Kementrian Lembaga: Kejaksaan Agung

  • Pertamina Bantah Oplos BBM Pertamax, Ini Penjelasannya – Halaman all

    Pertamina Bantah Oplos BBM Pertamax, Ini Penjelasannya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pertamina merespons terkait pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertalite menjadi Pertamax.

    Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Heppy Wulansari, mengatakan, tidak ada pengoplosan BBM Pertamax, di mana kualitas Pertamax dipastikan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah yakni RON 92.

    “Produk yang masuk ke terminal BBM Pertamina merupakan produk jadi yang sesuai dengan RON masing-masing, Pertalite memiliki RON 90 dan Pertamax memiliki RON 92. Spesifikasi yang disalurkan ke masyarakat dari awal penerimaan produk di terminal Pertamina telah sesuai dengan ketentuan pemerintah,” ujar Heppy, dalam keterangannya, Rabu (26/2/2025).

    Menurutnya, treatment yang dilakukan di terminal utama BBM adalah proses injeksi warna (dyes) sebagai pembeda produk agar mudah dikenali masyarakat. 

    Selain itu juga ada injeksi additive yang berfungsi untuk meningkatkan performance produk Pertamax.

    “Jadi bukan pengoplosan atau mengubah RON. Masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” jelas Heppy.

    Pertamina Patra Niaga melakukan prosedur  dan pengawasan yang ketat dalam melaksanakan kegiatan Quality Control (QC). 

    Distribusi BBM Pertamina juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). 

    “Kami menaati prosedur untuk memastikan kualitas dan dalam distribusinya juga diawasi oleh Badan Pengatur Hilir Migas,” tutur Heppy.

    Heppy melanjutkan, Pertamina berkomitmen menjalankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) untuk penyediaan produk yang dibutuhkan konsumen.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) periode 2018 – 2023.

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menuturkan praktik lancung yang dilakukan oleh Riva ialah membeli pertalite kemudian dioplos (blending) menjadi pertamax.

    “Modus termasuk yang saya katakan RON 90 (Pertalite) tetapi dibayar (harga) RON 92 (Pertamax) kemudian diblending, dioplos, dicampur,” katanya saat konferensi pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Selasa (25/2/2025).

    Adapun pengoplosan ini terjadi dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga. 

    Pengoplosan itu dilakukan di depo padahal hal itu tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan ketentuan yang ada.

    Qohar berjanji akan buka-bukaan nantinya terkait model pengoplosan setelah proses penyidikan rampung.

    “Pasti kita tidak akan tertutup, semua kita buka, semua kita sampaikan kepada teman-teman wartawan untuk diakses kepada masyarakat,” paparnya.

     

  • Warganet Ngamuk Beli Pertamax Dapat Pertalite, Imbas Kasus Korupsi Pertamina – Page 3

    Warganet Ngamuk Beli Pertamax Dapat Pertalite, Imbas Kasus Korupsi Pertamina – Page 3

    Isu mengenai dugaan oplosan Pertamax yang beredar belakangan ini telah dibantah oleh PT Pertamina (Persero). PT Pertamina (Persero) menegaskan bahwa tidak ada pencampuran bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dengan Pertalite. Perusahaan juga memastikan bahwa Pertamax yang beredar di masyarakat sudah memenuhi standar spesifikasi yang ditetapkan.

    Bantahan Pertamina Soal Isu Oplosan BBMVice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menyatakan bahwa narasi terkait oplosan Pertamax dan Pertalite tidak sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung. Pernyataan ini disampaikan saat ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, Selasa.

    Menurut Fadjar, terjadi kesalahpahaman dalam memahami pemaparan yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung. Ia menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan bukanlah pencampuran Pertalite menjadi Pertamax, melainkan terkait dengan proses pembelian BBM jenis RON 90 dan RON 92.

    Perbedaan RON 90 (Pertalite) dan RON 92 (Pertamax)

    Sebagai informasi, RON 90 adalah bahan bakar dengan angka oktan 90 yang dikenal sebagai Pertalite, sementara RON 92 merupakan Pertamax.

    Fadjar menegaskan bahwa Pertamax yang dijual kepada masyarakat telah melalui pengujian dan memenuhi standar spesifikasi yang berlaku.

    Pemeriksaan terhadap spesifikasi BBM dilakukan oleh Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

    “Kami memastikan bahwa produk yang beredar di masyarakat sesuai dengan spesifikasinya masing-masing,” tegasnya dikutip dari ANTARA, Selasa (25/2/2025).

     

  • Kejagung Sebut Korupsi Minyak Mentah Terungkap usai Masyarakat Ngeluh Pertamax, Bantah Pertamina? – Halaman all

    Kejagung Sebut Korupsi Minyak Mentah Terungkap usai Masyarakat Ngeluh Pertamax, Bantah Pertamina? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar, membeberkan awal mula terungkapnya korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina Patra Niaga tahun 2018-2023 yang merugikan negara hingga Rp193 triliun.

    Harli mengatakan kasus mega korupsi ini berawal dari adanya temuan terkait keluhan masyarakat di beberapa daerah soal kualitas bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dianggap jelek.

    “Kalau ingat, di beberapa peristiwa, ada di Papua dan Palembang terkait soal dugaan kandungan minyak yang katakanlah jelek.”

    “Ini kan pernah mendapatkan respons luas dari masyarakat bahwa mengapa kandungan terhadap Pertamax misalnya yang dinilai kok begitu jelek,” kata Harli, dikutip dari program Sapa Indonesia Malam di YouTube Kompas TV, Rabu (26/2/2025).

    Dengan adanya temuan tersebut, Harli mengatakan pihaknya langsung melakukan pengamatan lanjutan hingga pengumpulan data.

    Ternyata, kata Harli, keluhan dari masyarakat itu berbanding lurus dengan temuan terkait adanya kenaikan Pertamax hingga subsidi pemerintah yang besar dan dirasa tidak perlu diberikan.

    “Sampai pada akhirnya ada keterkaitan dengan hasil-hasil yang ditemukan di lapangan dengan kajian-kajian yang tadi terkait misalnya kenapa harga BBM harus naik misalnya.”

    “Ternyata kan ada beban-beban pemerintah yang harusnya tidak perlu,” tuturnya.

    Harli menuturkan temuan-temuan tersebut pun bermuara ke dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina Patra Niaga.

    “Karena ada sindikasi yang dilakukan oleh para tersangka ini, akhirnya negara harus mengemban beban kompensasi dan subsidi yang begitu besar,” jelasnya.

    Pertamina Bantah Pertamax Tak Sesuai Spesifikasi

    Sebelumnya, Pertamina menegaskan Pertamax yang dijual di pasaran telah sesuai spesifikasi RON 92.

    Pernyataan ini menepis tudingan, Pertamax telah dioploas dengan BBM jenis Pertalite yang beredar di media sosial setelah Kejagung mengungkap adanya korupsi tata kelola minyak mentah.

    “Jadi kalau untuk kualitas BBM, kami pastikan bahwa yang dijual ke masyarakat itu adalah sesuai dengan spek yang sudah ditentukan oleh Dirjen Migas.”

    “RON 92 itu artinya ya Pertamax, RON 90 itu artinya Pertalite,” ujar Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, Selasa (25/2/2025).

    Dia juga menegaskan Pertamax yang beredar di pasaran telah melewati penelitan dan pengujan dari Lembaga Sertifikasi Produk Migas (Lemigas).

    Fadjar juga berujar, narasi Pertamax dioplos Pertalite berbeda dengan pernyataan Kejagung saat konferensi pers pada Senin (24/2/2025).

    “Jadi di Kejaksaan mungkin kalau boleh saya ulangkan lebih mempermasalahkan tentang pembelian RON 90-92, bukan adanya oplosan sehingga mungkin narasi yang keluar, yang tersebar, sehingga ada disinformasi di situ.”

    “Tapi bisa kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan spesifikasinya masing-masing RON 92 adalah Pertamax, RON 90 adalah Pertalite,” jelasnya.

    7 Tersangka Korupsi Minyak Mentah Ditetapkan

    KORUPSI MINYAK MENTAH: Kejaksaan Agung menggelar konferensi pers terkait perkembangan penyidikan kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang di PT Pertamina Persero, Senin (24/2/2025). Dalam kasus ini Kejagung menetapkan tujuh orang sebagai tersangka. (Tribunnews.com/Fahmi Ramadhan)

    Kejagung telah menetapkan telah menetapkan tujuh tersangka dari kasus mega korupsi tata kelola minyak mentah produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

    Mereka adalah Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan; Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin; dan Vice President (VP) Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional, Agus Purwono.

    Lalu, tersangka lainnya ada Dirut PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi; beneficiary owner atau penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Keery Andrianto Riza; Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, Dimas Werhaspati; serta Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak, Gading Ramadan Joede.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menuturkan kasus ini bermula pada tahun 2018 ketika pemerintah tengah mencanangkan pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari produksi dalam negeri.

    Namun, tiga tersangka yaitu Riva, Sani, dan Agus, justru tidak melakukannya dan memutuskan untuk pengkondisian saat rapat organisasi hilir (ROH).

    Hal itu, kata Qohar, dilakukan demi melakukan impor minyak mentah.

    “Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” ujar Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (24/2/2025).

    Selain itu, adapula modus di mana mereka kongkalikong dengan broker yaitu Riza, Dimas, dan Gading selaku broker terkait kegiatan ekspor minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

    Kongkalikong itu berupa pengaturan harga yang diputuskan dengan melanggar peraturan demi kepentingan pribadi masing-masing.

    “Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan,” jelasnya.

    Lalu, deretan pelanggaran hukum kembali dilakukan ketika Riva, Sani, dan Agus memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang.

    Selanjutnya, adapula Dimas dan Gading yang melakukan komunikasi ke Agus untuk memperoleh harga tinggi meski secara syarat belum terpenuhi.

    Riva juga melakukan pelanggaran di mana justru membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 meski yang dibutuhkan adalah RON 92.

    Tak cuma itu, Yoki juga diduga melakukan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor.

    Apa yang dilakukan Yoki ini membuat negara harus menanggung biaya fee mencapai 13-15 persen. Namun, Riza justru memperoleh keuntungan.

    “Sehingga tersangka MKAR (Riza) mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” ungkap Qohar.

    Qohar mengatakan rangkaian perbuatan tersangka ini membuat adanya gejolak harga BBM di masyarakat lantaran terjadi kenaikan.

    Hal ini membuat pemerintah semakin tinggi dalam memberikan kompensasi subsidi.

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

  • Masalahnya Bukan di Oplos Pertalite Jadi Pertamax, tapi Pembelian Ron 90 Jadi 92

    Masalahnya Bukan di Oplos Pertalite Jadi Pertamax, tapi Pembelian Ron 90 Jadi 92

    PIKIRAN RAKYAT – PT Pertamina (Persero) menegaskan bahwa tidak ada praktik oplosan BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax di dalam distribusi bahan bakar mereka. Pernyataan ini sekaligus membantah narasi yang beredar di masyarakat terkait adanya pencampuran bahan bakar yang merugikan konsumen.

    Klarifikasi Pertamina soal Isu Oplosan BBM

    Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, memastikan bahwa BBM jenis Pertamax yang tersedia di pasaran telah memenuhi spesifikasi yang ditentukan oleh lembaga berwenang.

    “Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan kejaksaan,” ucapnya di Gedung DPD, Jakarta, Selasa 25 Februari 2025.

    Fadjar Djoko Santoso menjelaskan bahwa informasi yang beredar di publik telah mengalami salah tafsir terhadap pemaparan Kejaksaan Agung. Menurutnya, masalah yang diungkap oleh Kejaksaan bukanlah terkait pencampuran Pertalite menjadi Pertamax, tetapi soal pengadaan bahan baku BBM.

    Permasalahan Utama: Pembelian RON 90 Diklaim sebagai RON 92

    Kejaksaan Agung sebelumnya menyatakan bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga melakukan pembelian bahan bakar dengan nilai oktan (Research Octane Number/RON) 90, namun membayarnya sebagai RON 92.

    Secara lebih rinci, RON 90 merujuk pada Pertalite, sedangkan RON 92 adalah Pertamax. Dalam proses ini, RON 90 yang telah dibeli kemudian diolah atau di-blending di storage/depo agar menjadi RON 92. Praktik ini dianggap tidak diperbolehkan karena memanipulasi standar pengadaan yang telah ditetapkan.

    “Yang dipermasalahkan adalah pembelian RON 90 dan RON 92, bukan pencampuran Pertalite menjadi Pertamax,” ujar Fadjar Djoko Santoso.

    Pertamax yang Beredar di Pasar Sudah Sesuai Standar

    Meski terdapat dugaan kecurangan dalam pengadaan BBM, Pertamina memastikan bahwa Pertamax yang dijual kepada masyarakat tetap sesuai dengan standar dan spesifikasi yang telah ditentukan oleh Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas) di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    “Kami pastikan bahwa produk yang sampai ke masyarakat itu sesuai dengan speknya masing-masing,” tutur Fadjar Djoko Santoso.

    Pernyataan ini menjadi respons atas kekhawatiran masyarakat terhadap kualitas BBM yang mereka gunakan sehari-hari. Dengan adanya penjelasan ini, Pertamina menegaskan bahwa kualitas dan keamanan BBM tetap terjaga sesuai standar yang berlaku.

    Dugaan Korupsi dalam Pengadaan BBM

    Kasus yang tengah diusut oleh Kejaksaan Agung ini menyoroti dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga. Modus yang digunakan adalah dengan membeli RON 90 tetapi mengklaimnya sebagai RON 92, sehingga berpotensi merugikan keuangan negara.

    Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung telah menetapkan tersangka dan terus melakukan pendalaman terhadap praktik tersebut untuk memastikan transparansi dalam pengadaan BBM di Indonesia.

    Dengan adanya klarifikasi ini, masyarakat diharapkan lebih memahami bahwa permasalahan utama yang diungkap bukanlah tentang pencampuran atau oplosan BBM yang merugikan konsumen, tetapi terkait mekanisme pengadaan bahan baku BBM yang bermasalah.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Kejagung Sebut Korupsi Minyak Mentah Terungkap usai Masyarakat Ngeluh Pertamax, Bantah Pertamina? – Halaman all

    Kejagung: Kerugian Negara Rp193,7 T Korupsi Pertamina hanya Tahun 2023, Prakiraan Tembus Rp968,5 T – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kaspuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar menyebut kerugian negara sebesar Rp193,7 triliun dari kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah Pertamina Patra Niaga hanya hitungan untuk tahun 2023 saja.

    Harli menyebut tempus delicti atau rentang waktu terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) untuk tahun 2018-2023 belum dihitung.

    Bahkan, sambung Harli, kerugian negara untuk tahun 2023 baru hitungan sementara.

    Dia menjelaskan hitungan kerugian negara tersebut meliputi beberapa komponen seperti rugi impor minyak, rugi impor BBM lewat broker, dan rugi akibat pemberian subsidi.

    “Jadi kalau apa yang kita hitung dan kita sampaikan kemarin (Senin) itu sebesar Rp193,7 triliun, perhitungan sementara ya, tapi itu juga sudah komunikasi dengan ahli. Terhadap lima komponen itu baru di tahun 2023,” katanya dikutip dari program Sapa Indonesia Malam di YouTube Kompas TV, Rabu (26/2/2025).

    Harli mengungkapkan, jika dihitung secara kasar dengan perkiraan bahwa kerugian negara setiap tahun sebesar Rp193,7 triliun, maka total kerugian selama 2018-2023 mencapai Rp968,5 triliun.

    “Jadi, coba dibayangkan, ini kan tempus-nya 2018-2023. Kalau sekiranya dirata-rata di angka itu (Rp193,7 triliun) setiap tahun, bisa kita bayangkan sebesar kerugian negara,” katanya.

    Harli menyebut pihaknya saat ini juga tengah berfokus untuk menghitung kerugian negara dari tahun 2018-2023 terkait kasus mega korupsi ini.

    Dia mengatakan penyidik Kejagung turut menggandeng ahli untuk melakukan perhitungan kerugian negara.

    “Kita ikuti perkembangnya nanti,” ujarnya singkat.

    Temuan Kasus Berawal dari Keluhan Masyarakat soal Kualitas Pertamax Jelek

    Harli menjelaskan temuan kasus dugaan mega korupsi ini berawal dari keluhan masyarakat di beberapa daerah terkait kandungan dari bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dianggap jelek.

    Setelah adanya temuan tersebut, Harli mengungkapkan pihaknya langsung melakukan kajian mendalam.

    “Kalau ingat beberapa peristiwa di Papua dan Palembang terkait dugaan kandungan minyak yang jelek. Ini kan pernah mendapatkan respons luas dari masyarakat kenapa kandungan Pertamax yang begitu jelek,” jelasnya.

    Selain itu, adapula temuan bahwa pemerintah menganggarkan subsidi terkait BBM yang dirasa janggal yang ternyata akibat kelakuan para tersangka.

    “Sampai pada akhirnya, ada liniernya atau keterkaitan antara hasil-hasil yang ditemukan di lapangan dengan kajian-kajian yang tadi terkait misalnya mengapa harga BBM harus naik dan ternyata ada beban negara yang seharusnya tidak perlu.”

    “Tapi, karena ada sindikasi oleh para tersangka ini, jadi negara harus mengemban beban kompensasi yang begitu besar,” jelas Harli.

    7 Tersangka Ditetapkan

    Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan tujuh tersangka dari kasus mega korupsi tersebut.

    Mereka adalah Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.

    Lalu, tersangka lainnya ada Dirut PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, beneficiary owner atau penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.

    Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menuturkan kasus ini bermula pada tahun 2018 ketika pemerintah tengah mencanangkan pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari produksi dalam negeri.

    Namun, tiga tersangka yaitu Riva, Sani, dan Agus, justru tidak melakukannya dan memutuskan untuk pengkondisian saat rapat organisasi hilir (ROH).

    Hal itu, kata Qohar, dilakukan demi melakukan impor minyak mentah.

    “Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor,” ujar Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (24/2/2025).

    Selain itu, adapula modus di mana mereka kongkalikong dengan broker yaitu Riza, Dimas, dan Gading selaku broker terkait kegiatan ekspor minyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).

    Kongkalikong itu berupa pengaturan harga yang diputuskan dengan melanggar peraturan demi kepentingan pribadi masing-masing.

    “Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan,” jelasnya.

    Lalu, deretan pelanggaran hukum kembali dilakukan ketika Riva, Sani, dan Agus memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang.

    Selanjutnya, adapula Dimas dan Gading yang melakukan komunikasi ke Agus untuk memperoleh harga tinggi meski secara syarat belum terpenuhi.

    Riva juga melakukan pelanggaran di mana justru membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 meski yang dibutuhkan adalah RON 92.

    Tak cuma itu, Yoki juga diduga melakukan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor.

    Apa yang dilakukan Yoki ini membuat negara harus menanggung biaya fee mencapai 13-15 persen. Namun, Riza justru memperoleh keuntungan.

    “Sehingga tersangka MKAR (Riza) mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut,” ungkap Qohar.

    Qohar mengatakan rangkaian perbuatan tersangka ini membuat adanya gejolak harga BBM di masyarakat lantaran terjadi kenaikan.

    Hal ini membuat pemerintah semakin tinggi dalam memberikan kompensasi subsidi.

    (Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)

  • Ini Cara Kerja Orang Pertamina Beli Pertalite di Luar Negeri Jual ke Masyarakat Jadi Pertamax – Halaman all

    Ini Cara Kerja Orang Pertamina Beli Pertalite di Luar Negeri Jual ke Masyarakat Jadi Pertamax – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk pada PT Pertamina, Sub Holding, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. 

    Tujuh tersangka itu terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta.

    Mereka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. 

    Kemudian, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International.

    Selanjutnya, pihak swasta mencakup MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, ⁠DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan ⁠YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.

    Kapuspen Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli. Usai ditetapkan sebagai tersangka, kata Harli, seluruh tersangka langsung ditahan. 

    “Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut,” ujar Harli dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Senin (24/2) malam.

    Sementara Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan, kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023. 

    Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor. 

    “Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri,” kata Qohar.

    Namun kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International). 

    Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap, sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.

    Qohar menyebut produksi minyak mentah oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam negeri juga ditolak setelah produksi kilang diturunkan. 

    Penolakan dilakukan dengan membuat berbagai alasan. Pertama, produksi minyak mentah KKKS dinilai tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk rentang harga perkiraan sendiri (HPS). 

    Alasan kedua, spesifikasi dianggap tidak sesuai kualitas kilang. Padahal, minyak dalam negeri tersebut seharusnya masih memenuhi kualitas jika diolah kembali dan kadar merkuri atau sulfurnya dikurangi.

    Qohar menjelaskan saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, Pertamina kemudian mengimpor minyak mentah. 

    “Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi,” kata Qohar.

    Kemudian, Qohar menjelaskan ada dugaan pemufakatan jahat (mens rea) dalam proses impor minyak mentah tersebut oleh tersangka SDS, AP, RS, YF, bersama tersangka pihak swasta MK, DW, dan GRJ. 

    “Sebelum tender dilaksanakan, dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara,” tutur dia.

    Ia menjelaskan rencana pemufakatan jahat itu dilakukan dengan mengatur proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Melalui pengaturan tersebut pengondisian pemenangan broker seolah-olah sesuai dengan ketentuan. 

    Pengondisian itu dilakukan oleh tersangka RS, SDS, dan AP yang memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. 

    Lalu, tersangka DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP agar memperoleh harga tinggi saat syarat belum terpenuhi.

    Tersangka RS kemudian diduga menyelewengkan pembelian spek minyak. RS disebut melakukan pembelian untuk jenis Roin 92 (Pertamax) padahal yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite). 

    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” jelas Qohar.

    Qohar menjelaskan Kejagung juga menemukan dugaan markup kontrak pengiriman oleh tersangka YF dalam melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. 

    Ia menuturkan negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut. Lebih lanjut, Qohar menyebut korupsi ini berdampak luas pada harga BBM di Indonesia. 

    Karena sebagian besar kebutuhan minyak nasional dipenuhi dari impor ilegal, harga dasar BBM menjadi lebih mahal. Hal ini berdampak pada penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM, yang menjadi acuan subsidi dan kompensasi BBM dari APBN setiap tahunnya.

    Sederet perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan negara merugi sekitar Rp193,7 triliun. 

    Total kerugian itu bersumber dari beberapa komponen yakni Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun; Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun; Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. 

    Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Kerugian negara akibat dugaan korupsi ini sekitar Rp193,7 triliun.

    Terpisah, PT Pertamina (Persero) mengaku menghormati Kejaksaan Agung menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan pada kasus tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang perusahaan periode 2018-2023. 

    “Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” ujar VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangan resmi, Selasa (25/2).

    Fadjar menegaskan Pertamina Grup menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan berlaku.(tribun network/fhm/dod)

  • 9
                    
                        Saat Ronald Tannur Tak Merasa Bersalah…
                        Nasional

    9 Saat Ronald Tannur Tak Merasa Bersalah… Nasional

    Saat Ronald Tannur Tak Merasa Bersalah…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Gregorius
    Ronald Tannur
    mengaku tidak pernah melakukan tindakan apa pun sehingga menyebabkan
    Dini Sera Afrianti
    tewas.
    Pernyataan ini disampaikan Ronald saat memberikan kesaksian dalam sidang
    dugaan suap
    tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
    Mulanya di persidangan itu, Ronald menjawab pertanyaan tim hukum Erintuah Damanik yang menanyakan tanggapan dirinya yang diputus bebas oleh tiga hakim PN Surabaya tersebut.
    “Saudara diputus bebas, bagaimana tanggapan Saudara? Apakah memang ya harusnya saya bebas gitu atau saya harusnya dihukum? Apa tanggapan Saudara?” tanya kuasa hukum Erintuah, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2025).
    Lantaran pertanyaan itu dianggap menggiring, jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung pun melayangkan keberatan.
    Jaksa menilai, tim hukum Erintuah bukan menanyakan fakta, melainkan pendapat.
    “Keberatan, Yang Mulia, pendapat Yang Mulia,” timpal jaksa sebelum Ronald Tannur menjawab.
    Kuasa hukum Erintuah pun mengganti pertanyaan dengan menanyakan bagaimana perasaan Ronald atas meninggalnya Dini Sera.
    “Apakah Saudara merasa bersalah atas adanya meninggalnya Saudari Dini yang melakukannya? Saudara merasa bersalah enggak?” tanya kuasa hukum Erintuah.
    Bukan mengakui kesalahannya, Ronald justru membantah dugaan-dugaan yang dialamatkan kepadanya.
    Ronald bilang, dia tidak pernah melakukan tindakan apa pun yang menyebabkan Dini Sera meninggal dunia.
    Di sisi lain, anak dari Edward Tannur, mantan anggota DPR RI Komisi IV Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), itu hanya merasa bersalah lantaran kasus yang menjeratnya telah merugikan banyak orang.
    “Saya tidak pernah merasa melakukan apa pun pada Saudari Dini, saya hanya merasa bersalah karena saya telah merugikan orang banyak,” kata Ronald Tannur.
     
    Dalam sidang ini, Ronald Tannur mengaku merasa bersalah karena telah membuat keluarga sedih dengan perkara yang menjeratnya.
    “Kan saudara didakwa ya di persidangan, dibacakan dakwaannya ya. Sewaktu jaksa penuntut umum membacakan, mendakwa saudara itu, saudara merasa bersalah enggak?” tanya kuasa hukum.
    “Merasa bersalah,” kata Ronald Tannur.
    Mendengar jawaban itu, tim hukum Erintuah pun menggali perasaan salah yang dirasakan Ronald.
    “Merasa bersalahnya bagaimana? Apa yang buat saudara merasa bersalah?” tanya Philipus.
    Alih-alih menyatakan rasa salah atas tindakannya terhadap Dini Sera, Ronald hanya menyatakan dirinya bersalah lantaran membuat kedua orangtuanya menjadi sedih.
    Bahkan, Ronald mengaku merasa bersalah lantaran membuat netizen atau pengguna media sosial menjadi heboh.
    “Karena saya telah merepotkan orangtua saya, membuat sedih orangtua saya, terus membuat heboh jagat netizen Indonesia,” kata Ronald Tannur.
    “Itu saudara merasa bersalahnya?” tanya tim hukum Erintuah memastikan.
    “Betul, beban moral, Pak,” kata Ronald Tannur.
    Kuasa hukum pun menggali lebih dalam putusan bebas yang menyebabkan tiga hakim PN Surabaya menjadi terdakwa kasus dugaan suap.
    Dalam sidang ini, Ronald mengaku tidak pernah meminta kepada pengacaranya, Lisa Rachmat, untuk mendapatkan putusan bebas.
    Pernyataan itu disampaikan untuk menjawab pertanyaan tim hukum Erintuah yang mencecar Ronald Tannur saat melakukan pertemuan dengan Lisa Rachmat.
    “Saudara saksi, waktu bertemu dengan Ibu Lisa, itu pernah minta bebas enggak?” tanya kuasa hukum.
    “Tidak pernah, Pak,” jawab Ronald.
    Kuasa hukum terus mencecar komunikasi Ronald dengan Lisa Rachmat, utamanya terkait permintaan terhadap upaya pembelaan yang dilakukan oleh Lisa sebagai pengacara.
    “Jadi, tidak pernah ngomong bahwa saya mau bebas, itu tidak pernah ya?” tanya kuasa hukum lagi.
    “Tidak pernah,” kata Ronald.
     
    Tidak hanya itu, Ronald pun mengaku tidak mengetahui adanya tawaran uang damai yang disiapkan pengacaranya, Lisa Rachmat, kepada keluarga korban, Dini Sera Afrianti.
    Pengakuan ini disampaikan ketika kuasa hukum Erintuah menggali keterangan Ronald soal adanya koordinasi dengan keluarga Dini Sera terkait perdamaian.
    “Apakah Saudara ada berkoordinasi atau berkomunikasi dengan ibunya korban ini, menawarkan perdamaian atau menawarkan uang, atau menawarkan apa gitu? Ada enggak?” tanya kuasa hukum.
    Kepada tim hukum Erintuah, Ronald mengaku tidak melakukan komunikasi terkait perdamaian dengan keluarga Dini Sera.
    Ronald mengaku hanya meminta maaf dan mencium kaki ibu Dini Sera.
    “Tidak ada, Pak (komunikasi perdamaian), saya hanya meminta maaf dan mencium kaki ibunya ketika di Polrestabes,” kata Ronald.
    Mendengar pengakuan itu, tim hukum Erintuah pun kembali menanyakan apakah ada tawaran uang damai ke keluarga Dini.
    Namun, Ronald tetap mengaku tidak mengetahui adanya tawaran uang damai tersebut.
    “Kan kemarin ibu saksi sudah memberitahukan bahwa ada uang perdamaian yang kemudian ditolak oleh kuasa hukum (Dini Sera), itu Saudara tahu enggak?” tanya kuasa hukum mendalami.
    “Tidak tahu, Pak,” jawab Ronald Tannur.
    “Yang Rp 800 juta, Rp 500 juta, Saudara tidak tahu?” timpal kuasa hukum lagi.
    “Tidak tahu,” kata Ronald Tannur.
    Dalam kasus ini, Erintuah, Mangapul, dan Heru didakwa menerima suap senilai Rp 4,6 miliar untuk membebaskan Ronald Tannur dalam perkara yang disidangkan di PN Surabaya.
    Suap tersebut diberikan dalam pecahan Rp 1 miliar dan 308.000 dollar Singapura oleh pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
    Berdasarkan surat dakwaan, uang suap itu disebut bersumber dari ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, dan telah diberikan selama proses persidangan di PN Surabaya.
    Ketiga hakim itu kemudian menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak) terhadap Ronald Tannur.
    Keberatan atas putusan ini, jaksa mengajukan kasasi ke MA.
    Lisa pun kembali bergerilya dan berupaya menyuap hakim agung yang menyidangkan perkara tersebut di tingkat kasasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sahroni Dukung Kejagung Usut Praktik Korupsi di Tengah Efisiensi: Harus Makin Serius Lagi

    Sahroni Dukung Kejagung Usut Praktik Korupsi di Tengah Efisiensi: Harus Makin Serius Lagi

    loading…

    Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut praktik dugaan tindak pidana korupsi di tengah efisiensi anggaran dilakukan pemerintah. FOTO/IST

    JAKARTA – Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni mendukung Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut praktik dugaan tindak pidana korupsi di tengah efisiensi anggaran dilakukan pemerintah. Diketahui, Kejagung mengungkapkan nilai kerugian negara dari dugaan tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina periode 2018-2023.

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar pada Senin (24/2/2025), mengatakan kasus tersebut membuat negara merugi lebih dari Rp193 triliun. Dalam perkara tersebut, Kejagung sudah menetapkan tujuh tersangka yang terdiri dari empat karyawan Pertamina dan tiga dari pihak swasta.

    Kinerja Kejagung pun lantas turut mendapat apresiasi dari Ahmad Sahroni. Sahroni menilai pemberantasan korupsi menjadi aspek penting di tengah agenda efisiensi pemerintah. “Saat ini kan Presiden Prabowo tengah melakukan efisiensi anggaran, nah makanya penegak hukum harus makin serius lagi dalam melakukan pemberantasan dan pencegahan korupsinya,” ujar Sahroni dalam keterangannya, Selasa (25/2/2025).

    “Bakal percuma kalau anggarannya diefisiensikan tapi praktik korupsinya dibiarkan. Jadi apa yang dilakukan oleh Kejagung ini sudah tepat, untungnya Kejagung bisa mengendus praktik tersebut. Apalagi ini menyangkut BUMN sebesar Pertamina, kalau dibiarkan bakal terus digerogoti oleh mereka para koruptor,” sambung Sahroni.

    Lebih lanjut, Sahroni pun berharap Kejagung juga bisa memaksimalkan aspek pengembalian kerugian negara dari kasus Pertamina ini. Sebab, Sahroni menilai, hal tersebut sangat penting guna menutupi kerugian negara.

    “Dan yang paling penting Kejagung harus maksimalkan aspek pengembalian kerugian negara dari kasus ini. Sita aset-aset para pelaku. Karena kalau cuma menangkap pelaku, itu masih sangat kurang. Saat ini yang paling penting ialah menutupi kerugian negara yang telah ditimbulkan. Agar nantinya bisa dikembalikan ke kas negara dan digunakan untuk program-program yang menyejahterakan rakyat,” tambah Sahroni.

    Terakhir, Sahroni juga berharap agar para aparat penegak hukum terus memaksimalkan aspek pencegahan korupsi. “Pokoknya penegak hukum harus prioritaskan aspek pencegahan dan pengawasan. Karena itu satu-satunya cara mengawal program efisiensi anggaran yang tengah berlangsung,” pungkas Sahroni.

    (abd)

  • 3
                    
                        Skandal Korupsi Pertamina 2018-2023, Pertalite Dioplos Jadi Pertamax
                        Nasional

    3 Skandal Korupsi Pertamina 2018-2023, Pertalite Dioplos Jadi Pertamax Nasional

    Skandal Korupsi Pertamina 2018-2023, Pertalite Dioplos Jadi Pertamax
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) menduga telah terjadi pengoplosan Pertamax dengan Pertalite dalam konstruksi kasus dugaan
    korupsi tata kelola minyak mentah
    dan produk kilang pada PT
    Pertamina
    Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.
    Dilansir dari keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian di-
    blend
     atau dioplos di depo/
    storage
    menjadi Pertamax.
    Pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.
    “Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan
    blending
    di
    storage
    /depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir pada Selasa (25/2/2025).
    “Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.
    Pengoplosan Pertamax dan Pertalite ini dinilai telah melanggar hak-hak para konsumen.
    Mantan Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rolas Sitinjak, menyebutkan, sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pihak penjual harus memberikan informasi yang jelas kepada konsumen.
    Rolas menilai, dalam hal pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak (BBM), masyarakat telah memercayakan ini kepada pemerintah, yaitu Pertamina.
    Namun, kasus dugaan korupsi justru ditemukan di salah satu anak perusahaan penyuplai BBM ini.
    “Di benak masyarakat, negara seharusnya dipercaya 100 persen. Kalau bukan negara, siapa lagi yang akan dipercaya. Kalau dia melakukan penipuan publik, itu fatal,” ujar Rolas kepada
    Kompas.com
    , Selasa (25/2/2025).
    Rolas menekankan, pemerintah harus melakukan audit total kepada PT Pertamina Patra Niaga atas kasus dugaan korupsi yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun.
    “Menurut saya, ada SOP (
    standard operating procedure
    ). Ini diperlukan audit total,” lanjutnya.
    Dia menilai, pemerintah harus melakukan audit total kepada semua hal yang berkaitan dengan Pertamina, bukan hanya penjualan BBM.
    Hal lain yang bisa diaudit adalah urusan di kilang-kilang minyak yang bisa diperjualbelikan.
     
    Sementara itu, pakar otomotif dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Jayan Sentanuhady mengungkapkan, ada dampak yang akan dialami jika kendaraan memakai jenis BBM yang salah.
    BBM jenis Pertalite dengan oktan RON 90 seharusnya dipakai untuk mobil dengan kapasitas mesin di bawah 1.400 cc dan motor dengan kapasitas mesin di bawah 250 cc.
    Sebaliknya, kendaraan berkapasitas mesin di atas 1.400 cc dan memiliki rasio kompresi tinggi atau teknologi canggih harus menggunakan Pertamax dengan oktan minimal 92.
    “Oktan yang rendah akan menyebabkan pembakaran tidak sempurna,” kata Jayan saat dikonfirmasi
    Kompas.com
    , Selasa.
    Jayan menyebutkan, kondisi tersebut berpotensi mengakibatkan terjadinya penyalaan dini pada mesin kendaraan.
    Akibatnya, bisa terjadi
    knocking
    atau suara ketukan pada mesin. Hal ini bisa menurunkan akselerasi mesin dan merusak komponen kendaraan.
    Selain itu, salah pakai BBM bisa membuat pembakaran mesin kurang efisien.
    Tindakan tersebut juga membuat deposit berupa endapan karbon atau kerak yang menempel pada komponen mesin menjadi lebih banyak.
    Akibatnya, berisiko merusak mesin kendaraan.
    Meski risiko dari salah pakai jenis BBM untuk kendaraan cukup besar, Jayan menyatakan, masyarakat tidak perlu menguras atau memeriksakan kendaraannya ke bengkel.
    Wakil Ketua Komisi VI DPR Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio menilai kasus korupsi di anak perusahaan Pertamina itu bakal mencoreng kredibilitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
    “Praktik ini tidak hanya merugikan masyarakat dan negara, tetapi juga mencoreng kredibilitas BUMN kita,” kata Eko saat dikonfirmasi, Selasa (25/2/2025).
    Menurut dia, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ke depan oleh BUMN, yang pertama adalah penguatan pengawasan internal.
    Eko menilai sistem pengawasan di anak usaha BUMN harus diperketat.
    “Manajemen harus menerapkan ketentuan hukum yang berlaku secara menyeluruh terhadap tata kelola distribusi BBM untuk menutup celah yang memungkinkan praktik kecurangan seperti ini,” ujarnya.
    Tak hanya itu, Pertamina juga mesti meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
    Eko mendorong Pertamina selaku BUMN untuk lebih terbuka dalam melaporkan kebijakan dan operasionalnya, terutama terkait tata kelola bahan bakar.
    “Kami di Komisi VI akan meminta laporan lebih detail mengenai mekanisme kontrol yang diterapkan selama ini dan mengidentifikasi kelemahan yang perlu diperbaiki,” ujar Eko.
    Ketiga, dia menilai perlu ada sanksi tegas untuk internal BUMN yang terlibat korupsi.
    “Tidak hanya pihak eksternal atau pelaku lapangan yang harus disalahkan. Jika ada oknum di dalam BUMN yang terbukti terlibat, mereka juga harus ditindak tegas untuk memberikan efek jera,” kata Eko.
    PT Pertamina (Persero) memastikan distribusi energi ke masyarakat tetap berjalan normal meski empat petinggi anak usaha atau
    subholding
    ditetapkan menjadi tersangka.
    “Di tengah proses tersebut, Pertamina memastikan bahwa layanan distribusi energi kepada masyarakat di seluruh Indonesia tetap berjalan lancar,” ujar VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso dalam keterangannya, Selasa (25/2/2025).
    “Pertamina juga menjamin pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan berjalan normal seperti biasa,” imbuh dia.
    Fadjar juga membantah tudingan adanya bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax yang dioplos dengan BBM jenis Pertalite, sekaligus memastikan bahwa Pertamax yang beredar di masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
    “Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Kejaksaan,” ujar Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso ketika ditemui di Gedung DPD RI, Jakarta, dikutip dari
    Antara
    , Rabu (26/2/2025).
    Menurut Fadjar, terdapat narasi yang keliru ketika memahami pemaparan oleh Kejaksaan Agung. Fadjar menjelaskan bahwa yang dipermasalahkan oleh Kejaksaan Agung adalah pembelian RON 90 dan RON 92, bukan terkait adanya oplosan Pertalite menjadi Pertamax.
    RON 90 adalah jenis bahan bakar minyak (BBM) yang memiliki nilai oktan sebesar 90. Pada produk Pertamina, RON 90 adalah Pertalite, di sisi lain RON 92 adalah Pertamax.
    Fadjar menegaskan bahwa produk Pertamax yang sampai ke masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
    Terkait penetapan para petinggi
    subholding
    menjadi tersangka, Fadjar mengatakan, Pertamina menghormati langkah Kejagung dan aparat penegak hukum lainnya yang menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang berjalan di
    subholding
    Pertamina.
    “Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah,” kata dia.
    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan 7 tersangka atas kasus tersebut, di mana 4 di antaranya merupakan petinggi dari anak usaha atau
    subholding
    Pertamina.
    Keempatnya yakni Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS); Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); dan VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono (AP).
    Sedangkan tiga broker yang menjadi tersangka yakni MKAR selaku
    beneficial owner
    PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Adrianto Riza, Raja Kecil yang Dimaksud Prabowo?

    Adrianto Riza, Raja Kecil yang Dimaksud Prabowo?

    GELORA.CO -Muncul anggapan bahwa Kerry Adrianto Riza, Beneficially Owner PT Navigator Khatulistiwa, merupakan raja kecil yang dimaksud Presiden Prabowo Subianto.

    Kepala negara menggambarkan sang raja kecil merasa kebal hukum.

    Hal itu disampaikan Prabowo saat memberi sambutan dalam Pembukaan Kongres XVIII Muslimat NU di Jatim Expo Surabaya, Senin, 10 Februari 2025.

    Lalu di kesempatan yang sama Prabowo meminta Jaksa Agung, Kapolri, dan pimpinan KPK untuk menegakkan hukum. Selain meminta raja kecil untuk menyerahkan uang hasil korupsinya ke negara dalam hitungan hari.

    Anggapan raja kecil yang dimaksud Prabowo adalah Adrianto Riza mengemuka seiring pemberitaan tentang giat yang dilakukan Kejaksaan Agung hari ini, Selasa 25 Februari 2025.

    Pertama, penyidik Kejagung memeriksa Kerry Adrianto Riza yang merupakan anak Riza Chalid terkait korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Usai diperiksa, anak pengusaha minyak Riza Chalid itu diumumkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan Salemba.

    Di hari yang sama tim Kejagung menggeledah rumah Riza Chalid yang terletak di Jalan Jenggala, Kebayoran Baru, dan lantai 20 Plaza Asia. Terkait penggeledahan, momen Riza Chalid hadir di acara resmi Partai Nasdem kembali viral. Di antaranya, berdasarkan pemberitaan yang dihimpun redaksi, tampak foto Riza Chalid menghadiri acara kuliah umum yang digelar oleh Akademi Bela Negara Partai Nasdem di Jakarta, Senin 16 Juli 2018.

    Masih di hari yang sama, Kejagung mengumumkan tersangka baru kasus korupsi importasi gula sembari memamerkan uang cash senilai Rp565 miliar yang berhasil mereka sita. Diketahui, terkait kasus ini, salah satu yang terlebih duhulu ditetapkan sebagai adalah mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong yang juga disebut-sebut kasus ini masih terkait blok ‘Gondangdia’.