Kementrian Lembaga: Kejaksaan Agung

  • Tanggapi Putusan MK, Kejagung Sebut Pemeriksaan Jaksa Tetap Perlu Izin Jaksa Agung – Page 3

    Tanggapi Putusan MK, Kejagung Sebut Pemeriksaan Jaksa Tetap Perlu Izin Jaksa Agung – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan proses penegakan hukum seperti pemeriksaan terhadap jaksa oleh Aparat Penegak Hukum (APH) tetap memerlukan izin Jaksa Agung. Hal itu menanggapi hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 8 Ayat 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.

    “Yang tidak di MK itu kan kegiatan tanpa izin kegiatan, kegiatan OTT ya. Kita sih memang mendorong jaksa untuk makin bekerja profesional, berintegritas, nggak ada masalah,” tutur Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna di Kejagung, Jakarta Selatan, Sabtu (18/10/2025).

    Menurut Anang, putusan MK sudah merinci apa saja proses penegakan hukum yang dapat dilakukan jaksa tanpa izin Jaksa Agung. Sehingga, di luar dari ketentuan putusan itu maka tetap memerlukan izin Jaksa Agung.

    “Kan juga itu hanya berlaku untuk kasus yang menyangkut tindak pidana khusus, terus ancaman hukumannya mati, terus salah satu lagi kalau tidak salah menyangkut keamanan negara,” jelas dia.

  • 9
                    
                        Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara…
                        Nasional

    9 Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara… Nasional

    Kala Para Wakil Tuhan Berjualan Perkara…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Djuyamto berulang kali menatap ke ujung ruangan di depannya: kemegahan meja dan kursi majelis hakim.
    Pada sisi singgasana itu, berderet dua baris tempat duduk untuk jaksa dan terdakwa dalam posisi yang lebih rendah.
    Saban Rabu, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) itu datang ke Ruang Hatta Ali, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Meski mengantongi lisensi hakim tindak pidana korupsi, kehadiran Djuyamto bukan untuk mengadili.
    Djuyamto menjadi hakim kedelapan yang diseret ke dalam jeruji besi dan diadili Kejaksaan Agung (Kejagung) selama setahun terakhir, sejak Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik pada 20 Oktober 2024.
    Selain Djuyamto, tujuh orang lainnya adalah tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
    Lalu, eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri Surabaya, Rudi Suparmono.
    Menyusul mereka, hakim Agam Syarief Baharudin, Ali Muhtarom, dan eks Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta menyusul ke dalam bui.
    Puluhan tahun mengadili, hakim-hakim itu mendapat giliran untuk dihakimi. Para “wakil Tuhan di bumi” itu memperjualbelikan putusan pengadilan.
    Akibatnya, seperti Djuyamto yang kini setiap Rabu dihadirkan ke pengadilan, mereka menanti ketua majelis hakim membacakan vonis.
    Tahun pertama pemerintahan Prabowo menjadi musim “menghakimi para hakim”.
    Begitu panjang dan banyaknya orang-orang yang dibui membuat riwayat jual beli perkara di pengadilan itu bisa diceritakan menjadi dua babak.
    Babak pertama dalam riwayat wakil Tuhan yang khilaf ini datang dari timur Pulau Jawa, dari gerilya dengan maksud jahat untuk membebaskan pelaku pembunuhan Dini Serra Afrianti, Gregorius Ronald Tannur.
    Dengan dalih keyakinan anaknya tidak bersalah, ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur dan pengacaranya, Lisa Rachmat bersekongkol untuk menyuap hakim.
    Atas bantuan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang berperan sebagai makelar kasus (Markus) Zarof Ricar, Lisa mendapat akses untuk bertemu Ketua PN Surabaya saat itu, Rudi Suparmono.
    Lisa meminta formasi hakim disusun sesuai keinginannya. Dari sana, ia lalu bergerak menghubungi Erintuah, Mangapul, dan Heru satu per satu.
    Pengacara itu lalu memberikan uang dengan jumlah total Rp 4,6 miliar agar mereka menjatuhkan putusan bebas dalam perkara Ronald Tannur.
    Putusan pun diketok. Dakwaan jaksa dinyatakan tidak terbukti dan Ronald Tannur melenggang pulang.
    Meski targetnya tercapai, Lisa menyadari kasus Ronald Tannur tidak berhenti. Jaksa mengajukan kasasi ke MA.
    Lisa pun lanjut bergerilya, kembali berkontak dengan Zarof Ricar dan memintanya untuk mengkondisikan majelis kasasi.
    Tak tanggung-tanggung, ia menyiapkan uang Rp 6 miliar dengan pembagian Rp 5 miliar untuk hakim agung dan Rp 1 miliar sebagai fee jasa markus Zarof.
    Mantan pejabat elite di MA itu pun menyanggupi. Ia menemui Hakim Agung Soesilo dan menyampaikan permintaan Lisa.
    Namun, belum sempat kasasi itu diadili dan uangnya sampai pada majelis, penyidik Kejagung menangkap Erintuah dan kawan-kawan.
    Penangkapan lalu berkembang hingga ke Zarof Ricar.
    Menggelar operasi senyap, penyidik menemukan uang dan emas senilai lebih dari Rp 1 triliun di rumah Zarof.
    Harta benda itu terdiri dari uang dalam berbagai pecahan valuta asing (valas) senilai Rp 915 miliar dan Rp 51 kilogram emas batangan.
    Benda berharga tersebut dibungkus pada kantong-kantong berbeda dan ditandai dengan keterangan nomor perkara kasus-kasus di pengadilan.
    Meski pada akhirnya disimpulkan sebagai gratifikasi yang dianggap suap, penyidikan tidak dilanjutkan untuk mengungkap siapa hakim-hakim yang melakukan transaksi lewat Zarof.
    Namun demikian, kasus Zarof menjadi catatan publik bagaimana mengerikannya praktek jual beli perkara di pengadilan.
    Setelah berbulan-bulan menjalani persidangan, Erintuah dan kawan-kawan akhirnya diadili.
    Erintuah dan Mangapul dihukum 7 tahun penjara sementara Heru 10 tahun. Lalu, Rudi Suparmono 7 tahun, Lisa Rachmat 14 tahun, dan Meirizka 3 tahun penjara.
    Sementara, hukuman untuk Zarof Ricar paling berat: 16 tahun penjara.
    Majelis hakim menyebutkan, tindakan Zarof sangat meruntuhkan kepercayaan publik pada pengadilan.
    “Perbuatan terdakwa mencederai nama baik serta menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga Mahkamah Agung,” kata Hakim Rosihan dengan terisak di ruang sidang Hatta Ali, Rabu (18/6/2025).
    Dari penanganan kasus suap Ronald Tannur, penyidik menemukan indikasi penyuapan vonis lepas kasus korupsi fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah.
    Penyidikan dilakukan dan berujung pada Djuyamto, Agam, dan Ali Muhtarom masuk bui.
    Ketiganya didakwa menerima suap Rp 21,9 miliar untuk membebaskan terdakwa korporasi kasus ekspor CPO.
    Dalam perkara itu, Djuyamto menerima Rp 9,5 miliar. Kemudian, Ali dan Agam masing-masing Rp 6,2 miliar.
    Sementara itu, Arif menerima Rp 15,7 miliar dan Panitera Muda nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan, Rp 2,4 miliar.
    Dalam kasus itu, suap tidak diberikan langsung kepada para hakim. Pengacara terdakwa korporasi, Ariyanto, menyerahkan uang suap lewat Wahyu.
    Adapun Ariyanto mewakili korporasi di bawah Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sesuai pesanan, Djuyamto dan anggotanya membebaskan para terdakwa korporasi itu pada 19 Maret 2025.
    Saat ini, perkara mereka masih bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Dalam pemeriksaan, Djuyamto dan Arif mengaku bersalah menerima suap dari Ariyanto.
    Pengakuan disampaikan saat keduanya diperiksa sebagai saksi mahkota.
    “Kalau boleh dikatakan, (kasus ini) 75 persen sudah terang benderang. Saya sudah mengaku bersalah, sudah menerima uang,” kata Djuyamto dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (15/10/2025).
    Pada hari yang sama, Arif juga mengaku menerima uang haram dari pengacara terdakwa korporasi.
    Meski demikian, Arif mengaku tidak memberikan arahan tertentu kepada majelis hakim yang mengadili.
    “Mengenai ada uang, itulah salah saya dan khilaf saya, saya akui memang seperti itu,” ujar Arif.
    Terpilih menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2024, Sunarto langsung diguncang rentetan penahanan hakim.
    Belum selesai kasus Ronald Tannur, giliran Djuyamto dan kawan-kawan ditahan penyidik.
    Bak dipercaya memegang nakhoda saat badai, raut dan ucapan Sunarto seperti campuran marah, kecewa, dan rasa sedih.
    Berkali-kali Sunarto menebarkan peringatan keras kepada hakim-hakim yang bergaya hidup hedon dengan uang korupsi.
    Menurut Sunarto, publik mengetahui dengan jelas pendapatan sah hakim hanya berkisar Rp 27 juta.
    Oleh karena itu, seharusnya mereka malu ketika membeli dan menggunakan mobil mewah miliaran rupiah dan barang-barang branded.
    “Kalau enggak malu, apa tidak takut sama Tuhan, minimal takut sama wartawan. Difoto arlojinya Rp 1 miliar, apa tidak malu saudara-saudara?” kata Sunarto geran dalam acara pembinaan pimpinan pengadilan dan para hakim se-Jakarta di Gedung MA, Jakarta, Jumat (23/5/2025).
    “Gajinya Rp 27 juta, Rp 23 juta, pakai LV, pakai Bally, pakai Porsche, enggak malu,” lanjutnya.
    Tidak hanya itu, Sunarto pun menyatakan telah meminta jejaring sosial untuk melacak pegawai pengadilan atau hakim yang membawa mobil mewah ke kantor.
    Mereka akan melaporkan dan akhirnya kemewahan itu akan ditelusuri apakah bersumber dari pendapatan sah untuk kemudian disampaikan ke Badan Pengawas MA.
    “Setelah kita analisis dengan pendapatannya, maka Badan Pengawasan berkewajiban untuk melaporkan ke penegak hukum,” ujar Sunarto.
    Meski demikian, Sunarto tak patah arang. Ia mencoba memperbaiki kondisi kesejahteraan hakim yang dinilai buruk karena 13 tahun tidak mengalami kenaikan.
    Tak cuma bikin kepala Sunarto pusing, kasus korupsi di lingkungan MA juga membuat anggota DPR RI heran dan berang.
    Anggota Komisi III DPR RI Muhammad Nasir Djamil menyampaikan kritiknya dengan sarkas saat mencecar calon hakim agung pada MA, Annas Mustaqim yang menjalani fit and proper test.
    Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyinggung bagaimana suap nasib kelembagaan MA jika hakim yang diduga seharusnya menerima jatah Rp 915 miliar dan 51 kilogram diungkap.
    “Belum lagi ada peristiwa Zarof yang mengumpulkan uang dari kasus ini, kasus ini, kalaulah dibuka misalnya, dibuka hakim mana saja, kasus apa saja, barangkali roboh itu gedung Mahkamah Agung, barangkali, tapi itulah kenyataan potret kita lihat saat ini,” kata Nasir, di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
    Nasir pun menggali mempertanyakan bagaimana MA memperbaiki kondisi tersebut.
    “Sehingga orang akan semakin lebih percaya kepada pengadilan,” ujar Nasir.
    Di tengah gonjang-ganjingnya dunia peradilan, ratusan hakim muda mogok kerja.
    Mereka protes pemerintah tidak menaikkan gaji dan tunjangan hakim sejak 13 tahun.
    Setelah mendengar banyak masukan, Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan gaji hakim.
    “Saya Prabowo Subianto, Presiden Indonesia ke-8, hari ini mengumumkan bahwa gaji-gaji hakim akan dinaikkan demi kesejahteraan para hakim dengan tingkat kenaikan bervariasi sesuai golongan,” kata Prabowo di acara pengukuhan calon hakim di Mahkamah Agung (MA), Jakarta, Kamis (12/6/2025).
    Prabowo menyebut, kenaikan gaji paling tinggi mencapai 280 persen dan diberlakukan untuk hakim yang paling junior.
    “Di mana kenaikan tertinggi mencapai 280 persen dan golongan yang naik tertinggi adalah golongan junior, paling bawah,” kata Prabowo disambut tepuk tangan meriah.
     
    Membaca situasi tersebut, peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola mengatakan, peringatan Ketua MA memang patut diapresiasi.
    Namun, kata Alvin, hakim yang korupsi tidak hanya didorong kondisi gaji yang kurang.
    Para pemegang palu pengadilan itu korup karena sistem pengawasan di pengadilan yang lemah.
    Maraknya hakim dan aparatus pengadilan yang tersandung suap menunjukkan bahwa integritas sistemik di lembaga pengadilan mengalami krisis. Alvin tidak sepakat jika kasus itu hanya persoalan personal hakim.
    “Penyakit ini terus muncul akibat banyak problem tata kelola peradilan, belum kuatnya pengawasan internal, dan kultur birokrasi yang permisif terhadap penyalahgunaan kewenangan,” ujar Alvin saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (17/10/2025).
    Selama penjatuhan sanksi yang setengah hati, proses hukum tertutup, dan laporan kekayaan yang disembunyikan, menurutnya, sulit berharap publik bisa percaya pada lembaga peradilan.
    Pihaknya memandang, pencegahan korupsi bisa dilakukan di lembaga peradilan mulai dengan mempublikasikan kekayaan hakim secara berkala.
    “Rekrutmen berbasis merit, digitalisasi proses peradilan, serta sinergi aktif MA–KY–KPK dalam pengawasan,” tegasnya.
    Senada dengan Alvin, peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenurrohman memandang, kenaikan gaji hakim bukan jawaban tunggal dari
    judicial corruption
    atau korupsi di lembaga peradilan.
    Menurut Zaenur, dibandingkan aparatur Kejaksaan Agung dan Polri, pendapatan sah hakim sebenarnya masih lebih baik.
    “Hakim masih salah satu yang paling sejahtera,” kata Zaenur saat dihubungi, Jumat.
    Menurutnya, tindakan yang paling penting untuk menanggulangi korupsi itu adalah dengan memastikan pengawasan berjalan dengan benar.
    Pengawasan dilakukan dari pimpinan MA ke bawah atau vertikal maupun secara horizontal, yakni sesama pegawai.
    “Ini melulu soal kesejahteraan semata,” ujar Zaenur.
    Ia memandang, korupsi di pengadilan bisa terjadi karena mereka memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan rasuah tinggi.
    Oleh karena itu, tindakan yang paling tepat adalah mendorong pengawasan berjalan.
    Bahkan, bila perlu diberikan insentif bagi orang-orang yang melaporkan korupsi hakim dan aparatur pengadilan.
    Selain itu, pimpinan pengadilan yang gagal mengendalikan bawahannya juga harus disanksi berupa pencopotan.
    “Setiap pimpinan pengadilan yang gagal melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggotanya harus dicopot,” kata dia.
    Di luar itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga harus memprioritaskan kasus rasuah di lembaga peradilan.
    KPK harus mengawasi dan memastikan program pencegahan korupsi di lembaga pengadilan berjalan efektif.
    “Itu menjadi tugas dari KPK tugas KPK itu kan dua ya penindakan dan pencegahan nah yang pencegahan ini saya belum lihat program KPK untuk pencegahan saya belum lihat,” ujar Zaenur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Perjalanan Sandra Dewi Tolak Asetnya Dirampas di Kasus Harvey Moeis
                        Nasional

    3 Perjalanan Sandra Dewi Tolak Asetnya Dirampas di Kasus Harvey Moeis Nasional

    Perjalanan Sandra Dewi Tolak Asetnya Dirampas di Kasus Harvey Moeis
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Aktris Sandra Dewi mengajukan keberatan atas penyitaan terhadap sejumlah asetnya dalam kasus korupsi tata niaga timah yang menyeret nama suaminya, Harvey Moeis.
    Keberatan yang diajukan Sandra Dewi kini tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Sandra Dewi dalam persidangan menyebutkan, aset-aset pribadinya itu didapatkan secara pribadi melalui endorsement atau hasil kerja selama menjadi artis.
    Namun, aset-aset ini tetap disita untuk membayar uang pengganti senilai Rp 420 miliar yang dijatuhkan pada Harvey.
    Lantas, bagaimana duduk perkara aset Sandra Dewi yang juga disita dalam kasus korupsi tata niaga timah? Berikut rangkumannya:
    Sebagai latar belakang, Harvey Moeis yang merupakan suami Sandra Dewi terseret dalam kasus korupsi pada tata niaga komoditas timah.
    Kasus korupsi timah ini berkembang menjadi salah satu perkara lingkungan terbesar dalam sejarah hukum Indonesia
    Pada Maret 2024, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Harvey Moeis sebagai tersangka setelah sebelumnya diperiksa sebagai saksi.
    Kejaksaan menyebut kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun akibat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan ilegal.
    Luas lahan yang terdampak diperkirakan mencapai lebih dari 170 juta hektar di kawasan hutan dan non-hutan di wilayah Bangka Belitung.
    Suami dari aktris Sandra Dewi itu kini resmi menyandang status terpidana kasus korupsi tata niaga komoditas timah, setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukannya.
    Harvey Moeis dihukum 20 tahun penjara setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukannya, pada Selasa (1/7/2025).
    Selain pidana badan dan denda, ia juga mendapatkan hukuman pidana pengganti dari Rp 210 miliar menjadi Rp 420 miliar.
    Antara Foto / Dhemas Reviyanto Terdakwa kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 Harvey Moeis bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (18/12/2024). Sidang tersebut beragendakan pembacaan pledoi atau nota pembelaan dari terdakwa. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/rwa.
    Sebelum penjatuhan hukuman terhadap Harvey Moeis, hakim sepakat dengan jaksa terkait barang-barang yang milik dan terkait Harvey Moeis yang dirampas untuk negara. Termasuk aset atas nama Sandra Dewi.
    “Majelis hakim berpendapat bahwa barang bukti aset milik terdakwa tersebut dirampas untuk negara dan diperhitungkan sebagai pengganti kerugian keuangan negara yang akan dibebankan kepada terdakwa,” kata hakim anggota Jaini Basir saat membacakan pertimbangannya di ruang sidang, Senin (23/12/2024).
    Adapun aset Harvey Moeis dan Sandra Dewi yang disita adalah sebagai berikut:
    Dari keseluruhan aset yang disita, 88 tas mewah, rekening deposito, beberapa mobil, hingga perhiasan disebut atas nama Sandra Dewi.
    ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga Artis Sandra Dewi (kanan) bersiap meberikan kesaksian dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/10/2024). Sandra Dewi menjadi saksi untuk terdakwa Harvey Moeis yang merupakan suami Sandra, serta dua terdakwa lainnya, Suparta dan Reza Andriansyah.
    Pada Senin (23/12/2024), pengacara Harvey Moeis, Andi Ahmad heran dengan keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang memerintahkan semua aset kliennya disita, termasuk atas nama andra Dewi.
    Andi mengatakan, Harvey Moeis dan Sandra Dewi telah meneken perjanjian pisah harta. Namun, hakim tetap memerintahkan jaksa untuk merampas aset atas nama Sandra Dewi.
    Adapun aset Sandra Dewi yang turut dirampas di antaranya adalah 88 tas branded yang diklaim diperoleh dari endorsement (iklan).
    “Kalau semua harta ini disita, termasuk yang atas nama Sandra Dewi, padahal mereka sudah pisah harta, ini tentu perlu kami kaji lebih dalam,” kata Andi saat ditemui usai sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (23/12/2024).
    Menurut Andi, perintah penyitaan ini membuat tim kuasa hukum mempertanyakan pertimbangan majelis hakim.
    Sebab dalam hukum, perjanjian pisah harta membuat kepemilikan dan penguasaan aset suami istri terpisah. Sementara itu, aset yang sudah dipisah secara hukum tidak bisa dianggap tercampur.
    Artinya, kekayaan milik istri yang tidak terjerat hukum tidak bisa dianggap sebagai bagian dari aset sang suami yang menjadi terdakwa dan bisa disita.
    Andi menuturkan, tidak sedikit aset kliennya yang diperintahkan majelis hakim kepada jaksa untuk dirampas itu diperoleh sebelum terjadinya tindak pidana (tempus delicti) korupsi pada tata niaga timah di Bangka Belitung. Adapun tempus delicti tata niaga timah ini terjadi pada kurun 2015-2022.
    Deposito senilai Rp 33 miliar, tas branded, dan perhiasan Sandra Dewi misalnya, sudah diperoleh sejak sebelum 2015 dari kerja-kerjanya sebagai model dan aktris.
    “Ada aset yang didapat pada 2012 dan 2010, jauh sebelum dugaan tindak pidana terjadi. Ini yang akan kami dalami dalam analisis kami,” tutur Andi.
    Kini pada Jumat (17/10/2025), sidang terkait keberatan Sandra Dewi dilanjutkan dengan agenda pembuktian dari pihak Kejagung selaku Termohon.
    Jaksa menghadirkan Ahli Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, untuk dimintai keterangannya.
    Usai Hibnu diambil sumpahnya, masing-masing kubu, baik dari pengacara Sandra Dewi selaku Pemohon maupun jaksa selaku Termohon bergantian mengajukan pertanyaan.
    Pertanyaan yang dilontarkan berkisar pada topik keabsahan harta milik pihak ketiga dengan proses penyitaan dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Hal ini juga dipertegas oleh hakim dalam sesi pertanyaan khusus majelis.
    “Apakah harta yang diperoleh seseorang pihak ketiga, jauh sebelum tempus tindak pidana terjadi, dapat dikategorikan sebagai harta yang tidak terkait korupsi, menurut ahli?” tanya Hakim Rios.
    Hibnu mengatakan, harta tersebut bisa dinilai tidak terkait dengan kasus korupsi. Namun, menurutnya, selama status pemilik aset masih terkait dengan terdakwa, aset tersebut masih bisa disita oleh negara sebagai upaya untuk memulihkan kerugian keuangan negara.
    Namun, Hibnu menjelaskan, semisal pihak ketiga itu bisa membuktikan asetnya tidak terkait dengan tindak pidana korupsi, aset itu tidak bisa disita untuk negara.
    Hakim Rios kembali mempertegas jawaban ahli terkait hal ini. “Ini subjeknya adalah suami istri, bukan korporasi. Salah satu pasangan memperoleh jauh sebelum tindak pidana perampasan tadi (kemudian pasangannya) didakwa melakukan korupsi dan diadili tipikor, dalam hal ini, ini termasuk harta terkait atau tidak terkait?” tanya Hakim Rios lagi.
    Hibnu tetap pada pendiriannya. Menurutnya, penyitaan aset punya banyak pendekatan yang patut diperhitungkan.
    “Kalau melihat pendekatan pihak, tidak terkait. Tapi, kalau pendekatan korupsi, ada bagian pengembalian uang negara. Ada dua penegakan yang harus dipakai,” jawab Hibnu.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 4
                    
                        Sandra Dewi Ajukan Keberatan Asetnya Ikut Dirampas Kasus Harvey Moeis
                        Nasional

    4 Sandra Dewi Ajukan Keberatan Asetnya Ikut Dirampas Kasus Harvey Moeis Nasional

    Sandra Dewi Ajukan Keberatan Asetnya Ikut Dirampas Kasus Harvey Moeis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Aktris sekaligus istri terpidana kasus korupsi tata niaga timah, Harvey Moeis, Sandra Dewi, mengajukan keberatan atas penyitaan beberapa aset miliknya yang ikut disita oleh Kejaksaan.
    Saat ini, keberatan yang diajukan Sandra Dewi tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
    Hari ini, sidang dilanjutkan dengan agenda pembuktian dari pihak Kejaksaan Agung selaku termohon.
    Jaksa menghadirkan Ahli Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, untuk dimintai keterangannya.
    Sebelum sidang dimulai, ketua majelis hakim, Rios Rahmanto, lebih dahulu memeriksa identitas dari ahli.
    “Ahli kenal dengan pemohon Sandra Dewi?” tanya Hakim Rios dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakpus, Jumat (17/10/2025).
    Hibnu mengaku tidak mengenal Sandra Dewi dan tidak punya hubungan keluarga dengannya.
    Ia juga mengaku hanya tahu jaksa-jaksa dari Kejaksaan Agung, tetapi tidak mengenal dekat maupun punya hubungan keluarga.
    Usai Hibnu diambil sumpahnya, masing-masing kubu, baik dari pengacara Sandra Dewi selaku pemohon maupun jaksa selaku termohon, bergantian mengajukan pertanyaan kepada Hibnu.
    Pertanyaan yang dilontarkan berkisar pada topik keabsahan harta milik pihak ketiga dengan proses penyitaan dalam kasus tindak pidana korupsi (tipikor).
    Hal ini juga dipertegas oleh hakim dalam sesi pertanyaan khusus majelis.
    “Apakah harta yang diperoleh seseorang pihak ketiga, jauh sebelum tempus tindak pidana terjadi, dapat dikategorikan sebagai harta yang tidak terkait korupsi, menurut ahli?” tanya Hakim Rios.
    Hibnu mengatakan, harta tersebut bisa dinilai tidak terkait dengan kasus korupsi.
    Namun, menurutnya, selama status pemilik aset masih terkait dengan terdakwa, aset tersebut masih bisa disita oleh negara sebagai upaya untuk memulihkan kerugian keuangan negara.
    Namun, Hibnu menjelaskan, semisal pihak ketiga itu bisa membuktikan asetnya tidak terkait dengan tindak pidana korupsi, aset itu tidak bisa disita untuk negara.
    Hakim Rios kembali mempertegas jawaban ahli terkait hal ini.
    “Ini subjeknya adalah suami istri, bukan korporasi. Salah satu pasangan memperoleh jauh sebelum tindak pidana perampasan tadi (kemudian pasangannya) didakwa melakukan korupsi dan diadili tipikor, dalam hal ini, ini termasuk harta terkait atau tidak terkait?” tanya Hakim Rios lagi.
    Hibnu tetap pada pendiriannya.
    Menurutnya, penyitaan aset punya banyak pendekatan yang patut diperhitungkan.
    “Kalau melihat pendekatan pihak, tidak terkait. Tapi, kalau pendekatan korupsi, ada bagian pengembalian uang negara. Ada dua penegakan yang harus dipakai,” jawab Hibnu.
    Hakim Rios pun menyinggung soal Pasal 19 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tipikor yang mengatur soal keberatan pihak ketiga atas asetnya yang ikut dirampas oleh negara.
    “Tapi UU Tipikor juga secara implisit memberikan perlindungan ke pihak ketiga. Dalam Pasal 19 kan ditegaskan. Kalau menurut ahli, tetap hal itu ada semangat tidak semata-mata hanya asset recovery?” tanya Hakim Rios.
    Hibnu tetap pada penjelasannya.
    Ia menilai, pasal yang dimaksud hakim itu sudah dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2022.
    Dalam kasus ini, kasasi Harvey diketahui telah ditolak oleh MA.
    Aset-aset milik Sandra Dewi juga tetap disita meski ada perjanjian pisah harta di antara keduanya.
    Setidaknya, ada 88 tas mewah, rekening deposito, beberapa mobil, hingga perhiasan.
    Pada persidangan lampau, Sandra menjelaskan bahwa aset-aset ini didapatnya secara pribadi, melalui endorsement atau hasil kerja selama menjadi artis.
    Tapi, aset-aset ini tetap disita untuk membayar uang pengganti senilai Rp 420 miliar yang dijatuhkan pada Harvey.
    Pada kasus ini, Harvey bersama terpidana lainnya dinilai telah merugikan keuangan negara hingga Rp 271 triliun.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MK Sebut Tangkap Jaksa Nakal, Tidak Perlu Izin Jaksa Agung

    MK Sebut Tangkap Jaksa Nakal, Tidak Perlu Izin Jaksa Agung

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan agar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap jaksa tidak perlu izin dari Jaksa Agung.

    Keputusan diambil setelah MK melakukan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 

    Dalam amar putusan, Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan salah satu permohonan pada Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan yang mengatur pelaksanaan penangkapan jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.

    “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung, kecuali dalam hal: a.tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau b.berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus,” tulis amar putusan dalam Nomor Perkara 15/PUU-XXIII/2025, mengutip laman mkri.go.id, Jumat (17/10/2025).

    Majelis Konstitusi menjelaskan bahwa Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai memuat pengecualian.

    Pengecualian yang dimaksud adalah tertangkap tangan melakukan tindak pidana atau berdasarkan bukti permulaan yang cukup disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus,

    Sebelum dimaknai oleh MK, setiap operasi tangkap tangan, tanpa terkecuali harus mendapatkan izin dari Kejaksaan Agung. Setelah putusan, penangkapan terhadap jaksa dapat dilakukan tanpa izin Jaksa Agung di kasus tertentu sebagaimana dijelaskan di atas.

    MK juga mengabulkan permohonan terkait Pasal 35 ayat 1 huruf e yang menyatakan Jaksa Agung dapat memberikan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung (MA) mengenai pemeriksaan kasasi. 

  • Kejagung Pastikan Jaksa Punya Sistem Monitor Kopdes Merah Putih

    Kejagung Pastikan Jaksa Punya Sistem Monitor Kopdes Merah Putih

    Jakarta

    Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung RI, Reda Manthovani, memastikan jaksa memiliki sistem untuk memonitor Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih. Ia menegaskan, sistem keuangan Kopdes Merah Putih harus berjalan dengan transparan.

    Hal itu disampaikan dalam acara penandatanganan Perjanjian Kerja Sama, Bimbingan Teknis, dan Penyaluran Bantuan Permodalan Usaha (CSR) dari PT Agung Sedayu Group kepada 60 Kopdes Merah Putih di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Kamis (16/10/2025). Hadir Menteri Koperasi dan UKM Ferry Julianto, Gubernur Banten Andra Soni, serta Bupati Tangerang Moch Maesyal Rasyid.

    Reda menyebut, jaksa akan membantu Kopdes untuk berkembang menjadi lembaga yang transparan. Menurutnya, kolaborasi antarpihak dapat meminimalisir risiko penyalahgunaan dana, termasuk dengan melibatkan sektor swasta.

    “Melalui Koperasi Merah Putih yang telah dibentuk di setiap desa dan kelurahan, Kejaksaan RI melalui program Jaksa Garda Desa (Jaga Desa) memiliki sistem untuk memonitor pengelolaan keuangan dan kegiatan desa secara transparan. Kolaborasi ini diharapkan dapat memitigasi risiko penyalahgunaan dana serta memperkuat ekonomi masyarakat desa,” ujar Reda.

    Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM RI Ferry Julianto menegaskan bahwa koperasi merupakan tiang utama perekonomian nasional. Program Koperasi Merah Putih diharapkan menjadi benteng kesejahteraan rakyat.

    Ferry menyampaikan, pemerintah menargetkan pembangunan puluhan ribu gudang dan gerai Kopdes Merah Putih di seluruh Indonesia. Ia berharap ekonomi rakyat menjadi lebih produktif melalui koperasi.

    Sementara itu, Gubernur Banten Andra Soni menyampaikan bahwa dukungan berbagai pihak akan mendorong lahirnya desa mandiri dan berdaya saing di Provinsi Banten.

    “Surat keputusan untuk 1.551 Koperasi Merah Putih di Kabupaten Tangerang telah diterbitkan. Kami mengapresiasi dukungan Kejaksaan RI melalui program Jaga Desa yang berperan aktif mengawal pengelolaan keuangan desa. Dengan adanya bantuan CSR kepada Koperasi Merah Putih, kami berharap tercipta desa-desa mandiri dan maju, khususnya di Kabupaten Tangerang,” ujar Andra Soni.

    (aik/fca)

  • Baru 16 Bulan Menjabat, Kajari Kota Probolinggo Dipromosikan ke Kejati Jogjakarta

    Baru 16 Bulan Menjabat, Kajari Kota Probolinggo Dipromosikan ke Kejati Jogjakarta

    Probolinggo (beritajatim.com) – Gerbong mutasi di tubuh Korps Adhyaksa kembali bergulir. Salah satu pejabat yang ikut bergeser adalah Dodik Hermawan, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Probolinggo.

    Baru 16 bulan menjabat, Dodik mendapat promosi sebagai Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Daerah Istimewa Yogyakarta.

    Mutasi tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP-IV-1425/10/2025 tertanggal 13 Oktober 2025 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil Kejaksaan Republik Indonesia.

    Dalam keputusan itu, Dodik menggantikan Muhammad Anshar Wahyuddin, yang kini bertugas di Badan Diklat Kejaksaan Agung RI. Sementara jabatan Kajari Kota Probolinggo akan diisi oleh Lilik Setiawan, sebelumnya menjabat Kajari Aceh Tenggara.

    Dodik diketahui mulai memimpin Kejari Kota Probolinggo sejak akhir Juni 2024. Selama 1 tahun 4 bulan masa kepemimpinannya, ia dikenal aktif mendorong berbagai terobosan di bidang intelijen, datun, dan pelayanan hukum, serta tegas dalam penegakan hukum kasus korupsi. Saat ini, Kejari tengah menangani dua perkara dugaan korupsi yang telah masuk tahap penyidikan.

    “Untuk masalah mutasi, kami masih menunggu pelantikan. Yang pasti, bidang Pidsus sedang menangani dua perkara dugaan tindak pidana korupsi. Satu terkait pekerjaan di salah satu OPD lingkup Pemkot Probolinggo dan satu lagi dugaan penyimpangan dana hibah KONI,”Ujar Dodik Hermawan, Kajari Kota Probolinggo.

    Sementara itu, Kasi Intel Kejari Kota Probolinggo, Herdiawan Prayudi, membenarkan terbitnya SK Jaksa Agung tersebut.

    Ia menyebut promosi yang diterima pimpinannya merupakan bentuk apresiasi atas kinerja yang telah ditunjukkan selama bertugas di Kota Probolinggo.

    “Beliau menjabat selama 1 tahun 4 bulan. Alhamdulillah, mendapat amanah baru sebagai Aspidsus Kejati Jogjakarta,” ujar Herdiawan.

    Menurutnya, selama kepemimpinan Dodik, Kejari Kota Probolinggo mencatat berbagai capaian penting di bidang Pidana Khusus (Pidsus), Datun, maupun inovasi pelayanan publik.

    Dalam bidang Pidsus, tercatat dua perkara korupsi telah masuk tahap penyidikan dengan penyelamatan keuangan negara mencapai Rp300 juta.

    Di bidang Datun, pemulihan keuangan negara tahun 2024 mencapai Rp1,7 miliar, tahun 2025 sebesar Rp1,5 miliar, serta penyelamatan keuangan negara hingga Rp26,4 miliar melalui bantuan hukum litigasi di PTUN.

    Tak hanya itu, Dodik juga melahirkan sejumlah inovasi pelayanan hukum seperti:

    Festival Literasi Hukum bagi pelajar se-Kota Probolinggo

    Pojok JPN (Jaksa Pengacara Negara)

    Program PERISAI (Isbat Nikah dan Perwalian Anak)

    Program JUARA (Jaksa Peduli Aset Negara)

    Program NGOPI AJA (Ngobrol Bareng Jaksa / Konsultasi Hukum Gratis)

    Serta layanan pengambilan dan pengantaran barang bukti gratis.

    Selain itu, di bawah kepemimpinannya, Kejari Kota Probolinggo juga berhasil membentuk Rumah Restorative Justice (RJ) secara serentak di seluruh kelurahan.

    “Alhamdulillah, seluruh kelurahan di Kota Probolinggo kini sudah memiliki Rumah RJ,” pungkas Herdiawan. (ada/ted)

  • Gaspol Hari Ini: Misbakhun Soroti Coretax, Purbaya Jangan Percaya Orang Lama
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 Oktober 2025

    Gaspol Hari Ini: Misbakhun Soroti Coretax, Purbaya Jangan Percaya Orang Lama Nasional 15 Oktober 2025

    Gaspol Hari Ini: Misbakhun Soroti Coretax, Purbaya Jangan Percaya Orang Lama
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun angkat bicara soal sistem administrasi perpajakan Coretax. Dia juga bicara soal Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
    Ia menganggap, Coretax harus diperiksa karena penggunaannya tak optimal dan berdampak pada turunnya penerimaan pajak.
     “Ini kenapa diterapkan di awal pemerintahan Pak Prabowo sehingga memberikan tekanan pada penerimaan?” ujar Misbakhun dalam podcast Gaspol! di YouTube Kompas.com, Rabu (15/10/2025).
    Ia menekankan, sistem digital dalam pemungutan pajak memang harus dilakukan, namun bukan berarti harus menggunakan Coretax.
    Sebagai anggota dewan, Misbakhun mengaku juga tak bisa menahan keputusan pemerintah dalam penggunaan Coretax.
    Pasalnya, sistem administrasi perpajakan yang lama sudah dimatikan.
    “Karena sistem yang lama sudah dimatikan, terus mau pakai sistem apa? Nanti pasti menyalahkan DPR (dengan alasan) ‘karena keputusan politik kita enggak bisa menerapkan Coretax,’” tuturnya.
    Tak hanya itu, ia juga meminta Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa tidak mempercayai orang-orang lama di Kemenkeu.
    Baginya, Purbaya harus membawa harapan baru dan membenahi sistem yang sudah rusak, baik terkait Coretax maupun industri tembakau yang sekarat di bawah rezim Sri Mulyani.
    “Jangan percaya sama orang-orang yang ada di sana dulu, enggak usah percaya dulu. Sama dengan Pak Purbaya ketika mengatakan enggak percaya sama Coretax,” paparnya.
    Terakhir, Misbakhun menyarankan agar Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Badan Intelijen Negara (BIN) turun tangan jika Coretax tidak segera dibenahi.
    Ia mengungkapkan, Dirjen Pajak sudah berjanji bakal segera membenahi Coretax maksimal Desember tahun ini.
    Jika hal itu tidak terjadi, maka Misbakhun mendorong dua lembaga tersebut untuk melakukan pemeriksaan. “Kalau menurut saya, kalau memang tidak dibenahi sampai akhir tahun, menurut saya waktunya Kejaksaan masuk, kalau perlu Badan Intelijen Negara perlu melihat ini ada sabotase pada sistem penerimaan negara kita,” imbuh dia.
    Simak obrolan selengkapnya dalam
    program Gaspol!
    Tayang perdana malam ini, pukul 19:00 WIB.
    Klik
    tautan ini
    untuk menonton Gaspol!
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dirut Berkah Manis Cs Dituntut 4 Tahun Penjara dalam Kasus Impor Gula Era Tom Lembong

    Dirut Berkah Manis Cs Dituntut 4 Tahun Penjara dalam Kasus Impor Gula Era Tom Lembong

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut lima petinggi perusahaan swasta dalam kasus impor gula pidana penjara masing-masing selama 4 tahun. Tempus perkara korupsi importasi gula ini terjadi di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015—2016.

    Jaksa penuntut umum (JPU) Kejagung Andi Setyawan meyakini kelima terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.

    “Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar JPU dalam sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dikutip dari Antara, Rabu (15/10/2025).

    Adapun kelima terdakwa dimaksud, yakni Direktur Utama (Dirut) PT Angels Products Tony Wijaya Ng, Direktur PT Makassar Tene Surianto Eka Prasetyo, Dirut PT Permata Dunia Sukses Utama Eka Sapanca, kuasa direksi PT Duta Sugar International Hendrogiarto Tiwow, serta Dirut PT Berkah Manis Makmur Hans Falita Hutama.

    Selain pidana penjara, kelima terdakwa juga dituntut agar dikenakan hukuman denda masing-masing sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan maka diganti (subsider) dengan 6 bulan kurungan serta pidana tambahan berupa uang pengganti.

    JPU memerinci, Tony dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp150,81 miliar; Surianto Eka Rp39,25 miliar; Eka Sapanca Rp32,01 miliar; Hendrogiarto Rp41,23 miliar; serta Hans Rp74,58 miliar.

    Pembayaran uang pengganti tersebut dengan ketentuan masing-masing subsider 2 tahun penjara serta telah memperhitungkan harta benda atau uang milik para terdakwa yang telah disita sejumlah besaran uang pengganti.

    “Sementara pertimbangan meringankan tuntutan, yaitu terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan dan tidak mempersulit jalannya persidangan, serta telah mengembalikan duit hasil korupsi kasus tersebut,” tutur JPU.

    Dalam kasus itu, kelima terdakwa diduga merugikan keuangan negara Rp578,1 miliar terkait dengan kasus dugaan korupsi importasi gula di Kemendag pada tahun 2015—2016.

    Disebutkan bahwa perbuatan para terdakwa dilakukan bersama-sama dengan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Tom Lembong, mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI Charles Sitorus, dan Menteri Perdagangan periode 2016—2019 Enggartiasto Lukita.

    Dengan demikian, para terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

     

  • Dirut Berkah Manis Cs Dituntut 4 Tahun Penjara dalam Kasus Impor Gula Era Tom Lembong

    Dirut Berkah Manis Cs Diancam 4 Tahun Penjara di Kasus Impor Gula Era Tom Lembong

    Bisnis.com, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menuntut lima petinggi perusahaan swasta dalam kasus impor gula pidana penjara masing-masing selama 4 tahun. Tempus perkara korupsi importasi gula ini terjadi di Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2015—2016.

    Jaksa penuntut umum (JPU) Kejagung Andi Setyawan meyakini kelima terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama.

    “Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,” ujar JPU dalam sidang pembacaan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dikutip dari Antara, Rabu (15/10/2025).

    Adapun kelima terdakwa dimaksud, yakni Direktur Utama (Dirut) PT Angels Products Tony Wijaya Ng, Direktur PT Makassar Tene Surianto Eka Prasetyo, Dirut PT Permata Dunia Sukses Utama Eka Sapanca, kuasa direksi PT Duta Sugar International Hendrogiarto Tiwow, serta Dirut PT Berkah Manis Makmur Hans Falita Hutama.

    Selain pidana penjara, kelima terdakwa juga dituntut agar dikenakan hukuman denda masing-masing sebesar Rp500 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayarkan maka diganti (subsider) dengan 6 bulan kurungan serta pidana tambahan berupa uang pengganti.

    JPU memerinci, Tony dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp150,81 miliar; Surianto Eka Rp39,25 miliar; Eka Sapanca Rp32,01 miliar; Hendrogiarto Rp41,23 miliar; serta Hans Rp74,58 miliar.

    Pembayaran uang pengganti tersebut dengan ketentuan masing-masing subsider 2 tahun penjara serta telah memperhitungkan harta benda atau uang milik para terdakwa yang telah disita sejumlah besaran uang pengganti.

    “Sementara pertimbangan meringankan tuntutan, yaitu terdakwa belum pernah dihukum, bersikap sopan dan tidak mempersulit jalannya persidangan, serta telah mengembalikan duit hasil korupsi kasus tersebut,” tutur JPU.

    Dalam kasus itu, kelima terdakwa diduga merugikan keuangan negara Rp578,1 miliar terkait dengan kasus dugaan korupsi importasi gula di Kemendag pada tahun 2015—2016.

    Disebutkan bahwa perbuatan para terdakwa dilakukan bersama-sama dengan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Tom Lembong, mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI Charles Sitorus, dan Menteri Perdagangan periode 2016—2019 Enggartiasto Lukita.

    Dengan demikian, para terdakwa terancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.