Kementrian Lembaga: Kejaksaan Agung

  • Eks Dirut Indofarma (INAF) Didakwa Rugikan Negara Rp377,5 Miliar

    Eks Dirut Indofarma (INAF) Didakwa Rugikan Negara Rp377,5 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Utama PT Indofarma Tbk. (INAF) periode 2019-2023 Arief Pramuhanto didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp377,5 miliar terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan perusahaan pada tahun 2020-2023.

    Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) Lenny Sebayang menyampaikan kerugian negara disebabkan lantaran Arief bersama-sama dengan pihak lain telah memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.

    “Keuangan negara terjadi pada Indofarma dan anak perusahaan atas pengelolaan keuangan pada Indofarma, anak perusahaan, dan instansi terkait lainnya,” kata JPU dalam sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Senin (17/3/2025) dilansir dari Antara. 

    Dengan demikian, perbuatan Arief diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

    Dalam sidang yang bersamaan, terdapat pula Manajer Keuangan dan Akuntansi PT Indofarma Tahun 2020 Bayu Pratama Erdhiansyah, Direktur PT Indofarma Global Medika (IGM) periode 2020-2023 Gigik Sugiyo Raharjo, serta Manajer Keuangan PT IGM periode 2020-2023 Cecep Setiana Yusuf, yang dibacakan dakwaannya bersama dengan Arief.

    Kerugian Negara di Kasus Korupsi Indofarma 

    JPU memerinci, beberapa pihak yang telah diperkaya karena perbuatan korupsi tersebut, yakni produsen alat kesehatan Hong Kong, SWS (HK) Ltd. sebesar Rp12,39 miliar atas pengeluaran dana Indofarma untuk pembayaran bahan baku masker dan masker jadi.

    Kemudian, memperkaya Arief bersama dengan Gigik, Cecep, dan Bayu atas kelebihan pembayaran pada transaksi pembayaran produk TeleCTG kepada PT ZTI sebesar Rp4,5 miliar serta memperkaya keempatnya sebesar Rp18 miliar atas kelebihan pembayaran uang muka pembelian APD hazmat kepada PT Mitra Medika Utama (MMU).

    Korupsi juga dilakukan untuk memperkaya keempat terdakwa Rp24,35 miliar atas kesalahan transfer kepada PT Indogenesis Medika sebesar Rp13 miliar, PT Harmoni Nasional Teknologi Indonesia (PT HNTI) sebesar Rp3 miliar, dan PT MMU sebesar Rp8,35 miliar serta memperkaya keempatnya yang berasal dari transaksi pengeluaran dana unit bisnis Fast Moving Consumer Good (FMCG) dan PT IGM sebesar Rp135,29 miliar.

    Selanjutnya, memperkaya Koperasi Nusantara atas pencairan simpanan berjangka senilai Rp35 miliar yang bersumber dari pengeluaran dana PT IGM dalam bentuk simpanan berjangka serta PT Promedik sebesar Rp12,03 miliar atas pencairan Deposito PT IGM sebagai jaminan kredit PT Promedik di Bank OK!, yang digunakan untuk pembayaran utang PT Promedik kepada PT IGM dan operasional PT Promedik.

    Memperkaya pula PT Promedik sebesar Rp1,53 miliar atas pembayaran bunga pinjaman PT Promedik di Bank OK! serta SWS (Hk) Ltd sebesar Rp6,42 miliar atas sisa persediaan bahan baku Masker INAmask yang tidak diproduksi serta PT Promedik sebesar Rp56,68 miliar atas piutang macet PT IGM dari penjualan produk rapid test Panbio kepada PT Promedik.

    Lalu, memperkaya PT Promedik sebesar Rp68,25 miliar atas piutang PT IGM dari penjualan rapid test Panbio kepada PT Promedik yang hilang karena dibuat seolah-olah lunas dengan menggunakan dana dari fasilitas kredit Bank OK! dan pinjaman PT CTI.

    “Serta memperkaya keempat terdakwa Rp1,65 miliar yang berasal dari biaya pemasaran atas produk TeleCTG yang tidak diterima oleh PT IGM dan sebesar Rp1,39 miliar atas imbal jasa simpanan berjangka pada Koperasi Nusantara yang tidak diserahkan kepada PT IGM,” imbuh JPU. 

  • TB Hasanuddin: RUU TNI Hapus Peran TNI di KKP dan Penanganan Masalah Narkotika – Page 3

    TB Hasanuddin: RUU TNI Hapus Peran TNI di KKP dan Penanganan Masalah Narkotika – Page 3

    Rinciannya yakni sebagai berikut:

    1. Peran TNI dalam penanggulangan bencana:

    – UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berlaku sejak tahun 2007.

    -Dilanjutkan dengan terbitnya Perpres 1/2019 tentang BNPB dimana TNI dilibatkan sebagai unsur pengarah dalam penanggulangan bencana.

    2. Peran TNI pada Keamanan Laut

    – Perpres 178/2014 tentang Bakamla mengatur peran TNI dalam melakukan patroli keamanan dan keselamatan wilayah perairan. Berlaku sejak 2014

    – UU 32/2014 tentang Kelautan mengatur tugas Bakamla untuk melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan. Berlaku sejak 2014

    3. Peran TNI dalam pengelolaan perbatasan

    – Perpres 44/2017 tentang Perubahan atas Perpres 12/2010 tentang Badan Nasional Penegelola Perbatasan yang mengatur Panglima TNI sebagai Anggota BNPP pada Pasal 6. Berlaku sejak 2017

    4. Peran TNI pada BNPT:

    – Dalam Pasal 43 I ayat (1) UU No. 5 Tahun 2018, disebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP). Berlakuk sejak tahun 2018. Berlaku sejak 2018

    5. Peran TNI pada Kejaksaan Agung

    – UU 11/2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Mengatur tentang jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer. Berlaku sejak tahun 2021

    “Sementara, di luar posisi tersebut, prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil lain setelah mundur dari dinas keprajuritan,” katanya.

  • Usulan Prajurit Jabat di KKP-Tangani Narkoba Dihapus

    Usulan Prajurit Jabat di KKP-Tangani Narkoba Dihapus

    Jakarta

    Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin, mengungkap hasil rapat lanjutan Panja Revisi Undang-Undang (RUU) TNI Nomor 34 Tahun 2004 antara DPR RI dan pemerintah pada Senin malam. Hasanuddin menyebut pemerintah menghapus dua usulan, salah satunya terkait prajurit membantu menangani narkoba.

    Hasanuddin mengatakan pemerintah melakukan dua perubahan pada Pasal 7 ayat 2 dan Pasal 47 di RUU TNI. Dia mengatakan pada Pasal 7 ayat 2 terkait operasi non-militer yang sebelumnya dalam naskah hasil pembahasan, pemerintah mengusulkan penambahan tiga tugas militer TNI di luar perang.

    Namun kini berubah, tidak ada lagi poin soal TNI memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika.

    “Awalnya dalam RUU terbaru, pemerintah mengusulkan tiga tugas baru. Namun, saat ini hanya ada dua usulan. Pertama, TNI memiliki tugas untuk membantu dan menanggulangi ancaman siber. Kedua, TNI bisa membantu dan menyelamatkan WNI dan kepentingan nasional di luar negeri. Untuk TNI memiliki wewenang untuk membantu menangani masalah penyalahgunaan narkotika itu sudah dihilangkan,” kata TB Hasanuddin dalam keterangannya di Jakarta, Senin (17/3/2025) malam.

    Hasanuddin menyebut perubahan juga ada di Pasal 47, di mana dalam UU TNI 2004, prajurit dapat menduduki jabatan pada 10 kementerian atau lembaga. Dalam RUU terbaru, perwira TNI aktif hanya dapat menjabat di 15 kementerian/lembaga, yang sebelumnya diusulkan menjadi 16 kementerian/lembaga.

    “Yang sebelumnya diusulkan 16 K/L, saat ini hanya menjadi 15 K/L, di mana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu dihapus,” ucapnya.

    Rinciannya sebagai berikut:

    1. Peran TNI dalam penanggulangan bencana
    – UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Berlaku sejak tahun 2007.
    – Dilanjutkan dengan terbitnya Perpres 1/2019 tentang BNPB di mana TNI dilibatkan sebagai unsur pengarah dalam penanggulangan bencana.

    3. Peran TNI dalam pengelolaan perbatasan
    – Perpres 44/2017 tentang Perubahan atas Perpres 12/2010 tentang Badan Nasional Penegelola Perbatasan yang mengatur Panglima TNI sebagai anggota BNPP pada Pasal 6. Berlaku sejak 2017.

    4. Peran TNI pada BNPT
    – Dalam Pasal 43 I ayat (1) UU No. 5 Tahun 2018, disebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP). Berlakuk sejak tahun 2018. Berlaku sejak 2018

    5. Peran TNI pada Kejaksaan Agung
    – UU 11/2021 tentang Perubahan atas UU 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Mengatur tentang jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer. Berlaku sejak tahun 2021.

    “Sementara di luar posisi tersebut, prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil lain setelah mundur dari dinas keprajuritan,” ucap Hasanuddin.

    Selain itu, Hasanuddin juga menjelaskan Pasal 53 terkait batas usia pensiun, RUU TNI mengubah batas usia pensiun berdasarkan pangkat. Dalam UU saat ini, batas usia pensiun dibagi menjadi dua klaster, yakni 58 bagi perwira dan 53 bagi tamtama dan bintara.

    Sementara, dalam RUU TNI berdasarkan naskah DIM, batas usia pensiun dirinci kembali berdasarkan pangkat. Rinciannya yakni sebagai berikut:

    Batas usia pensiun prajurit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut:

    – Bintara dan Tamtama paling tinggi 55 tahun;
    – Perwira sampai dengan pangkat Kolonel paling tinggi 58 tahun;
    – Perwira tinggi bintang 1 paling tinggi 60 tahun;
    – Perwira tinggi bintang 2 paling tinggi 61 tahun; dan
    – Perwira tinggi bintang 3 paling tinggi 62 tahun.

    Di luar itu, ada beberapa pengecualian lain terkait usia dinas. Pertama, khusus bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional dapat melaksanakan masa dinas keprajuritan yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

    Kemudian, untuk perwira tinggi bintang 4 atau jenderal, batas usia pensiun paling tinggi, yakni umur 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali (dalam setahun) sesuai kebutuhan dan ditetapkan dengan keputusan Presiden.

    Selain itu, TB mengatakan yang perlu mendapat perhatian dalam RUU TNI ini adalah Pasal 39. Pasal itu menyatakan prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilu dan jabatan politis lainnya.

    “Pasal ini tetap sama, prajurit TNI tidak boleh menjadi anggota partai politik, terlibat dalam bisnis, atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan jabatan politik lainnya,” katanya.

    Dengan revisi ini, Hasanuddin berharap UU TNI yang baru dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa mengesampingkan prinsip demokrasi dan supremasi sipil dalam pemerintah.

    (fas/zap)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif

    RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif

    RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif
    Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
    DISKURSUS
    revisi Undang-Undang TNI di ruang publik terlihat kontraproduktif. Di satu sisi, sejumlah kelompok masyarakat sipil bersikeras menolak peran lebih luas militer dalam kehidupan politik, karena masih dihantui trauma masa Orde Baru.
    Di sisi lain, militer justru tampil terbuka meminta peran lebih luas, seolah-olah ingin mengulang romantisme dwifungsi yang telah ditinggalkan pasca-Reformasi 1998.
    Mandegnya diskursus ini berakar pada cara pandang hubungan sipil-militer yang saling bertolak belakang, namun sama-sama ketinggalan zaman.
    Kelompok pertama sejalan dengan garis pemikiran Jenderal A.H. Nasution, bersikukuh pada keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi.
    Sayangnya mereka abai terhadap konsensus bahwa pembangunan nasional hari ini bertumpu pada fondasi supremasi sipil yang kompeten dan profesional di bidang masing-masing.
    TNI tetap, bahkan wajib ambil bagian dalam pembangunan nasional, namun dengan tupoksi utama di sektor pertahanan negara yang diterjemahkan ke dalam kerangka operasi militer perang.
    TNI bisa ikut serta dalam sektor-sektor non-pertahanan, dengan catatan diminta oleh otoritas sipil dan berada dalam kerangka operasi militer selain perang.
    Supremasi sipil dikedepankan karena militer sadar dengan keterbatasan sumber daya dan keahlian mereka di sektor-sektor non-pertahanan.
    Dalam rangka membangun sektor non-pertahanan seperti kelautan dan perikanan, misalnya, masuk akal untuk berpikir bahwa seorang nelayan yang terbiasa memegang jaring dan pancing lebih kompeten mengelola kekayaan laut untuk tujuan ekonomi, dibandingkan tentara yang lebih terlatih memegang senjata di pertempuran.
    Kelompok kedua, yang terpengaruh kuat oleh Samuel Huntington, melihat militer sebagai entitas terpisah yang profesional. Namun, mereka berat untuk mengakui bahwa keterlibatan dan pengaruh militer dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat sipil tetap ada, dan bahkan meningkat pasca-Reformasi.
    Mereka mengabaikan survei-survei beberapa tahun belakangan yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap TNI.
    Eksistensi organisasi masyarakat sipil di tengah masyarakat yang menggunakan atribut-atribut ala militer. Serta kondisi lingkungan strategis di negara demokrasi lainnya di mana diskursus hitam putih perlahan ditinggalkan.
    Padahal kontrol sipil di kementerian tertentu yang beririsan dengan militer tidak selalu baik. Seperti dicatat Mukherjee (2020), Kementerian Pertahanan India lebih didominasi birokrat sipil yang berpindah-pindah instansi tanpa pengalaman dan kepakaran militer, dibandingkan anggota aktif militer sendiri.
    Dampaknya, militer menjadi tidak optimal dalam menjalankan tupoksi, salah satu yang esensial adalah pengadaan alutsista.
    Sebagai solusi, otoritas sipil tetap memimpin kementerian, namun keterlibatan militer aktif didorong untuk menambah kepakaran.
    Memaksa militer untuk kembali ke barak dengan alasan profesionalisme ala Huntington bisa kontraproduktif dengan tujuan profesionalisme itu sendiri.
    Di Amerika Serikat, tempat gagasan ini lahir dan berkembang, profesionalisme ala Huntington malah menciptakan paradoks di internal militer sendiri.
    Salah satu paradoks ini, seperti ditulis Risa Brooks (2020), adalah kecenderungan anggota aktif di sana lebih terbuka untuk terlibat dalam politik praktis.
    Mereka sulit menahan godaan kebebasan berekspresi di media sosial, serta rentan dipolitisasi penguasa sipil yang melihat mereka sebagai konstituten politik.
    Di Indonesia, paradoks ini terlihat dalam banyak hal. Para purnawirawan militer aktif berperan dalam suksesi kepemimpinan nasional melalui partai politik dan pemilu.
    Sementara itu, partai politik sendiri mulai mengadopsi kaderisasi semi-militer dan membentuk sayap-sayap organisasi yang menggunakan atribut serta simbol-simbol militer.
    Fenomena ini menunjukkan bahwa batas antara militer dan politik tidak selalu tegas, bahkan dalam upaya menciptakan profesionalisme.
    Singkat kata, Kelompok Nasution kurang peka terhadap trauma Orde Baru yang menjadi pondasi Reformasi 1998.
    Kelompok Huntington, sebaliknya, terjebak pada idealisme yang tak realistis di tengah perkembangan zaman dan sisa-sisa pengaruh sosial kultural Orde Baru.
    Keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik tidak bisa dihindari. Namun, harus ada batas yang jelas dan tegas, ini kata kunci penting.
    Revisi UU TNI
    adalah momentum untuk memetakan dan menentukan ulang peran TNI, terutama di sektor-sektor non-pertahanan.
    Berdasarkan draft RUU TNI yang beredar, masyarakat sipil seharusnya bisa menerima keterlibatan TNI dalam penanggulangan ancaman nontradisional -seperti bencana alam, narkoba, terorisme, hingga siber, termasuk untuk memimpin institusi-institusi terkait.
    Kapasitas logistik dan koordinasi TNI dalam penanggulangan bencana telah teruji di lapangan.
    Dalam konteks ancaman nontradisional lainnya, irisan antara peran TNI dengan Polri dalam upaya penanggulangan sulit dibantah.
    Anggota aktif bisa menjabat di BNN atau BNPT, selama penanggulangan didasarkan pada koridor penegakan hukum dan pelibatan TNI dilakukan dengan koordinasi dengan Polri, dan pengawasan oleh DPR dan publik.
    Namun, pertanyaan kritis patut diajukan ketika TNI didorong masuk ke institusi seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, atau Kementerian Kelautan dan Perikanan.
    Rasionalisasi untuk ketiga institusi ini terlihat dipaksakan. Tak ada studi perbandingan yang kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan, bahkan di negara otoriter seperti China dan Saudi untuk melegitimasi militer aktif menduduki posisi di lembaga penegakan hukum.
    Pengecualian jika ada penjelasan spesifik bahwa anggota aktif hanya menjabat di kamar peradilan atau urusan pidana militer.
    Untuk sektor kelautan dan perikanan, argumen soal pengelolaan wilayah perbatasan atau konflik kedaulatan wilayah tertentu seperti Selat Malaka dan Laut China Selatan bisa saja diajukan.
    Namun, alasan ini terlalu bias dan lentur, sehingga bisa diterapkan pada sektor lain dengan logika serupa -Mengapa bukan atau tidak sekalian saja dengan Kementerian Kehutanan atau ESDM, misalnya? Inkonsistensi sulit diterima.
    Lebih baik sektor-sektor ekonomi semacam ini diserahkan kepada sipil profesional yang teruji rekam jejaknya mengelola kekayaan laut untuk kesejahteraan.
    Memaksakan militer ke posisi-posisi kontroversial di atas bisa menghambat implementasi makan siang gratis dan program-program prioritas Presiden Prabowo.
    Sangat banyak studi kredibel yang menunjukkan kualitas demokrasi memiliki korelasi kuat dengan arus masuk penanaman modal asing.
    Supremasi sipil dan pembagian kekuasaan adalah salah satu indikator utama yang menentukan kualitas tersebut.
    Kemunduran demokrasi yang sering disuarakan belakangan ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa arus masuk penanaman modal asing tidak optimal.
    Selain itu, langkah tersebut bisa merusak kepercayaan publik terhadap TNI, yang notabene adalah modal sosial yang lebih berharga dibandingkan peran tambahan di sejumlah lembaga.
    Memaksakan peran di lembaga-lembaga penegakan hukum hanya akan memicu resistensi, seperti yang sudah terlihat dari kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil sejak RUU ini digaungkan.
    Ironisnya, kondisi ini bisa melemahkan kekuatan nasional yang justru ingin dibangun pemerintah -suatu esensi dari dialog-dialog hubungan sipil-militer dan hubungan sipil-sektor keamanan secara umum.
    Revisi UU TNI seharusnya menjadi momentum untuk memperjelas, bukan mengaburkan peran militer dalam kehidupan demokrasi.
    Dialog konstruktif masyarakat sipil dan sektor keamanan, termasuk polisi dan intelijen harus kembali dibuka dengan tema utama mendengarkan aspirasi masyarakat sipil dan berikut kebutuhan strategis negara dengan sektor keamanan sebagai aktor utama.
    Tanpa dialog, kondisi hanya akan jadi bom waktu: menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan membuka luka lama yang (ternyata) belum sembuh.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Istana sebut 16 K/L yang bisa diduduki TNI memang diperlukan keahlian

    Istana sebut 16 K/L yang bisa diduduki TNI memang diperlukan keahlian

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi menyatakan bahwa penambahan pos menjadi 16 kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif dalam RUU TNI memang diperlukan keahlian dan beririsan dengan lingkup kerja TNI.

    Pernyataan Hasan kepada media di Jakarta, Senin (17/3) malam itu menanggapi soal revisi dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang di dalamnya mengatur soal peluasan penempatan prajurit aktif dari sebelumnya 10 menjadi 16 kementerian/lembaga.

    “Karena posisi-posisi untuk TNI, nggak di-open, tapi dikunci. Dikunci ke-16 posisi yang memang memerlukan ekspertis-nya mereka. Memerlukan keahliannya mereka dan beririsan ruang kerja dengan ekspertis mereka,” kata Hasan.

    Meski terdapat penambahan lembaga yang bisa diisi oleh TNI, Hasan menegaskan bahwa jabatan tersebut memang sudah diisi oleh prajurit TNI aktif namun belum diatur melalui undang-undang.

    Dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI saat ini, hanya ada 10 kementerian/lembaga yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yakni Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, dan Badan Siber dan Sandi Negara.

    Kemudian, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Pertahanan Nasional, Badan SAR Nasional (Basarnas), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.

    Lewat RUU TNI, ada tambahan enam pos baru yang bisa dijabat TNI aktif, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung dan terbaru, yakni Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

    “Sebelumnya di UU enggak ada, sekarang ada. Ada untuk mengisi kamar peradilan pidana Mahkamah Agung, Bakamla. Jadi yang kayak gitu, yang memang ekspertis-nya membutuhkan ekspertis teman-teman dari TNI,” kata Hasan.

    Oleh karenanya, Hasan kembali menekankan bahwa RUU TNI yang dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi ABRI oleh masyarakat hingga lembaga independen tidak terbukti.

    Di sisi lain, pemerintah meminta masyarakat tetap mengkritisi dan memantau pelaksanaan undang-undang sebagai bagian dari pengawasan publik.

    Pewarta: Mentari Dwi Gayati
    Editor: Iskandar Zulkarnaen
    Copyright © ANTARA 2025

  • Rapat Revisi UU TNI di Hotel Tertutup, Bukan Terbuka

    Rapat Revisi UU TNI di Hotel Tertutup, Bukan Terbuka

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menanggapi pernyataan Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco, yang menyebut rapat membahas Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dilaksanakan secara terbuka di hotel Fairmont. Menurutnya, pernyataan Dasco keliru dan tidak sesuai kenyataan yang terjadi.

    “Ingat hotel itu adalah wilayah private, bila orang masuk harus bayar dan lain-lain dan itu enggak ada undangan terbukanya, enggak ditayangkan live dan teman-teman koalisi pun masuk, kemudian enggak bisa dikasih forum dan lain-lain,” kata Isnur di kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Senin, 17 Maret 2025.

    Isnur menyebut rapat tertutup juga sangat jelas terlihat ketika perwakilan KontraS masuk ke dalam ruang rapat, mereka mendapat intimidasi. Menurutnya, rapat di hotel secara tertutup juga sangat aneh lantaran para legislator biasa menggelar rapat di gedung DPR dan ditayangkan secara langsung melalui YouTube Parlemen.

    “Jadi jelas itu adalah sidang tertutup. Jadi jangan kemudian menutupi informasi yang sudah sangat terang-benderang,” ujar Isnur.

    Lebih lanjut, Isnur juga menyoroti sikap pihak hotel yang melaporkan koalisi masyarakat sipil ke Polda Metro Jaya usai aksi penggerudukan ke ruang rapat. Menurutnya, proses pemidaan itu sekali lagi sangat jelas menunjukkan bahwa rapat digelar tertutup, bukan terbuka sebagaimana dikatakan Dasco.

    “Ini jelas sekali bahwa mereka tidak menganggap itu forum ruang terbuka. Itu adalah ruang tertutup yang orang dilarang masuk. Sehingga ketika ada orang masuk, warga mau bersuara, warga mau berbicara, warga mau mengeluhkan tentang proses yang tertutup itu, dilaporkan pidana,” tutur Isnur.

    Selain itu, Isnur mengkritik respons pihak kepolisian yang memproses laporan tersebut sangat cepat dengan melayangkan surat pemanggilan ke aktivis KontraS. Ia menduga ada orkestrasi pembungkaman suara masyarakat sipil yang menolak pembahasan revisi UU TNI.

    “Ini ada apa? Panggilannya pun tidak cukup waktu. Sangat tidak layak. Jadi ini menurut kami ada orkestrasi untuk membungkam teman-teman yang bersuara,” ucap Isnur.

    Terkait dengan proses hukum yang dihadapi pihak KontraS, YLBHI menyatakan mereka telah mengirimkan surat kuasa untuk memberikan pendampingan hukum.

    Koalisi Masyarakat Tolak Revisi UU TNI

    192 lembaga yang tergabung di dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menolak kembalinya dwifungsi melalui Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

    Pemerintah telah menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU TNI kepada DPR, pada 11 Maret 2025. Koalisi menilai DIM itu bermasalah lantaran terdapat pasal-pasal yang akan mengembalikan militerisme atau Dwifungsi TNI di Indonesia.

    “Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional,” kata Ketua YLBHI Muhamad Isnur mewakili tokoh-tokoh yang hadir di kantor YLBHI, Senin, 17 Maret 2025.

    Koalisi masyarakat sipil justru menilai revisi UU TNI akan melemahkan profesionalisme militer. Pasalnya, sebagai alat pertahanan negara, TNI dilatih, dididik, dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi nonpertahanan seperti duduk di jabatan-jabatan sipil.

    Lebih Baik Revisi UU Peradilan Militer

    “Dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” ucap Isnur.

    Menurut koalisi, revisi UU tentang peradilan militer lebih penting daripada RUU TNI. Sebab, agenda itu merupakan kewajiban konstitusional negara untuk menjalankan prinsip persamaan di hadapan hukum bagi semua warga negara, tanpa kecuali.

    “Reformasi peradilan militer merupakan mandat TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI,” tutur Isnur.

    Koalisi menilai RUU TNI akan mengembalikan Dwifungsi TNI, yaitu militer aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Koalisi juga menyebut perluasan penempatan TNI aktif tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme TNI dan berisiko memunculkan masalah seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil, dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda. Selain itu, merebut jabatan sipil dan memarginalkan ASN dan perempuan dalam akses posisi-posisi strategis.

    Koalisi menyebut, perluasan jabatan sipil dalam RUU TNI di antaranya adalah menempatkan militer aktif di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal yang perlu diingat, TNI adalah alat pertahanan negara untuk perang, sedangkan Kejaksaan Agung, adalah lembaga penegak hukum, maka, salah jika anggota TNI aktif duduk di institusi Kejaksaan Agung.

    “Dan salah, jika ingin menempatkan militer aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dua contoh itu cerminan praktik dwifungsi TNI,” ujar Isnur.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • KPK Bakal Kejar Aset Hasil Korupsi Eks Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba

    KPK Bakal Kejar Aset Hasil Korupsi Eks Gubernur Malut Abdul Gani Kasuba

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal fokus menelusuri aset hasil korupsi Abdul Gani Kasuba. Upaya mengembalikan kerugian negara terus dilakukan meski eks Gubernur Maluku Utara itu meninggal dunia pada Jumat, 14 Maret lalu.

    “Tentu proyeksinya kita akan menarik kembali aset atau assets recovery dari harta kekayaan yang kita anggap bahwa itu berasal dari tindak pidana korupsi,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu kepada wartawan yang dikutip Senin, 17 Januari.

    Asep menyebut status tersangka Abdul Gani dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) memang gugur setelah meninggal. “Tapi, kan sudah (ada yang, red) disita (aset-asetnya, red),” tegasnya.

    Adapun aset itu di antaranya adalah tanah dan bangunan yang disita dari Thoriq Kasuba yang merupakan anak Abdul Gani. “Ada klausul yang mengatur kalau si tersangka meninggal, itu bisa menggugat lewat cara keperdataan melalui jaksa pengacara negara,” tegasnya.

    Tapi, keputusan ini tidak begitu saja diambil. Asep bilang biro hukum maupun pihak terkait di lembaganya akan duduk bersama dalam rapat pimpinan (rapim) untuk menentukan tindak lanjut.

    “Makanya kami koordinasi dan komunikasi dahulu dengan biro hukum, nanti akan dirapimkan. Setelah itu juga akan komunikasi dan koordinasikan dengan Kejaksaan Agung. Fokus kita itu assets recovery, jadi berapapun sudah ter-declare itu harus diambil,” ungkap Asep.

    Diberitakan sebelumnya, Hairun Rizal yang merupakan pengacara eks Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba membenarkan kliennya meninggal dunia pada Jumat, 14 Maret. Ia mengembuskan napas di ruang Intensive Care Unit (ICU) RSUD Chasan Boesoirie Ternate.

    “(Meninggal dunia, red) di ICU RSUD kurang lebih jam 20.00 WIT,” kata pengacara Abdul Gani Kasuba, Hairun Rizal saat dihubungi wartawan, Jumat malam, 14 Maret.

    Hairun mengatakan jenazah Abdul Gani saat ini berada di rumah duka. Ia rencananya akan dimakamkan di kampung halamannya, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara pada Sabtu, 15 Maret.

  • Istana: Pasal yang Dicurigai Kembalikan Dwifungsi ABRI Tak Ada, Kecurigaan LSM Tak Beralasan

    Istana: Pasal yang Dicurigai Kembalikan Dwifungsi ABRI Tak Ada, Kecurigaan LSM Tak Beralasan

    Istana: Pasal yang Dicurigai Kembalikan Dwifungsi ABRI Tak Ada, Kecurigaan LSM Tak Beralasan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Komunikasi Kepresidenan/PCO Hasan Nasbi memastikan, pasal maupun ayat yang dicurigai mengembalikan
    dwifungsi ABRI
    tidak ada dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI.
    Oleh karenanya, Hasan menilai bahwa kecurigaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak beralasan.
    “Pasal yang dicurigai akan ada, ayat yang dicurigai akan ada, itu terbukti tidak ada. Bahwa kecurigaan teman-teman NGO, LSM itu tidak beralasan karena itu tidak ada (dwifungsi),” kata Hasan saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).
    Hasan menegaskan bahwa
    RUU TNI
    justru akan membatasi jabatan-jabatan sipil yang bisa dijabat oleh prajurit aktif, bukan sebaliknya.
    Menurut dia, jabatan tersebut diisi karena adanya korelasi dengan kerja-kerja dan tugas fungsi TNI.
    “Karena posisi-posisi, enggak di-
    open
    posisi-posisi untuk TNI, enggak di-
    open
    , tapi dikunci. Dikunci ke-15 posisi yang memang memerlukan ekspertisnya mereka. Memerlukan keahliannya mereka dan beririsan ruang kerja dengan ekspertis mereka,” ujar Hasan.
    Meski jumlah jabatan yang diisi akan lebih banyak, Hasan memastikan bahwa jabatan tersebut sejatinya sudah dipraktikan lebih dulu.
    Salah satu contohnya, jabatan untuk Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) yang sebelumnya belum diatur oleh Undang-Undang.
    Diketahui dalam
    UU TNI
    saat ini, hanya terdapat 10 jabatan yang bisa diisi oleh prajurit aktif, yakni di Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Kementerian Pertahanan, Sekretariat Militer Presiden, Badan Intelijen Negara, dan Badan Siber dan Sandi Negara.
    Lalu, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau Basarnas, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
    Lewat RUU TNI, ada tambahan enam pos baru yang bisa ditempati TNI aktif, yakni di Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, keamanan laut, dan Kejaksaan Agung (Kejagung), dan BNPP.
    “Sebelumnya di UU enggak ada, sekarang ada. (Jampidmil) Ada untuk mengisi kamar peradilan pidana Mahkamah Agung. Bakamla, Dewan Pertahanan Nasional belum ada juga (sebelumnya di UU TNI). Jadi yang kayak gitu, yang memang ekspertisnya membutuhkan ekspertis teman-teman dari TNI,” kata Hasan.
    Sebelumnya diberitakan,
    revisi UU TNI
    menuai penolakan dari sejumlah LSM lantaran dikhawatirkan mengembalikan dwifungsi militer.
    Namun terbaru, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan mengatakan bahwa revisi UU TNI hanya akan mengubah tiga pasal krusial.
    Pasal pertama adalah Pasal 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang kedudukan dan koordinasi TNI di bawah Kementerian Pertahanan. Kedua, Pasal 53 yang mengatur tentang usia pensiun TNI.
    Ketiga, Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan di kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI yang aktif.
    Karena pada praktiknya, banyak prajurit TNI yang selama ini memang diperbantukan di beberapa kementerian karena keahlian dan kebutuhannya.
    “Misal saya contohkan di Basarnas, seperti itu. Melalui
    Revisi UU TNI
    ini justru memberi batasan yang lebih jelas akan hal tersebut. Saat ini terdapat pembahasan, wacana pengaturan penugasan TNI dari 10 kementerian/lembaga menjadi 16,” kata Budi Gunawan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kelompok Sipil Ungkap Sejumlah Bahaya RUU TNI Jika Disahkan

    Kelompok Sipil Ungkap Sejumlah Bahaya RUU TNI Jika Disahkan

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkapkan isi Rancangan Undang-undang (RUU) TNI yang diam-diam tengah dikebut DPR RI dan Pemerintah.

    Koordinator Kontras Dimas Bagus Arya Saputra membeberkan salah satu isi RUU TNI itu adalah mengembalikan dwifungsi TNI dimana semakin banyak militer aktif yang akan menduduki jabatan sipil.

    Menurutnya, penempatan militer aktif pada jabatan sipil bertentangan dengan UU TNI sebelumnya dan tidak sesuai dengan janji profesionalisme TNI.

    “Ini jelas berisiko memunculkan masalah ya, seperti ekslusi warga sipil dan jabatan sipil, menguatkan dominasi TNI di ranah sipil dan memicu twrjadinya kebijakan dan loyalitas ganda,” ujarnya, Senin (17/3).

    Menurutnya, perluasan jabatan sipil di RUU TNI tersebut akan menempatkan TNI di Kejaksaan Agung hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

    “Dua contoh itu adalah cerminan praktik dwifungsi TNI. Ingat, TNI itu adalah alat pertahanan negara untuk perang dengan negara lain,” katanya.

    Dia menilai RUU TNI yang dalam waktu dekat akan disahkan oleh DPR merupakan kemunduran untuk TNI secara kelembagaan 

    “TNI ini dilatih, dididik dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non pertahanan seperti duduk di jabatan sipil,” ucapnya. 

  • Satpam Hotel Fairmont Merasa Dirugikan Usai Aktivis Geruduk Rapat RUU TNI – Halaman all

    Satpam Hotel Fairmont Merasa Dirugikan Usai Aktivis Geruduk Rapat RUU TNI – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – RYK, petugas keamanan Hotel Fairmont Jakarta, merasa dirugikan setelah aktivis Koalisi Masyarakat Sipil menggeruduk rapat RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Sabtu (15/3/2025).

    Atas dasar itu, RYK melaporkan kepada aparat Polda Metro Jaya.

    Hal itu diungkap Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, di Mapolda Metro Jaya, pada Senin (17/3/2025).

    “Korban merasa dirugikan, kemudian membuat laporan,” ujarnya pada Senin (17/3/2025).

    Upaya membuat laporan itu dilakukan pada Sabtu pekan lalu.

    Berdasarkan keterangan RYK ada tiga orang yang mengaku dari Koalisi Masyarakat Sipil masuk ke hotel dan berteriak di depan pintu ruang rapat pembahasan RUU TNI.

    Rapat pembahasan RUU TNI itu dilakukan sejumlah anggota DPR RI.

    “(Koalisi Masyarakat SIpil meminta,-red) Agar rapat tersebut dihentikan karena dilakukan secara diam-diam dan tertutup,” kata Ade

    Kini, kasus itu ditangani aparat Subdit Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.

    Barang Bukti

    Polisi mengungkapkan adanya dua barang bukti yang diamankan terkait aksi demonstrasi yang menggeruduk rapat Panitia Kerja Revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat.

    Aksi tersebut dilakukan tiga aktivis Koalisi Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan pada Sabtu, 15 Maret 2025.

    Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam, menyatakan bahwa dua barang bukti yang diamankan adalah satu unit CCTV dari Hotel Fairmont dan satu unit video dokumentasi terkait peristiwa tersebut.

    “Ada dua barang bukti. Yang pertama, satu unit elektronik video CCTV. Kemudian, satu unit elektronik video atau video dokumentasi,” kata Ade Ary, kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (17/3/2025).

    Saat ini, penyelidikan masih terus berlangsung. Pihak kepolisian mendalami laporan yang diterima dari seorang petugas keamanan Hotel Fairmont berinisial RYR.

    “Saat ini penyelidik sedang melakukan pendalaman,” jelasnya.

    Laporan tersebut tercatat dengan nomor LPB/1876/III/2025/SPKT POLDA METRO JAYA, yang mencatat dugaan tindak pidana terkait gangguan ketertiban umum dan ancaman kekerasan, serta penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia.

     “Laporan ini berasal dari RYR, seorang petugas keamanan di Hotel Fairmont,” tambah Kombes Ade Ary.

    Terlapor dalam kasus ini disangkakan melanggar berbagai pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), termasuk Pasal 172, 212, 217, 335, 503, dan 207 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP.

    Pihak kepolisian memastikan bahwa proses penyelidikan akan terus berjalan untuk mengungkap lebih lanjut fakta-fakta terkait peristiwa yang menjadi sorotan ini.

    Tiga Pasal RUU TNI

    Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, memberikan penjelasan terkait tiga pasal dalam Revisi Undang-undang TNI (RUU TNI) yang dibahas Komisi I DPR RI bersama pemerintah.

    Pasal pertama, yakni Pasal 3 yang berisikan tentang kedudukan TNI.

    “Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, jadi ini sifatnya internal. Ayat 1 misalnya dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan militer TNI berkedudukan di bawah Presiden, itu tidak ada perubahan.”

    “Kemudian ayat 2 kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi yang berkaitan dengan aspek perencanaan strategis TNI itu berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan,” kata Dasco, dilansir Kompas TV, Senin (17/3/2025).

    Dasco mengungkapkan, revisi UU TNI pada Pasal 3 ini dilakukan supaya lebih sinergis dan lebih rapi.

    Pasal selanjutnya yang direvisi adalah Pasal 53, berisikan tentang aturan usia pensiun anggota TNI.

    “Kemudian pasal 53 itu tentang usia pensiun, yaitu mengacu pada undang-undang institusi lain, ada kenaikan batas usia pensiun, yaitu bervariatif. Antara 55-62 tahun,” terang Dasco.

    Terakhir adalah Pasal 47, yang membahas soal aturan prajurit TNI bisa menduduki jabatan di Kementerian atau Lembaga.

    “Kemudian pasal ketiga, yaitu pasal 47, yaitu prajurit dapat menduduki jabatan pada Kementerian atau lembaga.”

    “Jadi prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada Kementerian lembaga, pada saat ini sebelum direvisi ada 10, kemudian ada penambahan,” jelas politisi Gerindra itu.

    Salah satu contohnya adalah di Kejaksaan Agung, karena dalam Kejaksaan Agung ada jabatan Jaksa Agung Pidana Militer.

    “Karena di masing-masing institusi di undang-undangnya dicantumkan, sehingga kita masukkan ke dalam revisi undang-undang TNI.”

    “Seperti Kejaksaan Agung misalnya karena ada di situ Jaksa Agung Pidana Militer yang di Undang-undang Kejaksaan itu dijabat oleh TNI di sini kita masukkan.”

    “Kemudian untuk pengelola perbatasan, karena itu beririsan dengan tugas pokok dan fungsi,” ungkap Dasco.

    Selanjutnya, pada Pasal 47 ayat 2, dijelaskan bahwa prajurit TNI yang menduduki jabatan sipil selain yang dijelaskan pada ayat 1, maka harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

    “Kemudian selain itu pada pasal 47 ayat 2, selain menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga sebagai pada mana dimaksud pada ayat 1, yang tadi saya sudah terangkan.”

    “Prajurit dapat menduduki jabatan sipil lainnya setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” imbuh Dasco.

    Ketua Komisi I DPR Sebut Panglima TNI Tetap Junjung Tinggi Supremasi Sipil

    Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, memastikan Panglima TNI menjunjung tinggi supremasi sipil.

    Hal itu dikatakan Utut merujuk ke pembahasan rapat RUU TNI bersama Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto pada pekan lalu.

    “Panglima TNI pada rapat Kamis pekan lalu itu tegas, kesimpulannya hanya satu, bahwa dari Undang-Undang (RUU TNI) ini, jelas supremasi sipil dalam konsep negara demokrasi,” kata Utut kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025).

    Dia mengeklaim, RUU TNI bukan untuk memperluas jabatan sipil yang diduduki TNI.

    “Kalau kekhawatiran Dwifungsi ABRI saya sudah berkali-kali bicarakan, justru ini melimitasi,” pungkas Politisi PDIP itu

    Diketahui, Komisi I DPR dan pemerintah memang tengah membahas revisi UU TNI.

    Revisi tersebut, meliputi penambahan usia dinas keprajuritan hingga peluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga.

    Bahkan pada hari Jumat (14/3/2024) dan Sabtu (15/3/2025) lalu, Komisi I DPR dan pemerintah menggelar rapat tertutup di Hotel Fairmont untuk membahas RUU TNI.

    Pembahasan RUU tersebut, sempat diwarnai penolakan unsur sipil yang merangsek masuk ke ruang rapat dan menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI.