Kementrian Lembaga: Kejaksaan

  • Kejati tetapkan Kadis DLH Tangsel sebagai tersangka kasus korupsi

    Kejati tetapkan Kadis DLH Tangsel sebagai tersangka kasus korupsi

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Kejati tetapkan Kadis DLH Tangsel sebagai tersangka kasus korupsi
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 15 April 2025 – 23:11 WIB

    Elshinta.com – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten menetapkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Wahyunoto Lukman sebagai tersangka kedua di kasus korupsi pengelolaan sampah dengan nilai proyek Rp75,9 miliar.

    Kasi Penkum Kejati Banten Rangga Adekresna, di Serang, Selasa, mengatakan dalam kasus ini, Kadis DLH Tangsel merupakan tersangka kedua setelah sehari sebelumnya Direktur PT Ella Pratama Perkasa (EPP), Syukron Yuliadi Mufti menjadi tersangka di kasus yang sama.

    “Kejati Banten kembali melakukan penahanan terhadap tersangka WL (Wahyunoto Lukman), Kepala DLH Kota Tangsel, yang kasus posisinya masih sama seperti kemarin,” katanya.

    Rangga menjelaskan bahwa dalam proses penyidikan, ditemukan fakta bahwa tersangka berperan aktif dalam menentukan titik lokasi pembuangan sampah yang tidak memenuhi kriteria.

    “Tersangka berperan secara aktif menentukan titik lokasi pembuangan sampah yang tidak memenuhi kriteria atau ilegal, dimana lahan tersebut merupakan milik perorangan,” katanya.

    Lahan tersebut tersebar di beberapa titik diantaranya yakni di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi.

    Atas perbuatan nya tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

    “Selanjutnya tersangka ditahan di Rutan Kelas IIB Pandeglang selama 20 hari kedepan. Untuk sementara tim masih melakukan pemeriksaan terhadap aliran dana tersebut,” katanya.

    Sumber : Antara

  • Jadi Tersangka Baru Kasus Suap Vonis Lepas CPO, Ini Peran Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei – Halaman all

    Jadi Tersangka Baru Kasus Suap Vonis Lepas CPO, Ini Peran Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei sebagai tersangka baru kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

    Usai ditetapkan sebagai tersangka, alhasil terungkap peran dari Syafei dalam kasus yang turut melibatkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Djuyamto dan kawan-kawan itu.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, Syafei diketahui berperan menyediakan uang kepada pengacara tiga korporasi CPO, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.

    Qohar mengatakan fakta itu diperoleh bermula dari adanya pertemuan antara Arianto dengan tersangka Wahyu Gunawan yang merupakan panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    Kata Qohar, Wahyu menyampaikan pada Arianto yang mengharuskan agar perkara minyak goreng atau CPO itu diurus.

    “Jika tidak, putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan Penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Selasa (15/4/2025).

    Masih dalam pertemuan tersebut, Wahyu lanjut Qohar juga menyampaikan pada Arianto untuk segera menyiapkan biaya kepengurusan perkara tersebut.

    Atas permintaan dari Wahyu itu, Arianto lantas menyampaikan hasil pertemuannya kepada Marcella Santoso yang kemudian ditindaklanjuti dengan bertemu Syafei.

    Qohar menjelaskan, pertemuan antara Marcella dan Syafei terjadi di rumah makan Daun Muda di Jalan Walter Mongonsidi, Jakarta Selatan.

    “MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh dari AR dimana saat itu WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya,” jelas Qohar.

    Setelah mendapat informasi dari Marcella, Syafei pun mengatakan bahwa telah dibentuk tim yang disiapkan untuk mengurus perkara tersebut.

    Selang dua pekan, Ariyanto kemudian kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan. Saat itu Wahyu menekankan pada Arianto agar perkara tersebut segera diurus.

    Usai memperoleh informasi itu, Arianto lantas kembali menyampaikannya kepada Marcella Santoso.

    “Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi,” ucapnya.

    “Dan saat itu MSY memberitahukan atau mengatakan bahwa biaya yang disediakan korporasi sebesar Rp 20 miliar,” katanya.

    Berdasarkan hasil pertemuan dengan Syafei, Marcella kemudian menggelar pertemuan dengan Arianto, Wahyu dan tersangka sekaligus mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta di Rumah Makan Layer Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

    Dalam pertemuan itu Arif Nuryanta mengultimatum Marcella dan Arianto bahwa perkara minyak goreng tersebut tidak bisa diputus bebas.

    “Tetapi bisa diputus Onslag dan yang bersangkutan dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryanta meminta agar uang Rp 20 miliar dikalikan jadi tiga sehingga jumlah totalnya Rp 60 miliar,” ujar Qohar.

    Setelah pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan menyampaikan lagi kepada Arianto untuk segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar seperti yang diminta Arif.

    Arianto kemudian menyampaikan kepada Marcella dan lalu dilanjutkan lagi kepada Syafei.Saat Marcella menghubungi Syafei, pegawai Wilmar Group itu pun menyanggupi dan akan menyiapkan uang tersebut dalam bentuk dollar Amerika Serikat (USD) atau Dollar Singapura (SGD).

    Syafei kemudian menghubungi Marcella dan menyatakan bahwa uang suap tersebut telah siap untuk diantar.

    “Selanjutnya MS memberikan nomor Hp AR ke MSY untuk pelaksanaan penyerahan. Setelah ada komunikasi antara AR dan MSY, kemudian AR bertemu dengan MSY diperkirakan SCBD dan selanjutnya MSY menyerahkan uang tersebut kepada AR,” jelasnya.

    KASUS SUAP – Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025). Ia menyampaikan pihaknya kembali menetapkan satu orang tersangka baru dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. (Tangkap layar kanal YouTube KEJAKSAAN RI)

    Usai menerima uang dari Syafei, Arianto langsung mengantarkannya ke rumah Wahyu Gunawan di Cluster Ebonny Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

    Setelah menerima uang, Wahyu lantas menyerahkannya kepada Arif Nuryanta dan ia mendapat jatah sebesar 50.000 USD atau setara Rp 800 juta (kurs rupiah saat ini).

    “Kemudian berdasarkan keterangan saksi dan dokumen baik yang diperoleh hari ini maupun dua hari lalu, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY dimana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” jelas Qohar.

    Untuk informasi, Kejaksaan Agung sebelumnya telah menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Ketujuh orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin. 

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. 

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut.

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut. 

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya. 

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan. 

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya. 

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs. 

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

  • Kejagung Ungkap Sumber Suap Rp 60 M ke Ketua PN Jaksel hingga Hakim Kasus Migor

    Kejagung Ungkap Sumber Suap Rp 60 M ke Ketua PN Jaksel hingga Hakim Kasus Migor

    Jakarta

    Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap asal-usul duit sogokan Rp 60 miliar ke hakim di balik vonis ontslag atau lepas terhadap terdakwa korporasi perkara korupsi minyak goreng. Belakangan diungkap uang itu berasal dari seseorang berinisial MSY.

    Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menyebut pihaknya telah menetapkan MSY atau Muhammad Syafei selaku Head of Social Security and License Wilmar Group sebagai tersangka baru dalam perkara itu. Dengan penetapan itu, total ada delapan tersangka yang dijerat Kejagung dalam skandal suap itu.

    “Penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup, sehingga pada malam ini menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY. Dimana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” kata Qohar dalam jumpa pers di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025) malam.

    Qohar menyebut dugaan suap tersebut berawal saat pertemuan antara Ariyanto (AR) selaku pengacara dari terdakwa korporasi kasus korupsi bahan baku minyak goreng dengan panitera bernama Wahyu Gunawan (WG) di. Keduanya juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

    Dalam pertemuan itu, Wahyu menyampaikan kepada Ariyanto bahwa perkara yang tengah berproses di PN Tipikor Jakpus itu harus diurus. Jika tidak, maka putusan yang dijatuhkan bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa.

    “Dalam pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan juga menyampaikan agar AR selaku pihak korporasi untuk menyiapkan biaya kepengurusannya,” ungkap Qohar.

    Mendapat informasi itu, Marcella kemudian bertemu dengan Syafei guna menyampaikan informasi biaya pengurusan perkara tersebut. Syafei menyanggupinya.

    Hanya saja, kala itu dia menyampaikan bahwa biaya yang disediakan pihak korporasi hanya Rp 20 miliar. Menindaklanjuti hal itu, Wahyu bersama Ariyanto melakukan pertemuan dengan Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN).

    “Dalam hal ini, MAN atau Muhammad Arif Nuryantah meminta agar uang Rp 20 miliar dikalikan tiga, sehingga jumlahnya Rp 60 miliar,” jelas Qohar.

    Setelah pertemuan tersebut, Wahyu menyampaikan kepada Ariyanto agar segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar tersebut. Permintaan itu diteruskan kepada Marcella yang kemudian menghubungi Syafei.

    Qohar menyebut bahwa Syafei menyanggupi permintaan Rp 60 miliar itu dan langsung menyiapkan uangnya dalam bentuk pecahan mata uang asing.

    Tak lama, Syafei menghubungi Marcella dan mengatakan bahwa uang yang diminta telah disiapkan. Dia juga menanyakan kemana uang tersebut harus diantar.

    Marcella kemudian mengarahkan Syafei kepada Ariyanto. Hingga akhirnya keduanya bertemu di kawasan SCBD, Jakarta Selatan dalam rangka penyerahan uang Rp 60 miliar.

    Uang senilai Rp 60 miliar itu kemudian diantarkan Ariyanto ke rumah panitera Wahyu Gunawan di kawasan Jakarta Utara. Oleh Wahyu uang tersebut langsung diserahkan kepada Arif.

    “Saat penyerahan uang tersebut, Arif memberikan uang kepada Wahyu Gunawan sebanyak USD 50 ribu (setara Rp 839,9 juta),” terang dia.

    Kini, Syafei (MSY) langsung ditahan di Rumah Tahanan Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan. Atas perbuatannya, Syafei dijerat Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 5 ayat (1) juncto Pasal 13 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sebanyak tujuh tersangka dalam skandal suap vonis lepas kasus migor. Ketujuh tersangka terdiri dari empat hakim, satu panitera dan dua pengacara. Berikut daftarnya:

    1.⁠ ⁠Muhammad Arif Nuryanto (MAN) selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
    2.⁠ ⁠Djuyamto (DJU) selaku ketua majelis hakim
    3.⁠ ⁠Agam Syarif Baharudin (ASB) selaku anggota majelis hakim
    4.⁠ ⁠Ali Muhtarom (AM) selaku anggota majelis hakim
    5.⁠ ⁠Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera
    6.⁠ ⁠Marcella Santoso (MS) selaku pengacara
    7.⁠ ⁠Ariyanto Bakri (AR) selaku pengacara

    Awalnya ada 3 korporasi yang sejatinya sedang diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group dalam perkara dugaan korupsi minyak goreng atau migor itu. Ketiganya memberikan kuasa pada Marcella dan Ariyanto. Secara mengejutkan, majelis hakim yang terdiri dari Djuyamto, Agam, dan Ali menjatuhkan putusan ontslag atau lepas yang artinya bahwa perbuatan yang dilakukan 3 korporasi itu bukanlah tindak pidana.

    Dari pengusutan kejaksaan ditemukan adanya informasi dugaan suap di balik putusan itu. Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanto diketahui sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Waka PN Jakpus) yang memiliki wewenang menunjuk hakim yang mengadili perkara.

    Singkatnya terjadi kongkalikong antara pihak Marcella-Ariyanto dengan Muhammad Arif Nuryanto. Duit suap Rp 60 miliar mengalir ke Arif Nuryanto dan sebagian di antaranya dialirkan ke 3 majelis hakim. Sedangkan Wahyu Gunawan selaku panitera menjadi perantara suap.

    (ond/fca)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap awal mula kasus suap vonis onslag atau lepas dalam perkara korupsi CPO yang menyeret hakim pengadilan terjadi.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu sebagai Panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat bertemu dengan pengacara terdakwa yang kini juga tersangka kasus suap, yakni Ariyanto.

    Dalam pertemuan itu, Wahyu mengancam putusan perkara ini bisa dihukum maksimal, bahkan lebih jika tidak memberikan uang.

    “Di mana pada saat itu Wahyu Gunawan menyampaikan agar perkara minyak goreng harus diurus jika tidak putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan jaksa penuntut umum,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    “Dalam pertemuan tersebut Wahyu Gunawan juga menyampaikan agar Ariyanto yang dalam hal ini selaku penasihat korporasi untuk menyiapkan biaya pengurusannya,” sambungnya.

    Atas permintaan itu, Ariyanto pun menghubungi rekannya, Marcella Santoso. Selanjurnya, Marcella bertemu Muhammad Syafei atau MSY yang merupakan tim Legal PT Wilmar Group sebagai terdakwa korporasi.

    Pertemuan itu dilakukan di sebuah rumah makan, yakni Daun Muda Soulfood by Peresthu – Wolter Monginsidi, Jakarta Selatan untuk membahas permintaan tersebut. Namun, Syafei berdalih sudah ada yang mengurus.

    “Sekitar 2 minggu kemudian, AR dihubungi oleh WG. Pada saat itu WG menyampaikan kembali agar perkara ini segera diurus. Setelah mendapat info tersebut kemudian AR menyampaikan kembali kepada MS. Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi,” tuturnya.

    Awalnya, Syafei menyebut perusahaan hanya menyanggupi membayar Rp20 miliar.

    Setelahnya, Ariyanto bertemu dengan Wahyu dan Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat di rumah makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

    “Dalam pertemuan tersebut Muhammad Arif Nuryanta mengatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas. Ini sebagai permintaan yang pertama tadi kepada WG dan ini jawabannya,” tuturnya.

    “Tetapi bisa diputus onslag dan ybs dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryantah meminta agar uang Rp20 miliar itu dikali 3 sehingga jumlahnya total Rp60 miliar,” imbuhnya.

    Singkat cerita, Syafei menyanggupi permintaan Rp60 miliar tersebut dan uangnya akan diserahkan ke Wahyu di rumahnya di Cluster Eboni Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

    Setelahnya, uang itu diserahkan kepada Arif dan Wahyu mendapat komisi perantara sebesar 50.000 USD.

    Dalam kasus ini, Syafei pun ditetapkan sebagai tersangka. Dia pun menjadi tersangka ke-8 dalam perkara ini.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Ketujuh orang itu, yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat.

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut.

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut.

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya.

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan.

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya.

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs.

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

     

  • Bertambah 1 Lagi, Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi CPO Jadi 8 Orang

    Bertambah 1 Lagi, Tersangka Suap Vonis Lepas Korupsi CPO Jadi 8 Orang

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan satu tersangka baru dalam kasus suap terkait vonis lepas korporasi terdakwa korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Total tersangka saat ini sudah delapan orang.

    Sosok tersangka baru yang diumumkan Kejagung malam ini, adalah Muhammad Syafei (MSY) yang merupakan social security legal Wilmar Group.

    “Berdasarkan keterangan saksi dan dokumen, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Qohar mengatakan MSY langsung ditahan di Rumah Tahanan Cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan terhitung hari ini untuk kebutuhan penyidikan.

    Dalam perkara ini, MSY berperan sebagai pihak yang menyiapkan dana sebesar Rp 60 miliar untuk menyuap hakim agar memvonis bebas terdakwa kasus korupsi ekspor CPO.

    Ada tiga perusahaan yang terlibat dalam kasus korupsi ekspor CPO, yakni PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Ketiga perusahaan itu divonis lepas oleh majelis hakim pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta.

    Belakangan terungkap hakim yang memvonis lepas ketiga terdakwa korporasi yang terlibat korupsi CPO itu diduga menerima suap Rp 60 miliar.

    Kejagung sejauh ini sudah menetapkan tujuh tersangka dalam kasus suap penanganan perkara ekspor CPO. Selain Muhammad Syafei, tujuh 

    tersangka lain, adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan  Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara Wahyu Gunawan, kuasa hukum korporasi Marcella Santoso, dan Ariyanto Bakri. 

    Kemudian tiga tersangka lagi merupakan majelis hakim yang memvonis lepas tiga terdakwa korporasi yang melakukan korupsi dalam ekspor CPO, yakni Djuyamto (ketua majelis hakim), Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom.

  • Awal Mula Kasus Suap Vonis Lepas Korupsi CPO, Ada Ancaman Hukuman Diperberat jika Tak Beri Uang – Halaman all

    BREAKING NEWS: Kejagung Tambah 1 Tersangka Suap Vonis Lepas Kasus Korupsi CPO – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) kembali menetapkan satu orang tersangka baru dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO.

    Penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik Jampidsus Kejagung menemukan alat bukti yang cukup

    Adapun tersangka baru ini, yakni Head and Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei (MSY).

    “Sehingga malam ini, menetapkan 1 orang tersangka atas nama MSY di mana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (15/4/2025).

    Adapun pasal yang disangkakan kepada yang bersangkutan yaitu melanggar Pasal 6 Ayat 1 huruf a, juncto Pasal 5 Ayat 1, juncto Pasal 13, juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2021 juncto Pasal 55 Ayat 1 di Tap UU Hukum Pidana.

    “Terhadap tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan, terhitung mulai hari ini di rutan Salemba Cabang Kejagung RI,” ucapnya.

    Untuk informasi, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Ketujuh orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, WG yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu MS dan AR berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharudin. 

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan awalnya tersangka Ariyanto Bakri selaku pengacara tersangka korporasi kasus tersebut berkomunikasi dengan tersangka Wahyu Gunawan yang saat itu merupakan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

    “Untuk mengurus perkara korupsi korporasi minyak goreng dengan permintaan agar perkara tersebut diputus onslag dengan menyiapkan uang sebesar Rp20 miliar,” kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. 

    Lalu, Wahyu Gunawan berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhamad Arif Nuryanta yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan permintaan vonis onslag tersebut. 

    Arif pun menyetujui permintaan tersebut. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi pihak pengacara yakni dengan melipat gandakan uang suap tersebut. 

    “Muhamad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar,” tuturnya. 

    Permintaan itu pun disetujui, oleh pihak pengacara tersangka korporasi dan diserahkan kepada Arif melalui Wahyu Gunawan. 

    “Pada saat itu wahyu Gunawan diberi oleh Muhamad Arif Nuryanta sebesar 50.000 USD sebagai jasa penghubung dari Muhamad Arif Nuryanta. Jadi Wahyu Gunawan pun dapat bagian setelah adanya penyerahan uang tersebut,” ungkapnya. 

    Kemudian, Arif menunjuk tiga orang majelis hakim untuk menangani perkara tersebut yakni Djuyamto cs. 

    Ketiga Majelis Hakim ini pun bersepakat untuk membuat perkara tersebut divonis onslag atau lepas setelah menerima uang sebesar Rp22,5 miliar. (*)

  • Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3 Nasional 15 April 2025

    Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut, tersangka kasus dugaan suap, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) menjanjikan perkara ekspor crude palm oil (CPO) untuk tiga perusahaan besar bisa diputus lepas atau
    ontslag
    .
    Pasalnya, Arif yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) menyatakan bahwa tiga perkara tersebut tidak bisa diputus bebas.
    Hal itu terungkap dalam pernyataan terbaru Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar.
    Qohar mengungkapkan, keputusan onslag itu dijanjikan Arif saat bertemu dengan tersangka Ariyato (AR) yang merupakan advokat korporasi, dan tersangka Wahyu Gunawan (WG) selaku panitera muda perdata PN Jakpus.
    “Kemudian, AR, WG, dan MAN bertemu di Kelapa Gading dan dalam pertemuan tersebut MAN menyatakan bahwa perkara minyak goreng tidak bisa diputus bebas. Tetapi, bisa diputus onslag,” kata Qohar dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (15/4/2025).
    Kemudian, Qohar menyebut, Arif meminta uang yang disiapkan untuk pengurusan perkara tersebut dikalikan tiga.
    Sebelumnya, pihak korporasi disebut menyiapkan uang sebesar Rp 20 miliar untuk mengurus perkara ekspor CPO tersebut di PN Jakpus.
    “Yang bersangkutan atau MAN meminta agar uang Rp 20 miliar tersebut dikalikan tiga sehingga jumlahnya total Rp 60 miliar,” ujar Qohar.
    Lebih lanjut, Qohar menjelaskan bahwa pihak korporasi menyetujui permintaan tersebut. Lalu, melalui AR, uang tersebut diantar ke rumah tersangka WG.
    Selanjutnya, oleh WG uang tersebut diserahkan kepada Arif.
    “Saat penyerahan tersebut, MAN memberikan uang kepada WG sebanyak 50.000 dollar Amerika Serikat (AS),” kata Qohar.
    Sebelumnya, Kejagung menduga bahwa uang suap senilai Rp 60 miliar itu diberikan kepada Arif untuk menentukan susunan majelis hakim sekaligus memastikan putusan menyebutkan para korporasi dinyatakan bukan suatu tindak pidana.
    Kemudian, Qohar mengatakan bahwa Arif memberikan sebesar Rp 22,5 miliar kepada tiga hakim agar putusan perkara tiga korporasi besar itu
    ontslag
    atau putusan lepas.
    Ketiga hakim itu adalah Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto.
    Diketahui, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto adalah hakim tersebut yang menangani tiga perkara terkait ekspor CPO dengan terdakwa korporasi yang tergabung dalam PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
    Dalam putusan tiga perkara, majelis hakim yang diketuai oleh Djuyamto menyatakan bahwa para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer maupun subsider penuntut umum.
    Akan tetapi, perbuatan itu dinilai bukan merupakan suatu tindak pidana. Sehingga, para terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum atau
    ontslag
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketua PN Jaksel Disebut Janjikan Putusan Ontslag dan Minta Uang Suap Dikali 3
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 April 2025

    Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas Nasional 15 April 2025

    Mercy hingga Brompton Disita dari Penggeledahan Kasus Suap Vonis Lepas
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) menggeledah sejumlah tempat terkait
    kasus suap hakim
    Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) dalam
    kasus ekspor CPO
    minyak goreng. Dari penggeledahan, Kejagung menyita mobil mewah hingga sepeda Brompton.
    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan hasil penggeledahan ini dalam jumpa pers di Kantor Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (15/4/2025) malam.
    “Tim penyidik jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus RI telah melakukan penggeledahan pada 3 tempat di 2 provinsi,” kata Abdul Qohar.
    Dia menjelaskan, timnya telah menemukan sejumlah barang bukti dari penggeledahan di 3 tempat-2 provinsi itu. Barang itu berupa dokumen hingga kendaraan.
    “Tim menemukan barang bukti berupa dokumen, kemudian telah melakukan penyitaan untuk 2 unit mobil Mercedes Benz, 1 mobil merek Honda CRV, dan 4 sepeda Bromptom,” kata Abdul Qohar.
    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, ada empat hakim yang menjadi tersangka kasus suap penanganan perkara ekspor CPO untuk tiga perusahaan. Mereka adalah:
    1. Muhammad Arif Nuryanta (MAN)

    2. Agam Syarif Baharuddin (ASB)

    3. Ali Muhtarom (AM)

    4. Djuyamto (DJU)
    Kejagung menduga ketiga tersangka itu menerima suap dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN) sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu
    ontslag
    atau putusan lepas.
    Abdul Qohar menjelaskan, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto pertama kali menerima suap dari Arif sebesar Rp 4,5 miliar yang dibagi rata untuk ketiganya.
    Selanjutnya uang suap tahap kedua diberikan Arif kepada hakim Djuyamto. Uang suap diberikan dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai Rp 18 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Profil Kekayaan Wahyunoto Lukman, Kadis LH Tangsel Tersangka Korupsi Pengelolaan Sampah Rp 75,9 M

    Profil Kekayaan Wahyunoto Lukman, Kadis LH Tangsel Tersangka Korupsi Pengelolaan Sampah Rp 75,9 M

    TRIBUNJAKARTA.COM – Seorang pejabat di Pemkot Tangerang Selatan (Tangsel) menjadi sorotan, karena diduga terlibat korupsi.

    Dia adalah Wahyunoto Lukman, Kepala Dinas (Kadis) Lingkungan Hidup (LH) Tangsel yang hari ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten, Selasa (15/4/2025).

    Wahyunoto menjabat Kadis LH sejak 31 Desember 2021, menggantikan pendahulunya, Toto Sudarto.

    Sebelumnya, pria bergelar Sarjana Ilmu Politik dan Magister Manajemen itu pernah menjabat sebagai Kepala Dinas Sosial Tangsel dan Sekretaris KPU Tangsel.

    Wahyunoto rutin melaporkan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).

    Terakhir, ia lapor pada 13 Januari 2025 untuk periode 2024.

    Wahyunoto mengaku punya dua bidang tanah dan bangunan di Tangsel senilai Rp 761.000.000 dan Rp 3.115.000.000.

    Selain itu, ia juga memiliki tanah seluas 4.462 meter persegi di Bogor senilai Rp 410.000.000.

    Wahyunoto mencatatkan kepemilikan harta begerak lainnya senilai Rp 14.700.000 serta kas dan setara kas senilai Rp 41.395.384.

    Ia mengaku tidak memiliki kendaraan mobil maupun sepeda motor.

    Wahyunoto memiliki utang sebesar Rp 862.000.000.

    Jika ditotal, harta kekayaan Wahyunoto sebesar Rp 3.480.095.384.

    Kasus Korupsi

    Diberitakan sebelumnya, Wahyunoto ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi pengelolaan sampah oleh Kejati Banten.

    Status tersangka eks Kepala Dinas Sosial Tangsel itu ditetapkan setelah pemeriksaan selama lima jam di Kantor Kejati Banten, Serang, sejak pukul 09.00 WIB, Selasa (15/4/2025).

    Pantauan TribunBanten, Wahyunoto keluar dari ruangan penyidik menggunakan rompi tahanan berwarna merah muda, dengan kondisi tangan diborgol.

    Kasi Penkum Kejati Banten, Rangga Adekresna, mengatakan, Wahyunoto langsung ditahan di Rutan Kelas II B Pandeglang selama 20 hari ke depan.

    “Penyidik Kejaksaan Tinggi Banten kembali melakukan penahanan terhadap tersangka WL (Wahyunoto Lukman),” kata Rangga.

    Kasus korupsi yang melibatkan Wahyunoto ini terkait proyek pengelolaan sampah senilai Rp 75,9 miliar.

    Wahyunoto terlibat aktif dalam menentukan lokasi pembuangan dan pemrosesan sampah yang tak sesuai standar.

    “Pada saat pelaksanaan pekerjaan, tersangka WL bersama-sama dengan saudara Zeki Yamani, telah secara aktif berperan dalam menentukan titik lokasi buang sampah.”

    “Lokasi-lokasi itu tidak memenuhi kriteria tempat pemrosesan tempat akhir pembuangan sebagaimana ketentuan yang berlaku,” papar Rangga.

    Rangga menjelaskan, titik lokasi yang dijadikan tempat sampah ilegal tersebut tersebar di sejumlah wilayah, mulai dari Kabupaten Tangerang, Bogor dan Bekasi.

    “Itu lahan-lahan tersebut merupakan lahan-lahan orang per orangan, jadi bukan lahan tempat pemrosesan akhir,” jelasnya.

    Rangga menambahkan, dampak dari pembuangan sampah ke lokasi tidak semestinya telah merugikan warga sekitar, terutama terkait pencemaran lingkungan.

    “Yang jelas dampak yang dirasakan itu justru di Kabupaten Tangerang. Di tempat dilakukannya pembuangan sampah. Di mana itu warga di sekitar Desa Gintung, area Desa Gintung itu komplain. Karena di wilayahnya terjadi tempat pembuangan sampah ilegal,” ujarnya.

    Sebelumnya, Wahyunoto juga kongkalikong dengan Direktur PT Ella Pratama Perkasa (EPP), Sukron Yuliadi Mufti.

    Wahyunoto bersekongkol dengan Sukron untuk mengurus Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) PT EPP agar memiliki KBLI pengelolaan sampah, bukan hanya KBLI pengangkutan.

    “Padahal, PT EPP tidak memiliki fasilitas, kapasitas, atau kompetensi sebagai perusahaan yang dapat melakukan pekerjaan pengelolaan sampah sesuai ketentuan yang berlaku.”

    “Agar dapat mengikuti proses pengadaan tersebut, tersangka SYM telah bersekongkol dengan WL,” ungkap Rangga, dikutip dari Kompas.com.

    Mengenai aliran dana yang masuk ke Wahyunoto, Rangga menyatakan bahwa penyidik masih mendalami hal tersebut.

    “Untuk sementara, tim masih melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap aliran dananya,” katanya.

    Sebelumnya, Sukron juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama dan saat ini ditahan di Rumah Tahanan Kelas IIB Serang.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • Pak Lurah di Sleman Jadi Tersangka Setelah Sewakan Tanah Kelurahan Jadi Tempat Dugem

    Pak Lurah di Sleman Jadi Tersangka Setelah Sewakan Tanah Kelurahan Jadi Tempat Dugem

    TRIBUNJATENG.COM – Seorang lurah di Sleman Yogyakarta ditahan dan jadi tersangka setelah menyewakan tanah kelurahan menjadi tempat dugem.

    Dia menjadi tersangka dugaan kasus korupsi suap oleh seorang pengusaha.

    Kejaksaan Negeri Sleman menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap satu orang lurah dan satu orang pengusaha. 

    Keduanya ditetapkan tersangka dan ditahan dalam kasus dugaan suap pemanfaatan tanah kas desa (TKD) di Padukuhan Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Sleman.  

    Diketahaui, tanah kas desa tersebut disewa dan hendak dijadikan tempat hiburan malam.

    Pada September 2024, Warga Dusun Kronggahan, Trihanggo, Gamping, Kabupaten Sleman, menolak pembangunan kelab malam di wilayahnya.

    “Tadi memang ada kegiatan penetapan tersangka dan penahanan,” ujar Kasi Pidsus Kejari Sleman, Indra Saragih saat dihubungi, Selasa (15/04/2025).

    Indra mengatakan, Lurah Trihanggo, berinisial PFY dan pengusaha berinisial ASA ditetapkan tersangka dan ditahan.

    Lurah Trihanggo inisial PFY ditahan di Rutan Yogyakarta.

    Sedangkan inisial ASA ditahan di Lapas Cebongan, Sleman.

    “Pemanfaatan tanah kas desa, jadi ada suap di situ. Kasus suap, penyidikan kami sejak bulan November,” ucapnya.

    Indra Saragih menyampaikan, modus yang digunakan yakni dari pihak pengusaha menyerahkan sejumlah uang kepada lurah.

    Uang yang diserahkan tersebut sebagai uang sewa tanah kas desa (TKD).

    “Uang yang diserahkan dari pihak swasta itu totalnya Rp 316 juta, cuma modusnya dianggap itu sebagian sebagai uang sewa.”

    “Padahal untuk sewa tanah kas desa harus izin gubernur, permohonan izin baru bisa dialih fungsikan,” tuturnya.

    Tanah kas desa tersebut rencananya akan dimanfaatkan sebagai tempat hiburan malam.

    Tanah kas desa ini ada di Padukuhan Kronggahan 1, Kalurahan Trihanggo, Kapanewon Gamping, Kabupaten Gamping.

    “Pemanfaatan tanah kas desa harus ada sewa, sewa antara pihak yang memanfaatkan dengan pihak kalurahan.”

    “Tapi sewa itu baru bisa sepanjang ada izin gubernur. Kalau nggak ada izin gubernur, mana bisa sewa,” tuturnya.

    Selain itu besaran uang sewa tanah kas desa tersebut tidak melalui mekanisme yang ada.

    Perhitungan uang sewa hanya berdasarkan perhitungan sendiri.

    “Dia menggunakan dasar perhitungan biaya sewa itu hanya berdasarkan perhitungan sendiri, tanpa perhitungan dari ahli.”

    “Jadi harus ada penilaian terhadap luas tanah kalau mau disewa per meter berapa, itu dijadikan dasar untuk membuat perjanjian sewa. Itu tidak dilalui, itu tidak ada,” ungkapnya.

    Tersangka PFY dIsangkakan Pasal 5 ayat (2) huruf a atau Pasal 5 ayat (2) huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan PIdana Korupsi.

    Sedangkan ASA sangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun Tahun 1999 tentang Pemberantasan PIdana Korupsi.

    Setelah ini Kejari Sleman akan kembali meminta keterangan keduanya sebagai tersangka. Setelah itu berkas akan dikirimkan ke Penuntut Umum.

    “Setelah ini dilakukan pemberkasan penyidikan, nanti akan dimintai keterangan sebagai tersangka, baru kemudian berkas dikirim ke penuntut umum,” pungkasnya. (*)