Kementrian Lembaga: Kejaksaan

  • Detik-detik Penggeledahan Kamar Ali Mutharom di Jepara, Ditemukan Rp 5,5 M di Koper Dibungkus Karung

    Detik-detik Penggeledahan Kamar Ali Mutharom di Jepara, Ditemukan Rp 5,5 M di Koper Dibungkus Karung

    Detik-detik Penggeledahan Kamar Ali Mutharom di Jepara, Ditemukan Rp 5,5 M di Koper Dibungkus Karung

    TRIBUNJATENG.COM– Detik-detik penggeledahan kamar Ali Mutharom di Jepara, Jawa Tengah.

    Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan dan penyidik menemukan uang Rp 5,5 miliar yang disimpan dalam sebuah koper dibungkus karung.

    Dalam video yang diterima Tribunjateng.com, tampak beberapa orang penyidik memakai rompi melakukan penggeledahan di sebuah kamar.

    Awalnya, penyidik tampak berbincang dengan beberapa orang yang kemudian diketahui sebagai anggota keluarga Ali Mutharom .

    Tak lama kemudian, penyidik memasuki sebuah kamar dan mulai memeriksa area kolong tempat tidur.

    Di sana, seorang wanita terlihat membantu penyidik saat hendak mengambil sebuah benda yang diduga kuat sebagai barang bukti.

    Beberapa saat berselang, penyidik menarik keluar sebuah kardus berukuran cukup besar dari bawah tempat tidur.

    Setelah kardus tersebut dibuka, ditemukan sebuah koper hitam yang tersimpan di dalam karung berwarna putih.

    Ketika koper itu dibuka, terlihat tumpukan uang yang terbungkus rapi dalam dua lapisan plastik berwarna putih dan merah.

    Di waktu yang hampir bersamaan, terdengar suara salah satu petugas sedang berbicara melalui telepon, menyampaikan bahwa uang tersebut telah berhasil ditemukan.

    Uang di bawah kasur Ali Mutharom ()

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, penggeledahan itu dilakukan pihaknya pada Minggu (13/4/2025) lalu.

    Harli menjelaskan, saat penggeledahan, penyidik menemukan mata uang Dollar Amerika Serikat (USD) sebanyak 3.600 lembar atau 36 blok.

    “Jadi kalau kita setarakan di kisaran Rp 5,5 miliar ya,” kata Harli kepada wartawan, Rabu (23/5/2025).

    Lebih jauh ia menerangkan, awalnya saat melakukan penggeledahan di rumah itu, penyidik belum menemukan adanya uang miliaran tersebut.

    Namun disaat bersamaan, penyidik melakukan komunikasi dengan penyidik yang berada di Jakarta untuk menanyakan kepada Ali Mutharom yang saat itu tengah diperiksa di Kejagung.

    “Jadi ketika saudara AM diperiksa disini berkomunikasi dengan keluarga di sana akhirnya itu ditunjukkan dibuka diambil bahwa uang itu ada dibawah tempat tidur,” ucap Harli.

    Terkait hal ini, Harli belum bisa memastikan apakah uang itu sengaja disimpan oleh Ali dibawah kasur dengan tujuan menyembunyikan keberadaannya.

    Ia menduga bahwa uang tersebut hanya Ali Mutharom yang mengetahui sehingga pada saat penyidik lakukan pemggeledahan tidak ditemukan keberadaan uang tersebut.

    “Ya mungkin disimpan disana, tapi karena yang bersangkutan sudah disini kan waktu itu yang disana adalah keluarga ( Ali Mutharom ), nah bisa saja yang mengetahui itu yang bersangkutan. Jadi waktu penyidik kesana itu sepertinya tidak menemukan (barang bukti uang),” katanya.

    Ali Mutharom ()

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan delapan orang tersangka dalam kasus suap pemberian vonis lepas dalam perkara korupsi CPO. 

    Delapan orang itu yakni MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Wahyu Gunawan yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sementara itu Marcella Santoso dan Ariyanto Bakrie berprofesi sebagai advokat. 

    Lalu, tiga hakim yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara itu yakni Djuyamto, Ali Mutharom dan Agam Syarif Baharudin. Serta yang terbaru yakni Muhammad Syafei Head of Social Security Legal PT Wilmar Group.

    Sebelumnya, Ali Mutharom , salah satu hakim yang sebelumnya menangani perkara dugaan korupsi impor gula dengan terdakwa eks Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.

    Ali Mutharom terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi senilai Rp22,5 miliar, terkait putusan lepas (onslag) untuk tiga korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

    Dalam kasus Tom Lembong, Ali Mutharom bertugas sebagai hakim anggota bersama Purwanto S Abdullah, di bawah kepemimpinan hakim ketua Dennie Arsan Fatrika.

    Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan empat tersangka dalam dugaan suap perkara tersebut.

    Empat tersangka tersebut adalah MAN alias Muhammad Arif Nuryanta, yang kini menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Wahyu Gunawan (WG) yang kini merupakan panitera muda di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

    Sementara itu Marcella Santoso (MS) dan Ariyanto (AR) berprofesi sebagai advokat.

    “Penyidik menemukan fakta dan alat bukti bahwa MS dan AR melakukan perbuatan pemberian suap dan atau gratifikasi kepada MAN sebanyak, ya diduga sebanyak Rp60 miliar,” kata Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar, Sabtu (12/4/2025) malam.

    Abdul Qohar menjelaskan jika suap tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara korporasi sawit soal pemberian fasilitas ekspor CPO dan turunannya.

    “Terkait dengan aliran uang, penyidik telah menemukan bukti yang cukup bahwa yang bersangkutan (MAN) diduga menerima uang sebesar 60 miliar rupiah,” ujar Abdul Qohar.

    “Untuk pengaturan putusan agar putusan tersebut dinyatakan onslag, dimana penerimaan itu melalui seorang panitera namanya WG,” imbuhnya.

    Putusan onslag tersebut dijatuhkan pada tiga korporasi raksasa itu. Padahal, sebelumnya jaksa menuntut denda dan uang pengganti kerugian negara hingga sekira Rp17 triliun.

    Kekinian, tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menerima uang senilai Rp 22,5 miliar dalam kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag terhadap tiga terdakwa korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

    Adapun ketiga hakim yang kini berstatus tersangka itu yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharudin selaku hakim anggota dan Ali Mutharom sebagai hakim AdHoc.

  • Suap Hakim Kasus CPO, Ali Muhtarom Simpan Rp 5,5 M di Bawah Kasur

    Suap Hakim Kasus CPO, Ali Muhtarom Simpan Rp 5,5 M di Bawah Kasur

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap temuan mengejutkan dalam pengusutan kasus dugaan suap hakim terkait vonis perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Ali Muhtarom kedapatan menyembunyikan uang senilai Rp 5,5 miliar di bawah kasur rumahnya di Jepara, Jawa Tengah.

    Fakta itu terungkap setelah Kejagung melakukan penggeledahan di kediaman Ali, menyusul pemeriksaan intensif yang dilakukan terhadapnya.

    “Ketika saudara AM diperiksa, ia berkomunikasi dengan keluarganya di Jepara, dan akhirnya ditunjukkan lokasi penyimpanan uang tersebut di bawah tempat tidur,” ungkap Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar kepada wartawan, Rabu (23/4/2025).

    Menurut Harli, uang yang disembunyikan Ali terdiri dari berbagai mata uang asing terkait kasus suap hakim vonis CPO. Seluruh uang hasil sitaan telah disetorkan ke rekening penitipan di Bank BRI.

    Selain rumah Ali Muhtarom, Kejagung juga menggeledah empat lokasi lainnya yang diduga terkait dengan aliran suap dari Ariyanto Bakrie dan istrinya, Marcella Santoso. Keduanya tengah diselidiki atas dugaan menyuap sejumlah hakim dalam perkara ekspor CPO.

    “Kita terus menelusuri untuk membuat terang aliran dan sumber dana suap ini,” tambah Harli.

    Kasus suap hakim vonis CPO ini menjadi perhatian publik karena melibatkan pejabat peradilan tingkat tinggi. Kejagung menegaskan akan mengusut tuntas skandal ini demi menjaga integritas lembaga hukum di Indonesia.

  • RUU Polri Akan Dibahas Setelah RUU KUHAP, Ini 8 Poin yang Dinilai Berbahaya

    RUU Polri Akan Dibahas Setelah RUU KUHAP, Ini 8 Poin yang Dinilai Berbahaya

    PIKIRAN RAKYAT – Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) akan dibahas usai RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Sebelumnya RUU Polri menuai banyak kritik, sebab revisi ini disebut-sebut berpotensi memberikan kekuasaan berlebihan kepada Polri dan mengancam prinsip demokrasi serta perlindungan hak asasi manusia (HAM).

    Pada Selasa, 28 Mei 2024, rapat paripurna DPR resmi menetapkan RUU ini sebagai usul inisiatif DPR. Namun, prosesnya dinilai terburu-buru dan tidak transparan. RUU Polri bahkan tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020–2024.

    Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, mengatakan bahwa RUU Polri kemungkinan baru akan dibahas setelah selesai. Menurutnya, RUU KUHAP saat ini menjadi prioritas karena harus selesai pada 2025 untuk mendampingi penerapan KUHP baru pada 2026.

    “Saya belum bisa kasih tanggapan soal itu (RUU Polri dan RUU Kejaksaan). Kami pertegas saat ini fokus penyelesaian RUU KUHAP,” ujar Rudianto di Jakarta, Selasa, 22 April 2025.

    Ia juga menyebut bahwa UU KUHAP yang berlaku saat ini sudah sangat tua karena dibuat pada tahun 1981, dan banyak pasalnya telah dibatalkan Mahkamah Agung.

    Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa pemerintah tetap menjadwalkan pengajuan RUU Polri dan Kejaksaan pada tahun ini.

    “Sesuai dengan agenda seperti itu,” kata Prasetyo di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, 21 April 2025, sambil menambahkan bahwa isi kedua RUU masih akan dibahas lebih lanjut.

    8 Poin RUU Polri yang Dinilai Bermasalah

    Berikut ini adalah poin-poin kontroversial dalam RUU Polri yang menuai kritik dari publik dan lembaga masyarakat sipil:

    Pengawasan Ruang Siber: Memberi kewenangan Polri untuk memblokir atau memperlambat akses internet, yang berisiko membatasi kebebasan berekspresi dan privasi warga. Penggalangan Intelijen: Polri dapat melakukan penggalangan dan meminta informasi dari lembaga lain tanpa kejelasan batas wewenang, berisiko tumpang tindih dengan BIN dan PPATK. Penyadapan Tanpa Izin: Polri diberi hak menyadap tanpa mekanisme izin seperti KPK, membuka peluang pelanggaran HAM. Intervensi Lembaga Penyidikan Lain: Polri bisa memberi arahan teknis ke penyidik lembaga lain, termasuk KPK, yang dinilai bisa melemahkan independensi. Penguatan Pam Swakarsa: Membuka jalan bagi kebangkitan Pam Swakarsa, yang memiliki catatan historis terkait represi terhadap masyarakat sipil. Perpanjangan Usia Pensiun: Usia pensiun anggota Polri diperpanjang hingga 65 tahun, yang dikhawatirkan menghambat regenerasi. Wewenang di Hukum Nasional dan Smart City: Polri terlibat dalam pembinaan hukum dan proyek smart city, menimbulkan tumpang tindih tugas dengan lembaga lain. Minimnya Mekanisme Pengawasan: Tidak ada penguatan signifikan terhadap pengawasan eksternal Polri. Kompolnas dan Komisi Etik masih diatur melalui peraturan internal, bukan undang-undang.

    Belum lama ini Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menyebut bahwa RUU ini justru memperluas kewenangan Polri secara tidak proporsional, alih-alih melakukan perbaikan mendasar terhadap institusi tersebut.

    Dikhawatirkan, Polri akan menjadi lembaga “superbody” dengan kekuasaan besar namun minim pengawasan.

    Belum reda kritik terhadap revisi UU TNI, kini muncul kekhawatiran serupa terhadap RUU Polri.

    Banyak pihak mendesak agar pembahasannya ditunda dan dilakukan secara lebih terbuka serta melibatkan partisipasi publik. ***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kejagung: Karen Agustiawan Teken Kontrak 10 Tahun dengan Perusahaan Anak Riza Chalid

    Kejagung: Karen Agustiawan Teken Kontrak 10 Tahun dengan Perusahaan Anak Riza Chalid

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menyampaikan eks Dirut PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan telah meneken kontrak kerja sama dengan PT Orbit Terminal Merak (OTM).

    Sebelumnya, PT OTM merupakan perusahaan milik Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR). Dia merupakan tersangka dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang.

    Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar mengatakan kerja sama Pertamina dengan perusahaan milik anak dari saudagar minyak Riza Chalid itu dilakukan pada akhir masa jabatan Karen.

    “Pada 2014 itu, yang bersangkutan [Karen] memberikan persetujuan terhadap kontrak yang berlangsung selama kalau nggak salah 10 tahun, terhadap kontrak storage,” ujar Harli di Kejagung, Rabu (23/4/2025).

    Dia menambahkan, penyidik pada Jampidsus Kejagung masih perlu mendalami peran Karen pada perkara dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk kilang tersebut.

    Di samping itu, Harli juga tidak ingin berandai-andai soal Karen bakal diperkarakan pada kasus ini. Sebab, pembuktian untuk pihak-pihak yang bertanggungjawab bakal bergantung penyidik.

    “Iya, semua itu berpulang bagaimana fakta hukumnya. Tapi bahwa penyidik melakukan pemeriksaan terhadap yang bersangkutan untuk memperkuat ya, peran-peran dari para tersangka ini,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, Karen diperiksa pada Selasa (23/4/2025). Selain Karen, Kejagung juga turut memeriksa lima saksi lainnya.

    Perincian saksi yang diperiksa itu yakni, GI selaku Advisor to CPO PT Berau Coal; AW selaku Assistant Manager Procurement Department PT Pamapersada Nusantara Group; RS selaku Analyst Product ISC Pertamina; AF selaku Assistant Operation Risk Division BRI; dan BP selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada 2021 di Kementerian Keuangan.

  • DPR Dukung Langkah Ketua MA Mutasi Ratusan Hakim, Komitmen Benahi Lembaga Peradilan – Page 3

    DPR Dukung Langkah Ketua MA Mutasi Ratusan Hakim, Komitmen Benahi Lembaga Peradilan – Page 3

    Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sebagai tersangka di kasus vonis lepas terdakwa korporasi dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit pada Januari 2021-April 2022.

    “Maka pada malam hari tadi sekitar pukul 11.30, tim penyidik telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara ini,” tutur Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Ada sebanyak tujuh saksi yang diperiksa secara maraton hari ini, dengan tiga di antaranya adalah yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Agam Syarif Baharuddin (ABS) selaku hakim PN Jakarta Pusat, Ali Muhtarom (AM) selaku hakim PN Jakarta Pusat, dan Djuyamto (DJU) selaku hakim PN Jakarta Selatan.

    Ketiganya merupakan majelis hakim yang menyidangkan terdakwa korporasi yang divonis lepas, dengan susunannya Ketua Majelis Hakim Djuyamto, Hakim Anggota Agam Syarif Baharuddin dan Hakim Anggota Ali Muhtarom.

    “Terhadap para tersangka dilakukan penahanan 20 hari ke depan,” kata Qohar.

    Terhadap ketiga tersangka, yakni hakim Agam Syarif Baharuddin, hakim Ali Muhtarom, dan hakim Djuyamto (DJU) ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejagung.

  • Mahkamah Agung Mutasi 199 Hakim, Diharapkan Tak Ada Lagi Praktik Transaksional – Page 3

    Mahkamah Agung Mutasi 199 Hakim, Diharapkan Tak Ada Lagi Praktik Transaksional – Page 3

    Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) sebagai tersangka di kasus vonis lepas terdakwa korporasi dalam perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit pada Januari 2021-April 2022.

    “Maka pada malam hari tadi sekitar pukul 11.30, tim penyidik telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka dalam perkara ini,” tutur Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar di Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (14/4/2025) dini hari.

    Ada sebanyak tujuh saksi yang diperiksa secara maraton hari ini, dengan tiga di antaranya adalah yang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Agam Syarif Baharuddin (ABS) selaku hakim PN Jakarta Pusat, Ali Muhtarom (AM) selaku hakim PN Jakarta Pusat, dan Djuyamto (DJU) selaku hakim PN Jakarta Selatan.

     

  • Kejagung Sita Koleksi 130 Helm Milik Tersangka Kasus Suap Vonis CPO

    Kejagung Sita Koleksi 130 Helm Milik Tersangka Kasus Suap Vonis CPO

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita 130 helm dari berbagai merek milik pengacara sekaligus tersangka Ariyanto.

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan ratusan helm di kediaman Ariyanto yang berlokasi di Jalan Mendut, Menteng, Jakarta Pusat.

    “Juga dari Jalan Mendut di daerah Menteng itu penyidik melakukan penyitaan setidaknya terhadap 130 helm,” ujar Harli di Kejagung, Rabu (22/4/2025).

    Harli menjelaskan bahwa penyitaan pelindung kepala tersebut perlu dilakukan karena ratusan unit helm itu memiliki nilai ekonomis yang signifikan.

    Adapun, berdasarkan dokumen penyitaan yang dilihat Bisnis, ratusan helm itu ada yang bermerek Shoei, Ruby, Arai hingga Martini.

    “Barangkali mungkin pertanyaan publik ini, helm juga kenapa disita? Tapi ternyata helm juga sekarang mempunyai nilai ekonomis yang cukup signifikan,” imbuhnya.

    Selain itu, penyidik juga turut menyita dua unit kapal milik Ariyanto di Jalan Dermaga Marine, ini di daerah Pademangan, Baruna Raya, Jakarta Utara.

    Harli menyatakan satu kapal Skorpio GT4NT2 telah berhasil disita, namun satu lainnya masih dalam proses permintaan izin di pengadilan negeri.

    “Nah kemudian ada 12 sepeda mewah, kemudian ada satu unit sepeda motor Harley,” pungkas Harli.

    Sekadar informasi, Ariyanto ditetapkan sebagai tersangka atas perannya yang menjadi salah satu perantara pemberian suap ke Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta senilai Rp60 miliar.

  • Kejagung Sita Uang Rp5,5 Miliar dari Bawah Kasur Rumah Hakim Ali Muhtarom

    Kejagung Sita Uang Rp5,5 Miliar dari Bawah Kasur Rumah Hakim Ali Muhtarom

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menyita uang sekitar Rp5,5 miliar dari penggeledahan di kediaman Hakim Ali Muhtarom (AM) di Jepara.

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan uang miliaran itu diperoleh dari 3.600 lembar mata uang asing pecahan US$100. Adapun, penggeledahan itu dilakukan pada (16/4/2025).

    “Dari rumah tersebut ditemukan sejumlah uang dalam mata uang asing sebanyak 3.600 lembar atau 36 blok yang dengan mata uang asing US$100, jadi kalau kita setarakan di kisaran Rp5,5 miliar ya,” ujarnya di Kejagung, Rabu (23/4/2025).

    Dia menambahkan, uang itu ditemukan di kamar tidur dari salah satu kamar di rumah milik tersangka kasus suap tersebut.

    Di samping itu, Harli menyatakan bahwa temuan uang miliaran itu bakal didalami keterkaitannya dalam perkara suap vonis onstlag crude palm oil (CPO) korporasi.

    “Itu juga yang mau didalami. Apakah itu aliran itu yang belum digunakan atau memang itu simpanan dari yang lain, kita belum tahu,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, kasus ini bermula saat majelis hakim yang dipimpin Djuyamto memberikan vonis bebas terhadap tiga grup korporasi di kasus minyak goreng.

    Djuyamto dijadikan tersangka atas perannya yang diduga menerima uang suap bersama Agam Syarif Baharudin (AGM) dan Ali sebesar Rp22,5 miliar. 

    Adapun, uang itu disediakan oleh Kepala Legal Wilmar Group Muhammad Syafei, penyerahannya dilakukan melalui pengacara Ariyanto dan Panitera PN Jakut, Wahyu Gunawan. 

    Sejatinya, Syafei telah menyiapkan Rp20 miliar untuk meminta para “wakil tuhan” itu bisa memberikan vonis lepas terhadap tiga terdakwa group korporasi, mulai dari Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas.

    Namun, Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta meminta uang itu digandakan menjadi Rp60 miliar. Singkatnya, permintaan itu disanggupi Syafei dan vonis lepas diketok oleh Djuyamto Cs.

  • Dari Suap Ronald Tannur, Skandal Konglomerat CPO hingga Kasus Framing Berita

    Dari Suap Ronald Tannur, Skandal Konglomerat CPO hingga Kasus Framing Berita

    Bisnis.com, JAKARTA — Rentetan kasus hukum dari penyuapan hingga perintangan terkuak saat penemuan barang bukti yang berkaitan dengan pengacara sekaligus tersangka Marcella Santoso (MS).

    Mulanya, dari penggeledahan perkara suap vonis bebas Ronald Tannur nama Marcella disinggung dari barang bukti yang ditemukan oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Setelah itu, penyidikan berkembang hingga akhirnya diperoleh tersangka dugaan suap perkara ekspor crude palm oil (CPO) tiga grup korporasi.

    Awalnya, Kejagung menetapkan empat tersangka mulai dari Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Panitera PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG) dan dua advokat Marcella serta Ariyanto (AR).

    Selanjutnya, kejagung juga mendapatkan bukti yang cukup untuk menetapkan tiga hakim yakni Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharudin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM). Selain itu, Kepala Legal Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY).

    Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan ketujuh tersangka ini memiliki keterkaitan untuk mengatur vonis pada perkara suap CPO.

    Misalnya, Syafei berperan sebagai penyedia uang suap agar kasus minyak goreng korporasi itu bisa divonis lepas atau onstlag.

    Mulanya, Syafei hanya menyediakan Rp20 miliar. Uang tersebut kemudian dikondisikan melalui Marcella dan Ariyanto ke Wahyu.

    Kemudian, Wahyu yang merupakan perantara uang suap itu melaporkan permintaan Syafei ke Arif Nuryanta dan meminta uang itu dikalikan tiga atau menjadi Rp60 miliar.

    Singkatnya, uang itu diterima Arif dan kemudian diduga didistribusikan kepada tiga hakim mulai dari Djuyamto, Agam dan Ali Muhtarom sebesar Rp22,5 miliar.

    Dari uang tersebut juga, Wahyu Gunawan selaku Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara mendapatkan jatah USD50.000 atas jasanya sebagai perantara.

    Adapun, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto itu kemudian mengetok vonis lepas terhadap Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    Setelah dinyatakan vonis lepas, maka tiga group korporasi itu telah dibebaskan dari tuntutan pembayaran denda dan uang pengganti sebesar Rp17,7 triliun.

    Kasus Perintangan Terkuak

    Tak lama dari pengungkapan kasus suap itu, Kejagung kembali mengumumkan perkara baru. Kali ini, soal perintangan penyidikan yang menyeret Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB).

    Lagi-lagi kasus tersebut terkuak saat kejagung menemukan barang bukti yang berkaitan dengan Marcella. Salah satu barang bukti yang dimaksud yakni terkait laporan realisasi pemberitaan dari Tian Bahtiar kepada Marcella.

    Dalam perkara ini, Marcella juga kembali menjadi tersangka. Selain Marcella dan Tian, dosen sekaligus advokat Junaidi Saibih (JS) juga turut menjadi tersangka.

    Kemudian, ketiga tersangka itu memiliki perannya masing-masing. Misalnya, Marcella bertanggung jawab atas hal-hal yang berkaitan dengan pengadilan.

    Selanjutnya, Junaidi berkaitan dengan rencana framing dengan mengundang narasumber yang beropini untuk menguntungkan kubu penasihat hukum.

    Sementara itu, Tian berperan untuk menyebarluaskan framing untuk membuat opini publik menjadi negatif sehingga dianggap telah menyudutkan kinerja korps Adhyaksa.

    Adapun, framing atau narasi negatif itu dituangkan dengan skema pembuatan podcast, acara TV, forum diskusi hingga melalui pembiayaan aksi demonstrasi. Bahan dari skema itu kemudian disebarluaskan ke media massa.

    Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar mencatat bahwa atas kerja sama tersebut, Tian Bahtiar telah mengantongi total Rp478,5 juta dari Marcella dan Junaidi.

    “Baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di persidangan sementara berlangsung dengan biaya sebesar Rp478,5 juta yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan Tersangka JS kepada Tersangka TB,” ujar Harli dalam keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025).

    Respons Dewan Pers

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan pihaknya telah membahas persoalan yang menyeret Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar dengan pihak Kejagung.

    Dari hasil diskusi itu, Dewan Pers menyatakan bahwa pihaknya bakal menyerahkan penanganan perkara tersebut ke Kejagung apabila telah ditemukan bukti yang cukup.

    “Saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung disaksikan langsung oleh Pak Kapuspen dan Anggota Dewan Pers sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan,” ujarnya di Kejagung, Selasa (22/4/2025).

    Dia menjelaskan sejatinya Dewan Pers memiliki kewenangan untuk menilai karya pemberitaan sebagai karya jurnalistik atau bukan, termasuk dalam penanganan perkara jurnalistik yang menyimpang.

    Salah satu praktik jurnalistik yang melanggar kode etik yaitu perilaku pekerja pers yang terindikasi suap. Adapun, perilaku menyimpang itu masuk ke Pasal 6 dan Pasal 8 dalam kode etik jurnalistik.

    “Jurnalis kalau ada indikasi tindakan-tindakan yang berupa suap atau penyalahgunaan profesinya, ada pengaturan di dalam kode etik dan itu masuk ranah wilayah etik di pasal 6 dan pasal 8,” imbuhnya.

    Dalam hal ini, Ninik menjelaskan bahwa pihaknya akan menilai apakah produk jurnalistik itu ditemukan pelanggaran atau tidak melalui proses uji akurasi.

    Kemudian, Dewan Pers juga menilai perilaku wartawan maupun perusahaan media yang terkait dengan kinerjanya, apakah sudah memenuhi profesionalisme atau justru melanggar kode etik.

    “Nah itulah kami ketika duduk bersama dan menyepakati ada ranah yang dilakukan oleh Kejaksaan tetapi juga ada ranah yang dilakukan oleh Dewan Pers,” pungkas Ninik.

  • Kena Tilang Elektronik? Ini Panduan Cara Membayar Dendanya

    Kena Tilang Elektronik? Ini Panduan Cara Membayar Dendanya

    Jakarta: Indonesia telah menerapkan sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE). Pengendara yang terkena tilang elektronik akan menerima surat tilang dari kepolisian yang dikirim langsung ke rumah.

    Buat kamu yang mendapat surat pemberitahuan tilang elektronik ini dapat membayar dendanya dengan berbagai cara yang mudah. Sebelum melakukan pembayaran kamu harus terlebih dahulu melakukan konfirmasi.

    Konfirmasi dilakukan lewat situs https://konfirmasi.etlelodaya.id/ dalam waktu maksimal 8 hari sejak pelanggaran tercatat. Pastikan jangan sampai telat melakukan konfirmasi ya! Karena, jika telat melakukan konfirmasi, maka STNK bisa saja diblokir pihak berwajib.

    Setelah melakukan konfirmasi dan mengisi formulir selanjutnya akan kamu akan menerima SMS dari e-tilang berisi nomor registrasi tilang (blangko) dengan nomor rekening BRIVA untuk pembayaran denda minimal H-4 sidang. Nah pembayaran denda dini bisa dilakukan dengan berbagai cara.
    Cara Bayar Tilang Elektronik
    Ada tiga cara membayar denda tilang elektronik, yakni melalui situs e-tilang, m-banking atau ATM BRI, dan pembayaran langsung pada kantor bank BRI. Simak penjelasannya berikut ini:

    1. Bayar via E-Tilang

    Masuk ke situs resmi e-tilang (https://tilang.kejaksaan.go.id/)  melalui smartphone atau PC
    Masukkan nomor berkas tilang di kolom yang disediakan
    Klik “Cari” untuk melihat besaran denda tilang elektronik
    Jika nomor berkas tilang yang dimasukan sesuai, besaran denda tilang yang harus dibayarkan akan tertera pada layar
    Klik “Bayar”
    Lakukan pembayaran denda tilang menggunakan kode pembayaran yang tersedia
    Pastikan nominal yang dibayarkan sesuai dengan nominal denda yang ditetapkan
    Klik “Konfirmasi Pembayaran”
    Simpan bukti transaksi

     

     

    2. Bayar via ATM BRI

    Masukkan Kartu Debit BRI dan PIN
    Pilih menu Transaksi Lain > Pembayaran > Lainnya > BRIVA
    Masukkan 15 angka Nomor pembayaran Tilang
    Pastikan detail denda tilang elektronik sesuai dengan Nomor BRIVA, Nama Pelanggar, dan Jumlah Pembayaran
    Ikuti instruksi untuk menyelesaikan transaksi
    Copy struk ATM sebagai bukti dan disimpan
    Struk ATM asli diserahkan ke penindak ETLE untuk ditukar dengan barang bukti yang disita

    3. Bayar via Mobile Banking BRI

    Login aplikasi BRI Mobile atau BRImo
    Pilih Menu Mobile Banking BRI > Pembayaran > BRIVA
    Masukkan 15 angka Nomor Pembayaran Tilang
    Masukkan nominal pembayaran sesuai jumlah denda tilang elektronik yang harus dibayarkan.
    Masukkan PIN
    Simpan notifikasi SMS sebagai bukti bayar
    Tunjukkan notifikasi SMS ke penindak ETLE untuk ditukar dengan barang yang disita

     

    4. Bayar via Kantor Bank BRI

    Ambil nomor antrian transaksi teller dan isi slip setoran
    Isi 15 angka Nomor Pembayaran Tilang pada kolom “Nomor Rekening”
    Isi Nominal denda tilang elektronik pada slip setoran
    Serahkan slip setoran hasil validasi sebagai bukti bayar
    Slip setoran lalu diserahkan ke penindak ETLE untuk ditukar dengan barang bukti yang disita

    Jakarta: Indonesia telah menerapkan sistem tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE). Pengendara yang terkena tilang elektronik akan menerima surat tilang dari kepolisian yang dikirim langsung ke rumah.
     
    Buat kamu yang mendapat surat pemberitahuan tilang elektronik ini dapat membayar dendanya dengan berbagai cara yang mudah. Sebelum melakukan pembayaran kamu harus terlebih dahulu melakukan konfirmasi.
     
    Konfirmasi dilakukan lewat situs https://konfirmasi.etlelodaya.id/ dalam waktu maksimal 8 hari sejak pelanggaran tercatat. Pastikan jangan sampai telat melakukan konfirmasi ya! Karena, jika telat melakukan konfirmasi, maka STNK bisa saja diblokir pihak berwajib.

    Setelah melakukan konfirmasi dan mengisi formulir selanjutnya akan kamu akan menerima SMS dari e-tilang berisi nomor registrasi tilang (blangko) dengan nomor rekening BRIVA untuk pembayaran denda minimal H-4 sidang. Nah pembayaran denda dini bisa dilakukan dengan berbagai cara.

    Cara Bayar Tilang Elektronik
    Ada tiga cara membayar denda tilang elektronik, yakni melalui situs e-tilang, m-banking atau ATM BRI, dan pembayaran langsung pada kantor bank BRI. Simak penjelasannya berikut ini:

    1. Bayar via E-Tilang

    Masuk ke situs resmi e-tilang (https://tilang.kejaksaan.go.id/)  melalui smartphone atau PC
    Masukkan nomor berkas tilang di kolom yang disediakan
    Klik “Cari” untuk melihat besaran denda tilang elektronik
    Jika nomor berkas tilang yang dimasukan sesuai, besaran denda tilang yang harus dibayarkan akan tertera pada layar
    Klik “Bayar”
    Lakukan pembayaran denda tilang menggunakan kode pembayaran yang tersedia
    Pastikan nominal yang dibayarkan sesuai dengan nominal denda yang ditetapkan
    Klik “Konfirmasi Pembayaran”
    Simpan bukti transaksi

     

     

    2. Bayar via ATM BRI

    Masukkan Kartu Debit BRI dan PIN
    Pilih menu Transaksi Lain > Pembayaran > Lainnya > BRIVA
    Masukkan 15 angka Nomor pembayaran Tilang
    Pastikan detail denda tilang elektronik sesuai dengan Nomor BRIVA, Nama Pelanggar, dan Jumlah Pembayaran
    Ikuti instruksi untuk menyelesaikan transaksi
    Copy struk ATM sebagai bukti dan disimpan
    Struk ATM asli diserahkan ke penindak ETLE untuk ditukar dengan barang bukti yang disita

    3. Bayar via Mobile Banking BRI

    Login aplikasi BRI Mobile atau BRImo
    Pilih Menu Mobile Banking BRI > Pembayaran > BRIVA
    Masukkan 15 angka Nomor Pembayaran Tilang
    Masukkan nominal pembayaran sesuai jumlah denda tilang elektronik yang harus dibayarkan.
    Masukkan PIN
    Simpan notifikasi SMS sebagai bukti bayar
    Tunjukkan notifikasi SMS ke penindak ETLE untuk ditukar dengan barang yang disita

     

    4. Bayar via Kantor Bank BRI

    Ambil nomor antrian transaksi teller dan isi slip setoran
    Isi 15 angka Nomor Pembayaran Tilang pada kolom “Nomor Rekening”
    Isi Nominal denda tilang elektronik pada slip setoran
    Serahkan slip setoran hasil validasi sebagai bukti bayar
    Slip setoran lalu diserahkan ke penindak ETLE untuk ditukar dengan barang bukti yang disita

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (RUL)