Kejagung Blokir Aset Hakim Heru Hanindyo yang Jadi Tersangka TPPU
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Kejaksaan Agung
(Kejagung) telah memblokir sejumlah aset milik
Heru Hanindyo
yang telah ditetapkan sebagai tersangka atas perkara
tindak pidana pencucian uang
(TPPU).
“Selain menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka, juga melakukan berbagai kegiatan pemblokiran terhadap beberapa aset yang dilakukan oleh penyidik,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar, di kantornya, Jakarta Selatan, Selasa (29/4/2025).
Saat ini, penyidik tengah melakukan pemanggilan serta pemeriksaan terhadap saksi untuk melengkapi berkas perkara Heru.
“Penyidik sedang melakukan pemeriksaan-pemeriksaan dan pemanggilan terhadap saksi-saksi untuk melengkapi berkas perkara, saya kira itu terkait dengan HH,” ucap dia.
Harli mengatakan, penyidik menemukan hubungan tindak pidana sebelum menetapkan Heru Hanindyo sebagai tersangka TPPU.
Penyidik menemukan adanya hubungan antara perbuatan atau tindak pidana dengan aset yang dimiliki oleh yang bersangkutan.
“Jadi terkait dengan hal tersebut bahwa penyidik sebelum menetapkan tersangka, tentu melihat ada nexus di situ, ada hubungan antara perbuatan atau tindak pidana dengan aset yang dimiliki oleh yang bersangkutan,” ujar Harli.
Sebelumnya diberitakan, Kejagung telah menetapkan hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Heru Hanindyo (HH) sebagai tersangka perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Heru sebelumnya sudah ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan suap atau gratifikasi terkait vonis bebas untuk pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur.
Heru telah dituntut 12 tahun penjara dalam sidang perkara suap untuk membebaskan Ronald Tannur.
Penyidik pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) telah memeriksa satu saksi dalam kasus TPPU yang menjerat Heru Hanindyo, yaitu TNY selaku Direktur Utama PT Pesona Jati Abadi.
Selain Heru, Kejagung juga menetapkan mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Zarof Ricar, sebagai tersangka TPPU terkait kasus penanganan perkara di PN Surabaya pada tanggal 10 April 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kementrian Lembaga: Kejaksaan
-
/data/photo/2025/04/28/680f03a68eda4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kejagung Blokir Aset Hakim Heru Hanindyo yang Jadi Tersangka TPPU Nasional 29 April 2025
-

Sosok DL Sitorus, Pengusaha Sawit yang Punya Lahan Seluas 47 Ribu Hektare, Kini Disita Kejagung – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM – Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) Kejaksaan Agung (Kejagung) RI dikabarkan telah menyita lahan seluas 47.000 hektare milik mendiang DL Sitorus.
Lahan yang berada di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara yang disita oleh Kejagung tersebut selama ini dimiliki oleh PT Tor Ganda.
Lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan Register 40 yang merupakan milik negara dan tidak boleh dialihfungsikan tanpa izin resmi dari Kementerian Kehutanan.
Lantas, siapakah sosok dari DL Sitorus tersebut?
Sutan Raja Darianus Lungguk Sitorus atau yang dikenal dengan DL Sitorus merupakan pengusaha asal Sumatra Utara.
Ia dikenal sebagai raja sawit di Sumatra Utara sekaligus pemilik PT Tor Ganda, perusahaan swasta nasional yang bergerak dalam industri perkebunan dan pengolahan kelapa sawit.
Tidak hanya aktif dalam dunia usaha, DL Sitorus juga memiliki usaha di bidang pendidikan dan kesehatan.
Ia tercatat sebagai Ketua Yayasan Abdi Karya (YADIKA) yang berdiri sejak 1976, mengelola pendidikan dari TK hingga perguruan tinggi.
Kemudian, DL Sitorus juga Pendiri Universitas Satya Negara Indonesia (USNI) di Jakarta pada 1989.
Selanjutnya, DL Sitorus memiliki rumah sakit dan klinik 24 jam di wilayah Jabodetabek.
Dalam dunia politik, ia mendirikan dan menjadi tokoh utama Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) pada 20 Januari 2006.
Lahan Disita Kejagung
DL Sitorus dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2006 atas tindak pidana menguasai dan menggunakan kawasan hutan Register 40 tanpa izin.
Dalam perkara ini, DL Sitorus diduga menguasai lahan hutan lindung seluas sekitar 47.000 hektare di Padang Lawas, Sumatera Utara secara ilegal.
Ia dijatuhi hukuman penjara selama delapan tahun dan denda Rp 5 miliar, dengan putusan inkrah yang menguatkan status hukum tersebut.
Selain pidana penjara, hakim memerintahkan agar lahan seluas 47 ribu hektare beserta bangunan dan fasilitasnya disita dan dikembalikan kepada negara melalui eksekusi oleh Kejaksaan Agung.
Meninggal di Pesawat
DL Sitorus menghembuskan napas terakhir saat akan melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Medan.
Mendiang mengembuskan napas terakhirnya ketika duduk di bangku penerbangan pesawat Garuda GA 188, pada 3 Agustus 2017.
Saat itu, kabar duka DL Sitorus menghentak publik.
DL Sitorus diduga meninggal dunia pada usia 78 tahun karena penyakit jantung yang diidapnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunMedan.com dengan judul Rekam Jejak DL Sitorus, Raja Sawit yang Lahannya Seluas 47.000 Hektare Kini Disita Kejagung RI
(Tribunnews.com/David Adi) (TribunMedan.com/Array A Argus)
-

Sosok Kanit Tipikor Polrestabes Semarang & Kasi Intel Kejaksaan Disebut Dapat Jatah Korupsi Mbak Ita
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Aparat Penegak Hukum di Kota Semarang mendapat vitamin dari proyek penunjukan langsung di 16 kecamatan.
Hal itu diungkapkan Eko Yuniarto selaku Camat Pedurungan dan juga ketua Paguyuban Camat saat dihadirkan menjadi saksi perkara korupsi menjerat mantan ketua Gapensi Semarang Martono di Pengadilan Tipikor, Senin (28/4/2025).
Eko mengaku menyetorkan uang ke Polrestabes dan Kejaksaan.
Uang itu disetorkan ke Kejaksaan melalui Kasi Intel dan di Polrestabes melalui Kanit Tipikor.
“Yang suruh menyerahkan uang itu Pak Ade Bhakti. Bahwa uang itu dari pak Martono untuk diserahkan,” ujarnya.
Menurutnya, Martono menyampaikan uang itu diserahkan atas nama paguyuban Gapensi.
Tidak ada perintah dari mantan Wali kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu untuk menyerahkan uang itu kedua institusi itu.
“Jadi dari pak Martono melalui pak Ade,” kata dia.
Terpisah penasihat hukum Martono,Nur Seto menuturkan uang jatah yang disampaikan sekitar Rp 160 juta.
Berdasarkan cerita saksi uang jatah itu telah turun menurun.
“Jadi setiap ada pekerjaan pasti ada jatah seperti itu.
Sebelum PL Martono sudah ada,” ujarnya.
Ia mengatakan saksi uang itu telah diserahkan ke Kejaksaan maupun Kepolisian. Hal itu telah diungkapkan dalam keterangan saksi.
-

Setelah Zarof Ricar, Hakim Heru Hanindyo jadi Tersangka TPPU
Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Hakim Heru Hanindyo (HH) menjadi tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan Heru jadi tersangka TPPU dalam tindak pidana suap dan gratifikasi perkara vonis bebas Ronald Tannur di PN Surabaya.
“Penetapan tersangka HH sejak tanggal 10 April 2025 dalam Perkara TPPU dengan tindak pidana asal tindak pidana korupsi suap dan atau gratifikasi tahun 2020 sampai dengan tahun 2024,” ujar Harli saat dihubungi, Selasa (29/4/2025).
Dia menambahkan Heru dipersangkakan telah melanggar Pasal UU No.8/2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU atau Pasal 4 UU No 8/2010 tentang pencegahan dan pemberantasan TPPU.
Adapun, Harli mengungkap bahwa dalam perkara ini pihaknya telah memeriksa Direktur Utama PT Pesona Jati Abadi berinisial TNY selaku saksi.
Pemeriksaan itu dilakukan untuk melengkapi berkas perkara Heru dalam perkara TPPU.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” tutur Harli.
Sekadar informasi, Heru saat ini tengah menjadi terdakwa dalam perkara dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur.
Perkara itu tengah diadili di PN Tipikor Jakarta Pusat. Teranyar, Heru telah dituntut oleh jaksa penuntut umum agar divonis bersalah dan dipenjara selama 12 tahun dan denda Rp750 juta subsider enam bulan.
-

Kejagung Periksa Dua Hakim pada Kasus Suap Vonis CPO
Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa dua hakim pada perkara dugaan suap terkait vonis bebas kasus ekspor crude palm oil atau CPO korporasi.
Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar mengatakan dua hakim yang diperiksa, yaitu Haris Munandar (HM) selaku Hakim pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kemudian, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Herdiyanto Sutantyo (HS) juga turut diperiksa oleh penyidik Jampidsus Kejagung RI.
“Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta HM dan HS selaku hakim PN Jakarta Pusat telah diperiksa,” ujar Harli dalam keterangan tertulis, Selasa (29/4/2025).
Selain dua hakim itu, Kejagung juga telah memeriksa Konsultan Pembiayaan di PT Muara Sinergi Mandiri berinisial DSR dan Kasubag Kepegawai/Ortala pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, YW.
Namun, Harli tidak merinci secara detail terkait pemeriksaan ini. Dia hanya menyebut bahwa pemeriksaan dilakukan untuk melengkapi berkas perkara atas tersangka Muhammad Arif Nuryanta (MAN) Cs.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” pungkasnya.
Sekadar informasi, kasus ini bermula saat majelis hakim yang dipimpin Djuyamto memberikan vonis bebas terhadap tiga grup korporasi di kasus minyak goreng.
Djuyamto dijadikan tersangka atas perannya yang diduga menerima uang suap bersama dua hakim lainnya sebesar Rp22,5 miliar.
Adapun, uang itu disediakan oleh Kepala Legal Wilmar Group Muhammad Syafei, penyerahannya dilakukan melalui pengacara Ariyanto dan Panitera PN Jakut, Wahyu Gunawan.
Sejatinya, Syafei telah menyiapkan Rp20 miliar untuk meminta para “wakil tuhan” itu bisa memberikan vonis lepas terhadap tiga terdakwa group korporasi, mulai dari Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas.
Namun, Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta meminta uang itu digandakan menjadi Rp60 miliar. Singkatnya, permintaan itu disanggupi Syafei dan vonis lepas diketok oleh Djuyamto Cs.
-
/data/photo/2025/04/28/680fb08292123.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Kasus Korupsi Mbak Ita: Permintaan Uang Rp 16 M, Vitamin untuk Aparat hingga Modus Bersihkan Jejak Regional
Kasus Korupsi Mbak Ita: Permintaan Uang Rp 16 M, Vitamin untuk Aparat hingga Modus Bersihkan Jejak
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com
– Sejumlah fakta terungkap pada sidang kedua kasus korupsi mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryati Rahayu alias
Mbak Ita
dan suaminya, Alwin Basri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin (28/4/2025).
Dalam persidangan tersebut, tiga saksi dihadirkan yakni Camat Gayamsari sekaligus mantan Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang, Eko Yuniarto, Camat Genuk Suroto dan Camat Semarang Selatan, Ronny Cahyo Nugroho.
Fakta apa saja yang terungkap?
Dalam persidangan tersebut, mantan Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang, Eko Yuniarto yang dihadirkan sebagai saksi menyebutkan Alwin Basri, suami Mbak Ita meminta uang Rp 16 miliar kepada para camat.
“Itu angka yang diminta beliau (Alwin) Rp 16 miliar, beliau meralat minimal Rp 16 miliar,” kata Eko di persidangan.
Sebelumnya, Alwin yang menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Kota Semarang sempat meminta Rp 20 miliar kepada para camat.
“Waktu itu mau nego, pada waktu itu beliau hanya menyampaikan itu,” ucapnya.
Dalam pertemuan tersebut, Eko juga sempat melakukan negosiasi dengan rekannya agar anggaran yang diminta oleh Alwin bisa berkurang.
“Bagaimana agar Rp 10 miliar, respons Pak Alwin minta Rp 16 miliar,” ungkap Eko.
Selain soal Rp 16 juta, dalam persidangan tersebut Eko mengaku diminta membuang
handphone
dan bukti transfer oleh Mbak Ita saat kasus korupsi di Pemerintah Kota Semarang mulai tercium.
“Perintahnya nomor tetap, waktu itu mungkin ada keterkaitan kejadian pemeriksaan KPK,” kata Eko di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang.
Selain itu, Eko juga diminta oleh Mbak Ita agar tidak menghadiri panggilan KPK di kantor BPK Jawa Tengah.
“Saat itu kami diundang Bu Ita (terdakwa) untuk tidak hadir,” ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, Mbak Ita juga memintanya agar Eko tenang karena sudah ada pengondisian oleh terdakwa.
“Pokoknya tak usah datang begitu,” tambah Eko menirukan perintah Mbak Ita.
Sidang yang dilaksanakan pada Senin (28/4/2025), mengungkap adanya aliran dana yang diistilahkan sebagai “vitamin” mengalir ke sejumlah instansi.
Aliran dana tersebut bersumber dari Martono, Ketua Gapensi Kota Semarang, kemudian diserahkan melalui Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang, Eko Yuniarto dan mantan Camat Gajahmungkur, Ade Bhakti.
Berdasarkan keterangan Eko yang dihadirkan sebagai saksi dalam sidang tersebut, menyampaikan bahwa ada uang dari Martono yang mengalir ke Polrestabes Semarang dan kejaksaan.
“Di kejaksaan melalui kasi intel, yang di Polrestabes melalui Kanit Tipikor Polrestabes Semarang,” kata Eko saat menjadi saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin.
Dia menyebutkan, saat itu diperintahkan oleh Martono untuk memberikan uang ke sejumlah instansi dengan Ade Bhakti yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Damkar Kota Semarang.
“Saya dan Pak Ade Bhakti pada waktu itu (yang menyerahkan) tapi Pak Martono yang berkomunikasi dengan pihak institusi itu,” ungkapnya.
Camat Genuk, Kota Semarang, Suroto mengaku diminta mengembalikan uang sebanyak Rp 614 juta ke Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Jawa Tengah.
Uang ratusan juta yang dikembalikan itu atas permintaan Alwin Basri, suami mantan Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryati Rahayu alias Mbak Ita.
“Ada pemeriksaan BPK terkait aspal dan lain lain sehingga ada temuan. Waktu itu yang harus dikembalikan Rp 614 juta,” kata Suroto saat menjadi saksi kasus korupsi Alwin dan Mbak Ita di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang.
Waktu itu, uang dari para camat diserahkan ke Alwin kemudian Mbak Ita menyerahkan uang tersebut ke BPK.
“Yang meminta bapak (Alwi) yang menyerahkan Bu Wali (Mbak Ita),” ungkapnya.
Hal yang sama juga dikatakan Eko Yuniarto, Camat Gayamsari sekaligus mantan Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang.
Dia mengaku sejumlah camat di Kota Semarang juga diminta untuk mengembalikan sejumlah uang karena ada temuan BPK.
Uang yang dikembalikan tersebut merupakan proyek di sejumlah kecamatan yang diakomodir oleh Ketua Gapensi Kota Semarang, Martono yang saat ini menjadi terdakwa di kasus tersebut.
Eko selaku Ketua Paguyuban Camat Kota Semarang juga sempat dipertemukan dengan Martono oleh Alwin.
Dalam pertemuan tersebut dibicarakan soal proyek di sejumlah kecamatan hingga akhirnya ada temuan oleh BPK.
“Kami tak pernah meminta uang tersebut tapi itu jadi temuan di seluruh kecamatan. Termasuk uang kontrak pengadaan langsung. Di dalam ranca anggaran biaya sudah masuk dan dokumen ada tapi kami harus kembalikan,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kejagung Periksa Direktur Keuangan Adaro (ADRM) di Kasus Pertamina
Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa Direktur Keuangan PT Adaro Minerals Indonesia (ADRM) Heri Gunawan (HG).
Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan Heri diperiksa dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.
“Penyidik telah memeriksa HG selaku Direktur Keuangan PT Adaro Minerals Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (28/4/2025).
Selain Heri, Kejagung juga telah memeriksa CMS selaku Koordinator Subsidi Bahan Bakar Migas Kementerian ESDM.
Kemudian, EED selaku Koordinator Harga Bahan Bakar pada Dirjen Migas Kementerian ESDM; ISR selaku Staf pada Fungsi Crude Oil Supply PT Kilang Pertamina Internasional.
Selanjutnya, DU selaku Staf pada Fungsi Crude Oil Supply PT Kilang Pertamina Internasional; HA selaku Manager Non Mining PT Pertamina Patra Niaga tahun 2018-2020; dan EAA selaku Manager Mining PT PPN tahun 2018-2020.
Adapun, STH selaku Pelaksana Tugas Harian Direktur Utama PT Pertamina International Shipping dan tiga saksi Panitia Pengadaan/Tim Tender PT Pertamina International Shipping mulai dari DS, EP dan MR.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud,” pungkas Harli.
Sebagai informasi, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.
Sembilan tersangka itu mulai dari Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; hingga anak Riza Chalid, Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Pada intinya, kasus ini melibatkan penyelenggara negara dengan broker. Kedua belah pihak diduga bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang periode 2018-2023.
Adapun, akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, Kejagung mengungkap bahwa negara dirugikan sekitar Rp193,7 triliun.


