Kementrian Lembaga: Kejaksaan

  • Aziz Wellang yang Main Domino Bareng Dua Menteri Bukan Tersangka Pembalakan Liar

    Aziz Wellang yang Main Domino Bareng Dua Menteri Bukan Tersangka Pembalakan Liar

    GELORA.CO – Pengusaha Aziz Wellang jadi sorotan usai viral berita dengan narasi tersangka pembalakan liar main domino bersama Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Abdul Kadir Karding. 

    Berdasarkan dokumen yang diperoleh rmol.id, status tersangka Wellang dibatalkan oleh putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor: 13/Pid.PRA/2024/PN/Jkt.Pst. tanggal 9 Desember 2024.

    Putusan praperadilan lantas menjadi dasar penyidik Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan pengusutan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).

    SP3 kasus Aziz Wellang diketahui dalam surat pemberitahuan penghentian penyidikan yang ditandatangani Kepala Seksi Wilayah I, Sadikin, yang juga selaku penyidik pada Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Kalimantan.

    Adapun surat pemberitahuan dengan nomor S.01/BPPHLHK-IV.SWI/PPNS/02/2025 itu ditujukkan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah.

    “Bersama ini pula kami lampirkan surat-surat administrasi penghentian penyidikan: surat perintah penghentian penyidikan, surat ketetapan penghentian penyidikan, surat perintah pengeluaran tahanan dan berita acara pengeluaran tahanan,” demikian bunyi surat dikutip RMOL di Jakarta, Minggu 9 September 2025.

     

    Sebelumnya viral sebuah foto dengan narasi Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni bersama Menteri Pelindungan Pekerja Migran Abdul Kadir Karding main domoni bersama dua orang lainnya yakni Azis Wellang dan Nurdin Karumpa.

    Foto pertama kali dirilis Tempo dengan narasi Aziz Wellang merupakan tersangka pembalakan liar, adapun Nurdin Karumpa merupakan wakil ketua umum Dewan Pengurus Nasional Persatuan Olahraga Domino Indonesia.

    Dari klarifikasi Raja Juli, dia mengaku bermain domino bermula dari undangan Kadir Karding.

    “Saya janjian bertemu Mas Menteri Karding. Mas Menteri Karding meminta saya “nyamperin” beliau di posko Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) dimana beliau pada saat ini menjadi Sekjennya,” tulis Raja Juli dalam klarifikasinya di akun Instagram Rajaantoni dikutip RMOL di Jakarta, Sabtu malam, 6 September 2025.

    “Saya berdiskusi dengan Mas Menteri Karding berdua saja di ruang bagian belakang selama 2 jam-an lebih. Tidak ada tema diskusi kami menyangkut kasus pembalakan liar sama sekali. Mendekati jam 24.00 saya pamit pulang kepada beliau,” tambahnya.

    Saat hendak pulang, kata Raja Juli, ramai orang di ruang tamu dimana beberapa di antaranya tengah bermain domino.

    “Mas Menteri Karding dan saya diajak ikut main. Setelah 2 kali putaran, saya pamit pulang kepada Mas Menteri Karding dan banyak orang yang ada di ruang tamu tersebut,” katanya lagi.

    Raja Juli mengaku tidak mengenal dua pemain lainnya seperti belakangan ramai diberitakan, yakni Azis Wellang dan Andi Rukman Nurdin Karumpa. Dia juga mengklaim tidak ada pembicaraan soal kasus apapun saat main domino.

  • 3
                    
                        Istana Respons soal Hotman Paris Mau Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo
                        Nasional

    3 Istana Respons soal Hotman Paris Mau Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo Nasional

    Istana Respons soal Hotman Paris Mau Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Hadapan Prabowo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi angkat bicara, perihal pengacara kondang Hotman Paris yang mau membuktikan di hadapan Presiden Prabowo Subianto bahwa kliennya, Nadiem Makarim tidak bersalah di kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook.
    Hasan menyebut, pemerintah menyerahkan kasus Nadiem Makarim kepada penegak hukum.
    “Kita serahkan kepada proses hukum saja,” ujar Hasan kepada Kompas.com, Minggu (7/9/2025).
    Hasan menekankan, pemerintah tidak akan mengintervensi proses hukum.
    “Pemerintah tidak intervensi proses hukum,” ujar Hasan Nasbi
    Sebelumnya, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada program digitalisasi pendidikan.
    Penetapan tersangka diumumkan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Nurcahyo Jungkung Madyo, pada Kamis (4/9/2025).
    Menurut Kejaksaan, dugaan tindak pidana korupsi ini menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 1,98 triliun.
    Kuasa hukum Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea menilai penetapan tersangka ini janggal.
    Menurutnya, hasil penyelidikan justru membuktikan bahwa Nadiem tidak menerima uang suap dan tidak melakukan
    mark-up
    harga laptop.
    “Nadiem Makarim tidak menerima uang 1 sen pun, tidak ada
    mark-up
    , dan tidak ada yang diperkaya. Saya hanya butuh 10 menit untuk membuktikan itu di depan Presiden Prabowo,” kata Hotman Paris, dikutip akun Instagram-nya, Jumat (5/9/2025).
    Dia bahkan meminta agar perkara ini digelar terbuka di Istana agar publik bisa melihat langsung fakta sebenarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Jelaskan Proses Kasus Google Cloud, Nadiem Jadi Tersangka Lagi?

    KPK Jelaskan Proses Kasus Google Cloud, Nadiem Jadi Tersangka Lagi?

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan perkembangan kasus Google Cloud yang menyeret Nadiem Anwar Makarim.

    Nadiem yang merupakan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) era Jokowi, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook pada Kamis (4/9/2025).

    Pada dasarnya kedua kasus itu merupakan program pendidikan yang direalisasikan saat era Covid-19. Perbedaannya hanya terletak dari jenis pengadaannya. Jika laptop Chromebook adalah perangkat keras atau hardware, maka Google Cloud adalah perangkat lunaknya atau software.

    Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, kasus ini masih dalam proses penyelidikan. KPK masih mengumpulkan berbagai informasi dari pihak-pihak terkait, sehingga status perkara belum naik ke tahap penyidikan.

    “Sampai saat ini penyelidikan terkait dengan perkara pengadaan Google Cloud di Kemdikburistek masih berproses, namun detailnya seperti apa, sejauh mana belum bisa kami sampaikan secara detil, karena memang masih dalam tahap penyelidikan,” kata Budi kepada wartawan, dikutip Minggu (7/9/2025).

    Budi menegaskan bahwa KPK akan terus mengusut perkara Google Cloud meskipun saat ini Nadiem menjadi tersangka di kasus pengadaan laptop Chromebook.

    Namun, Budi mengatakan tidak menutup kemungkinan Nadiem ditetapkan sebagai tersangka dalam persoalan Google Cloud.

    Dia berkaca dari kasus pengadaan iklan Bank BJB yang salah satu tersangkanya mantan Direktur Utama Bank BJB, Yuddy Renaldi (YR). YR ditetapkan tersangka oleh KPK, juga Kejagung terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dan anak perusahaannya.

    “Memungkinkan, seperti dalam perkara BJB itu kan ada satu orang tersangka yang ditetapkan oleh KPK dan juga ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung,” jelas Budi.

    Tak hanya Nadiem yang dibidik KPK untuk dimintai keterangan. Mantan stafsus Nadiem, Fiona Handayani turut diperiksa penyelidik KPK sebagai saksi guna mengulik informasi berkaitan perkara Google Cloud. Terbaru, dia diperiksa pada Selasa (2/9/2025).

    “Pemeriksaan dilakukan oleh penyelidik. Jadi karena memang tahapan perkara Google Cloud ini masih di tahap penyelidikan. Jadi nanti tentu tim akan melakukan pemanggilan pihak-pihak lain yang dibutuhkan keterangannya, dibutuhkan informasinya,” jelas Budi.

    Oleh karena itu, status perkara Google Cloud masih dalam penyelidikan sehingga KPK belum dapat merincikan dan menyampaikan materi-materi pemeriksaan kepada awak media.

  • 5
                    
                        Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim
                        Nasional

    5 Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim Nasional

    Saat Inovasi Tergelincir: Refleksi Kasus Chromebook Nadiem Makarim
    Seorang ASN di lingkungan Mahkamah Agung RI yang bertugas di Pengadilan Agama Dumai. Lulusan Ilmu Hukum Universitas Riau ini aktif menulis isu-isu hukum, pelayanan publik, serta pengembangan teknologi informasi di sektor peradilan.
    ADA
    rasa getir ketika mendengar kabar seorang mantan menteri muda, yang dulu dielu-elukan sebagai wajah baru pendidikan Indonesia, kini harus berhadapan dengan jerat hukum.
    Nadiem Makarim, sosok yang identik dengan kata inovasi dan modernisasi birokrasi, justru disebut merugikan negara hingga hampir Rp 2 triliun lewat proyek pengadaan Chromebook.
    Sebagian orang bertanya-tanya, apakah ini benar-benar korupsi, ataukah hanya kebijakan yang keliru? Apakah niat membangun ekosistem digital pendidikan bisa begitu saja berubah menjadi jerat pidana?
    Pertanyaan-pertanyaan itu wajar muncul, sebab dalam praktik hukum, membedakan antara kebijakan yang salah arah dengan tindakan korupsi memang kerap tipis batasnya.
    Namun, hukum memiliki rambu yang jelas. Dalam UU Tipikor (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), seseorang dapat dijerat bila terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain, serta merugikan keuangan negara.
    Maka ketika pengadaan laptop ini dituding penuh
    mark up
    harga, tidak sesuai spesifikasi, bahkan menyalahi aturan tata kelola pengadaan barang dan jasa, maka pertanyaan utama bukan lagi soal niat, melainkan soal dampak: apakah negara benar-benar dirugikan dan siapa yang diuntungkan?
    Saya masih ingat, ketika pandemi Covid-19 datang, dunia pendidikan mendadak gagap. Sekolah tutup, guru dan murid dipaksa akrab dengan layar.
    Maka program digitalisasi sekolah terasa masuk akal. Chromebook dipilih, karena ringan, murah, berbasis
    cloud.
    Namun, anggaran yang digelontorkan negara begitu besar, yaitu hampir Rp 10 triliun. Angka yang mestinya menjadi investasi masa depan, kini justru tercatat sebagai kerugian negara. Bagaimana bisa?
    Kejaksaan menemukan harga yang jauh di atas wajar, ditambah software tak relevan yang menguras ratusan miliar rupiah.
    Di sinilah kata
    mark-up
    bergema, istilah yang di Indonesia nyaris selalu sinonim dengan korupsi. Bukan lagi sekadar selisih angka, tetapi simbol pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
    Hukum sebenarnya memberi pagar yang jelas. Dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, siapapun yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan akibatnya merugikan keuangan negara, dapat dijatuhi hukuman pidana.
    Maka, pertanyaan paling mendasar yang harus dijawab bukan hanya berapa besar kerugian, melainkan siapa yang menikmati keuntungan dari transaksi yang cacat ini.
    Di titik ini, mimpi digitalisasi berubah jadi luka. Bayangkan, jika laptop yang seharusnya membantu anak-anak di daerah, malah tersimpan di gudang karena rusak atau tak sesuai kebutuhan.
    Anggaran yang seharusnya jadi jembatan menuju masa depan, justru terkubur dalam laporan kerugian negara.
    Ironisnya, program yang awalnya dikampanyekan sebagai wajah baru pendidikan digital, kini identik dengan praktik lama yang sudah terlalu sering kita dengar, yaitu korupsi.
    Kita kembali diingatkan bahwa niat baik sekalipun, bila dijalankan tanpa transparansi, akuntabilitas, dan integritas, bisa bermuara pada kehancuran kepercayaan publik.
    Dalam hukum, korupsi bukan sekadar “uang negara habis,” tapi ada unsur yang lebih jelas dan tegas, yakni perbuatan melawan hukum, kerugian negara, keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain.
    Tiga hal ini adalah “roh” yang membedakan apakah suatu tindakan bisa disebut tindak pidana korupsi atau sekadar kegagalan kebijakan.
    Artinya, kebijakan yang salah arah belum tentu korupsi. Bisa saja itu hanya
    policy failure
    , yaitu niat baik yang tak sampai pada hasil.
    Banyak contoh dalam sejarah birokrasi, di mana program dengan visi mulia akhirnya tidak efektif karena lemahnya perencanaan, keterbatasan sumber daya, atau miskomunikasi antara pusat dan daerah. Itu gagal, iya, tapi bukan korupsi.
    Namun, hukum memandang berbeda ketika kebijakan disusun bukan untuk kepentingan publik, melainkan mengunci pasar, mengarahkan keuntungan, atau bahkan memperkaya kelompok tertentu.
    Jika spesifikasi teknis dibuat sedemikian rupa agar hanya cocok dengan vendor tertentu, jika harga didongkrak jauh di atas nilai pasar, dan jika kemudian ada pihak, baik individu maupun korporasi yang menikmati hasilnya, maka di situlah
    policy corruption
    lahir.
    Inilah yang kini dituduhkan pada Nadiem. Kasus yang membuat publik bertanya-tanya, apakah ia murni korban salah kelola, ataukah benar-benar arsitek kebijakan yang secara sistematis membuka ruang bagi keuntungan segelintir pihak?
    Perbedaan ini penting, sebab menyangkut keadilan. Menyebut
    policy failure
    sebagai korupsi bisa membuat pejabat takut berinovasi. Namun, membiarkan
    policy corruption
    lolos dari jerat hukum justru merusak sendi-sendi negara hukum.
    Di sinilah kita ditantang untuk jujur, apakah kegagalan ini lahir dari niat baik yang tak terwujud, atau dari rekayasa kebijakan yang sejak awal memang diarahkan untuk “menyetir” keuntungan ke pihak tertentu?
    Secara teknis, seorang menteri tidak pernah menandatangani kontrak pengadaan per laptop. Itu adalah domain pejabat pembuat komitmen (PPK), panitia lelang, dan pejabat pelaksana teknis kegiatan.
    Namun, sebagai pucuk pimpinan, menteri tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri. Ia bertanggung jawab atas arah kebijakan, atas filosofi yang melatari program, dan atas integritas sistem yang ia bangun.
    Pertanyaan pun menggantung, apakah Nadiem sadar ada
    mark-up
    dalam pengadaan ini? Apakah ia menutup mata ketika spesifikasi produk didesain sedemikian rupa sehingga hanya vendor tertentu yang bisa masuk?
    Ataukah ia murni mendorong inovasi digitalisasi pendidikan, lalu kelemahan sistem pengadaan yang rapuh dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang oportunis?
    Hukum pidana korupsi tidak hanya bicara soal tindakan langsung, tapi juga soal penyalahgunaan wewenang dan pembiaran.
    Pasal 3 UU Tipikor menegaskan bahwa setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan, sehingga merugikan keuangan negara, dapat dipidana.
    Artinya, bahkan kelalaian yang disengaja, membiarkan sistem dikeruk oleh kepentingan, dapat dilihat sebagai bentuk kesalahan.
    Inilah yang kini diuji. Apakah kasus Chromebook adalah tragedi seorang inovator, yakni seorang menteri muda yang terperangkap dalam jaring birokrasi korup yang sudah mengakar?
    Ataukah ini justru potret nyata dari penyalahgunaan wewenang, di mana idealisme hanya menjadi bungkus retorika, sementara praktiknya tetap melanggengkan pola lama, yaitu proyek besar, vendor tertentu, dan rakyat yang menanggung rugi?
    Kini, panggung berpindah. Dari ruang diskusi publik yang penuh spekulasi, ke ruang pengadilan yang dingin dan formal.
    Di sana, bukti berbicara, bukan sekadar persepsi. Dan jawaban akhirnya akan menentukan bukan hanya nasib seorang menteri, tetapi juga arah kepercayaan publik pada reformasi birokrasi, apakah benar kita sedang melahirkan pemimpin baru, atau hanya mengganti wajah lama dengan wajah yang lebih muda.
    Kasus ini menyisakan luka kolektif. Betapa mahal harga dari kebijakan yang tergelincir. Pendidikan yang mestinya menjadi jalan menuju masa depan bangsa, justru tercoreng oleh praktik lama, yaitu
    mark-up
    , kolusi, dan kepentingan tersembunyi.
    Luka itu bukan hanya soal angka triliunan rupiah yang lenyap, melainkan juga tentang hilangnya kepercayaan publik.
    Mungkin sudah saatnya kita berhenti sejenak, lalu bertanya dengan jujur: Bagaimana seharusnya inovasi dibangun tanpa kehilangan akuntabilitas?
    Sebab inovasi tanpa integritas hanyalah mimpi kosong. Betapapun briliannya gagasan, jika tidak ditopang dengan sistem yang transparan dan pengawasan kuat, ia mudah berubah menjadi jebakan.
    Bagaimana caranya kebijakan tidak hanya brilian di atas kertas, tapi juga bersih di lapangan? Di sinilah pentingnya
    check and balance
    . Peraturan bukanlah musuh inovasi, melainkan pagar agar ide besar tidak tergelincir menjadi penyalahgunaan.
    Pada akhirnya, kasus ini bukan sekadar tentang Nadiem, bukan pula hanya tentang Chromebook. Ini tentang wajah birokrasi kita, tentang tipisnya garis pemisah antara mimpi dan manipulasi.
    Tentang betapa mudahnya jargon perubahan tereduksi menjadi proyek yang menumbuhkan kecurigaan.
    Dan lebih dari itu, ini tentang kita semua, rakyat yang menaruh harapan, tetapi juga sering lengah untuk mengawasi.
    Bukankah keadilan sejati lahir bukan hanya dari hakim di pengadilan, melainkan juga dari kesadaran kolektif bahwa amanah publik adalah sesuatu yang suci, yang tidak boleh dipermainkan?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nadiem Harus jadi Justice Collaborator Ungkap Keterlibatan Jokowi

    Nadiem Harus jadi Justice Collaborator Ungkap Keterlibatan Jokowi

    GELORA.CO -Tersangka kasus pengadaan laptop Chromebook, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, didorong untuk menjadi justice collaborator.

    Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Survei dan Poling Indonesia (SPIN), Igor Dirgantara, saat dihubungi RMOL, Sabtu, 6 September 2025.

    “Hak mengajukan sebagai justice collaborator bisa dilakukan Nadiem,” ujar Igor.

    Menurutnya, Nadiem yang telah resmi sebagai tersangka bisa menyampaikan fakta-fakta yang tertutup apabila menjadi justice collaborator.

    Utamanya, apabila terdapat tekanan penguasa yakni Presiden ke-7 Joko Widodo, yang kala itu merupakan bosnya ketika masih menjadi Mendikbud.

    “Dugaan keterlibatan Jokowi juga seharusnya berani diungkap Nadiem apabila berani mengajukan diri sebagai justice collaborator,” tuturnya.

    “Sebab, di posisi itu dia mendapat perlindungan hukum dari aparat penegak hukum, untuk mengungkap suatu tindak pidana,” demikian Igor menambahkan.

     

    Penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka pada Kamis 4 September 2025.

    Nadiem menjadi tersangka usai menjalani pemeriksaan ketiga sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi program Digitalisasi Pendidikan 2019-2022, terkait proyek laptop Chromebook.

  • Kejaksaan Respons Keinginan Hotman Paris Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Depan Prabowo
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        6 September 2025

    Kejaksaan Respons Keinginan Hotman Paris Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Depan Prabowo Nasional 6 September 2025

    Kejaksaan Respons Keinginan Hotman Paris Buktikan Nadiem Tak Bersalah di Depan Prabowo
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kejaksaan Agung merespons pernyataan kuasa hukum Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea, yang menyebut hanya butuh waktu 10 menit untuk membuktikan kliennya tidak bersalah dalam kasus korupsi laptop Chromebook di hadapan Presiden Prabowo Subianto.
    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, mengatakan pihaknya tidak bisa banyak berkomentar karena kasus masih dalam proses penyidikan.
    “Mohon maaf saya belum bisa berkomentar terlalu banyak karena perkara ini sedang dalam tahap penyidikan,” kata Anang kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (6/9/2025).
    “Biarkan saja berjalan sesuai ketentuan dan kita menghormati asas praduga tak bersalah terhadap Pak NM,” lanjut Anang.
    Ia menegaskan bahwa penyidik akan bekerja untuk mengungkap fakta hukum dan memastikan pihak-pihak yang terlibat.
    “Biar penyidik mendalami untuk mengungkap semua fakta hukum dan pihak-pihak yang terlibat nantinya,” ujar Anang.
    Sebelumnya, Hotman Paris menegaskan bahwa Nadiem Makarim tidak menerima keuntungan pribadi dalam kasus tersebut.
    Bahkan ia menyatakan siap membuktikannya langsung kepada Presiden Prabowo.
    “Nadiem Makarim tidak menerima uang 1 sen pun, tidak ada mark-up, dan tidak ada yang diperkaya. Saya hanya butuh 10 menit untuk membuktikan itu di depan Presiden Prabowo,” ungkap Hotman usai mendampingi Nadiem ditahan Kejagung, Kamis (4/9/2025).
    Hotman juga menyamakan kasus Nadiem dengan perkara yang pernah menjerat mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong.
    Menurutnya, dalam kasus Tom Lembong, jaksa pun tidak dapat membuktikan adanya keuntungan pribadi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Sita Sejumlah Dokumen Terkait Penetapan Nadiem jadi Tersangka

    Kejagung Sita Sejumlah Dokumen Terkait Penetapan Nadiem jadi Tersangka

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap telah melakukan penyitaan terkait penetapan tersangka eks Mendikbudristek Nadiem Makarim di kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook. 

    Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung RI Nurcahyo Jungkung Madyo mengatakan penyitaan yang dilakukan itu dilakukan terhadap sejumlah dokumen.

    Menurutnya, dokumen itu berkaitan dengan proyek pengadaan program digitalisasi pendidikan periode 2019-2022 di Kemendikbudristek.

    “Yang pasti kita lakukan penyitaan juga, tentunya terkait dengan penyidikan ini sejumlah dokumen terkait dengan pengadaan di Kemendikbud ini,” ujarnya di Kejagung, dikutip Sabtu (6/9/2025).

    Sebagai informasi, Nadiem telah ditetapkan sebagai tersangka karena perannya saat Kemendikbudristek melakukan pengadaan program digitalisasi pendidikan periode 2019–2022.

    Pada intinya, dia telah melakukan pertemuan dengan pihak Google hingga akhirnya sepakat untuk menggunakan Chrome OS dalam proyek pengadaan TIK di Kemendikbudristek.

    Padahal, pada era Mendikbud Muhadjir Effendy, pengajuan produk Chromebook dari Google sudah ditolak karena tidak efektif jika digunakan untuk daerah 3T.

    Adapun, Nadiem juga diduga telah memerintahkan Direktur SD dan SMP di Kemendikbudristek yakni Sri dan Mulyatsyah untuk mengunci Chrome OS dalam pengadaan TIK 2020.

    Selain itu, Nadiem juga telah mengunci Chrome OS melalui lampiran pada Permendikbud No.5/2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus Fisik Reguler Bidang Pendidikan TA.2021.

  • Kasus Dugaan Korupsi Chromebook, Kejagung Tak Tanggapi Pernyataan Hotman Paris

    Kasus Dugaan Korupsi Chromebook, Kejagung Tak Tanggapi Pernyataan Hotman Paris

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan tidak dapat berkomentar terkait dengan pernyataan pihak Nadiem Makarim soal kasus dugaan korupsi Chromebook.

    Sebelumnya, pihak Nadiem melalui pengacaranya yakni Hotman Paris Hutapea menyatakan bahwa Nadiem tidak pernah menerima aliran dana sepeser pun dalam perkara tersebut.

    Dalam hal ini, Kapuspenkum Kejagung RI, Anang Supriatna menyatakan bahwa pihaknya menghormati asas praduga tak bersalah terhadap Nadiem Makarim.

    “Mohon maaf saya tidak bisa bekomentar karena perkara ini sedang dalam tahap penyidikan. Biarkan aja berjalan sesuai ketentuan dan kita menghormati asas praduga tak bersalah terhadap yang bersangkutan,” ujar Anang saat dihubungi, Sabtu (6/9/2025).

    Dia menambahkan, terkait dengan aliran dana dalam kasus Chromebook ini penyidik masih terus melakukan pendalaman untuk mengungkap fakta hukum yang ada.”Biar penyidik mendalami untuk mengungkap semua fakta hukum dan pihak-pihak yang terlibat nantinya,” pungkas Anang.

    Sekadar informasi, Nadiem telah ditetapkan sebagai tersangka karena perannya saat Kemendikbudristek melakukan pengadaan program digitalisasi pendidikan periode 2019–2022.

    Pada intinya, dia telah melakukan pertemuan dengan pihak Google hingga akhirnya sepakat untuk menggunakan Chrome OS dalam proyek pengadaan TIK di Kemendikbudristek.

    Padahal, pada era Mendikbud Muhadjir Effendy, pengajuan produk Chromebook dari Google sudah ditolak karena tidak efektif jika digunakan untuk daerah 3T. Adapun, Nadiem juga diduga telah memerintahkan Direktur dengan inisial SD dan SMP di Kemendikbudristek yakni Sri dan Mulyatsyah untuk mengunci Chrome OS dalam pengadaan TIK 2020.

    Selain itu, Nadiem juga telah mengunci Chrome OS melalui lampiran pada Permendikbud No.5/2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus Fisik Reguler Bidang Pendidikan Tahun Anggaran 2021.

  • Usai Tetapkan Nadiem Tersangka, Kejagung Telusuri Kaitan Investasi Google Dalam Pengadaan Chromebook – Page 3

    Usai Tetapkan Nadiem Tersangka, Kejagung Telusuri Kaitan Investasi Google Dalam Pengadaan Chromebook – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengembangkan penanganan kasus korupsi pengadaan Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) tahun 2019 sampai 2023. Usai menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka, Kejagung menelusuri kaitan investasi Google di pengadaan laptop tersebut.

    “Itu salah satu yang nantinya masih akan kita dalami,” tutur Direktur Penyidikan (Dirdik) Jampidsus Kejagung Nurcahyo Jungkung Madyo kepada wartawan, Sabtu (06/09/2025).

    Namun begitu, dia masih enggan menjelaskan lebih rinci perihal kaitan investasi Google tersebut. Sebab, hal itu masuk dalam materi penyidikan.

    “Tentunya hal-hal terkait dengan penyidikan ini belum dapat kami sampaikan karena masih dalam penyidikan,” lanjut dia.

    Sebelumnya, Kejagung menetapkan mantan Mendikbud Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus dugaan korupsi laptop Chromebook. Kerugiaan negara lebih dari Rp 1,98 triliun.

    “Kerugian negara yang timbul dari kegiatan pengadaan ini diperkirana senilai lebih Rp 1,98 triliun,” kata Nurcahyo saat konferensi pers, Jakarta, Kamis (04/09/2025).

    Nurcahyo menuturkan, angka kerugian ini masih dalam penghitungan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

    “Saat ini masih dalam penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK,” ucapnya.

  • Deretan Mobil Eks Gubernur Lampung Arinal Disita Kejati, Ada Esemka hingga Alphard

    Deretan Mobil Eks Gubernur Lampung Arinal Disita Kejati, Ada Esemka hingga Alphard

    Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung menyita aset senilai Rp 38,5 miliar milik mantan Gubernur Lampung, Arinal Djunaidi. Aset tersebut disita di garasi mobil kediaman pribadinya di Jalan Sultan Agung No. 50, Kelurahan Sepang Jaya, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung, Rabu (3/9/2025).

    Penyitaan itu meliputi tujuh unit mobil senilai Rp 3,5 miliar, logam mulia seberat 645 gram dengan nilai sekitar Rp 1,29 miliar, uang tunai dalam rupiah dan mata uang asing senilai Rp 1,35 miliar, deposito di sejumlah bank sebesar Rp 4,4 miliar, serta 29 sertifikat hak milik tanah dengan estimasi Rp28 miliar. Total nilai aset yang diamankan mencapai Rp 38,5 miliar.

    Namun, tujuh mobil pribadi Arinal belum dipindahkan ke kantor Kejati Lampung. Kendaraan tersebut masih terparkir di rumah Arinal di Jalan Sultan Agung, Kelurahan Sepang Jaya, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung.

    Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung, Armen Wijaya mengatakan, mobil belum dibawa karena lahan parkir di kantor Kejati masih dalam perbaikan.

    “Saat ini mobil tersebut masih berada di kediaman ARD. Kami sudah membuat berita acara penyitaan, sementara surat-surat kendaraan sudah kami amankan,” ujar Armen, Sabtu (6/9/2025).

    Armen bilang, meski belum dipindahkan secara fisik, status mobil-mobil itu sudah resmi dalam penyitaan Kejati Lampung.

    “Untuk sementara kami titipkan di rumah yang bersangkutan,” katanya.

    Berikut daftar 7 mobil pribadi Arinal Djunaidi yang ikut disita Kejati Lampung:

    1. Toyota Zenik Modelista 2.0 Q HV

    2. Esemka Bima 1.2 4×4 M/T warna putih

    3. Honda WR-V warna putih

    4. Toyota Alphard 2.5 Hybrid CVT warna hitam

    5. Toyota Hiace 28 MT warna silver metalik

    6. Mercedes Benz GLS 400 A/T warna hitam metalik

    7. Toyota Kijang 2.4 Q A/T warna hitam metalik.

    Sebelumnya, Penyidik Kejati Lampung menggeledah rumah Arinal, terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengelolaan dana Participating Interest (PI) 10 persen di Wilayah Kerja Offshore South East Sumatera (WK OSES) senilai USD 17,286 juta atau sekira Rp 270 miliar.

    Armen menjelaskan, tim penyidik telah melakukan penggeledahan di kediaman Arinal di Jalan Sultan Agung No. 50, Kelurahan Sepang Jaya, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung, Rabu (3/9). Dari lokasi itu, penyidik mengamankan sejumlah aset bernilai fantastis.

    “Pengamanan aset yang dilakukan antara lain 7 unit mobil, logam mulia seberat 645 gram senilai Rp1,29 miliar, uang tunai Rp 1,35 miliar dalam bentuk rupiah dan mata uang asing, deposito di beberapa bank Rp 4,4 miliar, serta 29 sertifikat tanah dengan estimasi nilai Rp 28 miliar. Total nilai aset yang diamankan mencapai Rp 38,5 miliar,” kata Armen.

    Selain itu, Kejati Lampung juga mendalami aliran dana PI 10 persen sebesar USD 17,286 juta yang diterima Pemerintah Provinsi Lampung dari Pertamina Hulu Energi (PHE) melalui PT Lampung Energi Berjaya (LEB), anak perusahaan dari BUMD PT Lampung Jasa Utama (LJU).

    Saat menjabat Gubernur, Arinal berperan sebagai Kuasa Pemilik Modal (KPM) di PT Lampung Jaya Utama (LJU), perusahaan milik Pemprov Lampung.

    PT Lampung Energi Berjaya (LEB) sebagai anak usaha LJU ditunjuk untuk mengelola dana PI yang diterima dari Pertamina Hulu Energi Overseas Southeast Sumatera (PHE OSES).