengkritik definisi Kejaksaan dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 yang tidak diubah. 

    Pasalnya, dalam UU tersebut definisi Kejaksaan melampaui pembagian kekuasaan yaitu Lembaga Pemerintah (eksekutif) yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (yudikatif). 

    “Kekuasaan kehakiman itu independen dan berada di yudikatif sedangkan kejaksaan itu lembaga pemerintah yang ada di kekuasaan eksekutif. Ini yang keliru dan berbahaya bagi demokrasi dan sistem hukum kita,” jelasnya. 

    Awan menegaskan bahwa ketidaktepatan dalam pembagian kewenangan ini dapat menciptakan imunitas bagi jaksa, yang akan sulit diawasi dan bertanggung jawab atas tindakannya.

    Ia mengingatkan, dalam kasus Pinangki, misalnya, Jaksa Agung pernah mengeluarkan peraturan yang memberi pendampingan hukum bagi seorang jaksa yang sedang melaksanakan tugas, sehingga memberi kesan perlindungan yang berlebihan.

    “Dalam UU Kejaksaan Tahun 2021, imunitas langsung legal, sah harusnya imunitas ini diberikan oleh yudikatif. Ini problem karena kejaksaan memberikan imunitas pada dirinya sendiri,” bebernya.

    Kritikan tajam ini mengingatkan bahwa penambahan kewenangan dalam revisi UU Kejaksaan harus dijaga ketat agar tidak membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan yang merugikan keadilan dan demokrasi.

     

     

  • Soroti Isu Pelemahan Kejagung, Pakar: Waspadai RUU KUHAP

    Soroti Isu Pelemahan Kejagung, Pakar: Waspadai RUU KUHAP

    loading…

    Pakar hukum pidana Universitas Nasional Ismail Rumadan menyoroti sejumlah isu yang yang mengarah pada upaya pelemahan Kejaksaan Agung, khususnya dalam menangani tindak pidana korupsi. FOTO/IST

    JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Nasional Ismail Rumadan menyoroti sejumlah isu yang yang mengarah pada upaya pelemahan Kejaksaan Agung, khususnya dalam menangani tindak pidana korupsi. Isu tersebut mulai dari framing berita atau opini yang sudutkan Kejagung, pembunuhan karakter Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Jampidsus termasuk isu revisi UU KUHAP yang disebut menghapus kewenangan jaksa dalam menyidik perkara korupsi.

    “Terkejut, ini memprihatinkan di tengah kerja Kejagung yang produktif menangani kasus korupsi. Tentu banyak yang resah, ini harus diperjuangkan agar kewenangan Kejaksaan sidik Tipikor tidak dipreteli,” kata Ismail Rumadan melalui pernyatannya, Jumat (21/3/2024).

    Menurut peneliti pada Pusat Hukum BRIN ini, keresahan publik cukup berasalan mengingat saat ini Kejagung jadi tumpuan harapan penegakan hukum. Kejagung, terangnya, dipercaya publik serta dinilai berprestasi karena berhasil mengungkap kasus-kasus mega korupsi.

    “Karena itu publik tidak ingin Kejagung bernasib sama seperti KPK yang dilemahkan melalui revisi UU, pintu revisi itu efektif lemahkan lembaga,” ungkapnya.

    Dalam draf RUU KUHAP Pasal 6 tentang penyidik berikut penjelasannya, jaksa menjadi “Penyidik Tertentu” yang kewenangannya terbatas menyidik kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat. Jaksa tidak lagi berwenang menyidik kasus tindak pidana korupsi.

    Meski belakangan Komisi III DPR RI selaku inisiator revisi UU meluruskan informasi yang beredar bahwa draf tersebut bukanlah draf hasil akhir, upaya membatasi atau menghapus kewenangan jaksa tetap saja tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi sejauh ini ada dua draf dengan subtansi berbeda serta membuat publik bingung draf mana yang dibahas oleh DPR.

    “Saya kira prosesnya perlu lebih transparan di mana publik bisa akses dan terlibat secara partisipatif. Mungkin saja pikiran untuk membatasi kewenangan jaksa memang ada sehingga memicu reaksi dari banyak kalangan,” jelasnya.

    Ismail mengatakan, jika draf yang membatasi kewenangan jaksa benar adanya, ia minta agar sebaiknya dikaji kembali. Bahkan dia meminta agar ini ditolak.

    “Sebaiknya rumusan tersebut dikaji kembali. Karena korupsi masih menjadi musuh bersama, sehingga perlu banyak energi untuk memberantasnya. Untuk itu, penyidik kejaksaan masih sangat diperlukan untuk menyidik tipikor,” katanya.

    Mantan Dekan Fakultas Hukum Unas ini tidak setuju bila kewenangan kejaksaan dihapus dalam revisi KUHAP. “Penyidik kejaksaan dalam tipikor sangat produktif. Rumusan KUHAP hendaknya memperbaiki kelemahan dalam penyidikan tipikor. Bukan mengurangi kewenangan lembaga,” jelasnya.

  • ICJR: Revisi KUHAP Harus Fokus Pada Pengawasan Antar Lembaga, Jangan Hanya Bahas Dominus Litis

    ICJR: Revisi KUHAP Harus Fokus Pada Pengawasan Antar Lembaga, Jangan Hanya Bahas Dominus Litis

    Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

    TRIBUNJAKARTA.COM – Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitahsari meminta Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) fokus pada pengawasan antar lembaga penegak hukum.

    Demikian disampaikannya dalam diskusi membahas “RUU KUHP Memperkuat Sistem Peradilan Pidana Terpadu”.

    Diskusi ini turut dihadiri sejumlah narasumber diantaranya yakni Wakil Ketua Komnas HAM AH Semendawai, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan dan Pakar Hukum Margarito Kamis.

    Iftitahsari meminta pembahasan mengenai Revisi KUHAP tak hanya berkutat pada narasi polarisasi tentang diferensiasi fungsional dan asas dominus litis.

    Dikatakannya, publik harus waspada terhadap adanya kepentingan terselubung dari para lembaga penegak hukum yang ingin memperluas kewenangannya melalui Revisi KUHAP dengan melemparkan narasi tersebut.

    “Selama ini diskusi mengenai Revisi KUHAP selalu ada polarisasi antara diferensiasi fungsional dan asas dominus litis.

    Dan kita jangan sampai terjebak di narasi yang itu sebetulnya kepentingan-kepentingan lembaga tertentu yang tujuannya ingin memperbesar kewenangan,” kata Iftitahsari dalam diskusi yang digelar di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).

    Menurut ICJR, yang terpenting dalam Revisi KUHAP nantinya tak boleh ada kewenangan powerful yang dimiliki satu lembaga.

    Karenanya, ia menyebut pengawasan antar lembaga mutlak diperlukan.

    “Kan tadi sudah disampaikan yang penting ada balancing pemenuhan HAM dan juga akuntabilitas. Jangan sampai ada kesewenangan,” tuturnya.

    Sementara itu, Ketua DPN Peradi Luhut MP Pangaribuan menyebut bagaimana para lembaga penegak hukum saling berlomba untuk memperkuat kewenangan mereka melalui Revisi KUHAP ini.

    “Mereka berlomba-lomba menambah kewenangannya masing-masing. Polisi adalah penyidik utama tidak bisa diganggu. Jaksa adalah penuntut tidak bisa diganggu,” kata Luhut.

    “Dengan kata lain ini ada benturan antara diferensiasi fungsional yang dipertahankan polri dan asas dominus litis yang diperjuangkan kejaksaan,” sambung dia.

    Pernyataan tersebut turut diperkuat oleh Wakil Ketua Komnas HAM, AH Semendawai. Ia mengingatkan bahwa semakin besar kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki suatu lembaga maka akan memperbesar peluang adanya korupsi di dalamnya.

    “Jadi harus tetap ada balancing, bagaimana harus ada keseimbangan di dalam proses pidana ini.

    Jadi kalau sepenuhnya kepada satu lembaga misalnya tanpa ada pengawasan yang lain, ini kan kalau dia enggak jalan kan berarti berhenti tuh kasusnya, jadi bagaimana masyarakat bisa mencari keadilan,” paparnya.

    Semendawai kemudian mengevaluasi kondisi peradilan pidana di Indonesia saat ini, dimana proses penuntutan sepenuhnya merupakan kewenangan kejaksaan.

    “Masalahnya kalau ternyata jaksa tidak melakukan penuntutan suatu perkara sementara publik merasa harusnya dituntut, nah itu bagaimana kan harus ada solusinya. Kalau tidak ada solusi maka publik akan menganggap mereka tidak bisa mendapat keadilan,” jelasnya.

    Oleh karena itu, Semendawai berharap diferensiasi fungsional dan asas dominus litis dikembalikan pada fungsi seharusnya.

    “Tujuan sistem peradilan pidana ini kan untuk memproses pihak yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Terlepas siapa yang punya peran itu kan tinggal bagi-bagi saja tetapi harus diawasi agar kewenangan itu tidak hanya diserahkan kepada satu lembaga supaya tidak disalahgunakan,” paparnya.

    Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menjelaskan bahwa dalam sistem pidana di Indonesia, jaksa bukan berada di posisi mewakili korban.

    “Jaksa itu sebetulnya tidak mewakili korban tetapi dia mewakili Undang-Undang, dia mewakili norma yang ada. Sehingga dengan standar itu perlakuan terhadap korban tidak seimbang dengan perlakuan terhadap terdakwa,” ujarnya.

    Padahal, kata dia, yang harus ditekankan yakni mengenai peran jaksa dalam memberikan hak yang sama kepada korban dan terdakwa.

    Menurutnya, yang masih jadi sorotan dalam sitem pidana di Indonesia yakni bagaimana mewujudkan sistem pidana yang terpadu.

    “Sementara dalam praktiknya itu banyak perkara adanya penundaan peradilan karena bolak-baliknya berkas antara polisi dan kejaksaan,” kata dia.

    Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis menyebut penerapan asas dominus litis pada Revisi KUHAP berpotensi memonopoli kewenangan terhadap suatu lembaga.

    Adapun salah satu hal yang paling jelas dalam penerapan asas dominus litis pada revisi KUHAP adalah kejaksaan bisa memiliki dominasi pada penyidikan dan penyelidikan.

    “Tidak boleh ada lembaga negara mendominasi lembaga negara lain karena harus balancing,” kata Margarito.

    “Kalau ini dikembalikan ke jaksa yang bertugas maka menjadi tidak sehat. Itu jadi tidak sehat.

    Dari segi hukum, gagasan, kalau ada satu lembaga memonopoli kewenangan, itu sudah tidak sehat itu. Demokrasi itu menghendaki keseimbangan,” sambungnya.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya