Kementrian Lembaga: Kejaksaan Agung

  • Soal Pegawai-Direksi BUMN Bukan Penyelengara Negara, Kejagung: Masih Wacana

    Soal Pegawai-Direksi BUMN Bukan Penyelengara Negara, Kejagung: Masih Wacana

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menganggap bahwa draf Rancangan Undang-undang BUMN mengenai pegawai hingga pejabat perusahaan pelat merah tidak lagi berstatus penyelenggara negara masih wacana.

    Adapun, wacana itu berhembus dari Draf RUU No.19/2003 tentang BUMN versi DPR yang menyatakan pegawai BUMN, jajaran Direksi, Komisaris hingga Dewan Pengawas bukan bagian dari penyelenggaraan negara.

    Terkait hal ini, Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar menyatakan isu tersebut masih belum dikomentari lantaran masih bersifat wacana.

    “Barangkali pendapat atau gagasan inikan masih bersifat wacana,” ujarnya saat dihubungi, Senin (3/2/2025).

    Oleh karenanya, Harli menekankan bahwa pihaknya masih berpegang pada Pasal 2 ayat 7 UU No.28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

    Beleid tersebut pada intinya bahwa pejabat yang memiliki fungsi strategis seperti direksi, komisaris, hingga pejabat struktural lainnya.

    “Saat ini kita masih berpegang pada UU No.28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN pada penjelasan Pasal 2 angka 7,” pungkasnya

    Dalam catatan Bisnis, wacana ini dinilai berpotensi bertentangan dengan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh sejumlah aparat penegak hukum baik itu KPK, Polri maupun Kejaksaan Agung. Apalagi pasal 2 UU No.28/1999 telah memasukan pegawai BUMN sebagai bagian dari penyelenggara negara.

  • Wacana Direksi BUMN Bukan Penyelenggara Negara, MAKI: Langkah Mundur!

    Wacana Direksi BUMN Bukan Penyelenggara Negara, MAKI: Langkah Mundur!

    Bisnis.com, JAKARTA–Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai RUU BUMN adalah bentuk kemunduran dari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

    Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menilai bahwa RUU BUMN tersebut mempertegas bahwa uang yang dihasilkan BUMN bukan uang negara. 

    Maka dari itu, menurut Boyamin, jika ada oknum nakal di BUMN yang melakukan tindak pidana korupsi, maka hal tersebut hanya bisa diproses pidana penggelapan uang, bukan tindak pidana korupsi. 

    “Karena memang sebagai entitas bisnis ya, kalau rugi ya rugi bisnis, kalau ada pihak yang nakal ya berarti pada proses pidana biasa seperti penggelapan dalam jabatan, bukan sebagai korupsi. Nah ini menurut saya adalah langkah mundur,” tuturnya kepada Bisnis di Jakarta, Senin (3/2/2025).

    Dia berpandangan RUU BUMN itu baru bisa diterapkan jika semua BUMN di Indonesia sudah memiliki tata kelola yang baik agar terbebas dari korupsi.

    Namun sayangnya, kata Boyamin, BUMN saat ini masih menjadi sapi perah oknum pihak penguasa. “Justru tugas pemerintah itu bukan hanya merubah UU bersama DPR saja, tetapi juga harus menjaga BUMN agar tidak jadi sapi perah,” katanya.

    Pejabat BUMN Kebal Hukum?

    Draf Revisi Undang-undang No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara alias BUMN versi DPR tanggal 16 Januari 2025 menyebut bahwa Badan Pengelola Investasi Danantara serta Direksi, Komisaris, hingga Dewan Pengawas BUMN bukan bagian dari rumpun penyelenggara negara.  

    Ketentuan itu tercantum mengenai status kepegawaian Badan tercantum dalam Pasal 3 Y RUU BUMN. Pasal tersebut menegaskan bahwa organ dan pegawai badan bukan penyelenggara negara. 

    Sementara itu, ketentuan yang mengatur mengenai status Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan penyelenggara negara diatur secara eksplisit dalam Pasal 9G. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

    “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”

    Sedangkan pasal yang menegaskan bahwa pegawai BUMN bukan penyelenggara negara diatur dalam Pasal 87 angka 5. Pasal itu menegaskan bahwa pegawai BUMN bukan bagian dari penyelenggara negara.

    Namun demikian, ketentuan itu melekat kepada mereka yang diangkat hingga diberhentikan sesuai dengan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sementara itu, untuk komisaris atau dewan pengawas yang berasal dari penyelenggara negara, statusnya sebagai penyelenggara tetap melekat. 

    Adapun ketentuan mengenai status kepegawaian karyawan hingga direksi BUMN bersifat lex specialist, kecuali ketentuan lainnya terkait penyelenggara negara yang tidak diatur dalam RUU BUMN.

    Dalam catatan Bisnis, ketentuan itu berpotensi bertentangan dengan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh sejumlah aparat penegak hukum baik itu KPK, Polri maupun Kejaksaan Agung. Apalagi pasal 2 UU No.28/1999 telah memasukan pegawai BUMN sebagai bagian dari penyelenggara negara.

    Di sisi lain, modal BUMN juga berasal dari penyertaan modal negara yang bersumber dari APBN.

    Business Judgement Rule 

    Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto sepakat dengan rencana pemerintah dan DPR untuk mengadopsi prinsip business judgement rule dalam amandemen Undang-undang No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

    Fitroh berpendapat bahwa semua penegak hukum perlu berhati-hati dalam menerapkan Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi alias Tipikor khususnya dalam aktivitas bisnis. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor memuat frasa bahwa korupsi tidak hanya terkait upaya memperkaya diri sendiri, tetapi juga mencakup tindakan untuk memperkaya orang lain.

    “Saya termasuk yang sepakat harus benar-benar hati-hati, dalam menerapkan pasal 2 atau 3 khususnya dalam bisnis, harus benar-benar ada niat jahat dan bukan sekedar asal rugi menjadi korupsi. Sebagaimana pernah saya sampaikan dalam fit and proper test,” ujar Fitroh kepada Bisnis, Minggu (2/2/2025).

    Sekadar informasi, pemerintah dan Komisi VI DPR menyepakati untuk membawa revisi Undang-undang Badan Usaha Milik Negara atau RUU BUMN ke tingkat paripurna pada pekan depan.

    Adapun salah satu poin utama yang masuk dalam amandemen UU BUMN adalah business judgement rule (BJR) yang memungkinan seorang direksi BUMN kebal hukum kendati keputusaan yang diambil terindikasi melanggar undang-undang bahkan merugikan negara. 

    “Pengaturan terkait business judgement rule atau aturan yang melindungi kewenangan direksi dalam pengambilan keputusan juga mendapat perhatian khusus dalam RUU BUMN,” demikian keterangan yang dilansir Antara, Minggu (2/2/2025).

    Melansir Kemenkeu Learning Center, business judgement rule adalah prinsip hukum yang diadopsi dari tradisi common law di Amerika. Prinsip BJR melindungi direksi BUMN dari risiko penuntutan hukum atas keputusan bisnis yang telah ditempuh.

    Isu BJR menjadi bahan perdebatan belakangan ini. Apalagi, banyak petinggi atau direksi BUMN yang terjerat perkara hukum karena salah atau keputusan yang ditempuh merugikan keuangan negara. Salah satunya bekas Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan.

    Karen saat ini berstatus sebagai terdakwa dalam perkara korupsi pengadaan LNG Pertamina. Dia telah divonis bersalah dalam kasus tersebut. Karen kemudian diganjar 9 tahun penjara. Menariknya, meski divonis bersalah, karen tidak terbukti menerima uang dari kasus korupsi yang menjeratnya tersebut. 

    “Terdakwa tidak memperoleh hasil tindak pidana korupsi,” demikian kata hamin saat membacakan vonis Karen beberapa waktu lalu.

    Selain Karen ada banyak direksi BUMN yang terjerat perkara hukum. Sebagain telah divonis hukuman penjara. Sebagian lagi masih dalam proses penyidikan.

    Data KPK sendiri mencatat bahwa pada tahun 2004 – 2024, penyidik lembaga antikorupsi telah menangani 181 perkara terkait BUMN dan BUMD. Pada tahun 2024, jumlah pegawai BUMN yang terjerat kasus korupsi mencapai 38 orang atau tertinggi 20 tahun terakhir

  • Deretan Kasus Elite Perusahaan Pelat Merah di Tengah Proses RUU BUMN

    Deretan Kasus Elite Perusahaan Pelat Merah di Tengah Proses RUU BUMN

    Bisnis.com, JAKARTA — Draf RUU No.19/2003 tentang BUMN versi DPR menyatakan pegawai BUMN, jajaran Direksi, Komisaris hingga Dewan Pengawas bukan bagian dari penyelenggaraan negara.

    Khusus, aturan yang menyatakan pegawai BUMN bukan penyelenggara negara termaktub pada Pasal 87 angka 5. Sementara, status Direksi hingga Komisaris bukan pegawai BUMN diatur dalam Pasal 9G. 

    “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.” bunyi Pasal 9G RUU No.19/2003.

    Aturan itu, dinilai berpotensi bertentangan dengan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh sejumlah aparat penegak hukum baik itu KPK, Polri maupun Kejaksaan Agung. Apalagi pasal 2 UU No.28/1999 telah memasukan pegawai BUMN sebagai bagian dari penyelenggara negara.

    Adapun, dalam catatan Bisnis, sejumlah kasus korupsi yang menonjol di Indonesia kerap berkaitan dengan BUMN. Nah, berikut daftarnya :

    1. Kasus Timah

    Kasus rasuah tersebut telah melibatkan mantan Direktur Utama PT Timah Tbk. (TINS) Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan eks Direktur Keuangan PT Timah Tbk. Emil Ermindra.

    Keduanya, divonis 8 tahun pidana dan denda Rp750 juta dengan subsider enam bulan penjara. 

    Pada intinya, Riza dan Emil divonis bersalah dan merugikan negara karena terlibat atau bersekongkol dengan terdakwa lainnya dalam kegiatan penambangan ilegal di IUP PT Timah. Kasus korupsi ini dinyatakan telah merugikan negara Rp300 triliun.

    2. Kasus Impor Gula

    Kasus Impor Gula menjadi sorotan lantaran mantan Mendag Tom Lembong jadi tersangka. Selain Tom, mantan petinggi perusahaan plat merah PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI).

    Dia adalah mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, Charles Sitorus. Charles diduga bersama dengan tersangka lainnya telah melakukan kerja sama dalam izin importasi gula.

    Atas tindakan tersebut, Tom hingga Charles diduga telah merugikan negara Rp578 miliar.

    3. Kasus Tol MBZ

    Mantan Direktur Utama PT Jasamarga Jalanlayang Cikampek (JJC) Djoko Dwijono dan tiga terdakwa lainnya telah divonis dalam kasus ini. Djoko dihukum tiga tahun penjara dan denda Rp250 juta.

    Dalam kasus ini, Djoko telah melakukan pemufakatan jahat dengan pemenang lelang dan mengatur spesifikasi barang yang ditujukan agar menguntungkan pihak tertentu.

    Setelah vonis itu, Kejagung melakukan pendalaman dan menetapkan kuasa KSO PT Waskita Acset, Dono Prawoto (DP) sebagai tersangka. Kini, Dono tengah menjalani sidang di PN Tipikor.

    Adapun, berdasarkan hasil penghitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kasus korupsi tersebut telah merugikan keuangan negara Rp510 miliar.

    4. Kasus Asabri

    Dalam kasus korupsi Asabri, Kejagung menetapkan sembilan orang sebagai tersangka. Meteka pun kini tengah diadili di pengadilan.

    Nama-nama tersebut adalah mantan Direktur Utama PT Asabri Mayor Jenderal (Purn) Adam R Damiri, Letnan Jenderal (Purn) Sonny Widjaja, Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro. 

    Kemudian eks Kepala Divisi Investasi Asabri Ilham W. Siregar, Lukman Purnomosidi, Hari Setiono, dan Jimmy Sutopo.

    Dalam kasus tersebut, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp22,78 triliun.

    Salah satu terdakwa kasus ini, Heru Hidayat pun dituntut hukuman mati setelah sebelumnya dalam kasus Jiwasraya.

    5. Kasus Jiwasraya 

    Dalam kasus ini, enam orang tersangka dan diadili dalam kasus tersebut. Mereka adalah, Direktur Utama Asuransi Jiwasraya (AJS) Hendrisman Rahim, mantan Direktur Keuangan AJS Hary Prasetyo, dan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan AJS Syahmirwan.

    Kemudian, Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Heru Hidayat, dan Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro.

    Dalam Putusan Tingkat Banding Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo, dihukum 20 tahun penjara. Kemudian, Syahmirwan dan Joko Hartono Tirto dihukum 18 tahun penjara. Sementara itu, Benny Tjokro dan Heru Hidayat dijatuhi hukuman seumur hidup.

    Adapun, BPK mencatat kerugian negara dalam kasus tersebut mencapai Rp16,8 triliun.

    6. Kasus di Garuda Indonesia 

    Pada 2017 silam, penyidik KPK melakukan penyidikan atas kasus korupsi di tubuh Garuda. Terdapat tiga orang yang dijerat KPK atas kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia dan pencucian uang. 

    Ketiga orang itu, yakni mantan Dirut PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar; pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA) sekaligus Beneficial Owner Connaught International Pte ltd Soetikno Soedarjo; dan mantan Direktur Teknik PT Garuda Indonesia, Hadinoto Soedigno.

    KPK pun telah mengeksekusi Emirsyah ke Lapas Sukamiskin pada 3 Februari 2021 silam setelah kasasi yang diajukannya ditolak Mahkamah Agung (MA).

    Emirsyah menjalani hukuman 8 tahun pidana penjara dikurangi masa tahanan sebagaimana putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang dikuatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI dan MA. 

    Selain pidana badan selama 8 tahun, Emirsyah Satar juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan serta kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Sin$ 2.117.315,27 selama 2 tahun. 

    Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Emirsyah terbukti menerima suap senilai Rp 49,3 miliar dan pencucian uang senilai sekitar Rp 87,464 miliar.  

    Emirsyah terbukti menerima suap dari Airbus SAS, Rolls-Royce PLC, Avions de Transport Regional (ATR), dan Bombardier Inc. 

    Untuk pemberian dari Airbus, Rolls-Royce, dan ATR diterima Emirsyah lewat Connaught International Pte Ltd dan PT Ardhyaparamita Ayuprakarsa milik Soetikno Soedarjo. Sedangkan dari Bombardier disebut melalui Hollingsworld Management International Ltd Hong Kong dan Summerville Pacific Inc.

  • KPK Diminta Usut Kasus Dugaan Korupsi Lelang Barang Rampasan

    KPK Diminta Usut Kasus Dugaan Korupsi Lelang Barang Rampasan

    loading…

    JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto diminta turun tangan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengurus sejumlah kasus korupsi. Salah satunya yang jadi sorotan masyarakat, kasus dugaan korupsi Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus).

    Direktur Eksekutif dari Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah menuturkan, Prabowo perlu turun tangan untuk menjaga marwah pemerintahan, lantaran selama ini dianggap tidak becus dalam upaya pemberantasan korupsi.

    Terlebih Presiden ke-8 RI itu tegas ingin memberantas korupsi, bahkan meminta penegak hukum mengejar hingga ke angkasa para pelaku tindak pidana korupsi. “Prabowo perlu turun tangan mendesak KPK, bagaimanapun reputasi Prabowo dalam pemberantasan korupsi juga dipertaruhkan,” tegas Dedi, Senin (3/2/2025).

    Menurutnya, intervensi Presiden Prabowo dalam hal memberantas korupsi harus dilakukan. Hal ini semata-mata untuk menjaga kehormatan institusi penegak hukum dalam hal ini KPK, yang beberapa tahun terakhir memiliki nilai jeblok. “Jangan sampai kepercayaan publik yang rendah pada KPK sejak periode lalu, berimbas pada kepercayaan publik pada Prabowo,” tutupnya.

    Menurut dia, ada anggapan KPK mempolitisasi kasus lewat Harun Masiku dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Menurut dia, dengan memproses Jampidsus dan Hasto, KPK bisa menampik tuduhan tersebut.

    Tidak hanya pada kasus korupsi Jampidsus, melainkan kasus yang lain, beberapa skandal yang seolah KPK lakukan secara politis, tidak sungguh-sungguh, selain dugaan korupsi Jampidsus Febrie, juga ada kasus Harun Masiku, Hasto, dan lainnya.

    Patut diketahui, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah dilaporkan ke KPK. Febrie dilaporkan ke KPK oleh Indonesia Police Watch (IPW) dan KSST karena diduga terlibat dalam korupsi pelaksanaan lelang barang rampasan benda sita korupsi berupa satu paket saham PT Gunung Bara Utama (GBU).

    Saham tersebut merupakan rampasan dari kasus korupsi asuransi PT Jiwasraya yang dilelang Pusat Pemulihan Aset (PPA) Kejagung pada 18 Juni 2023 dan dimenangkan oleh PT Indobara Putra Mandiri (IUM).

  • Polemik Pagar Laut, Hardjuno Wiwoho: Kejaksaan dan Polisi Harus Bertindak

    Polemik Pagar Laut, Hardjuno Wiwoho: Kejaksaan dan Polisi Harus Bertindak

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kasus pemasangan pagar laut di Tangerang dan Bekasi hingga kini masih menggantung tanpa kejelasan arah penyelesaiannya. Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menegaskan perlunya tindakan konkret dari aparat penegak hukum agar polemik ini segera mendapat kepastian hukum. Menurutnya, negara harus menunjukkan bahwa hukum adalah panglima, bukan kepentingan pengusaha atau birokrasi yang bermain di balik layar.

    “Perlu ada lembaga penegak hukum yang memimpin penyelesaian kasus ini, apakah itu Kejaksaan Agung atau Kepolisian. Publik membutuhkan kepastian bahwa penegakan hukum berjalan dan tidak sekadar berkutat pada urusan administratif yang melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” ujar Hardjuno dalam rilis pers di Jakarta, Senin (3/2/2025).

    Hardjuno menyoroti langkah Kementerian ATR di bawah kepemimpinan Nusron Wahid yang membatalkan sertifikat terkait kasus pagar laut. Menurutnya, meskipun ini merupakan langkah administratif, penyelesaian kasus seharusnya tidak berhenti di sana. Negara harus bertindak tegas untuk memastikan bahwa aspek pidana dalam kasus ini juga diusut tuntas.

    “Masalah administratif memang bagian dari penegakan hukum, tetapi publik ingin melihat bahwa negara benar-benar menangani kasus ini dari sisi pidananya. Presiden sudah memerintahkan pengusutan tuntas, dan ada indikasi kuat pelanggaran hukum dalam kasus ini. Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus mengambil peran utama dalam menyelesaikannya,” tegasnya.

  • Polemik Pagar Laut, Pengamat Desak Penegakan Hukum yang Tegas

    Polemik Pagar Laut, Pengamat Desak Penegakan Hukum yang Tegas

    Surabaya (beritajatim.com) – Kasus pemasangan pagar laut di Tangerang dan Bekasi masih menyisakan ketidakpastian yang mendalam. Hingga kini, banyak pihak yang mempertanyakan langkah pemerintah dalam menuntaskan persoalan ini.

    Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menegaskan bahwa penegakan hukum yang jelas dan konkret perlu segera dilakukan oleh lembaga terkait.

    “Perlu segera ada leading lembaga penegak hukum yang menegaskan proses hukum atas kasus ini. Apakah itu Kejaksaan Agung atau Kepolisian, publik perlu segera mendapat sinyal penegakan hukum yang jelas dan tidak berputar-putar di soal administratif seperti yang melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” tegas Hardjuno di Surabaya, Senin (3/2/2025).

    Hardjuno menyebut masalah administratif yang melibatkan lembaga-lembaga pemerintah seperti Kementerian ATR tidak seharusnya mengalihkan perhatian dari aspek pidana kasus ini. Menurut Hardjuno, pembatalan sertifikat oleh Kementerian ATR hanya masalah teknis yang harus berada di bawah penegakan hukum yang lebih besar.

    Ia juga menekankan bahwa negara harus segera bertindak tegas dalam kerangka hukum, bukan hanya sibuk dengan masalah administratif.

    “Yang terpenting bagi publik dalam masalah pagar laut ini adalah bahwa Presiden telah jelas memerintahkan pengusutan tuntas, dan bahwa jelas ada pelanggaran pidana di sana. Maka aparat penegak hukumlah yang harus menjadi leading organisasi yang memimpin penyelesaian kasus pagar laut ini,” ujar Hardjuno.

    Lebih jauh lagi, Hardjuno mengkritik kurangnya ketegasan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam menjaga kepentingan masyarakat pesisir dan nelayan. Ia menyatakan bahwa KKP seharusnya lebih berpihak kepada rakyat yang terdampak oleh pemasangan pagar laut ini.

    “Jatah mereka para konglomerat dan birokrat hitam sudah cukup. Mereka sudah mengambil terlalu banyak. Kini saatnya investasi yang benar-benar taat hukum dilindungi oleh hukum dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat atau pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tambahnya.

    Hardjuno juga mencatat bahwa di era pemerintahan Prabowo Subianto, penegakan hukum yang jelas menjadi keharusan untuk membangun kepercayaan publik dan investor. Dengan tantangan keuangan yang dihadapi negara, diperlukan investasi yang sehat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

    “Investor, baik dari dalam maupun luar negeri, perlu melihat bahwa Indonesia adalah negara dengan kepastian hukum. Mereka tidak boleh takut untuk menanamkan modalnya untuk investasi yang taat hukum. Sebaliknya, bagi investor hitam yang sering mengakali hukum, ini adalah saat yang tepat untuk memberikan sinyal bahwa era mereka sudah berakhir,” pungkas Hardjuno.

    Menurutnya, langkah tegas dalam kasus pagar laut ini akan menjadi bukti bahwa negara tetap memegang teguh hukum dan tidak akan tunduk pada kepentingan kelompok tertentu yang berusaha menguasai sumber daya secara tidak sah. [asg/beq]

  • Pemerintah Diminta Bergerak Cepat Pulangkan Paulus Tannos, Ini Alasannya – Page 3

    Pemerintah Diminta Bergerak Cepat Pulangkan Paulus Tannos, Ini Alasannya – Page 3

    Paulus Tannos akhirnya ditangkap. Tersangka korupsi megaproyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP) itu dibekuk lembaga antikorupsi Singapura atau Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) pada 17 Januari 2025.

    Pemilik nama asli Thian Po Thjin itu sudah tiga tahun lebih jadi buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tepatnya sejak 19 Oktober 2021. Tannos berhasil melarikan diri setelah ditetapkan sebagai tersangka korupsi e-KTP pada 2019.

    Tannos ditetapkan sebagai tersangka bersama Direktur Utama Perum Percetakan Negara RI (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2014–2019 Miryam S. Haryani, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Elektronik Husni Fahmi.

    Dalam pelariannya, Paulus Tannos mengganti identitas dan kewarganegaraan. Pada 2023, tim penyidik berhasil mendeteksi keberadaan Tannos di Bangkok. Namun KPK menemui kendala, karena Tannos sudah berganti kewarganegaraan dan menggunakan paspor Guinnes Bissau, salah satu negara di Afrika Barat. Sehingga pihak kepolisian Bangkok kesulitan memenuhi permintaan KPK untuk menangkap Tannos.

    Selanjutnya, pada November 2024, penyidik KPK mengajukan provisional arrest atas nama Paulus Tannos yang berkediaman di Singapura kepada pengadilan Singapura.

    Pengadilan Singapura menyetujui provision arrest atas nama Paulus Tannos yang bertempat tinggal di Singapura. Pada 17 Januari 2025, pihak CPIB melaksanakan penangkapan.

    Saat ini Paulus Tannos ditahan sementara di Changi Prison, Singapura. Penahanan merupakan mekanisme yang diatur dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura.

    Atas penangkapan tersebut, pihak KPK, Kementerian Hukum, Polri, dan Kejaksaan Agung langsung memulai proses pemenuhan berbagai dokumen dan persyaratan untuk segera memulangkan Tannos ke Indonesia.

  • RUU BUMN: Direksi, Komisaris, hingga Dewas BUMN Bukan Penyelenggara Negara!

    RUU BUMN: Direksi, Komisaris, hingga Dewas BUMN Bukan Penyelenggara Negara!

    Bisnis.com, JAKARTA — Draf Revisi Undang-undang No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara alias BUMN versi DPR menegaskan bahwa Badan Pengelola Investasi Danantara serta Direksi, Komisaris, hingga Dewan Pengawas BUMN bukan bagian dari rumpun penyelenggara negara.  

    Ketentuan itu tercantum mengenai status kepegawaian Badan tercantum dalam Pasal 3 Y RUU BUMN. Pasal tersebut menegaskan bahwa organ dan pegawai badan bukan penyelenggara negara. 

    Sementara itu, ketentuan yang mengatur mengenai status Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan penyelenggara negara diatur secara eksplisit dalam Pasal 9G. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

    “Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.”

    Sedangkan pasal yang menegaskan bahwa pegawai BUMN bukan penyelenggara negara diatur dalam Pasal 87 angka 5. Pasal itu menegaskan bahwa pegawai BUMN bukan bagian dari penyelenggara negara.

    Namun demikian, ketentuan itu melekat kepada mereka yang diangkat hingga diberhentikan sesuai dengan peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Sementara itu, untuk komisaris atau dewan pengawas yang berasal dari penyelenggara negara, statusnya sebagai penyelenggara tetap melekat. 

    Adapun ketentuan mengenai status kepegawaian karyawan hingga direksi BUMN bersifat lex specialist, kecuali ketentuan lainnya terkait penyelenggara negara yang tidak diatur dalam RUU BUMN.

    Dalam catatan Bisnis, ketentuan itu berpotensi bertentangan dengan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh sejumlah aparat penegak hukum baik itu KPK, Polri maupun Kejaksaan Agung. Apalagi pasal 2 UU No.28/1999 telah memasukan pegawai BUMN sebagai bagian dari penyelenggara negara.

    Di sisi lain, modal BUMN juga berasal dari penyertaan modal negara yang bersumber dari APBN.

    Business Judgement Rule 

    Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto sepakat dengan rencana pemerintah dan DPR untuk mengadopsi prinsip business judgement rule dalam amandemen Undang-undang No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

    Fitroh berpendapat bahwa semua penegak hukum perlu berhati-hati dalam menerapkan Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi alias Tipikor khususnya dalam aktivitas bisnis. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor memuat frasa bahwa korupsi tidak hanya terkait upaya memperkaya diri sendiri, tetapi juga mencakup tindakan untuk memperkaya orang lain.

    “Saya termasuk yang sepakat harus benar-benar hati-hati, dalam menerapkan pasal 2 atau 3 khususnya dalam bisnis, harus benar-benar ada niat jahat dan bukan sekedar asal rugi menjadi korupsi. Sebagaimana pernah saya sampaikan dalam fit and proper test,” ujar Fitroh kepada Bisnis, Minggu (2/2/2025).

    Sekadar informasi, pemerintah dan Komisi VI DPR menyepakati untuk membawa revisi Undang-undang Badan Usaha Milik Negara atau RUU BUMN ke tingkat paripurna pada pekan depan.

    Adapun salah satu poin utama yang masuk dalam amandemen UU BUMN adalah business judgement rule (BJR) yang memungkinan seorang direksi BUMN kebal hukum kendati keputusaan yang diambil terindikasi melanggar undang-undang bahkan merugikan negara. 

    “Pengaturan terkait business judgement rule atau aturan yang melindungi kewenangan direksi dalam pengambilan keputusan juga mendapat perhatian khusus dalam RUU BUMN,” demikian keterangan yang dilansir Antara, Minggu (2/2/2025).

    Melansir Kemenkeu Learning Center, business judgement rule adalah prinsip hukum yang diadopsi dari tradisi common law di Amerika. Prinsip BJR melindungi direksi BUMN dari risiko penuntutan hukum atas keputusan bisnis yang telah ditempuh.

    Isu BJR menjadi bahan perdebatan belakangan ini. Apalagi, banyak petinggi atau direksi BUMN yang terjerat perkara hukum karena salah atau keputusan yang ditempuh merugikan keuangan negara. Salah satunya bekas Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan.

    Karen saat ini berstatus sebagai terdakwa dalam perkara korupsi pengadaan LNG Pertamina. Dia telah divonis bersalah dalam kasus tersebut. Karen kemudian diganjar 9 tahun penjara. Menariknya, meski divonis bersalah, karen tidak terbukti menerima uang dari kasus korupsi yang menjeratnya tersebut. 

    “Terdakwa tidak memperoleh hasil tindak pidana korupsi,” demikian kata hamin saat membacakan vonis Karen beberapa waktu lalu.

    Selain Karen ada banyak direksi BUMN yang terjerat perkara hukum. Sebagain telah divonis hukuman penjara. Sebagian lagi masih dalam proses penyidikan.

    Data KPK sendiri mencatat bahwa pada tahun 2004 – 2024, penyidik lembaga antikorupsi telah menangani 181 perkara terkait BUMN dan BUMD. Pada tahun 2024, jumlah pegawai BUMN yang terjerat kasus korupsi mencapai 38 orang atau tertinggi 20 tahun terakhir.

  • Mendes Yandri Soroti Pemerasan Kades oleh Oknum LSM dan Wartawan Gadungan

    Mendes Yandri Soroti Pemerasan Kades oleh Oknum LSM dan Wartawan Gadungan

    JAKARTA – Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto menyoroti dugaan pemerasan terhadap kepala desa (kades) yang dilakukan oleh oknum LSM dan wartawan gadungan atau bodrek.

    “Yang paling banyak mengganggu kepala desa itu dua, LSM sama wartawan bodrek dan mereka mutar itu. Hari ini kepada desa ini minta Rp1 juta. Bayangkan, kalau ada 300 desa, Rp300 juta, kalah gaji Kemendes itu, gaji menteri kalah itu,” kata Yandri dalam potongan video yang beredar di media sosial sebagaimana dipantau di Jakarta, Antara, Minggu, 2 Februari. 

    Potongan video yang menuai beragam komentar, khususnya komentar dari sejumlah wartawan itu, berasal dari siaran langsung Sosialiasi Peraturan Menteri Desa (Permendes) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Petunjuk Operasional atas Fokus Penggunaan Dana Desa Tahun 2025 untuk wilayah Jawa, yang ditayangkan di kanal YouTube Kemendes PDT pada Jumat, 31 Januari. 

    Dalam kesempatan tersebut Mendes Yandri menanggapi paparan dari Taufan Zakaria selaku Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyinggung mengenai aplikasi Jaga Desa.

    Aplikasi tersebut dihadirkan oleh Kejagung guna mempercepat respons atas beragam masalah hukum yang terjadi di desa atau melibatkan kepala desa.

    Dalam momen itu Mendes Yandri lantas mengungkapkan salah satu persoalan yang dihadapi kades saat ini adalah dugaan pemerasan oleh oknum LSM dan wartawan gadungan. Ia lantas meminta Kejagung sekaligus Polri untuk menindaklanjuti segala laporan dan temuan mengenai kasus tersebut.

    Selain Yandri dan Taufan, kegiatan sosialisasi itu juga diikuti oleh Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri Komisaris Jenderal Polisi Fadil Imran.

    Sebelumnya Mendes Yandri telah menyampaikan Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes PDT) bekerja sama dengan pihak kepolisian dan kejaksaan, antara lain untuk mencegah adanya pemanfaatan Dana Desa yang fiktif, terutama terkait dengan upaya mewujudkan ketahanan pangan.

    “Dana Desa ini kalau kita kalkulasikan, ada sekurang-kurangnya Rp16 triliun, besar sekali. Maka kami mohon pihak polisi dan jaksa untuk ikut mengawal ini, kami tidak mau ada yang fiktif,” kata dia.

    Dia mencontohkan yang dimaksud pemanfaatan Dana Desa fiktif adalah kepala desa mengklaim memanfaatkan Dana Desa untuk sepuluh ribu jagung, tetapi faktanya hanya seribu jagung.

    “Kemarin waktu (sosialisasi Permendes) di Sumatera Zona II, tanam jagung seribu rumpun, dibuat sepuluh ribu. Itu fiktif itu. Nanti Pak Polisi dan Jaksa silakan masuk itu,” ujar Mendes PDT Yandri Susanto.

  • Tiga bulan terakhir, Desk Pencegahan Korupsi selamatkan Rp6,7 triliun dari beragam kasus korupsi

    Tiga bulan terakhir, Desk Pencegahan Korupsi selamatkan Rp6,7 triliun dari beragam kasus korupsi

    Kamis, 2 Januari 2025 16:09 WIB

    Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan memberikan keterangan terkait capaian kinerja Desk Pencegahan Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola serta Desk Koordinasi Peningkatan Penerimaan Devisa Negara di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Budi Gunawan menjelaskan bahwa dalam tiga bulan terakhir Desk Pencegahan Korupsi telah menyelamatkan Rp6,7 triliun dan akan fokus pada pemulihan aset korupsi di luar negeri untuk mendukung pembangunan nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/Spt.

    Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan (tengah) bersama Menkomdigi Meutia Hafid (kanan) dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin (kiri) memberikan keterangan terkait capaian kinerja Desk Pencegahan Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola serta Desk Koordinasi Peningkatan Penerimaan Devisa Negara di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Budi Gunawan menjelaskan bahwa dalam tiga bulan terakhir Desk Pencegahan Korupsi telah menyelamatkan Rp6,7 triliun dan akan fokus pada pemulihan aset korupsi di luar negeri untuk mendukung pembangunan nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/Spt.

    Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Budi Gunawan (kiri) berjabat tangan dengan Menkomdigi Meutia Hafid (kanan) usai memberikan keterangan kepada pers terkait capaian kinerja Desk Pencegahan Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola serta Desk Koordinasi Peningkatan Penerimaan Devisa Negara di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (2/1/2025). Budi Gunawan menjelaskan bahwa dalam tiga bulan terakhir Desk Pencegahan Korupsi telah menyelamatkan Rp6,7 triliun dan akan fokus pada pemulihan aset korupsi di luar negeri untuk mendukung pembangunan nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/Spt.