Kementrian Lembaga: Kejaksaan Agung

  • Vonis Harvey Moies Terlalu Ringan, Jaksa Kejagung Ajukan Banding

    Vonis Harvey Moies Terlalu Ringan, Jaksa Kejagung Ajukan Banding

    JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada pada Kejaksaan Agung (Kejagung) memutuskan untuk mengajukan banding terkait vonis hakim terhadap Harvey Moeis di kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022.

    Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Sutikno menyebut salah satu alasan di balik keputusan mengajukan banding karena vonis terlalu ringan.

    “Mungkin putusannya terlalu ringan, khusus untuk pidana badannya,” ujar Sutikno kepada wartawan, Jumat, 27 Desember.

    Tak hanya Harvey Moeis, jaksa juga akan mengajukan banding atas vonis yang dibetikan hakim terhadap terdakwa Suwito Gunawan, Robert Indiarto, Reza Andriansyah, dan Suparta.

    Kembali mengenai alasan banding, kata Sutikno, JPU juga berpandangan majelis hakim hakim hanya mempetimbangkan peran para terdakwa. Sehingga, menjatuhkan putusan yang ringan.

    Padahal, kata Sutikno, majelis hakim lebih baik juga melihat atau mempertimbangkan mengenai dampak yang diakibatkan para terdakwa terhadap masyarakat dan lingkungan.

    Karenanya, perihal tersebut nantinya akan mejadi salah satu fokus yang akan dinarasikan dalam memori banding.

    “Hakim nampaknya belum mempertimbangkan atau tidak mempetimbangkan dampak yang diakibatkan oleh mereka terhadap masyarakat Bangka Belitung,” kata Sutiko.

    Pada kasus dugaan korupsi timah, Harvey Moeis divonis pidana penjara selam 6 tahun 6 bulan. Sementara tertdakwa Suwito Gunawan, Suparta, dan Robert Indiarto divonis 8 tahun penjara. Sedangkan, Reza Andriansyah dijatuhi sanksi pidana 5 tahun penjara.

  • Mahfud MD Dorong RUU Perampasan Aset Disahkan daripada Koruptor Diminta Mengaku

    Mahfud MD Dorong RUU Perampasan Aset Disahkan daripada Koruptor Diminta Mengaku

    Mahfud MD Dorong RUU Perampasan Aset Disahkan daripada Koruptor Diminta Mengaku
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan,
    Mahfud MD
    , menilai pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset adalah solusi efektif dalam menangani kasus
    korupsi
    , dibandingkan meminta koruptor mengaku secara diam-diam.
    Menurut pakar hukum tata negara itu, pengesahan
    RUU Perampasan Aset
    merupakan solusi bagi pemerintah ketimbang mencari-cari landasan hukum lain, seperti denda damai, yang sebenarnya tidak bisa diterapkan buat menangani tindak pidana korupsi.
    “Salah kalau mengatakan undang-undang untuk mengembalikan aset itu tidak ada jalannya. Undang-Undang Perampasan Aset diberlakukan saja. Itu lebih gampang,” kata Mahfud di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024), seperti dikutip dari
    Antara
    .
    “Sudah dituju ke DPR sama pemerintah dulu, tapi macet di DPR,” sambung Mahfud.
    Menurut Mahfud, langkah pemulihan aset (
    asset recovery
    ) seperti yang diinginkan pemerintah sejalan dengan Konvensi PBB.

    “Itu saja diundangkan, itu lebih gampang, undang-undang perampasan aset itu,” ucap Mahfud.
    Pengembalian aset negara, kata Mahfud, bisa dilakukan secara legal tanpa melibatkan proses tertutup. Ia mengingatkan risiko besar dari penyelesaian kasus korupsi yang dilakukan tanpa transparansi.
    “Diam-diam penyelesaiannya bagaimana caranya? Siapa yang bertanggung jawab? Lapor kepada siapa? Kalau tidak diumumkan, tidak transparan,” ujar Mahfud.
    Sebelumnya, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyebut pengampunan bagi koruptor bisa diberikan melalui mekanisme denda damai, selain pengampunan dari presiden.
    Supratman menyebut kewenangan denda damai dimiliki Kejaksaan Agung karena Undang-Undang Kejaksaan Agung yang baru memungkinkan hal itu.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari
    Antara
    .
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Ungkap Alasan Ajukan Banding Atas Vonis Terdakwa Harvey Moeis: Putusan Hakim Terlalu Ringan – Halaman all

    Kejagung Ungkap Alasan Ajukan Banding Atas Vonis Terdakwa Harvey Moeis: Putusan Hakim Terlalu Ringan – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Penuntutan pada Jampidsus Kejaksaan Agung RI, Sutikno mengungkap alasan pihaknya ajukan banding atas vonis yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Harvey Moeis cs terkait kasus korupsi tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung.

    Sutikno menyebut bahwa salah satu alasan pihaknya mengajukan banding lantaran vonis yang dijatuhkan Hakim pada terdakwa terlalu rendah.

    “Satu putusannya terlalu ringan ya, khusus untuk pidana badannya,” kata Sutikno saat dikonfirmasi, Jum’at (27/12/2024).

    Selain itu menurut Sutikno, dalam memutus perkara itu, Majelis hakim dinilainya hanya mempertimbangkan peran para terdakwa dalam kasus korupsi timah tersebut.

    Hakim kata dia tidak mempertimbangkan dampak korupsi yang diakibatkan oleh para terdakwa terhadap masyarakat yang tinggal di area tambang timah di Bangka Belitung.

    “Itu fokus yang nantinya akan kita narasikan juga di memori banding,” ujar Sutikno.

    Seperti diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan banding atas vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap para terdakwa kasus korupsi tata niaga komoditas timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk di Bangka Belitung.

    Direktur Penuntutan pada Jampidsus Kejagung RI, Sutikno menjelaskan, pihaknya melayangkan banding atas vonis terhadap lima dari enam terdakwa yang telah menjalani sidang putusan beberapa waktu lalu.

    “Pada hari ini, Jum’at 27 Desember 2024, Penuntut umum menyatakan sikap atas Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, menyatakan upaya hukum banding perkara atas nama Harvey Moeis, Suwito Gunawan, Robert Indarto, Reza Andriansyah dan Suparta,” kata Sutikno dalam keteranganya, Jum’at (27/12/2024).

    Sedangkan untuk satu terdakwa lain yakni General Manager PT Tinindo Internusa, Rosalina, Sutkno menjelaskan, pihaknya menerima putusan yang telah dijatuhkan terhadap yang bersangkutan.

    Berikut adalah daftar nama terdakwa yang diajukan banding dan diterima putusannya oleh Jaksa Penuntut Umum;

    A.     Menyatakan upaya hukum Banding Perkara atas nama:

    1.        HARVEY MOEIS, tuntutan Penuntut Umum; Pidana Penjara: 12 tahun UP: 210 M (6 tahun) Denda: 1 M (1 tahun), Putusan Hakim; Pidana Penjara: 6 tahun 6 bulan UP: 210 M (Subsider 2 tahun) Denda: 1 M (subsider 6 bulan).

    2.        SUWITO GUNAWAN tututan Penuntut Umum Pidana Penjara: 14 tahun UP: 2.2 T (8 tahun) Denda: 1 M (1 tahun), Putusan Hakim: Pidana Penjara: 8 tahun UP: 2.2 T (Subsider 6 tahun) Denda: 1 M (subsider 6 bulan).

    3.        ROBERT INDARTO tututan Penuntut Umum; Pidana Penjara: 14 tahun UP: 1.9 T (6 tahun) Denda: 1 M (6 bulan) Putusan Hakim; Pidana Penjara: 8 tahun UP: 1.9 T (Subsider 6 tahun) Denda: 1 M (Subsider 6 bulan).

    4.        REZA ANDRIANSYAH tututan Penuntut Umum; Pidana Penjara: 8 tahun UP: – Denda: 750 juta (Subsider 6 bulan) Putusan Hakim; Pidana Penjara: 5 tahun UP: – Denda: 750 juta (Subsider 3 bulan).

    5.        SUPARTA tututan Penuntut Umum; Pidana Penjara: 14 tahun UP: 4.5 T (8 tahun) Denda: 1 M (1 tahun) Putusan Hakim; Pidana Penjara: 8 tahun UP: 4.5 T (6 tahun) Denda: 1 M (Subsider 6 bulan).

    B.      Menyatakan menerima Putusan Perkara atas nama:

    ROSALINA tututan Penuntut Umum Pidana Penjara: 6 tahun UP: – Denda: 750 juta (6 bln) Putusan Hakim Pidana Penjara: 4 tahun UP: – Denda: 750 juta (6 bulan).

    Alhasil atas banding ini, nantinya lima dari enam terdakwa itu akan kembali menjalani sidang banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

  • Ketua MA Akui Sulit Putus Mata Rantai Makelar Kasus Zarof Ricar

    Ketua MA Akui Sulit Putus Mata Rantai Makelar Kasus Zarof Ricar

    loading…

    Ketua MA Suharto dalam konferensi pers di gedung MA, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024). FOTO/DANAN DAYA ARYA PUTRA

    JAKARTA – Ketua Mahkamah Agung (MA) Sunarto mengakui sulit memutus mata rantai makelar kasus Zarof Ricar . Zarof merupakan mantan pejabat MA yang sebelumnya telah ditangkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan pemufakatan jahat untuk menyuap hakim agung dalam kasus kasasi Ronald Tannur.

    “Ada Kasus mantan aparatur kita ZR yang jelas MA langsung merespons dengan berusaha untuk memutus mata rantai agar para hakim maupun aparatur itu tidak bisa dipengaruhi,” kata Suharto dalam konferensi pers di gedung MA, Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).

    “Upaya memutus mata rantai itu tidak semudah membalik telapak tangan kita,” sambungnya.

    Dalam upaya memutus mata rantai itu, Sunarto menjelaskan, pihaknya telah melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap orang-orang yang diduga berkaitan dengan Zarof.

    “Sesuai dengan kewenangannya telah membentuk tim pemeriksa dan telah mendengar keterangan juga dari pihak-pihak yang disebut-sebut oleh media, termasuk mendengar pihak-pihak yang sekarang lagi ada di Kejaksaan Agung kita dengar semua,” tuturnya.

    Bahkan dari hasil pemeriksaan itu, beberapa orang telah dijatuhi sanksi. “Kita awal akan melaksanakan dan telah menjatuhkan sanksi sanksi atas dasar dugaan pelanggaran kode etik dugaan pelanggaran kode etik dan itu sudah saya tanda tangani,” tuturnya.

    Untuk diketahui, Zarof Ricar ditangkap Kejaksaan Agung di Hotel Le Meridien Bali, Kamis, 24 Oktober 2024. Setelah ditangkap, Zarof menjalani pemeriksaan di ruang pidana khusus di Kejati Bali dari sore hingga malam. Zarof diduga juga menerima suap untuk mempermudah vonis bebas Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini Sera.

    Setelah penangkapan, tim Kejagung melakukan penggeledahan di hotel serta rumah Zarof di Jakarta Selatan. Penyidik menemukan uang tunai sebesar Rp920 miliar dan emas batangan seberat 51 kg. Diduga, uang dan emas tersebut merupakan gratifikasi yang diterimanya tahun 2012 hingga 2022.

    (abd)

  • Ketua Mahkamah Agung Pilih Irit Bicara soal Rencana Prabowo Bakal Maafkan Koruptor – Page 3

    Ketua Mahkamah Agung Pilih Irit Bicara soal Rencana Prabowo Bakal Maafkan Koruptor – Page 3

    Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mempertanyakan efektifitas pernyataan Prabowo. Ia mengatakan korupsi sekarang dilakukan dengan cara-cara cerdas. Bahkan yang disidangkan saja, kata dia, masih mengaku tidak korupsi.

    “Nah, bagaimana caranya kemudian koruptor seakan-akan diambil hatinya supaya mengembalikan uang yang dicuri. Itu kan gak mungkin rasanya mereka akan mengaku dan menyerahkan kepada pemerintah sesuai anjuran Pak Prabowo. Wong diproses hukum saja, mereka masih mangkir,” kata Boyamin kepada Liputan6.com, Jumat (20/12/2024).

    Ia menjelaskan, secara hukum, gagasan Prabowo memang memungkinkan. Namun, pelaksanaannya bakal sulit.

    “Saya tidak pada posisi mendukung atau menolak, tapi sebagai upaya itu boleh, karena memang kita harus maju ke depan kalau memang ada yang bertobat dan kembalikan uangnya diampuni, boleh, gak masalah, itu kan strategi mengembalikan uang yang telah dicuri. Karena kalau nanti disidangkan, belum tentu uang pengganti maksimal, malah kita kehabisan biaya untuk menangani perkara pemberantasan korupsi dan penegakan hukumnya,” tambah Boyamin.

    Ia melanjutkan, pasal 4 UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi dengan tegas mengatakan pengembalian kerugian negara tidak menghapus pidana. Tapi, Presiden melalui Kejaksaan bisa tidak meneruskan penuntutan.

    “Itu kan punya diskresi istilah pemerintah, kalau Kejaksaan Agung deponering masih dimungkinkan itu. Kalau diketahui mereka melakukan korupsi dengan niat jahatnya sudah kelihatan dengan mens reanya, istilahnya begitu, tidak diampuni, tapi kalau mereka hanya kesalahanan prosedur atau apapun berkaitan dengan keperdataan, sebenarnya susah, pasal itu ada orang korupsi itu pasti ada niat jahatnya. Tapi, masih ada beberapa kasus kemudian dinyatakan perbuatan perdata. Artinya dikembalikan barangnya,” ucap Boyamin. 

  • BREAKING NEWS: Crazy Rich Surabaya Budi Said Divonis 15 Tahun Penjara & Uang Pengganti Rp 35 Miliar – Halaman all

    BREAKING NEWS: Crazy Rich Surabaya Budi Said Divonis 15 Tahun Penjara & Uang Pengganti Rp 35 Miliar – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rahmat W Nugraha

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Terdakwa sekaligus crazy rich Surabaya, Budi Said menjalani sidang vonis kasus rekayasa jual beli emas PT Antam Tbk hari ini Jumat (27/12/2024). 

    Di persidangan PN Tipikor Jakarta Pusat, dalam amar putusannya majelis menyatakan terdakwa Budi Said terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

    Tak hanya itu crazy rich Surabaya tersebut juga dinyatakan secara bersama-sama melakukan tindak pidana pencucian uang.

    Atas perbuatannya majelis hakim menghukum Budi Said dengan pidana 15 tahun penjara. 

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Said dengan pidana penjara selama 15 tahun tahun,  dengan denda Rp1 miliar. Apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6  bulan,” kata hakim ketua Tony Irfan di persidangan dalam amar putusannya. 

    Kemudian majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan dengan membayar uang pengganti kepada negara Rp 35 miliar. 

    “Membebankan terdakwa membayar uang pengganti kepada negara sebesar 58,841 kg emas antam atau setara dengan nilai Rp 35.526.893.372,99. Sebagai pengganti atas kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa,” jelas majelis hakim. 

    Divonis Lebih Rendah dari Tuntutan JPU

    Sebelumnya pada sidang tuntutan, Jumat (13/12/2024), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan Budi Said terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat tindak pidana korupsi. Serta tindak pidana pencucian uang.

    Atas hal itu jaksa menuntut Budi Said dengan hukuman 16 tahun penjara dalam kasus rekayasa jual beli emas PT Antam.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Budi Said oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun tahun. Dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan di rutan,” ungkap jaksa di persidangan.

    Terdakwa sekaligus crazy rich Surabaya, Budi Said mengklaim dirinya merupakan korban penipuan penjualan emas PT Antam. (TRIBUNNEWS)

    Tak hanya itu jaksa di persidangan juga menuntut Budi Said denda Rp 1 miliar serta membayar uang pengganti kepada negara.

    “Uang pengganti kepada negara sebesar 58,135 kg emas antam atau setara dengan nilai Rp 35.078.291.000. Serta 1136 kg emas antam atau setara dengan nilai Rp 1.073.786.839.584 berdasarkan harga pokok produksi emas antam per Desember 2023 sebagaimana perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP,” tegas jaksa. 

    Didakwa Rugikan Negara Rp 1,1 Triliun

    Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mendakwa Crazy Rich Surabaya, Budi Said Didakwa Rugikan Negara Rp 1,1 Triliun.

    Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mendakwa Crazy Rich Surabaya, Budi Said atas dugaan korupsi pembelian emas PT Antam sebanyak 7 ton lebih.

    Dakwaan itu dibacakan jaksa penuntut umum dalam persidangan perdana Budi Said di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

    Pembelian emas dalam jumlah besar dilakukan Budi Said ke Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 PT Antam pada Maret 2018 sampai dengan Juni 2022.

    Menurut jaksa, pembelian emas dilakukan Budi Said dengan cara ber kongkalikong dengan Eksi Anggraeni selaku broker dan beberapa oknum pegawai PT Antam yakni Kepala BELM Surabaya 01 Antam bernama Endang Kumoro, General Trading Manufacturing and Service Senior Officer bernama Ahmad Purwanto, dan tenaga administrasi BELM Surabaya 01 Antam bernama Misdianto.

    Dari kongkalikong itu, kemudian disepakati pembelian di bawah harga resmi dan tidak sesuai prosedur Antam.

    “Terdakwa Budi Said bersama-sama dengan Eksi Anggraeni, Endang Kumoro, Ahmad Purwanto dan Misdianto melakukan transaksi jual beli emas Antam pada Butik Emas Logam Mulia Surabaya 01 dibawah harga resmi emas Antam yang tidak sesuai prosedur penetapan harga emas dan prosedur penjualan emas PT Antam Tbk,” kata jaksa penuntut umum saat membacakan dakwaan Budi Said.

    Total ada dua kali pembelian emas yang dilakukan Budi Said.

    Pertama, pembelian emas sebanyak 100 kilogram ke BELM Surabaya 01.

    Namun saat itu BELM Surabaya tidak memiliki stok tersebut, sehingga meminta bantuan stok dari Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLM) Pulo Gadung PT Antam.

    Harga yang dibayarkan Budi Said untuk 100 kilogram emas Rp 25.251.979.000 (dua puluh lima miliar lebih). Padahal, harga tersebut seharusnya berlaku untuk 41,865 kilogram emas.

    “Sehingga terdakwa BUDI SAID telah mendapatkan selisih lebih emas Antam seberat 58,135 kilogram yang tidak ada pembayarannya oleh terdakwa,” kata jaksa.

    Kemudian pembelian kedua, Budi Said membeli 7,071 ton emas kepada BELM Surabaya 01 Antam.

    Saat itu dia membayar Rp 3.593.672.055.000 (tiga triliun lebih) untuk 7.071 kilogram atau 7 ton lebih emas Antam. Namun dia baru menerima 5.935 kilogram.

    Kekurangan emas yang diterimanya itu, sebanyak 1.136 kilogram atau 1,13 ton kemudian diprotes oleh Budi Said.

    “Terdakwa Budi Said secara sepihak menyatakan terdapat kekurangan serah emas oleh PT Antam dengan cara memperhitungkan keseluruhan pembayaran emas yang telah dilakukan oleh terdakwa Budi Said sebesar Rp 3.593.672.055.000 untuk 7.071 kilogram namun yang diterima oleh terdakwa Budi Said baru seberat 5.935 kilogram, sehingga terdapat kekurangan serah emas kepada Terdakwa Budi Said sebanyak 1.136 kilogram,” ujar jaksa.

    Rupanya dalam pembelian 7 ton lebih emas Antam tersebut, ada perbedaan persepsi harga antara Budi Said dengan pihak Antam.

    Dari pihak Budi Said saat itu mengaku telah menyepakati dengan BELM Surabaya harga Rp 505.000.000 (lima ratus juta lebih) untuk per kilogram emas. Harga tersebut ternyata lebih rendah dari standar yang telah ditetapkan Antam.

    “Bahwa sesuai data resmi PT Antam Tbk dalam harga harian emas PT Antam sepanjang tahun 2018 tidak ada harga emas sebesar Rp 505.000.000 per kg sebagaimana diakul terdakwa sebagai kesepakatan harga transaksi,” ujar jaksa.

    Adapun berdasarkan penghitungan harga standar Antam, uang Rp 3,5 triliun yang dibayarkan Budi Said semestinya berlaku untuk 5,9 ton lebih emas.

    “Sehingga tidak terdapat kekurangan serah Emas PT Antam kepada terdakwa Budi Said dengan total 1.136 kilogram,” katanya.

    Akibat perbuatannya ini, negara melalui PT Antam disebut-sebut merugi hingga Rp 1,1 triliun.

    Dari pembelian pertama, perbuatan Budi Said bersama pihak broker dan BELM Surabaya disebut merugikan negara hingga Rp 92.257.257.820 (sembilan puluh dua miliar lebih).

    “Kerugian keuangan negara sebesar kekurangan fisik emas antam di BELM Surabaya 01 sebanyak 152,80 kilogram atau senilai Rp 92.257.257.820 atau setidak-tidaknya dalam jumlah tersebut,” kata jaksa penuntut umum.

    Kemudian dari pembelian kedua, negara disebut-sebut telah merugi hingga Rp 1.073.786.839.584 (satu triliun lebih).

    “Kerugian keuangan negara sebesar 1.136 kilogram emas atau setara dengan Rp 1.073.786.839.584,” ujar jaksa.

    Dengan demikian, Budi Said dalam perkara ini dijerat Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana

    Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana

    Kritik Denda Damai Koruptor, ICW: Pengembalian Kerugian Negara Tak Hapus Tindak Pidana
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan, pengembalian kerugian negara tidak menghapus tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh koruptor.
    Ketentuan itu diatur Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
    Ini disampaikan Peneliti ICW Diky Anandya menanggapi pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang menilai pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa diberikan melalui denda damai.
    “Sudah jelas sebetulnya kalau kita mengacu dalam Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, di sana disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara itu tidak menghapus tindak pidana sama sekali,” kata Diky saat dihubungi, Jumat (27/12/2024).
    Diky mengatakan, Undang-Undang tentang Kejaksaan juga tak bisa dijadikan dasar pengampunan terhadap koruptor.
    “Sekalipun itu diatur dalam undang-undang yang sifatnya dalam tanda petik formil, di UU Kejaksaan tentu itu tidak bisa menjadi dasar untuk memberikan pemaafan terhadap terpidana atau terdakwa kasus korupsi,” ujarnya.
    Diky menilai, pernyataan pemerintah terkait denda damai koruptor tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi, terutama dalam hal pemidanaan untuk memberikan efek jera.
    Padahal, kata dia, tindak pidana korupsi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan lantaran hukuman penjara belum memberikan efek jera.
    “Itulah yang kemudian perlu dan penting untuk diformulasikan terkait dengan pemidanaan yang berjalan secara pararel, artinya pidana badan masih tetap jalan dan dimaksimalkan dengan pemulihan aset negara,” ucap dia.
    Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyatakan, selain pengampunan dari Presiden, pengampunan bagi pelaku tindak pidana, termasuk koruptor, bisa juga diberikan melalui denda damai.
    Dia menjelaskan, kewenangan denda damai dimiliki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lantaran Undang-Undang tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.
    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan memberi pengampunan kepada koruptor karena UU Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman, Rabu (25/12/2024), dikutip dari Antara.
    Adapun pemerintah berencana memberikan amnesti kepada 44.000 narapidana (napi).
    Menurut Supratman, usulan pemberian amnesti itu sudah diajukan kepada Presiden Prabowo Subianto sebagai langkah pengampunan terhadap beberapa kategori narapidana.
    “Beberapa kasus yang terkait dengan penghinaan terhadap kepala negara atau pelanggaran UU ITE, Presiden meminta untuk diberi amnesti,” ujar Supratman.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Crazy Rich Budi Said Hadapi Vonis atas Kasus Korupsi Emas Antam Hari Ini

    Crazy Rich Budi Said Hadapi Vonis atas Kasus Korupsi Emas Antam Hari Ini

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengusaha yang dijuluki crazy rich Surabaya Budi Said menjalani sidang vonis dalam kasus korupsi rekayasa jual beli emas PT Antam di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).

    Dikutip dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sidang Budi Said dengan agenda pembacaan putusan dari majelis hakim itu dijadwalkan berlangsung pada pukul 10.00 WIB di Ruangan Kusuma Atmadja.

    Sebelumnya Budi Said dituntut 16 tahun penjara dalam kasus korupsi emas PT Antam. Ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1,08 triliun kepada negara.

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Budi Said dengan pidana penjara selama 16 tahun, dikurangi waktu yang telah dijalani dalam tahanan sementara, dan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan di rutan,” ucap jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (13/12/2024).

    Selain pidana penjara, jaksa juga menuntut Budi Said dengan pidana denda sebesar Rp 1 miliar. Jika denda tersebut tidak dibayar, maka Budi Said harus menjalani hukuman kurungan selama 6 bulan.

    Jaksa juga menuntut agar Budi Said membayar uang pengganti dengan dua komponen. Pertama, untuk emas seberat 58,135 kilogram (kg), setara dengan Rp 35 miliar, berdasarkan kelebihan emas yang diterima Budi Said saat membeli emas di BELM Surabaya 01 Antam.

    Kedua, untuk emas seberat 1,136 ton (atau 1.136 kg), yang setara dengan Rp 1,07 triliun, berdasarkan gugatan perdata Budi Said terkait kekurangan serah emas dalam transaksinya dengan PT Antam.

    Budi Said diwajibkan membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan hukum tetap. Apabila tidak mampu membayar, jaksa akan menyita aset Budi Said untuk menutupi kewajibannya.

    Jika Budi Said tidak memiliki aset yang mencukupi, ia dapat dikenakan tambahan hukuman penjara selama delapan tahun.

    Budi Said menyatakan Budi Said terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam transaksi emas di PT Antam secara bersama-sama. 

    Jaksa juga menuntut Budi Said dengan tindak pidana pencucian uang, berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

    Jaksa mencatat sejumlah hal yang memberatkan tuntutan terhadap Budi Said, antara lain merugikan keuangan negara senilai Rp 1,1 triliun lebih. Budi Said juga terlibat dalam pencucian uang dan tidak mendukung program pemerintah untuk memberantas korupsi. 

    Namun, ada beberapa hal yang meringankan, seperti belum pernah dihukum sebelumnya dan sikap sopan selama persidangan.

  • Mahfud MD Kritik Omongan Menteri Hukum soal Wacana Denda Damai Ampuni Koruptor: Salah Beneran

    Mahfud MD Kritik Omongan Menteri Hukum soal Wacana Denda Damai Ampuni Koruptor: Salah Beneran

    loading…

    Mahfud MD turut menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang membuka wacana denda damai bagi para koruptor. Foto/Achmad Al Fiqri

    JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD turut menyoroti pernyataan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas yang membuka wacana denda damai bagi para koruptor. Menurutnya, masalah tindak pidana korupsi (tipikor) tak bisa diselesaikan secara damai.

    Untuk itu, Mahfud menilai, wacana denda dama yang digulirkan Supratman adalah salah. “Saya kira bukan salah kaprah, salah beneran (wacana denda damai untuk koruptor). Kalau salah kaprah itu biasanya sudah dilakukan, terbiasa meskipun salah. Ini belum pernah dilakukan kok. Mana ada korupsi diselesaikan secara damai,” ujar Mahfud saat ditemui di Kantor MMD Initiative, Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Kamis (26/12/2024).

    Bila wacana denda damai itu diterapkan, Mahfud menilai, hal itu merupakan bentuk korupsi yakni kolusi. Menurutnya, peradilan denda damai itu membuat rentan para aparat penegak hukum terjerat kolusi.

    “Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai. Dan itu sudah sering terjadi kan. Diselesaikan diam-diam antar penegak hukum, penegak hukumnya yang ditangkap. Kalau diselesaikan diam-diam. Kan banyak tuh yang terjadi,” kata Mahfud.

    “Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama aja,” tandasnya.

    Sebelumnya, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas membuka wacana agar para koruptor bisa diberikan denda damai selain pengampunan dari Presiden. Menurutnya, kewenangan denda damai itu dimiliki oleh Kejaksaan Agung lantaran Undang-undang tentang Kejaksaan yang baru memungkinkan hal tersebut.

    “Tanpa lewat Presiden pun memungkinkan (memberi pengampunan kepada koruptor) karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara seperti itu,” kata Supratman dalam keterangan tertulis, Senin (23/12/2024).

    (rca)

  • 9
                    
                        Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu…
                        Nasional

    9 Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu… Nasional

    Mahfud MD: Mana Ada Korupsi Diselesaikan dengan Damai, Korupsi Baru Itu…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam)
    Mahfud
    MD menyebut, menyelesaikan korupsi melalui cara damai justru menjadi korupsi baru, yakni kolusi.
    Menurut Mahfud, undang-undang terkait pemberantasan korupsi maupun hukum acara pidana di Indonesia tidak membenarkan penyelesaian korupsi dengan
    denda damai
    .
    Wacana ini sebelumnya dilontarkan Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, saat berbicara mengenai pengampunan atau amnesti bagi narapidana, termasuk koruptor. 
    Melansir
    Antara
    , Andi mengungkapkan bahwa pengampunan kepada koruptor bisa dimungkinkan tanpa lewat presiden. Sebab, menurutnya, Undang-Undang Kejaksaan yang baru memberikan ruang kepada jaksa agung untuk melakukan upaya denda damai kepada perkara yang dihadapi mereka.
    “Mana ada korupsi diselesaikan secara damai. Itu korupsi baru namanya kolusi, kalau diselesaikan secara damai,” kata Mahfud saat ditemui awak media di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2024).
    Mahfud pun menuturkan, praktik kolusi semacam itu sudah sering dilakukan. Misalnya, aparat penegak hukum dan pelaku, melakukan pemufakatan jahat untuk mengkondisikan agar kasus korupsi tidak diproses atau diadili diam-diam.
    Ketika kasus itu diketahui dan dibongkar oleh lembaga atau aparat penegak hukum yang lain, maka terjadilah perkara rasuah yang baru.
    “Jaksa, polisi, hakim masuk penjara kan mau selesaikan diam-diam, ya toh, itu sama saja,” ujar Mahfud.
    Mahfud memahami keinginan pemerintah yang ingin memaafkan koruptor dengan tujuan untuk memulihkan aset negara.
    Hal ini selaras dengan United Nations Convention against Corruption (UNCAC) atau Konvensi Anti-Korupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pemulihan aset.
    Namun, tindakan itu tidak bisa dilakukan dengan cara memaafkan secara diam-diam atau melalui mekanisme denda damai.
    “Silakan asset recovery itu. Tetapi yang termudah agar tidak terjadi diam-diam penyelesaiannya,” ujar Mahfud.
    Mahfud mengatakan, pada tahun 2001 ketika ia menjadi Menteri Kehakiman, ia mengusulkan untuk memaafkan koruptor namun dilakukan secara terbuka.
    Usulan itu kemudian ia tulis ulang dalam bukunya yang terbit pada 2003 dengan judul Setahun Bersama Gus Dur. Mekanisme pengampunan secara terbuka ini sebelumnya telah diterapkan di Afrika.
    Ia lantas mempertanyakan siapa pihak yang bertanggung jawab ketika pengampunan dilakukan secara diam-diam, siapa yang menerima laporan pengakuan koruptor, dan apakah pihak terkait bersedia namanya diumumkan ke publik.
    “Dan salah kalau mengatakan undang-undang untuk mengembalikan aset itu tidak ada jalannya. Kalau mau, kalau mau ya, Undang-Undang Perampasan Aset,” ujar Mahfud.
    “Diberlakukan saja Undang-Undang Perampasan Aset (tapi harus) yang sudah disetujui DPR sama Pemerintah dulu, tapi lalu (saat ini) macet di DPR. Itu saja diundangkan,” tambahnya.
    Pada kesempatan tersebut, Mahfud juga menjelaskan bahwa mekanisme denda damai tidak bisa diterapkan untuk mengampuni koruptor sebagaimana disampaikan Menteri Supratman.
    Mahfud menuturkan, mekanisme denda damai diatur dalam Pasal 35 Ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI.
    Dalam ketentuan itu disebutkan, Jaksa Agung berwenang pada kondisi tertentu memberikan pengampunan melalui denda damai namun terbatas pada tindak pidana ekonomi.
    Adapun tindak pidana ekonomi hanya menyangkut perpajakan, kepabeanan, dan bea cukai.
    “Hanya itu yang boleh. Kalau korupsi lain enggak boleh. Enggak pernah ada,” tutur Mahfud.
    Hal yang sama juga disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Harli Siregar. Denda damai tidak bisa diterapkan untuk menyelesaikan tindak pidana korupsi.
    Denda damai hanya bisa diterapkan untuk menangani tindak pidana ekonomi yang merugikan keuangan negara.
    “Klasternya beda, kalau denda damai itu hanya untuk undang-undang sektoral. Karena itu adalah turunan dari Pasal 1 Undang-Undang Darurat (UU Drt) Nomor 7 Tahun 1955 tentang tindak pidana ekonomi,” kata Harli kepada Kompas.com, Kamis (26/12/2024).
    Pada kesempatan tersebut, Mahfud mengaku heran dengan menteri hukum di Kabinet Merah Putih.
    Mereka dinilai gemar mencari dalil atau pasal untuk membenarkan wacana yang digelontorkan, meskipun salah.
    Terkait
    transfer of prisoners
    atau pemulangan terpidana asing ke negara asalnya, misalnya. Menurutnya, menteri terkait mencari-cari pembenaran, yang salah satunya dengan menyebut bahwa pemindahan terpidana cuma persoalan tactical arrangement.
    “Saya heran ya, menteri terkait dengan hukum itu sukanya mencari dalil atau pasal pembenar terhadap apa yang disampaikan oleh presiden,” ujar Mahfud.
    Hal yang sama, menurutnya, juga dilakukan Menteri Supratman ketika pemerintah menyampaikan keinginan mengampuni koruptor.
    Menteri Hukum kemudian mencari dalil pembenar dengan menyebut pengampunan bisa dilakukan melalui denda damai yang diatur dalam Undang-Undang Kejaksaan RI.
    Padahal, kata Mahfud, sudah jelas undang-undang itu mengatur denda damai hanya untuk tindak pidana ekonomi.
    “Oleh sebab itu, menyongsong tahun baru ini, mari ke depannya jangan suka cari-cari pasal untuk pembenaran,” tutur Mahfud.
    “Itu bahaya nanti setiap ucapan presiden dicarikan dalil untuk membenarkan itu tidak bagus cara kita bernegara,” tambahnya.
    Sementara itu, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI Pujiyono Suwadi mengusulkan, agar koruptor mengembalikan kerugian negara berlipat, bila wacana denda damai hendak diterapkan.
    Artinya, kata Pujiyono, pelaku harus mengembalikan uang korupsi dalam jumlah berkali-kali lipat.
    “Kalau denda damai itu diproses dan kasus diberhentikan tanpa pengadilan, pelaku korupsi harus mengembalikan uang dengan jumlah berlipat,” kata Pujiyono kepada
    Kompas.com
    , Kamis.
    “Untuk kasus pajak dan bea cukai ada pengembalian empat kali lipat. Ini juga harus menjadi rujukan bagi pelaku korupsi, jangan hanya mengembalikan sebesar kerugian negara,” jelasnya.
    Menurutnya, pengembalian uang negara lebih penting, daripada sekedar pidana badan. Ia pun mencontohkan kasus korupsi dengan kerugian besar dalam perkara asuransi Jiwasraya dan Asabri, yang kerugiannya belum pulih meski hukumannya berat.
    “Tepuk tangan untuk hukuman berat, tapi substansi pengembalian kerugian negara tidak tercapai,” kata Pujiyono.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.